Breaking News

26 May 2012

PERANAN HAKIM PADA PROSES PENEMUAN HUKUM DALAM TINJAUAN PASAL 5 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2008 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP ETIKA DAN MORALITAS


   
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi [1]. Pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berat. Jika pada awal reformasi koruptor terfragmentasi, sekarang mereka semakin kompak menyusul terkonsolidasinya kekuatan lama berupa eli-elit politik dan bisnis. Beberapa kasus menunjukan koruptor saling melindungi melalui negoisasi politik. Para koruptor menjadi lebih berani membajak, menganggu, dan mengancam institusi-institusi antikorupsi [2].
Ada sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy) yang menyatakan tentang korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan jumlah kekayaan sebesar 8,03 milliar dolar AS [3]. Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand [4]. Dalam upaya pemberantasan korupsi yang semakin merajalela dan merugikan keuangan negara dibutuhkan sebuah konsep hukum sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menjerat para pelaku korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Hukum harus menjadi panglima dan ujung tombak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum civil law  (Eropa Kontinental) yang diwarisi oleh pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Dalam sistem hukum civil law, hukum tertulis merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang. Mereka mengatakan bahwa hukum adalah identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya [5]. Sistem hukum civil law terdapat banyak kelemahan dan tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum dalam penegakannya. Sistem hukum ini hanya menjadikan hukum tertulis sebagai dasar utama dalam menjatuhkan vonis oleh hakim. Hal ini berimplikasi terhadap tiap vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.
Hukum progresif mengingatkan bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti. Oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri. Dengan demikian terjadinya perubahan sosial dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia [6]. Hukum progresif merupakan jalan dan arahan untuk terus memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial adalah pembalikan dari ajaran legisme tapi dalan aplikasinya tetap dibutuhkan aturan demi proses berjalnnya sistem hukum di Indonesia. Konsep hukum progresif yang lebih mengutamakan rasa keadian dan kebenaran materiil di dalam masyarakat merupakan terobosan hukum yang dapat menjadi alternatif dalam penegakan hukum yang dirasa selama ini hanya terkungkung oleh aturan tertulis saja. Subyek yang paling berperan dalam menemukan dan menciptakan dalam konsep hukum ini adalah hakim.
Hakim membuat undang-undang karena undang-undang tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menemukan mana yang merupakan hukum dan yang bukan merupakan hukum. Hal ini seolah-olah hakim sebagai pemegang kekuasaan legislative atau pembentuk undang-undang. Selanjutnya dikatakan, bahwa undang-undang (kodifikasi) justru diadakan untuk membatasi hakim yang karena kebebasannya telah menjurus kepada tirani atau kesewenang-wenangan. Akan tetapi bila hukum tertulis tidak lengkap, atau belum dapat menjawab permasalahan yang ada untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi barulah dicari kelengkapannya dari sumber hukum yang lain-lainnya [7]. Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Bertolak dari fakta ini maka hakim sebagai subyek dalam menciptakan hukum di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) memiliki otoritas tertinggi untuk menemukan dan menciptakan hukum dalam memutus setiap kasus korupsi yang ada. Dengan demikian harmonisasi antara konsep hukum progresif dengan sifat diskresi hakim dalam menemukan dan menciptakan hukum dalam pemberantasan korupsi dan penetapan sanksi hukum terhadap para pelaku korupsi akan mendapat sanksi yang tegas serta dapat memenuhi rasa keadilan yang didambakan oleh masyarakat luas.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka Penulis akan mengkaji lebih detail dalam pembahasannya dengan judul “PERANAN HAKIM PADA PROSES PENEMUAN HUKUM DALAM TINJAUAN PASAL 5 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2008 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP ETIKA DAN MORALITAS”


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka Penulis memberikan rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) pada proses penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
2.      Bagaimanakah korelasi Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai sarana hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) demi proses penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
 
BAB II
PEMBAHASAN

      A. Konsep Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pada Proses Penemuan Hukum Sebagai       Upaya Penetapan Sanksi Hukum Kepada Pelaku Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
1.      Implikasi Hukum Progresif Sebagai Dasar Penemuan dan Penciptaan Hukum Dari Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hukum progresif ini tidak pernah memandang bahwa hukum positif itu tidak baik, akan tetapi terkadang jika dihadapkan pada persoalan hukum yang sulit terpecahkan maka dengan sendirinya hukum positif tersebut akan lumpuh. Usaha mencari kebenaran yang mewajibkan dalam menyusun suatu tatanan hukum dengan sendirinya mendapat suatu dorongan baru apabila sudah menjadi jelas pada suatu tahap sejarah tatanan hukum melulu ada di tangan mereka yang kuat dalam tatanan hukum [8]. Adanya keinginan untuk menuju ke arah perombakan sistem hukum yang lebih baik tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dibutuhkan kapabalitas dan integritas tinggi untuk menuju perubahan tapi semua elemen bangsa termasuk pemerinta juga punya peranan yang penting. Redfield dan Black dalam ajarannya mengatakan ”Hukum bukan lagi rakyat atau yang terjadi sebenarnya maka akan berubah jadi watak hukum nasional” [9].
Hukum progresif akan berjalan lumpuh dan tidak akan efektif jika aparat penegak hukum dan rakyat kurang peduli dalam mematuhi aturan hukum. Transfer dari hukum progresif ke pemerintah melalui setiap kebijakannya berupa “government social control” artinya untuk pengendalian hukum agar lebih dapat menciptakan tertib hukum dan perbaikan sistem birokrasi. Dengan demikian akan dapat diketahui iudex factie (apa perbutan hukumnya) dan iudex iuris akibat hukumnya). Adanya perubahan tatanan ekonomi social melalui konsepsi hukum progresif diharapkan mampu untuk memberikan kesetabilan dala kehidupan masyarakat terutama setelah mengalami porak poranda dengan adanya tidak pidana korupsi yang menghancurkan sistem perekonomian rakyat. Berikut ini akan penulis sajikan pendapat dari Roscoe Pound yang berbunyi ”Law must stable and yet it cannot stand still, hence all thinking about law has struggled to reconcilebthe conflicting demands of the need of stability anf the need of change” [10]. Penulis berpendapat dengan adanya tatanan hukum yang baik akan dapat memberikan stabilitas dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Paradigma dalam hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil membuat manusia bahagia. Dengan demikian hakim di pengadilan tindak pidana korupsi wajib mengutamakan keadilan walaupun harus bertentangan dengan hukum tertulis.
Dalam menghasilkan produk hukum progresif yang selalu bersifat responsif dan dan ideologi pro rakyat terkadang harus memisahkan untuk sementara waktu dari hukum itu sendiri dengan keadaan sosial yang ada. Hal ini akan senada dengan substansi dari “Conference On Critical Legal Study” (CCLS), berikut ini akan penulis uraikan lebih rinci dari ciri-ciri khas adalah sebagai berikut:
1.      The separation of law from other varieties of social control
2.      The existence of law in the form of rules that both define the proper sphere of their on application
3.      That are presented as the objective and legitimate normative mechanism while other normative types are partial as subjective
4.      Yield determinant and predictable results in their application in judicial process [11].
2.      Peranan Hakim Pada Proses Penemuan dan Penciptaan Hukum Demi Mencapai Keadilan Dalam Perspektif Hukum Progresif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Seorang hakim haruslah menjaga kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku serta dalam hal ini dilakukan suatu pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY) yang diatur dalam undang-undang. Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang. Hakim menjalankan tugas dan peranannya sesuai dengan undang-undang. Tugas dan peranan hakim yaitu memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang masuk padanya. Bila hakim menghadapi hal tersebut  dapat diatasi dengan dua cara. Jika peraturan tidak jelas, hakim melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap bunyi undang-undang dengan berbagai metode interpretasi atau penafsiran, seperti penafsiran otentik, sistematis, historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturan tidak lengkap, hakim akan melakukan penalaran (reasoning), juga dengan berbagai metode penalaran atau argumentasi tertentu seperti argumentum peranalogiam (analogi) dan penyempitan hukum [12].
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu (Rechtsvinding), dan/atau menciptakan (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap, atau hukum samar-samar. Hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif (yang terlihat) saja. Hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan. Hakim harus dapat melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, pemikiran-pemikiran apa yang ada disana, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu [13].
Hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakuan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua hakim dalam lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tinkat kasasi atau hakim Agung. Penemuan dan penciptaan hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip atau asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang harus dipegang hakim dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka harus dilihat dalam prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung [14]. Dalam penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara terpaksa atau silogisme [15].
Mark up adalah bentuk perubahan dari anggaran tanpa melihat rasionalitas pendanaan yang menjadi argumentasi bagi anggaran yang dilakukan berdasarkan perkiraan peningkatan pendapatan [16]. Modus korupsi ini kebanyakan dilakukan oleh kepala daerah dalam mengambil setiap kebijakan dalam menentukan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna belanja daerah. Para pelaku korupsi ini sulit dijerat dengan sanksi yang tegas dikarenakan hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tidak memahami penetapan sanksi yang harus dijatuhkan. Hakim ini dapat menggunakan sinkronisasi antara konsep hukum progresif dengan menganalisis bentuk kerugiaan imateriil terhadap keuangan negara dari pasal 2 dan 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika dapat menafsirkan secara substansial terhadap kerugiaan tersebut, maka hakim akan dapat menemukan dan menciptakan penetapan sanksi yang tegas bagi para pelaku korupsi tersebut. Dengan demikian proses penciptaan hukum oleh hakim akan dapat memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat.

B.     Korelasi Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagai Sarana Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Demi Proses Penemuan Hukum Sebagai Upaya Penetapan Sanksi Hukum Kepada Pelaku Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia

1.      Pemaknaan dan Penafsiran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagai Harmonisasi Sifat Responsif Hukum Progresif Dalam Menciptakan Keadilan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sistem pengharmonisasian antara hukum progresif dan undang-undang akan terlihat ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan terjadi polemik yaitu dalam penangkapan terhadap hukuk itu sangat statis dan tidak pernah memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan hukum (legal justice) tapi akan gagal untuk menangkap keadilan masyarakat (social justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara cenderung berpedoman pada formalis prosedural daripada rasa keadilan sosiologis. Fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi warasih “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh warga masyarakat itu sendiri’ [17]. Sangat urgen sekali ketika hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) sebagai aparat penegak hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan substansi hukum progresif yang berorientasi pada keadilan sosiologis mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak pihak khususnya perekonomian masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah itu yaitu Perubahan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesia [18].
Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas dari hukum. Walaupun demikian sering kali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara merata. Menurut Max Weber yang membedakan antara substantive rationality dari formal rasionality. Pada sistem hukum barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal  rasionality artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan semacam itu sering kali bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rasionality yaitu kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual [19]. Dari ajaran Max Weber di atas Penulis berpendapat satu tugas hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum jika dikaitkan dengan konfigurasi hukum progresif yang ideologi pro rakyat berarti jelas hukum akan mengatur akan kehidupan masyarakat demi mencapai keadilan. Hal itu semua dapat tercapai jika formal rasionality yang berupa aturan tertulis akan diberi makna oleh hakim ad hoc di pengadilan tindak korupsi dalam setiap vonis yang dijatuhkan. Hukum progresif sangat diperlukan untuk  mengharmonisasi agar lebih memberikan dorongan para aparat penegak hukum khususnya hakim dapat menyelesaikan dengan menggunakan analogi dan sifat diskresi yang dimiliki. Dengan demikian semua perkara korupsi dan kerugian negara yang telah terjadi dapat menemukan titik keadilan demi kesejahteraan masyarakat luas. Salah satu pokok pikiran dari hukum progresif adalah mengenai jurisprudence terhadap pemaknaan dari undang-undang atau pun aturan yang ada. Dipandang penting dalam membaca hukum sesudah diajukan gagasan pembebasan agar keberanian melakukan pembebasan tersebut diterapkan pada saat hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) aturan tertulis dalam menjerat para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Membaca undang-undang tidak bisa diartikan cuma pasal-pasal dalam undang-undang. Independensi dan kebebasan hakim juga terletak pada kebebasannya untuk memberi makna kepada aturan hukum tertulis.
Dari konsep hukum progresif tersebut maka akan dapat memberikan harmonisasi dari undang-undang tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus korupsi. Para hakim dan jaksa perlu mendapat pembelajaran kembali agar berani membaca teks dengan bebas dan progresif, yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial yang dapat menempatkan keadilan formalitas prosedural dan keadilan sosiologis empiris. Fenomena yang ada tidak sedikit teks undang-undang yang malah bisa merusak masyarakat manakala tidak dibaca dan dimaknai secara progresif dan baik. Para hakim dan jaksa dalam melakukan pembebasan asal bisa memberikan argumentasi dan berkeadilan harus tetap optimis dan tidak boleh ragu-ragu. Jika itu dapat dilakukan maka hukum progresif dapat di tempatkan pada fungsi hukum yaitu untuk melayani, menjamin, dan menjaga penegakan hukum di Indonesia. Jika bertolak dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger the economy the more powerful its smallest players to create the new rule for the expanding global economic order[20].

2.      Penjatuhan Vonis Hakim Sebagai Upaya Penetapan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Di dalam rumusan ketentuan Pasal 38 B ayat (6) terdapat kata dan kalimat sebagai beikut “….dibebaskan….lepas dari segala tuntutan hukum….”. Maka kata “dibebaskan” tersebut adalah sama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Adapun yang dimaksud dengan kalimat “lepas dari segala tuntutan hukum” tersebut adalah sama sebagaimana yang dimaksud did lam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 38 ayat (6) menjelaskan bahwa : “Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (6) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hakum dari perkara pokok berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”. Berhubung terdakwa telah diputuskan oleh hakim bebas dan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari pokok perkara tindak pidana korupsi, maka harta benda milik terdakwa yang semula diduga berasal dari tindak pidana korupsi tidak dapat dianggap sebagai diperoleh dari tindak pidana korupsi, sehingga penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum dapat mengajukan tuntutan rampasan untuk negara terhadap harta benda milik terdakwa tersebut [21]. Dengan demikian dasar hukum bagi hakim yang digunakan ketika memberikan vonis terhadap para pelaku tindak pidan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) tergantung dari unsur kesalahan dari pelaku. Kesalahan tersebut akan dikomparasikan dengan delik-delik hukum yang ada hubungannya dengan perbuatan pelaku dan makna hukum progesif, sehingga putusannya akan dapat memberikan rasa keadilan.
Terlalu fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-hati dapat terjebak pada persoalan kelasalahan administrasi atau kesalahan prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi adalah bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum, jika pertimbangannya semata-semata merupakan kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi sesungguhnya adalah tempat atau letak sifat melawan hukumnya perbuatan dari sudut formal. Namun jika dari jika terjadi dari kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis sebagai potensial menimbulkan kerugian negara, sehingga melawan hukum memperkaya sudah terbukti dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Hal ini disebabkan Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan secara mutlak harus nyata telah timbul bentuk kerugian [22]. Dalam pemberian vonis yang diberikan oleh hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) banyak dipengaruhi oleh legal opinion yang dikonstruksi sebelum vonis dijatuhkan. Penafsiran terhadap pemaknaan undang-undang sebagai dasar hukum yang digunakan juga akan berpengaruh terhadap vonis yang dijatuhkan. Pemaknaan baik secara formal maupun materiil juga harus digunakan oleh hakim sebelum vonis dijatuhkan. Dalam penjatuhan vonis tidaj hanya kepastian hukum saja yang diperhatikan, akan tetapi juga tentang keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum di sini bermakna dengan adanya vonis hakim akan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan akan memberikan efek jera. Kemanfaatan dan keadilan harus dipergunakan dasar pertimbangan hakim sebagai upaya menyelamatkan keuangan daerah dengan setelah adanya putusan tersebut seluruh harta yang didapat hasil perampasan dari para pelaku tindak pidana korupsi akan dikembalikan kepada negara.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Bahwa hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan pihak yang memiliki otoritas tertinggi dalan setiap pengambilan keputusan berupa vonis hukum. Sifat diskresi yang dimilikinya dengan berdasarkan substansi hukum progresif akan dapat menembus aturan hukum tertulis demi menemukan dan menciptakan hukum sendiri dalam tiap penetapan sanksi hukum untuk mencapai keadilan mengingat korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat korupsi tersebut telah merugikan keuangan negara baik di tingkat pusat dan daerah.
2.       Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam menemukan dan menciptkan hukum dalam menjatuhkan vonis kepada pelaku mark up korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemaknaan dan penafsiran hukum dari pasal tersebut merupakan sarana utama yang harus digunakan oleh hakim untuk memahami dan mengkaji dari setiap kasus yang ditangai dengan tidak hanya berdasarkan aturan tertulis, akan tetapi harus dapat memprioritaskan secara materiil bahwa korupsi telah telah merugikan perekonomian masyarakat, sehingga vonis yang dijatuhkan walaupun bertentangan dengan aturan tertulis dengan mengatasnamakan keadilan dapat dijatuhkan 
 
B.     Rekomendasi
1.      Sebaiknya Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat digunakan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) untuk dapat menembus aturan hukum tertulis dalam menjatuhkan vonis terhadap para pelaku mark up korupsi.
2.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dapat memberikan penafsiran hukum terhadap aturan tertulis terhadap pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi mengingat substansi aturan tersebut terdapat nilai-nilai keadilan masyarakat yang harus diperjuangkan oleh hakim.
3.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) harus dapat memberikan vonis mati terhadap pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan mensinkronkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 terhadap klausula hukuman mati kepada koruptor dengan konsep keadilan dari hukum progresif.
4.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) sebelum memberikan putusan terhadap para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus mencantumkan legal reasoning terkait pemggunaan hukum progresif dalam penjatuhan vonis yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktiaan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Alumni     
               Bandung
Alan Hant. 1993. Exploration In Law And Society. New York: Routeledge
Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).    
             Jakarta: Sinar Grafika
Ilhami Bisri.2004.Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika Mardi Juana
Purnadi Purbacaraka dkk.1987. Renungan Tentang Filsafat Hukum.Jakarta: CV Rajawali
Qodri Azizy. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Sotandyo Wignjosoebroto. 2008. Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
              Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media Publishing.    
Sudikno Mertokusumo dkk. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Jakarta : PT. Citra     
              Aditya Bakti.
………………………... 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cetakan II. Yogyakarta :
              Penerbit Liberty.
Sony Yuwono dkk. 2007. Memahami APBD dan Permasalahannya “Panduan Pengelolaan
                Daerah”. Malang: Bayumedia Publishing
Sugijanto Darmadi. 1998. Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Jakarta : : Penerbit CV
                 Mandar Maju.
Setiardja A.Gunawan.1900. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat            
                Hukum  di Indonesia. Jakarta: Kanisius

Sumber Jurnal Hukum Nasional
H.S. Mukhsin Asyrof. 2006. “Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta : Ikahi
Mujahidin. 2007. Hukum Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 April 2007. Varia Peradilan: Ikahi
Lintong O.Siahaan. 2008. “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta : Ikahi

Sumber Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Sumber Media Massa
Kompas, 11 Maret 2008 hal.10
Media Indonesia, 27 Oktober 2010  hal.16
Kompas, 10 Desember 2010, hal.2


[1]  Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006), hal. 10
[2]  Lihat Kompas, 10 Desember 2010: hal.2
[3]  Lihat Kompas, 11 Maret 2008: hal.10
[4]  Lihat Media Indonesia, 27 Oktober 2010: hal.16
[5]  Sudikno Mertokusumo dkk, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Jakarta, 1993), hal.10
[6] Mujahidin, “Hukum Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia”, Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 (April 2007), hal.59
[7] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta, 2001), hal. 48

[8] Setiardja A.Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Hukum  di Indonesia. (Jakarta, 1990), hal. 68
[9]  Sotandyo Wignjosoebroto, Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum” (Malang, 2008), hal.141
[10]  Purnadi Purbacaraka dkk, Renungan Tentang Filsafat Hukum (Jakarta, 1987), hal. 34
[11] Alan Hant, Exploration In Law And Society (New York, 1993), hal.142

[12] Sudikno Mertokusumo, Op,cit, hal. 159
[13] Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat (Jakarta, 1998), hal. 3

[14] H.S. Mukhsin Asyrof, “Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 (November 2006), hal.73
[15] Lintong O.Siahaan, “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 (November 2006), hal. 63
[16] Sony Yuwono dkk, Memahami APBD dan Permasalahannya “Panduan Pengelolaan Daerah”. (Malang, 2007), hal. 488

[17] Qodri Azizy, Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Yogyakarta, 2006), hal.60
[18]  Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 2004), hal. 126-127
[19] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum  (Jakarta, 2006), hal. 18-19
[20]  Sotandyo Wignjosoebroto, Op. cit, hal. 247
[21] Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Jakarta, 2008), hal. 154-157
[22]  Adami Chazawi, Hukum Pembuktiaan Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2008), hal. 310
Read more ...
Designed By Mas Say