Breaking News

12 July 2012

KONSEP NEGARA YANG BUKAN-BUKAN DALAM SEBUAH TRANSFORMASI NEGARA JADIAN-JADIAN (By: Zuhri Sayfudin, S.H “Mas Say”)

 
Presidensial ataukah parlementer?
Bertolak dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa presiden ”memegang kekuasaan pemerintahan”. Konsepsi ini juga masih tabu belum mengindikasikan kejelasan tentang pemegan kekuasaan yang seperti apa. Dengan demikian penafsirannya pun dapat dikatakan presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Negara Chile merupakan negara yang dapat bertahan selama 20 tahun lebih dalam sistem presidensial dengan metode multipartai. Sebaliknya Negara Inggris dengan sistem parlementer dengan metode non mult partai dapat bertahan sebagai negara yang konsisten terhadap sistem pemerintahannya. Hal ini berbeda dengan negara Indonesia sejak tahun kemerdekaan tahun 1945 selalu berganti-ganti sistem pemerintahannya. Hal tersebut juga diikuti dengan perkembangan dinamika hegemoni partai politik yang terlibat dalam menjalankan pemerintahan.
Jika dikatakan sebagai negara dengan sistem presidensial tunggu dulu!!! Fakta kongkrit dalam perjalanan sejarah pasca bergulirnya reformasi tahun 1999 terdapat peperangan partai dalam pemerintahan antara koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan. Waktu itu partai PDI-P memperoleh suara mayoritas dan masih kalah votting dengan Gus Dur . Akhirnya presiden terpilih Gus Dur terjungkal dalam sidang istimewa MPR dan digantikan oleh Megawati.  Sebagai bukti lain adalah penguatan kedudukan presiden masih terdapat intervensi dapat dijatuhkan oleh koalisi partai politik dalam parlemen. Dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat lima parameter ketika presiden dapat diperhentikan yaitu pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat dan perbuatan tercela. Selanjutnya dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat proses penjatuhan presiden melalui keputusan MPR. Berawal dari usulan ke MK minimal 2/3 anggota DPR yang mengusulkan dan yang hadir bahwa preside nada indikasi terhadap pelanggaran diatas. Jika MK dalam waktu maksimal 90 hari terbukti ada kesalahan maka harus lewat rapat paripurna di DPR dan kemudian dilanjutkan ke MPR. Dengan komposisi di MPR ¾ yang mengusulkan dan 2/3 yang hadir dalam rapat. Dalam realita demikian apakah mungkin presiden akan benar dapat diperhentikan???ingat koalisi partai politik sejumlah 423 anggota sedangkan yang oposisi hanya 137 anggota. Politik transaksioanl dan konstelasi politik pasti akan menjadi permainan utama untuk saling menjatuhkan. Fakta lain adalah kinerja pemerintah selalu ada deal-dealan politik yang diramu dalam Sekretariat Bersama (Setgab). Ical dari Partai Golkar sebagai pemegang ketua hariannya dan partai lain PAN,PPP,PKB,PKS dan Partai Demokrat sebagai katalisator dalam setiap pengambilan kebijakannya. Partai Demokrat yang punya otoritas dalam suara penuh pun juga tidak akan berdaya jika harus menentukan kebijakan pemerintah tanpa lewat Sekretariat Bersama (Setgab). Remot kontrol dalam kebijakan baik secara administrasi dan politis ada dalam Sekretariat Bersama (Setgab). Lalu apa gunanya presiden sebagai figur negara jika hanya dalam kontrol jika dikatan lembaga juga bukan saya lebih tepat menyebutnya sebagai “Remote Parlemen”. Hal ini akan menimbulkan konsep legislative heavy dan government minority. Keduanya dalam praktek ketatanegaraan hanya akan menimbulkan tirani palemen dengan setiap kebijakan ada ditangan kebijakan masing partai politik dan sebagai legalitasnya akan dibawa dalam rapat paripurna DPR. Fungsi DPR sebagai tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak akan berjalan secara maksimal.
Jika negara Indonesia dikatakan dalam sistem parlementer juga tunggu dulu!!! Dalam praktek posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus terjadi keseimbangan antara kontrol antara legislatif dan eksekutif. Sejak tahun 1999 dengan aturan Undang-Undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum banyak partai politik dalam mewarnai sistem pemerintahan di Indoensia. Dalam sejarah ketatanegraan kita tahun 1999 telah dibuka kran demokrasi dan terdapat 48 partai politik yang ikut dalam pemilu. Dalam perjalanan demokratisasi dengan adanya Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum dan terakhir Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum merupakan landasan yuridis dalam keikutsertaan partai politik dalam pemilahan umum. Hal itu tergantung dari ambang batas perolehan kursi baik dari suara nasional maupun di DPR agar dapat ikut lagi dalam pemilu berikutnya. Dengan konsepsi terdapat multi partai, adanya “Remote Parlemen”, dan baik koallisi kebangsaan dan kerakyatan pasca pemilu tahun 1999 atau pun adanya koalisi dan oposisi partai politik telah menunjukan sistem parlementar ada adan sedang berjalan di negara kita. Lalu dalam prakteknya kekuatan dan kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan masih memiliki otoritas dalam setiap pengambilan kebijakannya. Pengangkatan wakil menteri (telah dibatalkan MK karena tidak melalui aturan ketatanegaraan) atas dasar Undang-Undang No.39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara dan pemberian grasi Corby (Keppres No.22 Tahun 2012) atas dasar Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan fakta hukum yang paling fenomenal dalam pengambilan kebijkan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dimilkinya. Jauh sebelum itu juga terdapat Keppres No.13 Tahun 2006 tentang penanganan lumpur Lapindo. Selain itu banyaknya Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) maupun Keputusan Presiden (Keppres) juga merupakan bukti masih tingginya posisi presiden dalam pengambilan keputusan yang bersifat publik tanpa melibatkan partai politik. Keppres No.37 tahun 2007 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Keppres No.31 tahun 2007 tentang Masa Jabatan Hendarman Supanji merupakan legalitas formal dari kebijakan seorang presiden. Tahun 2010 juga terdapat Perpres No. 109 tahun 2010 tentang Plt terhadap Darmono. Perpres No.9 Tahun 2012 tentang perintah SBY kepada para mentri terkait dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dari luar negeri. Keppres maupun Perpres ini dalam katagori otoritas sebagai hak prerogatif yang bersifat internal individual dan bukan hak prerogratif yang bersifat ekternal dan publik. Menurut saya bukan hanya telaah individu dan publik saja akan tetapi lebih mengedepankan bahwa posisi presiden masih memiliki dominasi dalam menjalankan pemerintahan. Walaupun terdapat fragmentasi dalan DPR pihak legislatif terdapat sekat yang secara politis tidak dapat menjatuhkan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengindikasikan bahwa presiden memiliki otoritas kuat sebagai pimpinana tertinggi atas AD,AU dan AL.
Dengan konsep apa pun apakah presediensial atau kah parlementer? atau kah semi dari keduanya bukan menjadi persoalan yang terpenting adalah keseimbangan ketatanegaraan tidak boleh runtuh oleh egoisme golongan tertentu. Kepentingan bangsa harus dikedepankan.

Demokrasi ataukah otoritarianisme?
            Buat mengawali kajian ini saya mencoba mengutip dalam sebuah buku karangan Ni’matul Huda dkk yang berjudul “Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan”” (2007:11) Konstitusionalisme menurut William G. Andrew menggambarkan 2 (dua) prinsip yang bebeda tetapi akan saling berkaitan yaitu sebagai berikut: Pertama, Hubungan antara kewenangan dan warga negara. Kedua, Hubungan antara pemerintah dan warga negara. Jelas dalam dogma ini terdapat variable dalam proses demokratisasi atau kah otoritarianisme itu sendiri. Kebijakan pemerintah akan menentukan corak dan warna terkait legal policy yang bersifat publik dan akan mengikat pada seluruh warga negara. Konsepsi Indonesia merupakan negara hukum sebagai bingkai dalam ketatanegaraan terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cerminan dari negara demokrasi terdapat dalam ayat (2). Implikasi sebagai negara hukum harus dan wajib untuk menerapkan semangat demokrasi dalam menjalankan pemerinrahannya. Sebenarnya kapan Indoensia berada dalam pola ketatanegaraan otoritarianisme?dan kapan terletak pada pola demokratisasi?. Jelas dalam quid facti jika otoritarianisme sejak zaman Presiden Soekarno sampai Preseiden Megawati dan sejak kran demokrasi terbuka sejak presiden SBY. Benarkah demikian adanya?Dalam fakta konsep tersebut masih tabu dan masih banyak tirani yang mengklamufasekan demokrasi dalam setiap kebijakan pemerintah.
            Walaupun dalam perjalanan historis Indonesia telah memasuki babak demokrasi. akan tetapi masih terdapat kebijakan yang sentralistik tanpa melihat fakta yang terjadi di dalam masyarakat. Sebut saja sejak adanya konsep “remote parlemen” presiden sebagai pemangku kebijakan yang bersifat publik masih masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan saja. Kebijakan diambil melalui kompromi politik tanpa melihat penderitaan rakyat. Fakta jelas ketika terdapat kebijakan dalam kenaikan BBM dengan memainkan konsepsi hukum dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang APBN untuk kebijakan tahun 2012 tidak terdapat kenaikan BBM. Akan tetapi dalam Pasal 7 ayat (6) dipolitisasi dengan penambahan klausula adanya harga 15% dari harga minya dunia. Drama politik tersebut hanya dijadikan alat kebijakan pemerintah saja. Selain itu kebijakan aparat penegak humum masih bertindak sewenang-wenang dalam penegakan hukum. Peristiwa Bima dan Mesuji merupakan fakta peran militer sebagai pendukung kebijakan pemerintah masih bersikap otoriter tanpa melihat kepentingan rakyat kecil. Penggususan PKL yang tidak ada ganti rugi dan adanya diskriminasi terhadap rakyat kecil juga diperankan oleh tangan-tangan pemerintah. Keadilan buat rakyat kecil masih jauh dan kepentingan pribadi atau golongan masih menjadi tirani mayoritas. Urusan rakyat, bangsa dan negara masih dikesampingkan.
            Sejak rezim orde lama dan baru dengan tranformasi ke arah reformasi menjadi kran demokrasi terbuka lebar. Rakyat bebas bersuara dan menyatakan pendapat tanpa adanya pembredelan seperti zaman dahulu. Pada pemilu tahun 1999 pemilu diikuti oleh 48 partai politik dengan corak dan ideologi yang berbeda-beda. Pers terbuka lebar dalam membuat berita untuk publik. Jaminan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 makin memberikan angin demokrasi bagi rakyat. Para stake holder pemerintahan pun bebas berkreasi dengan pola dan gaya kebijakan dalam menjalankan pemerintahannya. Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga memberikan landasan bagi kebebasan warga masyarakat untuk mendapatkan akses yang menjadi haknya. Sidang di parlemen dapat dijadikan sebagai film drama komedi sebagai tontotan secara langsung oleh rakyat. Pergerakan mahasiswa tidak ada lagi terkekang oleh pemerintah dan militer. Keadilan baik sebagai equty, fairness dan justice dapat oleh para pencari keadilan. MK dan KPK sebagai lembaga super body tampil ke publik sebagai pahlawan dalam menyelesaikan setiap kasus yang ditanganinya dan telah memberikan trust kepada rakyat. Hal yang fenomenal adalah sesuai perkembangan globalisasi dan demokratisasi MK menjadi lembaga positif legilslator dan terkadang melampaui batas dengan ultra petita yang dimilikinya. Putusan No.46 tahun 2012 dengan mengabulkannya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah berakibat hukum anak diluar nikah menimbulkan terbukanya rasa keadilan yang didambakan oleh rakyat. Perlu diingat bahwa ibarat kran yang dibuka airnya jangan sampai memberikan dampak negatif terhadap kaum minoritas. MK sebagai pembuka kran harus tetap berhati-hati agar keadilan tetap berjalan seimbang.
            Terlepas apakah demokrasi atau otoritarianisme? atau punya pola tersendiri dengan primordial dan kemajemukan bangsa Indonesia yang terpenting adalah negara dapat melindungi dan mengayomi rakyat kecil. Ketika rakyat menjerit kesakitan negara harus tampil menjadi obatnya.

Kesatuan ataukah federal?
Bertolak dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia merupakan negara kesatuan. Korelasinya harus disejajarkan dengan konsep negara demokrasi. Peralihan wacana tersebutlah yang mengilhami isu adanya konsep federal. Otonomi daerah yang termaktub dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan awal tentang konsepsi adanya pergeseran apakah negara kesatuan ataukah federal. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang otonomi daerah telah menimbulkan polemik dan fragmentasi otoritas tentang kebijakan baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jabatan politis atau kah administrasi juga menjadikan tarik ulur dan berimplikasi terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah daerah. Adanya otonomi dan keistimewaan terhadap Yogyakarta, Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Aceh dan Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Papua merupakan kebijakan penuh kepentingan walaupun sebagai moment opname keluarnya kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah dalam mencegah dis integrasi bangsa.
            Jika konsep yang dianut di Indonesia merupakan negara kesatuan harus perlu dikaji dan dicermati ulang. Jabatan administrasi yang berubah menjadi jabatan politis telah merubah paradigma berpikir bagi pemerintah daerah menjadi bagian tersendiri dari pemerintah pusat dan tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Semi negara kecil dan federal pun menjelma dari masing-masing daerah.  Pasal 4 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah menjadikan dasar tentang adanya pemekaran wilayah dan pembentukan daerah baru. Azas otonomi daerah berupa desentralisasi dengan pembebanan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadikan daerah mampu dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) guna menyejahterakan rakyatnya sendiri. Inkonsistensi antara Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah.menjadikan lahirnya wakil kepala daerah akan memberikan kewenangan bagi setiap daerah dalam menjalankan pemerintah daerah. Konsep Program Legislasi Peratutan Daerah (Prolegda) belum adanya mekanisme yang jelas baik pembentukan dan pengawasannya. Peraturan Daerah (Perda) hanya akan dijadikan politik transaksional dengan perkawinan antara pengusaha dan penguasa daerah. Pengadaan proyek dan tender pengadaan barang dan/atau jasa akan dijadikan sumber pendapatan dan penghidupan bagi para kepala daerah. Peraturan Daerah (Perda) hanya akan dijadikan sebagai alat legalitas formal dalam setiap kebijkan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dalam Pasal 183 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diterangkan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD), kedaaan yang  menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja serta keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan. Hal serupa juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah pada Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85 mengenai perubahan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dengan perkembangan dan/ atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraann perubahan atas Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggarannya yang bersangkutan, apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antas unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk tahun berjalan, keadaan darurat dan keadaan luar biasa.
            Jika dikatakan telah bergeser ke dalam sistem federal dengan otoritas dari pemenrintah daerah dalam menjalankan pemerintahannya juga harus mendapat kajian lebih dalam lagi. Dalam Pasal 27 ayaut (3) yang berbunyi “Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun”. Hal ini merupakan aturan yang positif dan masih ada perekat antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pertanggung jawaban kepala daerah yang disampaikan kepada presiden merupakan wujud pelaksanaan pola administrasi dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah masih berjalan. Jembatan panjang yang terhampar antara jarak pemerintah pusat dan daerah juga telah diperpendek dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai bentuk representatif dari rakyat yang ada di daerah. Azas dekonsentrasi dengan keterlibatan dari pemerintah daerah juga masih dibiayai dengan Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) dari pemerintah pusat.

            Baik dalam konsep apapun negara ini yang terpenting tidak terfragmentasi oleh kepentingan politis dan adminsitrasi. Para stake holder baik di pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam menyejahterakan rakyatnya.

Civil law ataukah common law?
Sistem hukum civil law telah mengalami dinamisasi dan proses perjalanan yang sanagt panjang mengingat jiwa revolusioner yang telah mengiringi perjalanannya. Bersamaan dengan itu pula sifat yang administratif prosedural juga menjadi titik sentral dalam sistem civil law ini. Perlu dingat juga bahwa sistem common law memiliki makna yang berbanding terbalik yaitu jiwanya yang evolusioner dan lebih mengedepankan makna justice sebagai kunci law enforcement nya. Perdebatan antara tujuan hukum yang akan dicapai apakah kepastian hukum atau kah keadilan selalu menjadi titik point dalam penerapannya. Lalu kemannfaatan ada dimana?apakah pada civil law atau kah pada common law?. Berbagai perspektif banyak menempatkan letak kemanfaatan itu sendiri dan bahkan bisa berdiri sendir.
Sistem civil law lebih mengedepankan aturan tertulis sebagai hukum dasar dan tidak boleh diganggu gugat. Kepastian hukum menjadi ciri khasnya. Menurut pakar civil law Frederich Julius Stahl bahwa pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia berdasarkan dan trias politika merupakan implikasi terhadap penegakan hukumnya. Lalu dalam penerapannya di Indonesia seperti apa?. Masih jauh dari quid juris cita ilmu hukumnya. Indonesia tidak menganut konsep trias politika, akan tetapi dengan konsep tersendiri berupa distribution of power. Hal ini menjadi tolak ukur terhadap adanya saling kontrol dan bahkan saling adu citra dan adu gengsi antara lembaga negara. Pelanggaran hak asasi manusia di Bima dan Mesuji merupakan fakta hukum bahwa negara belum dapat menjunjung martabat warga negaranya. Aturan tertulis hanya dijadikan alat penguasa dalam transaksional hukum di parlemen. Selain itu terobosan hukum masih bersifat retro aktif dan salah dalam menggunakan logika dan penafsiran hukum. Nilai-nilai hukum baik prosedural dan substansial dicampur adukan dalam elaborasi hukum yang otonom dan tidak memihak pada upaya menciptakan kepastian hukum. Aksiomatik hukum dibuat permainan dan hanya digunakan oleh para penegak hukum dalam memberikan penafsiran terhadap aturan undang-undang.  Azas legalitas hanya dijadikan alat dalam mencipatakan hukum baru. Proses pengembanan hukum (recht boevening), pembentukan hukum (recht vorming), penemuan hukum (recht vinding) dan sampai pada penciptaan hukum (recht cepping). Hukum yang bersifat emansipatoris dan kritis hanya dijadikan perlengkapan hukum agar seolah-olah dapat mencapai kepastian hukum. Nilai dan etika masih di overlapping kan dalam penegakan hukumnya. Nilai sosial diagungkan demi meraih nilai kepastian hukum padahal jauh dari kenyataan dan realitas sosial.
Jika Indonesia pada posisi common law dalam konteks hukum jelas tidak mungkin. Akan tetapi fakta hukum berbeda dalam praktek dan aturannya. Menurut A.V Dicey konsep hukum ini jika adanya persamaan dihadapan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat jaminan persamaan di depan hukum oleh setiap warga negara. Jelas adopsi sistem hukum common law telah berada dalam konstitusi negara dan telah melembaga menjadi sebuah recht verfussing hukum sebagai landasan dalam penegakan hukum di Indonesia. Hakim yang menjadi creator hukum dalam common law dalam beberapa kasus di pengadilan juga telah teradaopsi baik melalui interpretasi, konstruksi dan sistemisasi hukum. Bahkan jurisprudence juga  menjadi parameter dalam sistem common law juga diterapkan di Indonesia. Perpres No.9 Tahun 2012 sebagai pengisi kekosongan hukum atas fatwa Mahkamah Agung (MA) dalam pengusutan asset hasil tindak pidana korupsi juga menjadi tolak ukur penerapan sistem hukum ini di Indonesia.
Terletak dalam posisi dimanapun apakh civil law atau kah common law atau kah campuran yang terpenting adalah hukum sebagai panglima di negeri ini harus memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadila, khsususnya rakyat kecil.

Separation of power ataukah distribution of power?
            Konsep ketatanegaraan ini muncul dan berkembang berawal dari polemik yang terjadi dimasing-masing negara. Proses adopsi dan transformasi juga akan berimplikasi terhadap sistem bernegara yang akan diambil oleh masing-masing negara. Teori individualistik yang dipelopori oleh J.J. Rousseau, Montesqieu dan John Locke merupakan titik awal dari lahirnya negara dengan individu sebagai rakyatnya mengikatkan diri terhadap setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Teori Class yang dipelopori oleh Karl Marx, Engel dan Lenin berusaha mengupayakan terhadap dominasi dari negara terhadap rakyatnya yang bersifat diktator. Teori integralistik yang dipelopori oleh Spinosa, A.Muller dan Hegel merupakan wacana dengan menempatkan kepentingan negara diatas segala.segalanya. Dari perdebatan an historis ini lah saya akan mencoba menelaah sebenarnya posisi ketatanegaraan Indonesia itu lebih tendensi kepada siapa?atau kah ada kepentingan atau justru mempunyai ciri khas sendiri?
            Jika Indonesia menganut distribution of power tunggu dulu!!!Sejarah konstitusi di Indonesia telah mengalami transformasi baik secara kultural maupun struktural. Dalam tataran kultural terjadi pada fase pergantian rezim pemerintahan baik dari zaman orde lama sampai zaman reformasi saat ini. Rezim orde lama sistem ketatanegaraanya belum teratur karena lebih cenderung mengalami masa transisi. Kinerja lembaga lembaga yudikatif, legislative dan eksekutif belum terbagi dengan jelas. Kinerjanya pun masih tumpang tindih. Teori individualistik kiranya dapat digunakan dalam menelaahnya?mengapa demikian?jelas pada waktu itu rakyat masih awam dan belum paham terhadap masalah ketatanegraan Rakyat yang penting dapat hidup damai dan lepas dari intervensi para penjajah. Pemerintah pun juga tidak memberikan pendidikan politik ketatanegaraan terhadap rakyatnya agar dapat mengontrol pemerintahan. Disis lain ke-3 lembaga yang ada belum dapat maksimal menjalankan kinerjanya masing. Bahkan eksekutif dari seorang presiden dapat membubarkan parlemen. Parlemen pun juga dapat menjatuhkan kursi presiden. Lembaga yudikatif pun lembaga yang seharusnya menjadi penengah dalam mengakan keadilan juga tidak mampu menyelesaikan kemelut ketatanegaraan yang ada. Pergantian rezim orde lama ke orde baru sedikit ada perubahan dan perbaikan sistem ketatanegaraan. Ke-3 lembaga sudah ada kejelasan terkait tugas dan wewenangnya masing-masing. Dalam teori class saya kira tepat untuk menelaah sistem ketatanegraan pada fase rezim ini. Sifat pemerintah sebagai lembaga eksekutif mempuyai peranan yang sangat penting dalam setiap kebijakan yang diambilnya. Otoriter dalam pengambilan kebijakan menjadikan sistem ketatanegaraan walau pun sudah ada kejelasan terkait kewenangan masing, justru kebijakan tersebut menjadikan makin kabur dan samar. Parlemen dijadikan sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaan. Fungsi parlemen menjadi mandul dan tidak berfungsi sebagai alat representatif suara rakyat. Tepat lah jika seorang filosof Louis Althusser dengan 2 paham yang digunakan akan saya coba dalam menelaah ini lebih lanjut. Pertama, Ideologi states apparatus dengan pemaknaan bahwa ideologi negara dijadikan sebagai alat kekuasaan. Pancasila dijadikan dalam kajian rutin bagi seluruh pegawai negeri sipil dan dalam kondisi ini semua diarahkan untuk memilih partai yang digunakan sebagai alat kekuasaannya. Kedua,  represive states apparatus dengan pemaknaan bahwa alat-alat pertahanan keamanan negara juga dijadikan sebuah tameng dalam melindungi kekuasaannya. Tidak cuma itu saja mereka juga mempunyai jatah kursi di parlemen. Suara mereka akan berkoalisi dengan suara partai sebagai kendaraan bersama. Hal ini ditandai dengan perubahan terhadap konstitusi negara sebagai acuan dalam proses penyelenggaraan negara. Dalam tataran struktural dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 sebanyak 4 kali merupakan sejarah perjalanan panjang dalam melahirkan sebuah tata pemerintahan bernegara dalam menopang tetap beridirinya negara ini. Adanya “Remote Parlemen” telah mengindikasikan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak adanya kejelasan dalam pengawasan dan kontrol terhadap kinerja pemerintah. Dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 telah ada dualisme dalam penyelenggara yudikatif dengan aturan pelaksananya yaitu Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang MA dan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang MK. Kewanangannya pun juga terpisah. Antara keduanya tidak boleh saling ikut campur apa lagi saling menjatuhkan. Hak prerogratif presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi belum tersentuh dan masih bersifat mandiri dalam setiap pengambilan kebijakannya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 12, 13 ayat (1), 14, 15, 16 dan 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 juga telah memberikan otoritas tertinggi bagi DPR dalam membuat undang-undang dan telah menjelma sebagai tirani legislator. Legalitas dalam rapat paripurna dalam setiap pengesahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) juga tidak boleh diganggu gugat mutlak milik anggota parlemen dan partai politik.
Jika separation of power jelas tidak mungkin mengingat antara ketiga lembaga yang ada saling mengawasi dan mengontrol. Mereka tidak lepas sendiri dan bahkan tidak dapat dipisahkan antara yang lain. Fakta kongkrit terjadi polemik terkait dalam penggunaan sistem kontrol antar lembaga negara. Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga dalam pengawasan hakim. Akan tetapi makna dalam Pasal 22B adalah hakim yang mana?masih multitafsir. Ketika terjadi indikasi perilaku tidak baik dalam hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) justru ditolak karena dianggap wewenang Komisi Yudisial (KY) tidak termasuk wewenangnya. Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang MK  dan Undang-Undang No.18 Tahun 2011 tentang KY juga merupakan kolaborasi dalam sistem pengawasan antar lembaga negara. Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 telah memberikan sikap dari DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam memberikan pengawasan terhadap kinerja pada pemerintah dan presiden sebagai penguasa eksekutif tertingginya. Kinerja antara MK, DPR dan MPR juga terlihat dalam Pasal Pasal 7B. Pasal 11 ayat (1) dalam persetujuan pemerintah pada DPR dalam menyatakan perang, perdamian dan perjanjian. Pasal 13 ayat (2) dan (3) terdapat kinerja antara eksekutif dan legislatif. Pasal 23 ayat (1) dan (2) juga memberikan tugas dari BPK dalam mengaudit semua lembaga negara dan DPR sebagai bahan pertimbangannya. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) telah dihapus dan keberadaannya dalam telah tersubstitusikan dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Dengan tugas pokok memberikan supply dan masukan terkait segala kebijakan yang akan diambil oleh pihak eksekutif dalam menjalankan pemerintahannya.
Tidak menjadi persoalan apakah Indoensia menganut separation of power ataukah distribution of power atau elaborasi dari keduanya yang terpenting adalah adanya pengawasan dan kontrol antara lembaga negara bertujuan menciptakan tatanan hukum tata negara yang menjunjung tinggi cita hukum dan nilai demokrasi bangsa.

Liberalis, kapitalis atau kah sosiallis?
Bertolak dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat klausula “dikuasasi oleh negara” yang menjadi titik point dalam menentukan konsep dan sistem perekonomian yang dianut oleh Indonesia. Dalam konteks historis dan prekembangan peradaban dunia konsep liberalis yang telah dikembangkan oleh Adam Smith merupakan sebuah pijakan bagi negara yang menggunakan sistem liberalis dimana negara tidak mempunyai peranan dan otoritas yang penuh dalam mengatur perekonomiannya semua diserahkan pada mekanisme pasar. Sebaliknya J.M Keynes merupakan figur yang menentang sistem ini, karena pihak negara harus ikut bertanggung jawab dalam mengelola sistem perekonomian bangsa. Disisi lain juga berkembang paham neo-liberalisme yang berusaha akan mengakomodir nilai kurang dan lebih baik dari sistem liberalis maupun sosialis. Dalam perkembangan globalisasi juga muncul sistem kapitalisme yang berusaha akan mengakomodir kepentingan golongan yang berduit saja. Lalu negara kita ada di posisi dimana? Jika dikatakan negara kita adalah liberalis, masih terdapat intervensi yang sangat luar biasa dalam menentukan kebijakan dalam perekonomian negara. Politisasi dalam kenaikan BBM dan hal yang paling parah adalah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No.77 Tahun 2007 tentang intervensi asing dalam penanaman modal di dalam negeri.
Dengan adanya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nasionalisasi justru terhambat, peran pemerintah makin tersandra dan penuh kepentingan golongan tertentu yang menyebabkan konsep perkawinan nasioanlisasi dan swastanisasi jadi makin kacau. Asset yang menjadi milik khalayak umum justru dimanfaatkan dan dipolitisir dengan mengatasnamakan kepentingan negara hanya untuk kepentingan golongan saja. Dalam konteks ini kebijkan pemerintah hanya dijadikan alat dan dimanfaatkan saja. Dalam infiltrasi inilah liberalisme hadir dan dipertanyakan. Kapitalisme tidak dapat lepas dengan konsep liberalisme. Jika pemerintah lebih dominan dan konsep negara kita adalah sosialis. Maka tunggu dulu banyak terdapat fakta dan kasus dalam fallacy paradigma ini. Wacana liberalisasi pendidikan merupakan bentuk lepas tangan pemerintah. Tanggung jawab dan pengelolaan hanya diserahkan pada lembaga non pemerintah. Pemerintah berusaha untuk lepas tanggung jawab. Perusahaan asing yang berbasis swasta merupakan fakta kongkrit tentang lepas tangannya pemerintah dalam pengembangan ekonomi di daerah. Swastanisasi dengan penyerahan mekanisme pada pasar lokal, nasional dan dengan adopsi dari perkembangan internasional justru akan mengacaukan sistem perekonomian bangsa. Mengingat pola dan pengelolaan dari negera punya karakteristik khsusus
Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO dengan meratifikasi beberapa kesepakatan dalam GATT merupakan manivestasi dari neo-liberalisme yang harus juga dijalankan. UU No.22 tahun 2001 tentang Migas juga memberikan indikasi mekanisme pasar akan memberikan dominan penuh dalam pengambilan kebiajakan pemerintah. Lalu konsep ekonomi demokrasi pancasila dianggap konsep ekonomi yang paling ideal bagi tata perekonomian bangsa kita. Banyak perdebatan yang muncul parameter yang digunakan seperti apa?pengelolaannya bagaimana dengan keterlibatan asing dan pemerintah?siapa yang paling dominan?siapa yang paling berhak dalam otoritas tertinggi dalam pengambilan kebijakan?. Hal ini yang juga masih menjadi tolak ukur dimana letak yang paling tepat dalam sistem perekonomian di negara ini.
Menganut dalam sistem liberalis, kapitalis atau kah sosialis tidak menjadi substansi penting dalam menjalankan perekonomian bangsa yang terpenting adalah sandang, pangan dan papan bagi rakyat kecil terpenuhi dan negara mutlak bertanggung jawab dalam memenuhinya.
Read more ...
Designed By Mas Say