Breaking News

13 August 2012

DILEMA KEBIJAKAN POLITIK HUKUM PEMERINTAH SEBAGAI PEMICU DIS INTEGRASI BANGSA


TINJAUAN ANALITIS KRITIS PENGARUH REVOLUSI MELATI (PERANG TIMUR TENGAH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI KORELASI TERHADAP UPAYA INDONESIA GUNA MEREDAM KONFLIK DIS INTEGRASI BANGSA

 1. Pendahuluan

Revolusi Melati itulah nama revolusi yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali dari tampuk kekuasaannya setelah bercokol selama 23 tahun. Nama “melati” diambil dari lambang negara tersebut. Melati sebagai lambang kesucian mempunyai aroma yang wangi. Demonstran yang gugur dianggap sebagai para syuhada yang darahnya harum seharum melati. Pada tahun 1987, saat Ben Ali yang merupakan mantan perwira di dinas rahasia menjadi penguasa di Tunisia. Ben Ali mempertahankan kekuasaannya dengan legitimasi ala pseudo-demokrasi (demokrasi palsu) melalui serangkaian pemilu yang hasilnya direkayasa dengan cara-cara seperti pada era stalinisme. Anggota keluarga Ben Ali yang sebagian besar tidak berpendidikan, dalam dua dasawarsa terakhir secara ilegal atau dilegalkan, dan tanpa segan sedikitpun mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar. Mereka bahkan tidak malu memamerkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Padahal rakyat kian terjepit dengan pengangguran dan kemiskinan.
Maka, begitu tersiar kabar bahwa seorang mahasiswa, Mohamed Bouazizi, membakar diri karena dilarang berjualan sayuran oleh aparat pemerintah di Kota Sidi Bouzid pada akhir Desember lalu tersebar di dunia maya. Aksi demonstrasi dan kerusuhan langsung merebak di seantero Tunisia. Pada awal demonstrasi puluhan orang tewas dan terluka. Gelombang demonstrasi pada awalnya dianggap remeh, bahkan Ben Ali menyebutnya sebagai ekstrimis dan teroris. Ben Ali yang sudah demikian lama hidup di menara gading, tidak mampu lagi membaca keinginan rakyat yang dipimpinnya. Terakumulasi selama 23 tahun, kemuakan itu kemudian bermetamorfosis menjadi gerakan massa masif yang disebut ”Revolusi Melati”.
Rakyat turun ke jalan menumpahkan amarah dan tuntutan agar Ben Ali turun dari jabatannya. Alih-alih berdialog, Ben Ali menggunakan moncong senapan tentaranya. Foto-foto korban tewas dan luka-luka di berbagai kota, tersebar cepat melalui internet memicu gelombang kemarahan masyarakat yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh pemerintah dengan pentungan, janji-janji kosong, gas air mata atau senjata mesin sekalipun. Revolusi Melati ternyata membawa efek berantai ke Mesir. Mesir dipimpin oleh Husni Mubarak, telah berkuasa selama 30 tahun dan dianggap gagal memakmurkan rakyat. Mubarak dicurigai mempersiapkan puteranya sebagai penerus kekuasaan. Rakyat marah dan aksi demonstrasi merebak. Husni Mubarak menggunakan kekerasan untuk menumpas aksi tersebut, ratusan nyawa melayang [1].
Proses hegemoni sosial tersebut menurut Penulis terus memberikan pengaruh terhadap negara sekitarnya. Tidak hanya di Tunisia dan Mesir sebagai pusat nya akan tetapi Aljazair juga terkena dampak revolusi tersebut dengan meninggalnya dua demonstran akibat melawan pmerintah terkait harga bahan pokok. Pihak oposisi juga menentang kebijakan pemerintah dengan aksi demonstrasi dan turun ke jalan sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan yang berkuasa. Tidak hanya itu juga pemerintahan Yaman, Mauritania, Oman, Arab Saudi, Sudan, Yordania, Bahrain dan Maroko juga bergejolak dan ikut menentang pemerintahan yang berkuasa. Di Yaman Presiden Ali Abdullah Saleh dipaksa turun oleh rakyatnya, karena dianggap telah banyak berlaku korupsi. Di Mauritania Yacoub Ould Dahoud melakukan protes bakar diri, karena di negara tersebut dianggap ada kebijakan diskriminasi ras. Di Oman sejumlah mahasiswa memprotes akan kenaikan harga dan banyaknya praktek korupsi. Di Arab Saudi diawali dengan aksi bakar diri orang berusia 60 tahun di provinsi Jizan yang memprotes kebijakan pemerintah. Di Sudan sejumlah mahasiswa berdemonstrasi di Universitas Khartoum dan Gezira aksi terhadap kenaikan harga bahan pokok. Di Yordania Perdana Menteri Samir al-Rifai di Karak dipaksa turun dari jabatannya, karena tidak dapat memberikan kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Di Bahrain dan Maroko aksi demonstrasi tidak banyak terjadi korban jiwa. Berbeda gejolak yang terjadi di Syuriah walaupun terkena pengaruh terhadap penggulingan terhadap pemerintahan, akan tetapi dapat diredam dengan cepat mengingat corak sosial dan budaya di negara tersebut berbeda. Kekuatan militer lebih dominan dan cenderung mendukung kebijakan pemerintah. Kejadian yang paling fenomenal yang terjadi adalah intervensi negara barat di Libya dengan menewaskan Moammer Khadaffi. Pengamatan Penulis, sebelum adanya revousi bung melati yang di awali gerakan sosial di Tunisia tersebut sebenarnya hanya mengatasnamakan proses demokratisasi saja. Di Irak dan Iran juga merupakan potret perjuangan dalam menuju negara demokrasi. Dalam perjalanannya ternyata demokrasi hanya dijadikan alat untuk kepentingan golongan dan negara tertentu saja. Perang dan pertumpahan darah yang terjadi baik di internal negara dengan intervensi asing atau pun antar negara akan memberilan dampak baik secara politik, eknomomi, sosial dan budaya.
Dalam Black’s Law Dictionary, Armed Conflik berarti “a state of open hostility between two nation, or between a nation and an aggressive force; a military action taken under art.42 UN Charter”. Protokol tambahan I Tahun 1977 juga mengatur konflik bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I Tahun 1977 disebut bahwa protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 yang menyebutkan “In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present convention shall apply all cases of between two or more of the hight contracting parties even if the state of war is not recognized by one of them”. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa konvensi ini berlaku dalam perang antara dua atau lebih pihak peserta agung uang diumumkan, sekalipun pertikaian senjata tersebut tidak diakui sebagai keadaan perang dan pendudukan sekalipun pendudukan ini tidak menemui perlawanan. Hukum humaniter internasional membedakan dua jenis pertikaian senjata yaitu; Pertama, Bersifat internasional (international armed conflict) yang jika pertikaian senjata tersebut melibatkan dua negara atau lebih. Kedua, Bersifat non-Internasional (non international armed conflict) yang jika pertikaian senjata tersebut di dalam wilayah sebuah negara [2].
Konflik bersenjata juga dapat dibedakan menjadi yaitu sebagai berikut: Pertama, Konflik bersenjata internasional murni artinya konflik bersenjata yang terjadi antara dua negara atau lebih. Kedua, Konflik bersenjata internasional semu artinya konflik bersenjata antar negara di satu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan (1) Tahun 1977. Konflik ini disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Konflik bersenjata internasional semu ini masih dibagi menjadi perang pembebasan nasional dan konflik bersenjata internal yang dinternasionalisir. Konflik bersenjata non internasional menurut Protokol Tambahan II Tahun 1977 berlakunya konflik bersenjata dapat berlaku dengan parameter terjadi dalam wilayah pihak perserta agung, telah terjadi pertempuran antara angkatan perang negara itu dengan kekuatan bersenjata pemberontak, kekuatan bersenjata pemberontak berada di bawah komando yang bertanggung jawab, telah menguasai sebagian wilayah negara dan mereka mampu melaksanakan protokol ini [3]. Impunity dalam kerangka hukum internasional adalah ketidakmungkinan de jure atau de facto untuk membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan criminal, sipil, administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan apabila dianggap bersalah penghukuman dengan hukuman yang sesuai dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka [4]. Dengan demikian menurut Penulis dalam peristiwa internasional tidak boleh ada diskriminasi terhadap para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM). Dalam perspektif hukum internasional dalam konflik dan peperangan sudah ada aturan agar tidak terjadi pelanggaran baik dari segi pidana dan pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM). Negara yang sedang bertikai mempunyai kewajiban penuh agar tidak menyalahi aturan yang ada. Baik dari segi pertanggung jawaban negara atau pun dari pihak dan oknum yang memmpin negara tersebut harus dapat ditindak secara hukum dengan ketentuan hukum internasional. Hubungan antar negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing tidak lepas antara negara yang satu dengan yang lain. Negara Indonesia merupakan bagian dari hubungan internasional dan juga merupakan bagian dari anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Implikasi dari setiap proses hukum pasti akan memberikan dampak terhadap perjalanan hukum di Indonesia juga. Tidak hanya dalam kaitannya dalam penegakan hukum, akan tetapi masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di dunia juga akan memberikan dampak terhadap kondisi di Indonesia juga. Hal ini juga terkait adanya revolusi bunga melati yang terjadi di timur tengah terhadap perkemabangan baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia.
Dari adanya problematik baik dari aturan yuridis maupun permasalahan sosial ditingkat internasional, nasional dan pengaruhnya terhadap tata kehidupan masyarakat Indonesia, maka Penulis akan mengambil rumusan masalah sebagai pisau analisis kritisnya yaitu sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah dampak terkait adanya revolusi melati di timur tengah terhadap konflik of interest di dalam masyarakat Indonesia dalam berbagai sudut pandang politik, ekonomi, sosial dan budaya?
b.      Bagaimanakah pengaruh revolusi melati di timur tengah terhadap proses infiltrasi perusakan adat lokal dalam masyarakat?
c.       Bagaimanakah solusi dari pengaruh revolusi melati di timur tengah terhadap pencegahan dis integrasi bangsa di Indonesia?

2. Dampak terkait adanya revolusi melati (perang timur tengah) terhadap konflik of interest di dalam masyarakat Indonesia dalam berbagai sudut pandang politik, ekonomi, sosial dan budaya
International Criminal of Court merupakan suatu organ internasional pertama yang secara khusus mempunyai kewenangan yang independen di bidang yudikatif. Ia dapat dikatakan merupakan “specialized agency united nation”. Pasal 25 jo Pasal 2 (6) jo Pasal 49 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa semua negara di dunia terikat secara hukum internasional untuk mengikuti keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Jika tidak diikuti dapat menjatuhkan sanksi kepada negara tersebut dan menangguhkan hak-hak istimewa sebagai anggota, mengeluarkan dari keanggotaan, melakukan sanksi militer dan bahkan dapat mengusulkan pembentukan pengadilan pidana internasional [5]. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting dibidang hukum internasional sebagai upaya menciptakan perdamaian dunia dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda yang merupakan salah satu organ utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini juga sedang berupaya menyelesaikan Rules of Prosedure atau Hukum Acara bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang statute pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi internasional di Roma, Italia pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut baru akan berlaku setelah disahkan oleh 60 (enam puluh) Negara. Berbeda dengan International Court of Justice. Adapun pengertian dari Yurisdiksi International Criminal Court  adalah dibidang hukum pidana internasional yang akan mengadili para individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan humaniter, genosida (pemusnahan ras), kejahatan perang, serta agresi [6]. Ide pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang ditujukan untuk mengadili individu-individu yang telah melanggar hukum internasional tidak bias dilepaskan dari Pengadilan Tokyo dan Pengadilan Nuremberg. Bagaimanapun kedua pengadilan ini telah memberikan jalan bagi terciptanya hukum pidana internasional [7]. Dengan demikian berdasarkan pengamatan Penulis adanya dua instrument pengadilan tersebut merupakan tekad dan etikad baik dari dunia internasional dalam upaya penegakan hukum pidana secara internasional. Selain telah ada upaya dalam penegakan hukum pidana internasional juga terdapat upaya melindungi dan menjamin Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam Pasal 6 (c) Piagam Mahkamah Militer Internasional Nuremberg dinyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai yaitu sebagai berikut:
“Tindakan kejahatan untuk melakukan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi (pengasingan, pengiriman kembali ketempat asal) dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawi yang ditujukan terhadap penduduk sipil sebelum atau selama terjadi peperangan, atau penganiayaan yang didasarkan pada latar belakang politik, rasial atau agama dalam pelaksanakan hukuman atau dalam kaitannya dengan sesuatu kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi mahkamah yang dilakukan, apakah hal itu melanggar atau tidak dengan hukum nasional sesuatu negara.“.
Badan ini adalah peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta Roma pada tahun 1998.  Tujuan International Criminal of Court (ICC) adalah untuk mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum internasional seperti (1) Genocide (2) Crime Against Humanity (3) Kejahatan terhadap hukum humaniter (4) Kejahatan Agresi. International Criminal of Court (ICC) menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu baik sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan pemberontak.  Dalam hal ini memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut. Dasar pendiriannya adalah (1) kegagalan masyarakat internasional dalam menangani kejahatan genosida, crime against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi  (2) Banyaknya pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity). Dengan bertolak dari ranah yurisdiksinya, maka menurut Penulis dapat dikatakan bahwa tindakan agresi militer yang dilakukan oleh pihak asing khususnya yang dipelopori Amerika Serikat dan sekutunya telah masuk dalam unsur pidana secara internasional. Dengan demikian semua tentara yang terlibat dalam agresi yang menyebabkan terjadinya warga sipil menderita di timur tengah dan bahkan menyebabkan kematian harus segara diadili sesuai hukum yang berlaku.
Dalam perspektif kinerja dari Mahkamah Pidana Internasional banyak terdapat kelemahan. Kendati menjadi harapan satu satunya untuk  menyeret kejahatan agresi yang dilakukan oleh Amerika Serikta dan sekutunya terlebih dengan peristiwa meninggalnya Moammar Khadaffi secara kejam dengan intervensi dari kekuatan militer tersebut. Disamping itu Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) berperan penting dalam operasional guna berfungsinya proses hukum dalam mahkamah ini. Adanya otoritas hukum nasional didahulukan dan dihargai guna penyelesaian konflik di masing-masing negara. Akan tetapi didalam negara masing-masing terdapat intervensi asing yang ranahnya juga masuk dalam perbauatan melawan hukum secara internasional. Didalam internal negara masing-masing hanya penegakan demokratiasai menurut Penulis sangat rasional karena itu memang urusan dalam negara masing-masing negara. Akan tetapi proses ikut campurnya pihak asing dalam penegakan proses demokratisasi di negara tersebut patut dipertanyakan, karena ada kepentingan tertentu. Tidak hanya kepentingan justru banyaknya pembunuhan khsususnya terhadap warga sipil ini lah merupakan unsur perbuatan melawan hukum secara internasional dan penghukumannya pun juga harus melalui hukum internasional. Kemudian bagaiamana tindak lanjutnya? Menurut Penulis akan tergantung dari ketegasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menindak negara-negara yang terlibat. Selain itu negara yang tergabung di dalamnya juga harus aktif memberikan kontribusi bagi penegakan hukum secara internasional agar tidak ada pendiskriminasian terhadap negara tertentu. Mereka harus bersikap professional guna menyeret para pelaku ageri di timur tengah agar mendapat hukuman yang tegas.
Menurut teori transformasi dinyatakan bahwa hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum konsep, kaidah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah hukum nasional. Menurut teori ini ada perbedaan antara traktat-traktat yang memiliki sifat janji-janji (promise) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands), akibatnya diperlukan transformasi dari satu tipe ke tipe lainnya secara formal maupun substansial [8]. Menurut teori delegasi proses implementasi dari hukum internasional diserahkan kepada negara-negara atau hukum nasionalnya masing-masing [9]. R.C Hingorani menjelaskan “……rules international law are left to state and national level for implementation….”, ketentuan-ketentuan hukum tertinggal oleh praktek negara-negara dalam hubungan internasional. Menurut teori adopsi cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional. Hal ini juga senada dengan pernyataan bahwa “a judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”. Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih dahulu diumumkan oleh negara atau pengadilan dari suatu negara [10]. Dengan demikian menurut Penulis dari beberapa perspektif tersebut setiap aturan hukum internasional yang memiliki prisnsip hukum umum yang wajib diikuti oleh setiap negara. Akan tetapi dalam proses infiltrasi atau pun adopsi nilai-nilai hukum internasional akan tergantung dari politic will dari masing-masing negara. Parameter dari keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya juga akan menjadi pertimbangan dari kebijakan masing-masing negara. Hal tersebut juga menjadi titik tolak ukur dari proses pengadopsian nilai-nilai hukum internasional terhadap hukum nasional di Indonesia. Terkait dengan adanya fenomena sosial dari revolusi melati di timur tengah belum mempunyai dampak secara hukum dan memberikan efek terhadap perkembangan hukum nasional di Indonesia. Kerangka hukum internasional dan hukum nasional masih dapat berjalan dengan proporsional. Lalu bagaimanakah pengaruhnya di luar non yuridis? Penulis akan mencoba meneliti dari berbagai aspek kehidupan yang ada di Indonesia.

a.      Dari segi politik, artinya adalah terkait kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah akan dipengaruhi oleh perkembangan hukum internasional. Pemerintah lewat aparat penegak hukumnya akan lebih memberikan preventif hukum agar gejolak masyarakat dapat diredam. Sifat otoriter akan lebih banyak diambil oleh pemerintah karena takut akan adanya penggulingan kekuasaan dan rasa ketidak kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

b.      Dari segi ekonomi, artinya adalah kebijakan pemerintah khususnya terhadap para investor asing akan lebih banyak diintervensi oleh negara barat. Dengan demikian kebijakan pemerintah juga akan lebih selektif dengan pertimbangan pengaruh dari negara barat tidak akan masuk di Indonesia. Kebijakan dengan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga akan disesuaikan dengan harga di luar negeri. Negara timur tengah adalah negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia, jika terjadi gejolak pengaruhnya juga akan menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Terbukti polemik dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kontroversi dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2012. Dalam aturan tersebut tidak ada keharusan untuk menaikan, tapi dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi polemik dengan adanya penambahan point Pasal 7 ayat 6a dengan adanya kenaikan 15% dengan menyesuaikan harga minyak dunia.

c.       Dari segi sosial dan budaya, artinya adalah adanya pergerakan masyarakat secara umum dengan adanya pengaruh dari revolusi melati. Banyaknya mahasiswa yang melakukan demostrasi juga diikuti oleh rakyat dan bahkan adanya pembakaran diri dari Sondak Hutagalung di depan istana negara. Fenomena sosial yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia akan mempengaruhi pola pikir bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dikritik dan bahkan ada anggapan suara rakyat adalah suara Tuhan dan berhak dalam menumbangkan kekuasaan.

3. Pengaruh revolusi melati (perang timur tengah) terhadap proses infiltrasi perusakan adat lokal dalam masyarakat
Beberapa pengamat politik independen William Liddle dari Ohio University berkeyakinan bahwa pergolakan dan krisis politik di negara-negara Timur Tengah tidak akan merembet ke Indonesia. Meski secara teori politik revolusi Timur Tengah itu tidak akan mengancam Indonesia, pemerintah justru harus waspada dan hati-hati. Bila pemerintah tidak dapat mengelola isu dengan baik maka akan digunakan kesempatan oleh berbagai kelompok demi kepentingan politik tertentu khususnya politikus dan media masa tertentu. Moment di Timur tengah tersebut dapat dimanfaatkan oleh para lawan poltik pemerintah yang terus punya ambisi meraih dominasi poltik di negeri ini. Bila isu tersebut dibina dan digalang terus oleh para politikus ulung di negeri ini maka bisa saja gelombang revolusi itu akan menggoyang Indonesia [11]. Pengaruh global dari dunia internasional pasti akan memberikan dampak terhadap karakter dan pola sistem pemerintahan di seluruh dunia. Indonesia merupakan bagian kehidupan dunia tersebut. Setiap transformasi baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya akan memberikan dampak terhadap perkembangan dunia. Revolusi melati di Timur Tengah telah memberikan pengaruh yang significant terhadap adat budaya lokal Indonesia. Adapun Penulis akan memberikan beberapa deskripsi yaitu sebagai berikut:
1.      Pola pergerakan dan karakter mahasiswa dalam memberikan kontrol terhadap kebijakan pemerintah
Revolusi melati banyak dilakukan oleh kaum intelektual dan mahasiswa. Hal ini juga telah berimplikasi terhadap pola pergerakan mahasiswa di Indonesia. Organisasi kemahasiswaan seperti: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Hisbu Tahrir Indonesia (HTI) dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan ideologi pergerakannya masing-masing juga ikut mewarnai dalam setiap pengkritisan dari setiap kebijakan pemerintah. Tindakan yang anarkis pun juga dilakukan agar setipa aspirasi yang dibawa akan ditindak lanjuti oleh pemerintah. Dengan dibukanya kran demokrasi dan adanya kebebasan berpendapat telah memberikan legitimasi terhadap pola pergerakan mahasiswa. Aksi pembakaran lambang negara dan menghujat para pejabat pemerintah sudah terindikasi kearah makar. Hal ini disebabkan arah kebijakan pemerintah tidak lagi membela rakyat. Siapa pun pejabat pemerintah dan bahkan presiden pun jika dianggap telah mengambil kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat akan dikritik. Bahkan mereka disuruh mundur dari kursi jabatannya. Rasa ketidak percayaan dari kalangan intelektual ini merupakan buah pemikiran dari Timur Tengah dalam membrikan peringatan terhadap setiap kebijakan pemerintah.

2.      Rusaknya tatanan kehidupan sosial berdasarkan sistem demokratisasi dalam perspektif teori sosial sibernetika dari Talcot Parson

Herbert Spencer menerapkan temuan-temuan Darwin ke etika dan hukum. Spencer melihat hukum sebagai suatu entitas biologis dan berbagai kesamaan dengan tekstur organisme biologis. Dua orang biolog Maturana dan Varela telah menciptakan coined. Konsep sistem-sistem yang hidup sebagai mesin. Diteruskan oleh Luhman dengan diterapkan dalam hukum. Luhman menyatakan bahwa sistem hukum adalah self referential dan self reproducing. Konsep negara organik kita juga dekat dengan teori sibernetika dari Talcot Parson. Dalam sibernetika dikatakan bahwa berbagai sub sistem dalam masyarakat yaitu politik, ekonomi, sosial dan kultur terikat menjadi satu dalam pola pengaturan sendiri secara otomatis. Hubungan-hubungan antar sub sistem tersebut berlangsung secara mandiri menurut pola atau arus sibernetika. Secara geometris maka sub sistem berada di puncak yang mengalirkan nilai-nilai atau informasi. Sedangkan ekonomi berada di puncak yang lain yang mengalirkan energi. Hukum berada dalam sub sistem sosial. Yang dikatakan dalam risalah ini adalah untuk merealisasikan negara hukum yang bernurani, maka negara perlu memiliki pendirian sebagai satu organ yang mampu berpikir, merencanakan dan sekaligus bertindak sesuai dengan pilihan nuraninya. Hal tersebut berarti semua komponen dari negara berdiri diatas landasan atau platform yang sama yaitu kepedulian untuk membahagiakan rakyatnya. Dalam bahasa nomenklatur modern, maka pihak legislatif, eksekutif maupun yudikatif disemangati oleh kepedulian yang sama tersebut [12]. Hubungan antara hukum dan sosial pada pokoknya menyatakan hukum merupakan refleksi dari solidaritas sosial dalam masyarakat [13]. Gelombang dari perjalanan revolusi melati telah memberikan dampak terhadap perubahan hukum dalam merekayasa kehidupan sosial. Hukum yang seharusnya menjadi panglima dan menjadi ujung tombak dalam menegakan rasa keadilan di masyarakat tidak dapat berjalan maksimal.
Komoditas politik terkadang menjadi penentu dalam segi pengambilan kebijakan yang melibatkan masyarakat umum. Politik hanya dijadikan alat kekuasaan jika Penulis ibaratkan seperti pendapat dari Hannah Arrendt [14] orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalitas anibal laborans dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi konsumsi sangat dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama. Sindrom yang menyertainya adalah korupsi. Hal ini sangat mungkin karena fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (pejabat), dan ideologi (pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang mendorong korupsi itu. Modalitas tersebut sering dianggap sebagai yang diperoleh dengan usaha atau suatu prestasi, sehingga penggunanya untuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap wajar. Kehidupan ekonomi, sosial dan budaya pun juga takluk terhadap konstelasi politik yang dimainkan oleh para anggota legislatif. Pasca terjadinya revolusi melati yang menjadikan pemerintah harus lebih pro aktif dalam memberikan kebijakan terhadap rakyat agar terjadi ketertiban dan keadilan justru hanya dikendalikan partai politik lewat kader-kadernya yang di duduk di lembaga legislatif.

4. Solusi dari pengaruh revolusi bunga melati (perang timur tengah) terhadap pencegahan dis integrasi bangsa di Indonesia

1.      Korelasi sosial terhadap moral by design dari masyarakat terkait  daerah keistimewaan Aceh, Papua dan Yogyakarta terhadap ancaman dis integrasi bangsa

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman[15]. Dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-udang”. Landasan konstitusi ini telah memberikan legitimasi bagi daerah khusus di Indonesia dalam mengatur kebijakan daerahnya masing-masing. Berdasarkan isi Pasal 5 ayat (2) Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah  disebutkan bahwa ”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal tersebut juga mengindikasikan adanya pelaksanaan pemerintah sesuai dengan kondisi masing-masing daerah dan hal ini juga termasuk daerah yang bersifat istimewa. Pemerintah dalam memberikan daerah keistimewaan juga dilandasi dengan perjalanan historis dan kehidupan strata sosial di masyarakat.
Undang-Undang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh  sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjadikan bagi Aceh dalam menerapkan aturan pemerintahan yang bersifat syariah. Pemilihan kepala daerah pada tanggal 16 Februari tahun 2012 di Aceh juga menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kontroversi terkait adanya Partai Aceh terkait keikutsertaan dalam pemilihan kepala daerah. Calon independen juga menjadi persoalan tersendiri ketika harus bertikai dengan Partai Aceh padahal calon independen tidak diatur dalam aturan tersebut dan hanya ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Pasal 1 point (14) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh “Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”. Aturan ini telah memberikan kesempatan bagi rakyat aceh untuk menentukan sendiri dalam pemerintahan di Aceh. Pasca adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) berimplikasi terhadap rencana Partai Aceh tidak akan mengikuti pemiliha kepala daerah. Penulis mencoba mengutip dari pernyataan Mentri Dalam Negeri Gamawan Fauzi [16] dinyatakan bahwa "Partai Aceh memperoleh suara hingga 48%, sehingga jika mereka tidak ikuti pemilihan kepala daerah, kami khawatir akan menganggu proses pemerintahan di Aceh untuk lima tahun ke depan". Selanjutnya Mentri Koordinator Politik dan Keamanan Djoko Suytanto mengatakan “peningkatan kekerasan di Aceh mulai kasus penembakan hingga penggergajian menara listrik terkait pemilihan kepala daerah”. Kekacauan yang terjadi di Aceh merupakan kebijkan dari pemerintah yang tidak peka terhadap aspirasi rakyat dalam menentukan kebijakan di daerah. Setiap kebijakan yang diambil dirasa diskriminatif dan tidak membela rakyat Aceh.
Dalam Pasal 1 point (b) Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi provinsi Papua disebutkan “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. Selanjutnya dalam point (g) juga disebutkan “Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi cultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini ”. Sebagai korelasinya menurut Penulis pemerintah dengan mengeluarkan kebijkan ini telah membuka sebuah kran demokrasi pada rakyat papua, akan tetapi tidak memberikan upaya perlindungan yang baik terhadap masyarakat. Seolah-olah pemerintah lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab terhadap upaya perbaikan eknomi, sosial dan budaya di Provinsi Papua. Konflik horizontal dijadikan kamuflase dari pemerintah dan lebih diserahkan pada urusan pemerintah daerah dalam mengatasi setiap permasalahan. Padahal konflik vertikal menurut Penulis lebih tepat, karena masyarakat di Provinsi Papua kurang merasakan kebijakan pemerintah dalam memberikan wujud nyata dalam pembangunan di daerah tersebut. Kebijakan terhadap Freeport merupakan fakta bahwa pemerintah lebih condong terhadap adanya intervensi asing dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) di daerah tersebut. Hal ini dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Aturan ini telah membuka intervensi asing dalam penanaman modalnya.
Dalam mengawali untuk pembahasan terkait polemik pemilihan atau penetapan terkait pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Penulis mencoba mengambil perdebatan antara pemerintah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) [17]. “Presiden mengingatkan tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi. Pernyataan ini dibalas Sultan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan presiden. Menurut Sultan ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain. Sultan menegaskan, persoalan pemilihan atau penetapan kepala daerah  itu merupakan ranah kepentingan rakyat. Proses pemilihan atau penetapan kepala daerah itu tergantung rakyat karena yang menentukan mereka”. Dari wacana inilah telah menimbulkan gelombang kemarahan dari rakyat Yogyakarta. Aksi demonstrasi dan bahkan penuntutan referendum juga diajukan kepada pemerintah. Kebijakan pemerintah yang didukung oleh partai koalisi sebesar 423 suara akan memberikan legitimasi pada proses kebijakan dengan pemilihan untuk kepala daerah di Yogyakarta. Penetapan yang selama ini dianggap monarki dan tidak mencerminkan demokrasi akan dihapus dengan kebijakan pemerintah tersebut. Rakyat Yogyakarta akan mengancam untuk menuntut referendum dan semua kebijakan akan diserahkan kepada rakyat, apakah tetap bersatu dengan Indonesia ataukah lepas?. Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah. Fenomena tersebut telah mengubah kebijakan dari pemerintah lewat partai koalisi untuk mendukung penetapan dan tidak lagi pada proses pemilihan.

2.      Upaya dan solusi pencegahan terhadap dis integrasi bangsa di Aceh, Papu khususnya dan Yogyakarta di Indonesia pada umumnya

Melalui proses revolusi melati yang melanda dunia dan berdampak pada proses politik dalam setiap pengambilan pemrintah termasuk di Indonesia telah mengancam perpecahan baik lewat konflik vertikal maupun horizontal. Tidak hanya di daerah yang telah memperoleh daerah khsusus dan istimewa juga di daerah-daerah yang telah mendapatkan legitimasi lewat kebijakan otonomi daerah akan berdampak pada ancaman dis integrasi bangsa. Penulis lewat beberapa kasus dan fenomena tersebut memberikan solusi yaitu sebagai berikut:
1.          Pendekatan internal baik secara personal maupun struktural. Dengan demikian secara personal para tokoh masyarakat baik yang berada di daerah yang telah diberikan daerah khusus dan istimewa serta di daerah secara umum harus memberikan pengertian tentang kebijakan permintah tersebut. Setiap ada konflik horizontal harus dapat segera diselesaikan dengan rasa kekeluargaan. Secara struktural lewat pejabat pemerintah yang ada di daerah lewat fraksi partai politik dari daerah pemilihan masing-masing wajib memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan memberikan keterangan dari setiap pengambilan kebijakan dari pemerintah;
2.          Pendekatan secara eksternal melalui berbagai tokoh dan kalangan. Dari akademisi, mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus aktif memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat terkait adanya gejolak politik baik dari tingkat internasional maupun nasional. Diskusi publik dan seminar baik lokal maupun nasional dapat dilaksanakan secara berkala agar masyarakat yang awam dapat memperoleh pencerahan terkait adanya daerah khusus dan keistimewaan di Aceh, Papua dan Yogyakarta;
3.          Pendekatan secara sosial dan kultural. Masyarakat Indonesia yang plural dan bersifat primordial telah mengutamakan rasa kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi dalam setiap penyelesaian konflik yang timbul. Rasa memiliki daerah dan rasa persatuan dalam bingkai bhineka tunggal ika akan menjadikan semangat bagi masyarakat agar perpecahan yang mengarah pada dis integrasi bangsa dapat dicegah; dan
4.          Pendekatan secara administratif politis. Dalam upaya penyelesaian ini regulasi berbagai peraturan undang-udang dari pemerintah yang telah melegitimasi adanya daerah khusus dan istimewa dari Aceh, Papua dan Yogyakarta harus selalu mendapat kontrol dalam pelaksanaannya agar tidak terjadi penyimpangan secara hukum.
5.Penutup
Revolusi melati yang dilancarkan rakyat Tunisia berhasil melengserkan rezim diktator Zeine El Abidin Ben Ali yang telah  berkuasa sekitar 23 tahun, meskipun dengan berbagai  strategi  coba dipertahankannya oleh berbagai kalangan yang  sangat diuntungkan selama Ben Ali berkuasa. Sejak  tahun 1999 ia menyarankan supaya Dewan Konstitusi Tunisia menunjuk Ketua Palemen Foued Mebezza sebagai presiden sementara Tunisia. Anjuran tersebut sudah sesuai dengan konstitusi Tunisia pada Pasal 56 dan 57  yang sesungguhnya muncul bukan atas aspirasi rakyat. Meskipun Mouhammed Ghannauchi segera menyerukan pembekuan kekuasaan Ben Ali dengan mengadopsi kasus liburan definitif kepresidenan. Dengan demikian aspirasi rakyat makin tidak diperdulikan yang memicu aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa dan rakyat. Gelombang perpecahan tersebut telah memberikan dampak terhadap negara lain khususnya di Timur Tengah juga melahirkan aksi penurunan paksa dari pemerintahan yang sah.
Proses hegemoni dan infiltrasi akibat revolusi melati tersebut telah memberikan dampak terhadap paradigma berpikir bagi bangsa lain baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Proses demokratisasi yang aktor intelektualnya adalah negara barat akan membawa dampak negatif bagi negara lain yang tidak memiliki politic will yang baik. Penjatuhan rezim dari penguasa yang tidak menjalankan proses demokratisasi merupakan wacana dan sekaligus paham akibat adanya revolusi melati dari Timur Tengah. Gelombang aksi demostrasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa juga telah menjadikan parameter bagi pergerakan mahasiswa dalam mengontrol setiap kebijakan dari pemerintah. Rakyat pun yang awalnya tidak tahu akan masalah politik juga terbawa arus dan ikut memberikan kritik terhadap setiap kebijakan dari pemerintah. Kebebasan dalam mengeluarkan pendapat pasca jatuhnya rezim orde baru menjadikan jalan tersendiri akan lahirnya parlemen jalanan. Bingkai kebhinekaan dan rasa kekeluargaan dalam menegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lama-lama akan pudar akibat pengaruh perpecahan yang mengatasnamakan demokrasi. Pemberian daerah khusus dan istimewa terhadap Aceh, Papua dan Yogyakarta akan berdampak terhadap perpecahan antara daerah. Konsep otonomi daerah juga telah memberikan pendelegasian terhadap daerah agar dapat menentukan kebijakan yang akan disesuikan dengan kemampuan daerah masing-masing. Celah dis integrasi bangsa akan makin terbuka lebar ketika jabatan dari kepala daerah tidak hanya bersifat administrasi, akan tetapi lebih bersifat politis. Fragmentasi dan peperangan antara partai politik juga akan berdampak pada hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dengan demikian pemerintah harus lebih bersifat pro aktif dalam membuat kebijakan guna menyejahterakan rakyat. Hukum sebagai aktor utama dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh kalah dengan kepentingan politik dari partai politik bagi kader-kader mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum harus mencerminkan rasa keadilan dan tetap harus menjaga agar ketertiban di masyarakat tetap baik, sehingga bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dipertahankan demi menjunjung harkat dan martabat bangsa Indonesia.
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional. Bandung:PT Alumni
Jawahir Thantowi. 2006. Hukum Humaniter Kontemporer. Bandung: PT Revika Aditama
J.G Starke. 2001. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju
I Wayan Parthiana. 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju
Irlina Permanasar dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC
Haryatmoko. 2002. Konflik Bersenjata.Jakarta: Universitas Trisakti
..................... 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas
Kontras. 2005. Menolak Impunitas Serangkaian Prinsip Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi
              Manusia Melalui Upaya Memerangi Impunitas Prinsip-Prinsip Hak Korban. Jakarta:   
              Kontras
Satjipto Rahardjo. 2009. Negara Hukum Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta  
              Publishing
Soerjono Soekanto. 2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sumber Jurnal Nasional

Mujahidin. 2007. Hukum Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 April 2007. Varia Peradilan: Ikahi
Harifin. A. Tumpa. 2006. Yurisdiksi Peradilan Pidana Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat Dalam Rangka  Penerapan Statuta Roma Di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 252 November 2006. Varia Peradilan: Ikahi
Ronald Lumbun. 2008. Peranan Etika Dalam Penegakan Hukum di  Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 273 Agustus 2008. Varia Peradilan: Ikahi


Sumber Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sumber Internet

Anonim. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional. dalam http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum.html/ diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.25

Muhammad Nurdin. Revolusi Melati Tunisia Dalam Perspektif Barat. dalam http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/01/18/revolusi-melati-tunisia-dalam-perspektif-barat/ diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.50

Fadil Abidin. Menggalang Revolusi Lewat Jejaring Sosial. dalam http://fadilabidin08.blogspot.com/2011/07/menggalang-revolusi-lewat-jejaring.html/ diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.50

Widodo Judarwanto. Wabah Revolusi Melati Mengancam Indonesia. dalam http://politik.kompasiana.com/2011/02/01/wabah-revolusi-melati-mengancam-indonesia/ diakses pada tanggal 4 Juli 2012 pukul 21.00 WIB

Anonim. 2012. Mendagri Layangkan Gugatan ke MK Terkait Pilkada Aceh, dalam, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/01/120112_mendagrisoalpilkadaaceh.shtml/ diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 14.45 WIB

Anonim. 2012. RUU Keistimewaan Yogyakarta Perang Wacana SBY vs Sultan, dalam,  http://nasional.inilah.com/read/detail/1015992/perang-wacana-sby-vs-sultan/ diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 15.00 WIB



[1] lihat Fadil Abidin, Menggalang Revolusi Lewat Jejaring Sosial, dalam http://fadilabidin08.blogspot.com/2011/07/menggalang-revolusi-lewat-jejaring.html/ diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.50

[2] Arlina Permanasar dkk, Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta,1999), hal.3
[3] Haryomataram, Konflik Bersenjata (Jakarta, 2002), hal. 11
[4] Kontras, Menolak Impunitas Serangkaian Prinsip Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia Melalui Upaya Memerangi Impunitas Prinsip-Prinsip Hak Korban, (Jakarta, 2005), hal. 1
[5] Harifin. A. Tumpa, Yurisdiksi Peradilan Pidana Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat Dalam Rangka  Penerapan Statuta Roma Di Indonesia, Majalah Hukum Tahun XXII No. 252 (April 2006), hal.17
[6]  Boer Mauna, Hukum Internasional (Bandung, 2003), hal. 56
[7] Jawahir Thantowi, Hukum Humaniter Kontemporer (Bandung, 2006), hal.87
[8] J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, 2001), hal. 102
[9] I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, 1990), hal.257
[10] Lihat Anonim, Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional, dalam (http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum.html/ diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.25)

[11] lihat Widodo Judarwanto. Wabah Revolusi Melati Mengancam Indonesia. dalam http://politik.kompasiana.com/2011/02/01/wabah-revolusi-melati-mengancam-indonesia/ diakses pada tanggal 4 Juli 2012 pukul 21.00 WIB

[12] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta, 2009), hal. 73
[13] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, 2006), hal.4
[14] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta, 2003), hal. 125
[15] Ronald Lumbun, Peranan Etika Dalam Penegakan Hukum di  Indonesia, Majalah Hukum Tahun XXII No. 273 (Agustus 2008), hal.50
[16] lihat, Anonim. 2012. Mendagri Layangkan Gugatan ke MK Terkait Pilkada Aceh, dalam, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/01/120112_mendagrisoalpilkadaaceh.shtml/ diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 14.45 WIB
[17] Lihat, Anonim. 2012. RUU Keistimewaan Yogyakarta Perang Wacana SBY vs Sultan, dalam,  http://nasional.inilah.com/read/detail/1015992/perang-wacana-sby-vs-sultan/ diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 15.00 WIB

Read more ...
Designed By Mas Say