TINJAUAN ANALITIS KRITIS PENGARUH REVOLUSI MELATI (PERANG
TIMUR TENGAH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI KORELASI TERHADAP
UPAYA INDONESIA GUNA MEREDAM KONFLIK DIS INTEGRASI BANGSA
1. Pendahuluan
Revolusi
Melati
itulah nama revolusi yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben
Ali dari tampuk kekuasaannya setelah bercokol selama 23 tahun. Nama “melati” diambil dari lambang negara
tersebut. Melati sebagai lambang kesucian mempunyai aroma yang wangi.
Demonstran yang gugur dianggap sebagai para syuhada yang darahnya harum seharum
melati. Pada tahun 1987, saat Ben Ali yang merupakan mantan
perwira di dinas rahasia menjadi penguasa di Tunisia. Ben Ali mempertahankan
kekuasaannya dengan legitimasi ala pseudo-demokrasi (demokrasi palsu) melalui
serangkaian pemilu yang hasilnya direkayasa dengan cara-cara seperti pada era stalinisme. Anggota keluarga Ben Ali
yang sebagian besar tidak berpendidikan, dalam dua dasawarsa terakhir secara
ilegal atau dilegalkan, dan tanpa segan sedikitpun mengumpulkan kekayaan dalam
jumlah besar. Mereka bahkan tidak malu memamerkan kekuasaan dan kekayaan
mereka. Padahal rakyat kian terjepit dengan pengangguran dan kemiskinan.
Maka, begitu tersiar kabar bahwa seorang mahasiswa, Mohamed
Bouazizi, membakar diri karena dilarang berjualan sayuran oleh aparat
pemerintah di Kota Sidi Bouzid pada akhir Desember lalu tersebar di dunia maya.
Aksi demonstrasi dan kerusuhan langsung merebak di seantero Tunisia. Pada awal
demonstrasi puluhan orang tewas dan terluka. Gelombang demonstrasi pada awalnya
dianggap remeh, bahkan Ben Ali menyebutnya sebagai ekstrimis dan teroris. Ben
Ali yang sudah demikian lama hidup di menara gading, tidak mampu lagi membaca
keinginan rakyat yang dipimpinnya. Terakumulasi selama 23 tahun, kemuakan itu
kemudian bermetamorfosis menjadi gerakan massa masif yang disebut ”Revolusi Melati”.
Rakyat turun ke jalan menumpahkan amarah dan tuntutan agar
Ben Ali turun dari jabatannya. Alih-alih berdialog, Ben Ali menggunakan moncong
senapan tentaranya. Foto-foto korban tewas dan luka-luka di berbagai kota,
tersebar cepat melalui internet memicu gelombang kemarahan masyarakat yang
tidak dapat lagi dikendalikan oleh pemerintah dengan pentungan, janji-janji
kosong, gas air mata atau senjata mesin sekalipun. Revolusi Melati ternyata membawa efek berantai ke Mesir. Mesir
dipimpin oleh Husni Mubarak, telah berkuasa selama 30 tahun dan dianggap gagal
memakmurkan rakyat. Mubarak dicurigai mempersiapkan puteranya sebagai penerus
kekuasaan. Rakyat marah dan aksi demonstrasi merebak. Husni Mubarak menggunakan
kekerasan untuk menumpas aksi tersebut, ratusan nyawa melayang [1].
Proses hegemoni sosial tersebut menurut Penulis
terus memberikan pengaruh terhadap negara sekitarnya. Tidak hanya di Tunisia
dan Mesir sebagai pusat nya akan tetapi Aljazair juga terkena dampak revolusi
tersebut dengan meninggalnya dua demonstran akibat melawan pmerintah terkait
harga bahan pokok. Pihak oposisi juga menentang kebijakan pemerintah dengan
aksi demonstrasi dan turun ke jalan sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan
yang berkuasa. Tidak hanya itu juga pemerintahan Yaman, Mauritania, Oman, Arab
Saudi, Sudan, Yordania, Bahrain dan Maroko juga bergejolak dan ikut menentang
pemerintahan yang berkuasa. Di Yaman Presiden Ali
Abdullah Saleh dipaksa turun oleh rakyatnya, karena dianggap telah banyak
berlaku korupsi. Di Mauritania Yacoub Ould Dahoud melakukan protes bakar
diri, karena di negara tersebut dianggap ada kebijakan diskriminasi ras. Di
Oman sejumlah mahasiswa memprotes akan kenaikan harga dan banyaknya praktek
korupsi. Di Arab Saudi diawali dengan aksi bakar diri orang berusia 60 tahun di
provinsi Jizan yang memprotes kebijakan pemerintah. Di Sudan sejumlah mahasiswa
berdemonstrasi di Universitas Khartoum dan Gezira aksi terhadap kenaikan harga
bahan pokok. Di Yordania Perdana Menteri Samir al-Rifai di Karak dipaksa turun dari
jabatannya, karena tidak dapat memberikan kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM). Di Bahrain dan Maroko aksi demonstrasi tidak banyak terjadi
korban jiwa. Berbeda gejolak yang terjadi di Syuriah walaupun terkena pengaruh
terhadap penggulingan terhadap pemerintahan, akan tetapi dapat diredam dengan
cepat mengingat corak sosial dan budaya di negara tersebut berbeda. Kekuatan
militer lebih dominan dan cenderung mendukung kebijakan pemerintah. Kejadian
yang paling fenomenal yang terjadi adalah intervensi negara barat di Libya
dengan menewaskan Moammer Khadaffi. Pengamatan Penulis, sebelum adanya revousi
bung melati yang di awali gerakan sosial di Tunisia tersebut sebenarnya hanya
mengatasnamakan proses demokratisasi saja. Di Irak dan Iran juga merupakan
potret perjuangan dalam menuju negara demokrasi. Dalam perjalanannya ternyata
demokrasi hanya dijadikan alat untuk kepentingan golongan dan negara tertentu
saja. Perang dan pertumpahan darah yang terjadi baik di internal negara dengan
intervensi asing atau pun antar negara akan memberilan dampak baik secara
politik, eknomomi, sosial dan budaya.
Dalam Black’s Law Dictionary, Armed Conflik berarti “a state of open hostility between two
nation, or between a nation and an aggressive force; a military action taken
under art.42 UN Charter”. Protokol tambahan I Tahun 1977 juga mengatur
konflik bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I
Tahun 1977 disebut bahwa protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam
Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 yang menyebutkan “In addition to the provisions which shall be implemented in peace
time, the present convention shall apply all cases of between two or more of
the hight contracting parties even if the state of war is not recognized by one
of them”. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa konvensi ini berlaku dalam
perang antara dua atau lebih pihak peserta agung uang diumumkan, sekalipun
pertikaian senjata tersebut tidak diakui sebagai keadaan perang dan pendudukan
sekalipun pendudukan ini tidak menemui perlawanan. Hukum humaniter
internasional membedakan dua jenis pertikaian senjata yaitu; Pertama, Bersifat
internasional (international armed
conflict) yang jika pertikaian senjata tersebut melibatkan dua negara atau
lebih. Kedua, Bersifat non-Internasional (non
international armed conflict) yang jika pertikaian senjata tersebut di
dalam wilayah sebuah negara [2].
Konflik bersenjata juga dapat dibedakan menjadi
yaitu sebagai berikut: Pertama,
Konflik bersenjata internasional murni artinya konflik bersenjata yang terjadi
antara dua negara atau lebih. Kedua,
Konflik bersenjata internasional semu artinya konflik bersenjata antar negara
di satu pihak dengan bukan negara (non-state
entity) di pihak lain. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan (1)
Tahun 1977. Konflik ini disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Konflik bersenjata internasional semu ini masih dibagi menjadi perang
pembebasan nasional dan konflik bersenjata internal yang dinternasionalisir.
Konflik bersenjata non internasional menurut Protokol Tambahan II Tahun 1977
berlakunya konflik bersenjata dapat berlaku dengan parameter terjadi dalam
wilayah pihak perserta agung, telah terjadi pertempuran antara angkatan perang
negara itu dengan kekuatan bersenjata pemberontak, kekuatan bersenjata
pemberontak berada di bawah komando yang bertanggung jawab, telah menguasai
sebagian wilayah negara dan mereka mampu melaksanakan protokol ini [3].
Impunity dalam kerangka hukum internasional adalah ketidakmungkinan de jure
atau de facto untuk membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan criminal,
sipil, administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek
pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan,
pengadilan dan apabila dianggap bersalah penghukuman dengan hukuman yang sesuai
dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka [4].
Dengan demikian menurut Penulis dalam peristiwa internasional tidak boleh ada
diskriminasi terhadap para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM). Dalam
perspektif hukum internasional dalam konflik dan peperangan sudah ada aturan
agar tidak terjadi pelanggaran baik dari segi pidana dan pelanggaran Hak Asasi
Manusi (HAM). Negara yang sedang bertikai mempunyai kewajiban penuh agar tidak
menyalahi aturan yang ada. Baik dari segi pertanggung jawaban negara atau pun
dari pihak dan oknum yang memmpin negara tersebut harus dapat ditindak secara
hukum dengan ketentuan hukum internasional. Hubungan antar negara dalam
menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing tidak lepas antara negara yang
satu dengan yang lain. Negara Indonesia merupakan bagian dari hubungan
internasional dan juga merupakan bagian dari anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Implikasi dari setiap proses hukum pasti akan memberikan dampak terhadap
perjalanan hukum di Indonesia juga. Tidak hanya dalam kaitannya dalam penegakan
hukum, akan tetapi masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di
dunia juga akan memberikan dampak terhadap kondisi di Indonesia juga. Hal ini
juga terkait adanya revolusi bunga melati yang terjadi di timur tengah terhadap
perkemabangan baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia.
Dari adanya problematik baik dari aturan yuridis
maupun permasalahan sosial ditingkat internasional, nasional dan pengaruhnya
terhadap tata kehidupan masyarakat Indonesia, maka Penulis akan mengambil
rumusan masalah sebagai pisau analisis kritisnya yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
dampak terkait adanya revolusi melati di timur tengah terhadap konflik of interest di dalam masyarakat Indonesia
dalam berbagai sudut pandang politik, ekonomi, sosial dan budaya?
b. Bagaimanakah
pengaruh revolusi melati di timur tengah terhadap proses infiltrasi perusakan
adat lokal dalam masyarakat?
c. Bagaimanakah
solusi dari pengaruh revolusi melati di timur tengah terhadap pencegahan dis
integrasi bangsa di Indonesia?
2. Dampak terkait adanya revolusi melati (perang timur
tengah) terhadap konflik of interest
di dalam masyarakat Indonesia dalam berbagai sudut pandang politik, ekonomi,
sosial dan budaya
International
Criminal of Court merupakan suatu organ internasional pertama yang secara
khusus mempunyai kewenangan yang independen di bidang yudikatif. Ia dapat
dikatakan merupakan “specialized agency
united nation”. Pasal 25 jo Pasal 2 (6) jo Pasal 49 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa semua negara di dunia terikat secara hukum
internasional untuk mengikuti keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Jika tidak diikuti dapat
menjatuhkan sanksi kepada negara tersebut dan menangguhkan hak-hak istimewa
sebagai anggota, mengeluarkan dari keanggotaan, melakukan sanksi militer dan
bahkan dapat mengusulkan pembentukan pengadilan pidana internasional [5].
Perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting
dibidang hukum internasional sebagai upaya menciptakan perdamaian dunia dan
keadilan bagi seluruh umat manusia. Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang
berkedudukan di Den Haag, Belanda yang merupakan salah satu organ utama dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini juga sedang berupaya menyelesaikan Rules of Prosedure atau Hukum Acara bagi
berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) yang statute pembentukannya telah disahkan melalui
Konferensi internasional di Roma, Italia pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut
baru akan berlaku setelah disahkan oleh 60 (enam puluh) Negara. Berbeda dengan International Court of Justice. Adapun
pengertian dari Yurisdiksi International
Criminal Court adalah dibidang hukum
pidana internasional yang akan mengadili para individu yang melanggar Hak Asasi
Manusia dan kejahatan humaniter, genosida (pemusnahan ras), kejahatan perang,
serta agresi [6].
Ide pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional yang ditujukan untuk mengadili individu-individu
yang telah melanggar hukum internasional tidak bias dilepaskan dari Pengadilan
Tokyo dan Pengadilan Nuremberg. Bagaimanapun kedua pengadilan ini telah
memberikan jalan bagi terciptanya hukum pidana internasional [7].
Dengan demikian berdasarkan pengamatan Penulis adanya dua instrument pengadilan
tersebut merupakan tekad dan etikad baik dari dunia internasional dalam upaya
penegakan hukum pidana secara internasional. Selain telah ada upaya dalam
penegakan hukum pidana internasional juga terdapat upaya melindungi dan
menjamin Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam Pasal 6 (c)
Piagam Mahkamah Militer Internasional Nuremberg dinyatakan bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan diartikan sebagai yaitu sebagai berikut:
“Tindakan kejahatan untuk melakukan pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, deportasi (pengasingan, pengiriman kembali ketempat asal) dan
tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawi yang ditujukan terhadap penduduk
sipil sebelum atau selama terjadi peperangan, atau penganiayaan yang didasarkan
pada latar belakang politik, rasial atau agama dalam pelaksanakan hukuman atau
dalam kaitannya dengan sesuatu kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi
mahkamah yang dilakukan, apakah hal itu melanggar atau tidak dengan hukum
nasional sesuatu negara.“.
Badan ini adalah
peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dan dibentuk
oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta Roma pada
tahun 1998. Tujuan International Criminal of Court (ICC) adalah untuk
mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum
internasional seperti (1) Genocide
(2) Crime Against Humanity (3) Kejahatan terhadap hukum humaniter (4) Kejahatan Agresi. International Criminal
of Court (ICC) menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu
baik sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan
pemberontak. Dalam hal ini memberlakukan yurisdiksi internasional
terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut. Dasar pendiriannya adalah (1)
kegagalan masyarakat internasional dalam menangani kejahatan genosida, crime
against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (2) Banyaknya
pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity).
Dengan bertolak dari ranah yurisdiksinya, maka menurut Penulis dapat dikatakan
bahwa tindakan agresi militer yang dilakukan oleh pihak asing khususnya yang
dipelopori Amerika Serikat dan sekutunya telah masuk dalam unsur pidana secara
internasional. Dengan demikian semua tentara yang terlibat dalam agresi yang
menyebabkan terjadinya warga sipil menderita di timur tengah dan bahkan
menyebabkan kematian harus segara diadili sesuai hukum yang berlaku.
Dalam perspektif
kinerja dari Mahkamah Pidana Internasional banyak terdapat kelemahan. Kendati
menjadi harapan satu satunya untuk menyeret kejahatan agresi yang
dilakukan oleh Amerika Serikta dan sekutunya terlebih dengan peristiwa
meninggalnya Moammar Khadaffi secara kejam dengan intervensi dari kekuatan
militer tersebut. Disamping itu Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK
PBB) berperan penting dalam operasional guna berfungsinya proses hukum dalam mahkamah
ini. Adanya otoritas hukum nasional didahulukan dan dihargai guna penyelesaian
konflik di masing-masing negara. Akan tetapi didalam negara masing-masing
terdapat intervensi asing yang ranahnya juga masuk dalam perbauatan melawan
hukum secara internasional. Didalam internal negara masing-masing hanya
penegakan demokratiasai menurut Penulis sangat rasional karena itu memang
urusan dalam negara masing-masing negara. Akan tetapi proses ikut campurnya
pihak asing dalam penegakan proses demokratisasi di negara tersebut patut
dipertanyakan, karena ada kepentingan tertentu. Tidak hanya kepentingan justru
banyaknya pembunuhan khsususnya terhadap warga sipil ini lah merupakan unsur
perbuatan melawan hukum secara internasional dan penghukumannya pun juga harus
melalui hukum internasional. Kemudian
bagaiamana tindak lanjutnya? Menurut Penulis akan tergantung dari ketegasan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menindak negara-negara yang terlibat.
Selain itu negara yang tergabung di dalamnya juga harus aktif memberikan
kontribusi bagi penegakan hukum secara internasional agar tidak ada
pendiskriminasian terhadap negara tertentu. Mereka harus bersikap professional
guna menyeret para pelaku ageri di timur tengah agar mendapat hukuman yang
tegas.
Menurut teori
transformasi dinyatakan bahwa hukum internasional tidak akan pernah berlaku
sebelum konsep, kaidah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari
prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah hukum nasional. Menurut teori ini ada
perbedaan antara traktat-traktat yang memiliki sifat janji-janji (promise) dan
perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands), akibatnya diperlukan transformasi dari satu tipe ke tipe
lainnya secara formal maupun substansial [8]. Menurut teori delegasi proses implementasi dari hukum internasional
diserahkan kepada negara-negara atau hukum nasionalnya masing-masing [9].
R.C Hingorani menjelaskan “……rules
international law are left to state and national level for implementation….”,
ketentuan-ketentuan hukum tertinggal oleh praktek negara-negara dalam hubungan
internasional. Menurut teori adopsi cara berfikirnya sangat sederhana.
Hal ini sangat tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip
Hukum Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional. Hal ini juga
senada dengan pernyataan bahwa “a judge
is entitle to resort to a rule of international law without requiring that it
be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”. Hakim
berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih
dahulu diumumkan oleh negara atau pengadilan dari suatu negara [10]. Dengan demikian menurut Penulis dari
beberapa perspektif tersebut setiap aturan hukum internasional yang memiliki
prisnsip hukum umum yang wajib diikuti oleh setiap negara. Akan tetapi dalam
proses infiltrasi atau pun adopsi nilai-nilai hukum internasional akan
tergantung dari politic will dari
masing-masing negara. Parameter dari keadaan politik, ekonomi, sosial dan
budaya juga akan menjadi pertimbangan dari kebijakan masing-masing negara. Hal
tersebut juga menjadi titik tolak ukur dari proses pengadopsian nilai-nilai
hukum internasional terhadap hukum nasional di Indonesia. Terkait dengan adanya
fenomena sosial dari revolusi melati di timur tengah belum mempunyai dampak
secara hukum dan memberikan efek terhadap perkembangan hukum nasional di Indonesia.
Kerangka hukum internasional dan hukum nasional masih dapat berjalan dengan
proporsional. Lalu bagaimanakah pengaruhnya
di luar non yuridis? Penulis akan mencoba meneliti dari berbagai aspek
kehidupan yang ada di Indonesia.
a.
Dari segi politik, artinya adalah terkait kebijakan
yang akan diambil oleh pemerintah akan dipengaruhi oleh perkembangan hukum
internasional. Pemerintah lewat aparat penegak hukumnya akan lebih memberikan
preventif hukum agar gejolak masyarakat dapat diredam. Sifat otoriter akan
lebih banyak diambil oleh pemerintah karena takut akan adanya penggulingan
kekuasaan dan rasa ketidak kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
b.
Dari segi ekonomi, artinya adalah kebijakan
pemerintah khususnya terhadap para investor asing akan lebih banyak
diintervensi oleh negara barat. Dengan demikian kebijakan pemerintah juga akan
lebih selektif dengan pertimbangan pengaruh dari negara barat tidak akan masuk
di Indonesia. Kebijakan dengan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
juga akan disesuaikan dengan harga di luar negeri. Negara timur tengah adalah
negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia, jika terjadi gejolak
pengaruhnya juga akan menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Terbukti
polemik dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kontroversi dengan
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tahun 2012. Dalam aturan tersebut tidak ada keharusan untuk menaikan,
tapi dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi polemik dengan
adanya penambahan point Pasal 7 ayat 6a dengan adanya kenaikan 15% dengan
menyesuaikan harga minyak dunia.
c.
Dari segi sosial dan budaya, artinya adalah adanya pergerakan
masyarakat secara umum dengan adanya pengaruh dari revolusi melati. Banyaknya
mahasiswa yang melakukan demostrasi juga diikuti oleh rakyat dan bahkan adanya
pembakaran diri dari Sondak Hutagalung di depan istana negara. Fenomena sosial
yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia akan mempengaruhi pola pikir
bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dikritik dan bahkan ada anggapan
suara rakyat adalah suara Tuhan dan berhak dalam menumbangkan kekuasaan.
3. Pengaruh revolusi melati (perang timur tengah)
terhadap proses infiltrasi perusakan adat lokal dalam masyarakat
Beberapa
pengamat politik independen William Liddle dari Ohio University
berkeyakinan bahwa pergolakan dan krisis politik di negara-negara Timur Tengah
tidak akan merembet ke Indonesia. Meski secara teori politik
revolusi Timur Tengah itu tidak akan mengancam Indonesia, pemerintah justru
harus waspada dan hati-hati. Bila pemerintah tidak dapat mengelola isu dengan
baik maka akan digunakan kesempatan oleh berbagai kelompok demi kepentingan
politik tertentu khususnya politikus dan media masa tertentu. Moment di Timur
tengah tersebut dapat dimanfaatkan oleh para lawan poltik pemerintah yang terus
punya ambisi meraih dominasi poltik di negeri ini. Bila isu tersebut dibina dan
digalang terus oleh para politikus ulung di negeri ini maka bisa saja gelombang
revolusi itu akan menggoyang Indonesia [11]. Pengaruh global dari
dunia internasional pasti akan memberikan dampak terhadap karakter dan pola
sistem pemerintahan di seluruh dunia. Indonesia merupakan bagian kehidupan
dunia tersebut. Setiap transformasi baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan
budaya akan memberikan dampak terhadap perkembangan dunia. Revolusi melati di
Timur Tengah telah memberikan pengaruh yang significant terhadap adat budaya
lokal Indonesia. Adapun Penulis akan memberikan beberapa deskripsi yaitu
sebagai berikut:
1. Pola
pergerakan dan karakter mahasiswa dalam memberikan kontrol terhadap kebijakan
pemerintah
Revolusi melati banyak dilakukan
oleh kaum intelektual dan mahasiswa. Hal ini juga telah berimplikasi terhadap
pola pergerakan mahasiswa di Indonesia. Organisasi kemahasiswaan seperti:
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Hisbu Tahrir Indonesia
(HTI) dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan ideologi
pergerakannya masing-masing juga ikut mewarnai dalam setiap pengkritisan dari
setiap kebijakan pemerintah. Tindakan yang anarkis pun juga dilakukan agar
setipa aspirasi yang dibawa akan ditindak lanjuti oleh pemerintah. Dengan dibukanya
kran demokrasi dan adanya kebebasan berpendapat telah memberikan legitimasi
terhadap pola pergerakan mahasiswa. Aksi pembakaran lambang negara dan
menghujat para pejabat pemerintah sudah terindikasi kearah makar. Hal ini
disebabkan arah kebijakan pemerintah tidak lagi membela rakyat. Siapa pun
pejabat pemerintah dan bahkan presiden pun jika dianggap telah mengambil
kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat akan dikritik. Bahkan mereka disuruh
mundur dari kursi jabatannya. Rasa ketidak percayaan dari kalangan intelektual
ini merupakan buah pemikiran dari Timur Tengah dalam membrikan peringatan
terhadap setiap kebijakan pemerintah.
2. Rusaknya
tatanan kehidupan sosial berdasarkan sistem demokratisasi dalam perspektif
teori sosial sibernetika dari Talcot Parson
Herbert Spencer menerapkan
temuan-temuan Darwin ke etika dan hukum. Spencer melihat hukum sebagai suatu
entitas biologis dan berbagai kesamaan dengan tekstur organisme biologis. Dua
orang biolog Maturana dan Varela telah menciptakan coined. Konsep sistem-sistem yang hidup sebagai mesin. Diteruskan
oleh Luhman dengan diterapkan dalam hukum. Luhman menyatakan bahwa sistem hukum
adalah self referential dan self reproducing. Konsep negara organik
kita juga dekat dengan teori sibernetika dari Talcot Parson. Dalam sibernetika
dikatakan bahwa berbagai sub sistem dalam masyarakat yaitu politik, ekonomi,
sosial dan kultur terikat menjadi satu dalam pola pengaturan sendiri secara
otomatis. Hubungan-hubungan antar sub sistem tersebut berlangsung secara
mandiri menurut pola atau arus sibernetika. Secara geometris maka sub sistem
berada di puncak yang mengalirkan nilai-nilai atau informasi. Sedangkan ekonomi
berada di puncak yang lain yang mengalirkan energi. Hukum berada dalam sub
sistem sosial. Yang dikatakan dalam risalah ini adalah untuk merealisasikan
negara hukum yang bernurani, maka negara perlu memiliki pendirian sebagai satu
organ yang mampu berpikir, merencanakan dan sekaligus bertindak sesuai dengan
pilihan nuraninya. Hal tersebut berarti semua komponen dari negara berdiri
diatas landasan atau platform yang sama yaitu kepedulian untuk membahagiakan
rakyatnya. Dalam bahasa nomenklatur modern, maka pihak legislatif, eksekutif
maupun yudikatif disemangati oleh kepedulian yang sama tersebut [12].
Hubungan antara hukum dan sosial pada pokoknya menyatakan hukum merupakan
refleksi dari solidaritas sosial dalam masyarakat [13]. Gelombang dari perjalanan revolusi
melati telah memberikan dampak terhadap perubahan hukum dalam merekayasa
kehidupan sosial. Hukum yang seharusnya menjadi panglima dan menjadi ujung
tombak dalam menegakan rasa keadilan di masyarakat tidak dapat berjalan
maksimal.
Komoditas politik terkadang menjadi
penentu dalam segi pengambilan kebijakan yang melibatkan masyarakat umum.
Politik hanya dijadikan alat kekuasaan jika Penulis ibaratkan seperti pendapat
dari Hannah Arrendt [14]
orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalitas anibal laborans
dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi konsumsi sangat
dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama.
Sindrom yang menyertainya adalah korupsi. Hal ini sangat mungkin karena
fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (pejabat), dan ideologi
(pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang mendorong korupsi itu.
Modalitas tersebut sering dianggap sebagai yang diperoleh dengan usaha atau
suatu prestasi, sehingga penggunanya untuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap
wajar. Kehidupan ekonomi, sosial dan budaya pun juga takluk terhadap konstelasi
politik yang dimainkan oleh para anggota legislatif. Pasca terjadinya revolusi
melati yang menjadikan pemerintah harus lebih pro aktif dalam memberikan
kebijakan terhadap rakyat agar terjadi ketertiban dan keadilan justru hanya dikendalikan
partai politik lewat kader-kadernya yang di duduk di lembaga legislatif.
4. Solusi dari pengaruh revolusi bunga melati (perang
timur tengah) terhadap pencegahan dis integrasi bangsa di Indonesia
1. Korelasi
sosial terhadap moral by design dari masyarakat terkait daerah keistimewaan Aceh, Papua dan Yogyakarta
terhadap ancaman dis integrasi bangsa
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan
bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman[15].
Dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-udang”. Landasan konstitusi ini
telah memberikan legitimasi bagi daerah khusus di Indonesia dalam mengatur
kebijakan daerahnya masing-masing. Berdasarkan
isi Pasal 5 ayat (2) Dalam Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah disebutkan bahwa
”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Hal tersebut juga mengindikasikan adanya pelaksanaan pemerintah sesuai dengan
kondisi masing-masing daerah dan hal ini juga termasuk daerah yang bersifat
istimewa. Pemerintah dalam memberikan daerah keistimewaan juga dilandasi dengan
perjalanan historis dan kehidupan strata sosial di masyarakat.
Undang-Undang No.18 Tahun 2001
tentang Otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjadikan bagi Aceh dalam
menerapkan aturan pemerintahan yang bersifat syariah. Pemilihan kepala daerah pada
tanggal 16 Februari tahun 2012 di Aceh juga menimbulkan polemik di masyarakat.
Hal ini disebabkan adanya kontroversi terkait adanya Partai Aceh terkait
keikutsertaan dalam pemilihan kepala daerah. Calon independen juga menjadi
persoalan tersendiri ketika harus bertikai dengan Partai Aceh padahal calon
independen tidak diatur dalam aturan tersebut dan hanya ada dalam putusan
Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Pasal 1 point (14) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh “Partai politik lokal adalah
organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili
di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui
pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota”. Aturan ini telah memberikan kesempatan bagi
rakyat aceh untuk menentukan sendiri dalam pemerintahan di Aceh. Pasca adanya
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) berimplikasi terhadap rencana Partai Aceh
tidak akan mengikuti pemiliha kepala daerah. Penulis mencoba mengutip dari
pernyataan Mentri Dalam Negeri Gamawan Fauzi [16]
dinyatakan bahwa "Partai Aceh
memperoleh suara hingga 48%, sehingga jika mereka tidak ikuti pemilihan kepala
daerah, kami khawatir akan menganggu proses pemerintahan di Aceh untuk lima tahun
ke depan". Selanjutnya Mentri Koordinator Politik dan Keamanan Djoko
Suytanto mengatakan “peningkatan
kekerasan di Aceh mulai kasus penembakan hingga penggergajian menara listrik terkait
pemilihan kepala daerah”. Kekacauan yang terjadi di Aceh merupakan kebijkan
dari pemerintah yang tidak peka terhadap aspirasi rakyat dalam menentukan
kebijakan di daerah. Setiap kebijakan yang diambil dirasa diskriminatif dan
tidak membela rakyat Aceh.
Dalam
Pasal 1 point (b) Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi
provinsi Papua disebutkan “Otonomi Khusus
adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. Selanjutnya dalam
point (g) juga disebutkan “Majelis Rakyat
Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi cultural orang asli
Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang
asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini ”. Sebagai korelasinya menurut Penulis pemerintah dengan
mengeluarkan kebijkan ini telah membuka sebuah kran demokrasi pada rakyat
papua, akan tetapi tidak memberikan upaya perlindungan yang baik terhadap
masyarakat. Seolah-olah pemerintah lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab
terhadap upaya perbaikan eknomi, sosial dan budaya di Provinsi Papua. Konflik
horizontal dijadikan kamuflase dari pemerintah dan lebih diserahkan pada urusan
pemerintah daerah dalam mengatasi setiap permasalahan. Padahal konflik vertikal
menurut Penulis lebih tepat, karena masyarakat di Provinsi Papua kurang
merasakan kebijakan pemerintah dalam memberikan wujud nyata dalam pembangunan
di daerah tersebut. Kebijakan terhadap Freeport merupakan fakta bahwa
pemerintah lebih condong terhadap adanya intervensi asing dalam mengelola
Sumber Daya Alam (SDA) di daerah tersebut. Hal ini dengan dikeluarkannya
Peraturan Presiden (Perpres) No.77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Aturan ini telah membuka intervensi asing dalam penanaman modalnya.
Dalam mengawali untuk pembahasan terkait polemik pemilihan atau
penetapan terkait pemerintahan di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) Penulis mencoba mengambil perdebatan antara
pemerintah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) [17].
“Presiden mengingatkan tidak boleh ada
suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi. Pernyataan ini
dibalas Sultan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bukan pemerintahan
monarki sebagaimana diungkapkan presiden. Menurut Sultan ini sama dengan sistem
organisasi manajemen provinsi lain. Sultan menegaskan, persoalan pemilihan atau
penetapan kepala daerah itu merupakan
ranah kepentingan rakyat. Proses pemilihan atau penetapan kepala daerah itu
tergantung rakyat karena yang menentukan mereka”. Dari wacana inilah telah
menimbulkan gelombang kemarahan dari rakyat Yogyakarta. Aksi demonstrasi dan
bahkan penuntutan referendum juga diajukan kepada pemerintah. Kebijakan
pemerintah yang didukung oleh partai koalisi sebesar 423 suara akan memberikan
legitimasi pada proses kebijakan dengan pemilihan untuk kepala daerah di
Yogyakarta. Penetapan yang selama ini dianggap monarki dan tidak mencerminkan
demokrasi akan dihapus dengan kebijakan pemerintah tersebut. Rakyat Yogyakarta
akan mengancam untuk menuntut referendum dan semua kebijakan akan diserahkan
kepada rakyat, apakah tetap bersatu
dengan Indonesia ataukah lepas?. Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi
pemerintah. Fenomena tersebut telah mengubah kebijakan dari pemerintah lewat
partai koalisi untuk mendukung penetapan dan tidak lagi pada proses pemilihan.
2. Upaya
dan solusi pencegahan terhadap dis integrasi bangsa di Aceh, Papu khususnya dan
Yogyakarta di Indonesia pada umumnya
Melalui proses revolusi melati yang
melanda dunia dan berdampak pada proses politik dalam setiap pengambilan
pemrintah termasuk di Indonesia telah mengancam perpecahan baik lewat konflik
vertikal maupun horizontal. Tidak hanya di daerah yang telah memperoleh daerah
khsusus dan istimewa juga di daerah-daerah yang telah mendapatkan legitimasi
lewat kebijakan otonomi daerah akan berdampak pada ancaman dis integrasi
bangsa. Penulis lewat beberapa kasus dan fenomena tersebut memberikan solusi
yaitu sebagai berikut:
1.
Pendekatan internal
baik secara personal maupun struktural. Dengan demikian secara personal para
tokoh masyarakat baik yang berada di daerah yang telah diberikan daerah khusus
dan istimewa serta di daerah secara umum harus memberikan pengertian tentang
kebijakan permintah tersebut. Setiap ada konflik horizontal harus dapat segera
diselesaikan dengan rasa kekeluargaan. Secara struktural lewat pejabat
pemerintah yang ada di daerah lewat fraksi partai politik dari daerah pemilihan
masing-masing wajib memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan
memberikan keterangan dari setiap pengambilan kebijakan dari pemerintah;
2.
Pendekatan secara
eksternal melalui berbagai tokoh dan kalangan. Dari akademisi, mahasiswa dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus aktif memberikan penyuluhan dan
pendidikan kepada masyarakat terkait adanya gejolak politik baik dari tingkat
internasional maupun nasional. Diskusi publik dan seminar baik lokal maupun
nasional dapat dilaksanakan secara berkala agar masyarakat yang awam dapat
memperoleh pencerahan terkait adanya daerah khusus dan keistimewaan di Aceh,
Papua dan Yogyakarta;
3.
Pendekatan secara
sosial dan kultural. Masyarakat Indonesia yang plural dan bersifat primordial
telah mengutamakan rasa kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi dalam setiap
penyelesaian konflik yang timbul. Rasa memiliki daerah dan rasa persatuan dalam
bingkai bhineka tunggal ika akan menjadikan semangat bagi masyarakat agar
perpecahan yang mengarah pada dis integrasi bangsa dapat dicegah; dan
4.
Pendekatan secara
administratif politis. Dalam upaya penyelesaian ini regulasi berbagai peraturan
undang-udang dari pemerintah yang telah melegitimasi adanya daerah khusus dan
istimewa dari Aceh, Papua dan Yogyakarta harus selalu mendapat kontrol dalam
pelaksanaannya agar tidak terjadi penyimpangan secara hukum.
5.Penutup
Revolusi melati yang dilancarkan rakyat Tunisia berhasil
melengserkan rezim diktator Zeine El Abidin Ben Ali yang telah berkuasa
sekitar 23 tahun, meskipun dengan berbagai strategi coba dipertahankannya oleh
berbagai kalangan yang sangat diuntungkan selama Ben Ali berkuasa. Sejak
tahun 1999 ia menyarankan supaya Dewan Konstitusi Tunisia menunjuk Ketua
Palemen Foued Mebezza sebagai presiden sementara Tunisia. Anjuran tersebut
sudah sesuai dengan konstitusi Tunisia pada Pasal 56 dan 57 yang
sesungguhnya muncul bukan atas aspirasi rakyat. Meskipun Mouhammed Ghannauchi
segera menyerukan pembekuan kekuasaan Ben Ali dengan mengadopsi kasus liburan
definitif kepresidenan. Dengan demikian aspirasi rakyat makin tidak
diperdulikan yang memicu aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa dan rakyat.
Gelombang perpecahan tersebut telah memberikan dampak terhadap negara lain
khususnya di Timur Tengah juga melahirkan aksi penurunan paksa dari
pemerintahan yang sah.
Proses hegemoni dan infiltrasi akibat revolusi melati tersebut telah
memberikan dampak terhadap paradigma berpikir bagi bangsa lain baik secara
ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Proses demokratisasi yang aktor
intelektualnya adalah negara barat akan membawa dampak negatif bagi negara lain
yang tidak memiliki politic will yang
baik. Penjatuhan rezim dari penguasa yang tidak menjalankan proses
demokratisasi merupakan wacana dan sekaligus paham akibat adanya revolusi
melati dari Timur Tengah. Gelombang aksi demostrasi yang dimotori oleh kalangan
mahasiswa juga telah menjadikan parameter bagi pergerakan mahasiswa dalam
mengontrol setiap kebijakan dari pemerintah. Rakyat pun yang awalnya tidak tahu
akan masalah politik juga terbawa arus dan ikut memberikan kritik terhadap
setiap kebijakan dari pemerintah. Kebebasan dalam mengeluarkan pendapat pasca
jatuhnya rezim orde baru menjadikan jalan tersendiri akan lahirnya parlemen
jalanan. Bingkai kebhinekaan dan rasa kekeluargaan dalam menegakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lama-lama akan pudar akibat pengaruh
perpecahan yang mengatasnamakan demokrasi. Pemberian daerah khusus dan istimewa
terhadap Aceh, Papua dan Yogyakarta akan berdampak terhadap perpecahan antara
daerah. Konsep otonomi daerah juga telah memberikan pendelegasian terhadap
daerah agar dapat menentukan kebijakan yang akan disesuikan dengan kemampuan
daerah masing-masing. Celah dis integrasi bangsa akan makin terbuka lebar
ketika jabatan dari kepala daerah tidak hanya bersifat administrasi, akan
tetapi lebih bersifat politis. Fragmentasi dan peperangan antara partai politik
juga akan berdampak pada hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Dengan demikian pemerintah harus lebih bersifat pro aktif dalam membuat
kebijakan guna menyejahterakan rakyat. Hukum sebagai aktor utama dalam
menjalankan pemerintahan tidak boleh kalah dengan kepentingan politik dari
partai politik bagi kader-kader mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Produk hukum harus mencerminkan rasa keadilan dan tetap harus menjaga
agar ketertiban di masyarakat tetap baik, sehingga bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dapat dipertahankan demi menjunjung harkat dan martabat
bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Boer Mauna. 2003. Hukum
Internasional. Bandung:PT Alumni
Jawahir Thantowi. 2006. Hukum
Humaniter Kontemporer. Bandung: PT Revika Aditama
J.G Starke. 2001. Pengantar
Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju
I Wayan Parthiana. 1990. Pengantar
Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju
Irlina Permanasar dkk. 1999. Pengantar
Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC
Haryatmoko. 2002. Konflik
Bersenjata.Jakarta: Universitas Trisakti
..................... 2003. Etika
Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas
Kontras. 2005. Menolak Impunitas Serangkaian Prinsip
Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi
Manusia Melalui
Upaya Memerangi Impunitas Prinsip-Prinsip Hak Korban. Jakarta:
Kontras
Satjipto Rahardjo. 2009. Negara
Hukum Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta
Publishing
Soerjono Soekanto. 2006. Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sumber Jurnal Nasional
Mujahidin.
2007. Hukum Progresif Jalan Keluar Dari
Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 April
2007. Varia Peradilan: Ikahi
Harifin.
A. Tumpa. 2006. Yurisdiksi Peradilan
Pidana Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat Dalam Rangka Penerapan Statuta Roma Di Indonesia. Majalah
Hukum Tahun XXII No. 252 November 2006. Varia Peradilan: Ikahi
Ronald
Lumbun. 2008. Peranan Etika Dalam
Penegakan Hukum di Indonesia.
Majalah Hukum Tahun XXII No. 273 Agustus 2008. Varia Peradilan: Ikahi
Sumber Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sumber Internet
Anonim. Hubungan Hukum Internasional
dan Hukum Nasional. dalam http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum.html/
diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.25
Muhammad Nurdin. Revolusi
Melati Tunisia Dalam Perspektif Barat. dalam http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/01/18/revolusi-melati-tunisia-dalam-perspektif-barat/
diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.50
Fadil Abidin. Menggalang Revolusi Lewat Jejaring Sosial.
dalam http://fadilabidin08.blogspot.com/2011/07/menggalang-revolusi-lewat-jejaring.html/
diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.50
Widodo Judarwanto. Wabah
Revolusi Melati Mengancam Indonesia. dalam http://politik.kompasiana.com/2011/02/01/wabah-revolusi-melati-mengancam-indonesia/
diakses pada tanggal 4 Juli 2012 pukul 21.00 WIB
Anonim. 2012. Mendagri
Layangkan Gugatan ke MK Terkait Pilkada Aceh, dalam, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/01/120112_mendagrisoalpilkadaaceh.shtml/
diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 14.45 WIB
Anonim. 2012. RUU Keistimewaan
Yogyakarta Perang Wacana SBY vs Sultan, dalam, http://nasional.inilah.com/read/detail/1015992/perang-wacana-sby-vs-sultan/
diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 15.00 WIB
[1] lihat
Fadil Abidin, Menggalang Revolusi Lewat Jejaring Sosial, dalam http://fadilabidin08.blogspot.com/2011/07/menggalang-revolusi-lewat-jejaring.html/
diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.50
[4] Kontras, Menolak Impunitas Serangkaian Prinsip
Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia Melalui Upaya Memerangi Impunitas
Prinsip-Prinsip Hak Korban, (Jakarta, 2005), hal. 1
[5]
Harifin. A. Tumpa, Yurisdiksi Peradilan
Pidana Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat Dalam Rangka Penerapan Statuta Roma Di Indonesia, Majalah
Hukum Tahun XXII No. 252 (April 2006), hal.17
[10] Lihat Anonim, Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional, dalam (http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum.html/
diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 12.25)
[11] lihat
Widodo Judarwanto. Wabah Revolusi Melati
Mengancam Indonesia. dalam http://politik.kompasiana.com/2011/02/01/wabah-revolusi-melati-mengancam-indonesia/
diakses pada tanggal 4 Juli 2012 pukul 21.00 WIB
[15] Ronald
Lumbun, Peranan Etika Dalam Penegakan
Hukum di Indonesia, Majalah Hukum
Tahun XXII No. 273 (Agustus 2008), hal.50
[16] lihat, Anonim. 2012. Mendagri Layangkan Gugatan ke MK Terkait
Pilkada Aceh, dalam, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/01/120112_mendagrisoalpilkadaaceh.shtml/ diakses pada tanggal
24 Juli 2012 pukul 14.45 WIB
[17]
Lihat, Anonim. 2012. RUU Keistimewaan
Yogyakarta Perang Wacana SBY vs Sultan, dalam, http://nasional.inilah.com/read/detail/1015992/perang-wacana-sby-vs-sultan/
diakses pada tanggal 24 Juli 2012 pukul 15.00 WIB