Breaking News

05 October 2013

BADAI KORUPSI MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH AKIL MOCHTAR (QUO VADIS:KONSEPSI TATA NEGARA)

            Kewenangan MK ada di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 atau sama dengan dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. MK memiliki visi “tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat”. Kewenangan yang sering jadi permainan antara kekuasaan dan uang adalah pada “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Tidak hanya deal-dealan uang dan kekuasaan tapi jual beli putusan akan rentang terjadi. Cost politic yang tinggi disemua jenjang pemilihan akan mendorong semua pihak yang kalah dalam pemilu akan bermain pada tingkat pemberi keputusan agar sesuai dengan harapannya. Mengingat putusan dari MK adalah final dan mengikat telah menjadikan lembaga ini super body dan tidak boleh ada lembaga lain yang mengawasi. Putusannya pun tidak boleh diganggu gugat dan tidak ada upaya hukum yang dapat membatalkannya. Bahkan dalam sejarah ketika ada upaya dari pemerintah dengan Keputusan Presiden pun mental tidak ada artinya. Penangkapan Akil Mochtar sebagai ketua MK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang tertangkap tangan menerima suap telah menjadikan kewibawaan MK runtuh. Lembaga yang paling dipercaya oleh publik ini menjadi sejarah buruk dalam penegakan hukum di negeri ini. Proses hukum dan kevakuman kepemimpinan MK akan menjadikan berjalannya putusan-putusan di MK tidak berkualitas. Kita semua masih berharap bahwa MK akan dapat bangkit kembali dan menjadi lembaga yang dipercaya oleh publik. Jika kita merasa putra dan putri terbaik bangsa ini mari beripikir buat menata ulang negeri ini agar tidak karam oleh para penjahat di negeri ini. Mari bersama-sama berbuat demi umat, bangsa dan negara. Ini sedikit ulasan saya akan kegelisahan tentang problemtik ketatanegaraan di MK.

Konstelasi politik dalam drama tangkap tangan AM
        Dalam sejarah MK ada 3 orang yang termasuk hakim konstitusi dari unsur partai politik. Mahfud MD dari PKB, Akil Mochtar dari Partai Golkar, dan Patrialis Akbar dari PAN. Terlepas dari dikotomi hakim konstitusi boleh dan tidaknya dari partai politik tidak akan menjadi persoalan yang terpenting dapat bekerja profesional dan dapat menjaga integritas serta moralitas. Perlu jadi pertimbangan bahwa jaringan dari partai politik dan pihak mana yang memiliki kepentingan itu lah yang akan dapat menghancurkan integritas seseorang bahkan negarawan dari hakim konstitusi. AM ketua MK yang tertangkap tangan oleh KPK di kediamannya telah mengindikasikan apa dan bagamaina itu bisa terjadi. Tidak hanya publik yang kecewa tapi 8 hakim konstitusi lainnya juga mengalami kekecewaan tidak percaya AM merima suap sekitar 3 M. CN dari komisi II DPR RI dari fraksi partai Golkar dan seorang pengusaha. Kenapa harus dari Golkar dan melibatkan pengusaha?.Perlu diingat di tempat lain juga di tangkap Bupati dan assistennya dari Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ia bukan dari Golkar melainkan dari PDI-P.Kenapa harus tetap melakukan lobi-lobi antar partai. Koalisi di tingkat pusat berbeda dengan koalisi di tingkat bawah. Baik dari segi fungsional maupun gaya politiknya. Kabupaten Gunung Mas menyimpan banyak tambang dan SDA yang melimpah. Investor dan pengusaha akan senang bermain proyek disana. Legalitas dari Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan Daerah akan mampu memainkan keuangan daerah lewat APBD dengan leluasa. Kepala daerah sebagai Penerima Kuasa Anggaran (Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan/atau jasa) dari instansi akan memiliki otoritas tertinggi ketika dengan pihak siapa yang berhak mengadakan proyek atau pun dalam penggunaan keuangan daerah. Dengan demikian akan ada pertarungan kuat untuk memperbutkan kursi kepala daerah. AM walau sudah keluar dar partai pasti masih memiki jaringan di internalnya. Walau tidak melibatkan secara kelembagaan partai oknum yang melihat kekuasaan AM pasti tidak tinggal diam. Terbukti CN yang satu dalam perjuangan yang berhasil melakukan lobi terhadapnya. Bahkan lewat perantara pengusaha dan para kuasa hukumnya mampu berkomunikasi dengan baik antar partai. Memanfaatkan celah dana dari proyek atau pun janji jika kepala daerah dapat dipegang merupakan tawaran yang pantas dipertimbangkan oleh para pengusaha. Makanya mereka akan mengeluarkan duit berapa pun besarnya. Secara politis CN adalah kader dari Golkar yang masih sah. Boleh langsung di PAW atau pun masih akan menunggu proses hukum selanjutnya. Semua ada pada kebijakan internal partai. Jangan sampai ada kader partai bisa juga aka menyeret yang lain, karena tidak pernah tahu akan kerjasama dengan siapa saja. Deal-dealan di tingkat elit partai politik akan terjadi. Saling menyelamatkan, saling sandra atau kah saling mengorbankan dan paling ironi adalah ada yang dikorbankan untuk menutupi yang lain. Bisa juga AM dijebak dan ingin mengancurkan nama MK karena dendam dan karena ingin mengambil kepentingan bisa saja terjadi.

Dilematik kepemimpinan di MK
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK di Pasal 18 (1) disebutkan bahwa hakim konstitusi ada 9 orang dan dipilih masing-masing 3 orang yaitu dari MA, DPR, Presiden. Hal ini hampir sama dengan isi Pasal 4 ayat (1) bahwa hakim konstitusi ada 9 orang dengan pengesahan secara formal lewat Keputusan Presiden. Lalu bagaimana jika terjadi kekosongan salah satu hakim konstitusi atau bahkan dari ketuanya langsung karena alasan tertentu dan jumlahnya tidak lagi 9 orang?. Untuk mengawalinya saya mencoba secara dogmatis alasan itu secara logisnya adalah dengan diberhentikan. Dalam makna diberhentikan ini bisa dengan secara hormat dan tidak hormat. Pemberhentian secara hormat seperti tercantum pada Pasal 23 ayat (1) yaitu kerena meninggal dunia, mengundurkan diri, usia telah 70 tahun, masa jabatan telah habis, dan sakit jasmani atau rohani selama 3 bulan berturut-turut. Selanjutnya pada ayat (2) hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat yaitu dipidana yang berkekuatan hukum tetap, melakukan perbuatan tercela, tidak hadir sidang selama 5 kali tanpa alasan, melanggar sumpah atau janji jabatan, dengan sengaja menghambat proses mengadili, memeriksa, dan memutus atas kerja sama dengan DPR terhadap perbuatan tercela, rangkap jabatan, tidak memenuhi syarat lagi sebagai hakim konstitusi, dan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.Lalu bagaimana jika hakim konstitusi bahkan ketua MK AM tertangkap tangan melakukan tindakan pidana dan tercela? Hal tersebut dapat dicermati lewat Pasal 6 ayat (3) UU MK hakim konstitusi langsung dapat ditindak karena tertangkap tangan oleh lembaga penegak hukum. Dalam aturan tersebut bisa dari Kepolisian dan Kejaksaan setelah mendapat persetujuan tertulis dari presiden, tapi jika dengan 2 lembaga penegak hukum itu asalkan tidak tertangkap tangan. Berhubung yang melakukan tangkap tangan adalah KPK maka yang berhak melakukan tindakan selanjutnya adalah KPK dengan kewenangan domain dan yuridisnya untuk menjerat lebih lanjut dengan UU No.30 Tahun 2002 dengan KPK dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keadaan dalam ketata negaraan kepemimpinan MK seperti apa?Status ketua MK sudah jadi tersangka, tapi ia masih resmi sebagai ketua MK yang sah dan masih akan menjalani proses lebih lanjut. Dalam Pasal 4 ayat (4) UU MK disebutkan bahwa ketua dan wakil ketua MK telah menjadi kewenangan internal MK yaitu melalui rapat internal yang dipimpin oleh hakim konstitusi yang usianya paling tua. Selanjutnya dalam ayat (4a) minimal harus dihadiri oleh 7 hakim konstitusi agar memenuhi kuorum. Pada pemilihan beberapa bulan kemarin AM terpilih sebagai ketua MK dengan voting sebanyak 7 suara dan Hamdan.Z sebagai wakil ketua. Dengan tidak dapat bekerjanya ketua MK dalam menjalan tugas dan wewenangnya. Tidak disalahkan jika dari 8 hakim konstitusi melakukan rapat internal dan memilih kembali ketuanya atau kah wakil ketua sekarang bisa langsung menjadi ketua tentunya dengan persetujuan hakim konstitusi yang lainnya. Dalam keadaan ini jika terjadi dissenting opinion akan mengalami kesulitan dan tidak akan menghasilkan putusan yang berkualitas. Terobosan baru dan memang itu harus dilakukan pihak internal MK telah membentuk Mejelis Kehormatan (berdasarkan Pasal 27A ayat (2)) yang terdiri dari pihak internal hakim konstitusi (Harjono), akademisi (Mahfud MD dan Hikmahanto), dari pihak lembaga negara lain (KY) Abas Said, dan pihak MA (mantan ketua MA Bagir Manan). Majelis Kehormatan ini juga terkait tugas dan wewenangnya tidak ada kejelasan. Semua itu akan dapat ditentukan dengan diadakan rapat bersama dengan pihak internal MK dengan mengeluarkan PMK dan Majelis Kehormatan ini dapat bekerja secara independent dan transparan. Majelis ini hanya berpedoman pada aturan MK sebelumnya berupa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mereka tidak memiliki kewenangan bebas. Jika ditelaah lebih lanjut unsur DPR dan pemerintah berdasarkan aturan tersebut maka tidak ada.
Ada beberapa pilihan yang dapat diambil agar legalitas Keputusan Presiden (mengingat ini adalah legalitas tertinggi dalam status hakim konstitusi) yaitu: Pertama, menunggu hasil atas kinerja dari Majelis Kehormatan (Pasal 27A ayat (5) UU MK) apa pun sanksi yang akan diberikan pada AM apakah diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara sampai ada keputusan pengadilan yang tetap atau hanya teguran tertulis. Pemberhentian dengan tidak hormat adalah lebih tepat. Kata “tidak hormat” memang tidak ada, akan tetapi Majelis Kehormatan harus menafsirkan dan melihat realita yang terjadi. Baru setelah itu hasilnya diserahkan pada presiden agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan. Kedua, pilihan lain adalah karena dari 8 hakim konstitusi masih memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan keberlangsungan baik dalam jenjang fungsional dan struktural maka dapat memberikan surat permintaan pada presiden atas nama MK agar presiden sendiri yang akan menentukan nasib AM ini.
Lalu bagaimana tindak lanjut atas kekosongan atas ketua MK sekarang? AM hanya diberlakukan perpanjangan jabatan dan tidak lagi mengikuti fit and proper test lagi. Jejak rekam pasca jadi hakim konstitusi tidak ada kontrol dan evaluasinya apakah masih pantas atau tidak. Logisnya tidak boleh hakim konstitusi setelah paripurna masa jabatan hanya perpanjangan dengan alasan masih percaya dan pantas melanjutkan jabatannya tidak logis diberlakukan di Indonesia yang telah menjunjung tinggi hukum diatas segala-galanya. Semua mekanisme harus melalui aturan agar paling tidak meminimalisir dampak negatif yang ada. Tidak hanya AM hakim konstitusi lainnya juga mengalami masa perpanjangan. Menurut saya ada pilihan yang harus segera di tindak lanjuti yaitu sebagai berikut: Pertama, Secara dogma AM terpilih dari Komisi III DPR sejak tahun 2008 lalu, maka pihak DPR wajib melakukan fit and proper test untuk memilih kembali hakim konstitusi. DPR harus bertanggung jawab terhadap publik atas kesalahan yang terlah diperbuat. Perlu dicermati juga atas standarisasi akan pemilihan dari DPR ini kurang jelas dan masih masih intervensi politik. Deal-dealan dan konstelasi politik masih terlihat jelas. Jual beli suara akan rentan terjadi. DPR harus membuat aturan yang lebih rigit dan ketat agar hakim konstitusi yang terpilih dapat lebih berkualitas baik dari segi negarawan dan moralitasnya. Perlu dipertimbangkan juga calon dari partai politik harus ada seleksi dan mekanisme tersendiri; Kedua, Jika Keputusan Presiden sudah keluar pihak lembaga kepresidenan juga memiliki otoritas untuk mengambil alih kekosongan tersebut untuk segera dipilih dengan Keputusan Presiden sebagaimana telah diambil kebijakan dalam pemilihan Patrialis Akbar kemarin. Ketiga, mengutip pendapat dari Adnan Buyung dan Ketua PPP maka 8 hakim konstitusi sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik harus mengundurkan diri. Hal ini menurut saya sah dan etis, akan tetapi perlu dipertimbangkan juga bahwa jika hakim konstitusi mengundurkan diri maka justru kekosongan akan makin menimbulkan ketidak jelasan akan penanganan perkara-perkara yang ada di MK. Apa lagi jika ada usulan pembentukan panitia bersama antara presiden, MA, dan DPR. Hal ini tentunya memerlukan waktu dan perlu dikaji tentang prosedur dan mekanismenya.

Bentuk pengawasan terhadap hakim MK
MK adalah lembaga super body karena amanah konstitusi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah mengamanahkan setiap keputusannya final dan mengikat. Tidak boleh diganggu gugat dan wajib dipatuhi oleh semua belah pihak. Selama ini pengawasan terhadap kinerja dari hakim konstitusi tidak ada. Hanya sebatas kamuflase dan semi otonom saja. Pengawasan yang ada hanya sebatas pembentukan Majelis Kehormatan sesuai dalam Pasal 27A ayat (2) UU MK. Majelis ini pun dibentuk terkesa dadakan setelah ada pelanggaran baru dibentuk majelis. Percuma diadakan karena perbuatan tercela dan tindakan kejahatan sudah terjadi. Sifatnya yang dadakan tidak menjamin kualitas keputusan yang diambil. Upaya preventif sejak awal tidak pernah ada. Sejak ada kisruh politik dan drama yang terjadi di MK sejak tahun 2010 banyak wacana dan publik menghendaki adanya pengawasan terhadap hakim konstitusi. Lembaga satu-satunya yang berhak mengawasi hakim adalah KY, akan tetapi MK menolak untuk diawasi dengan alibi bahwa hakim yang dimaksud dari kewenangan KY di Pasal 24B tidak menyangku hakim yang ada di MK. Pemaknaannya adalah hakim tersebut dimaknai semua hakim yang berada dalam lingkungan peradilan di bawah MA seperti yang tercantum dalam ruang lingkup di Pasal 24A ayat (1). Polemik ini pun pemaknaan dan tafsir ini pun juga sempat melibatkan lembaga lain MA dalam memberikan pemaknaan dan putusan. Dalam pengawasan ini menurut saya ada beberapa pilihan yaitu: Pertama, tetap mempertahankan adanya Majelis Kehormatan akan tetapi tidak hanya berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim kewenangan dan pemberian keputusannya harus lebih luas. Bisa juga lewat dengan Peraturan Majelis Kehormatan sebagai legalitas dalam melaksanakan kewenangannya. Majelis ini agar tidak terkesan dadakan dalam pembentukan harus disahkan jauh hari sebelum ada perbuatan tercela dan tindakan kejahatan. Pengesahannya bisa lewat Keputusan Presiden. Dengan demikian kinerjanya akan lebih lama dan kualitas putusannya akan lebih dapat dipertanggung jawabkan pada publik. Kedua, pemaknaan pengawasan hakim dari KY harus ditafsir ulang dari MA bahwa yang dimaksud dengan hakim di Pasal 24B ayat (1) adalah yang termasuk dalam hakim konstitusi. Dengan cara yang lebh ekstrim adalah amandemen pasal tersebut dan mencantumkan secara jelas tentang pengawasan hakim konstitusi oleh KY.
Read more ...
Designed By Mas Say