KPK dalam menetapkan sebagai tersangka menggunakan
Pasal 12 a UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. KPK beranggapan sudah ada 2 alat bukti yang sah karena
menerima hadiah atau janji ketika masih menjabat sebagai anggota DPR RI. Akan
tetapi apakah sudah berdasarkan Pasal 183 KUHAP?jika yang disangkakan hanya
pada gratifikasi mobil
Toyota Harrier dari PT Adhi Karya?. Ini akan menjadi perdebatan dalam
persidangan. Sprindik yang bocor apakah ada unsur kesengajaan atau
kesalahn administrasi saja?.Hal ini bisa menjadi ranah pidana ketika ada unsur
kesengajaan dengan maksud tertentu. Pelakunya juga dapat dipidanakan.
Polemik surat pemanggilan KPK pada Anas Urbaningrum
terdapat dua kutub yang saling berbeda dalam menafsirkan KUHAP. Dalam
perspektif PPI dkk menggunakan Pasal 112 ayat (1) yang berbunyi “Penyidik yang
melakukan pemeriksaan dengan menyebutkan alasan panggilan secara jelas,
berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar
antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan
tersebut”. Pihak mereka mempermasalahkan tentang “panggilan secara jelas”, karena masih
disebut dalam surat panggilan kasus Hambalang dan proyek lain. Proyek lain
tidak identik dengan klasula “penggilan secara jelas”. Disisi lain pihak KPK
menggunakan Pasal 51a KUHAP yang
berbunyi “Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dengan bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya waktu pemeriksaan
dimulai”. Klausula pada “dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti” ini
menurut saya akan menjadi gugur ketika pihak tersangka mengelak tidak mengerti.
Akan tetapi ironi jika dari awal ditetapkan sebagai tersangka tidak mengerti
pasal-pasal yang disangkakan. Buat apa menunjuk kuasa hukum jika tidak
mengerti?.Ini adalah permainan bahasa hukum. Logika hukum, penafsiran, dan
debat teori bisa terjadi pada tahapan ini. Kuatnya argumentasi yuridis dengan
bungkusan logika filsafat yang akan menang. Hal ini juga akan menjadi debat
argumentasi hukum awal pada proses hukum selanjutnya.
Pada 10 Januari 2014 Anas Urbaningrum resmi ditahan
KPK. Apakah polemiknya kenapa datang sendiri tanpa didampingi kuasa hukumnya?.
Kenapa alasan penahanan karena menerima uang 2 M pada waktu Kongres Partai
Demokrat?Kenapa tidak disebutkan sejak awal bersamaan gratifikasi penetapan
sebagai tersangka?. Dalam karyanya Sayfudin dalam buku perdana terbit Juli 2013
pada bagian yang mengupas tentang pola,modus dan gaya korupsi pejabat ada hal
yang menarik untuk perlu dikaji bersama. Dapat dikaji pada (2013:244). Ia
melahirkan konstruksi hukum dan penalaran teori baru dalam pidana. Ia beri nama
“The Octopus Behaviour Theory” atau “Teori Gurita Bertindak”. Sebagai
penjelasan secara umum adalah hewan gurita merupakan konteks paradigma
filosofis metafisis kinerja dalam sebuah birokrasi yang korup. Adapun makna
umum dalam teori ini adalah sebagai berikut: Otak gurita, merupakan para penguasa dalam sebuah birokrasi atau
pihak atasan; Mata gurita, merupakan
aturan formal (kamuflase tingkat 1) dalam melegalkan sebuah kebijakan publik
atau pihak menengah; Kaki panjang gurita,
merupakan aturan materiil (kamuflase tingkat 2) dalam melegalkan sebuah
kebijakan publik atau pihak menengah; dan Kaki
gurita, merupakan anak buah sebagai peserta dalam pengambilan kebijakan
atau pihak bawahan.
Keempat komponen tersebuat akan saling bekerja sama
dan akan saling mempengaruhi. Mereka tidak dapat dipisahkan antara yang satu
dengan yang lain. Jika salah satu mesin tersebut tidak ada yang bekerja salah
satu saja maka tidak dapat dikatakan teori ini akan berlaku dalam menganalisis
sebuah kasus. Goal setting dari
seluruh pergerakan komponen tersebut adalah “kinerja
tim’ dan “tindakan dalam kamuflase
hukum” yang dilakukan secara bersama-sama. Setiap tindakan-tindakan yang dilakukan hanyalah upaya menutupi
kesalahan dengan pengeluaran kebijakan publik sebagai alasan pembenaran.
Pembenaran akan menjadi hukum setelah mendapat tutup berupa payung hukum
melewati kebijakan publik dari pihak eksekutif maupun legislatif.
Terlihat aneh dan janggal, akan tetapi uji teori
tersebut sudah banyak terjadi dan validisasinya terbukti pada kasus-kasus besar
yang melibatkan pejabat yang korup khususnya di daerah. Bagaimana teori ini
bekerja pada kasus Anas Urbaningrum?. Siapakah penguasa dalam lingkaran kasus
yang menjeratnya? (Hambalang yang sudah dibuktikan oleh KPK dan proyek lain).
Apa saja aturan formal dan materiilnya?.Menurut saya juga tidak kalah penting
adalah siapa saja yang terlibat ikut secara berjamaah pada kasus tersebut?.
Pada fase
pertama, dapat dikatagorikan para pengambil kebijakan
teratas ini yaitu para pejabat di birokrat pemerintah sebagai legalisator
tertinggi di masing-masing instansi. Presiden pada lembaga kepresidenan.
Pimpinan Banggar DPR RI sebagai alat kelengkapan negara pada proses pencaiaran
dana. Menteri keuangan pada dapartemen keuangan sebagai celah dilegalkannya
uang negara dari APBN. Menteri pemuda dan olah raga karena aktivitas pada
jeratan kasus korupsi ini melibatkan lembaga ini dan menjadi kewenangan di
bawah instansi ini juga. Pada fase ini terkait siapa yang termasuk orangnya
seperti dalam Pasal 55 KUHP yaitu “orang
yang melakukan, yang menyuruh lakukan, turut serta melakukan, dan penganjur”.
Dalam hal ini orang yang terlibat adalah SBY,Andi Malarangeng, Agus
Martowardoyo, Wayan Koster, Kahar Muzakkir, dan Olly Dondokambey.
Pada fase kedua,
dapat dikatagorikan sebagai aturan yang bersifat formil dan payung hukumnya
yaitu berupa peraturan yang diambil dalam aturan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan. KUHP dan KUHAP masuk dalam katagori ini. UU No. 30 tahun
2002 tentang KPK. UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada fase ketiga,
dapat dikatagorikan sebagai aturan yang bersifat materiil dan payung hukumnya
yaitu aturan yang lebih teknis dan peraturan pelaksana lainnya. Dapat juga
berupa Peraturan Pemerintah, peraturan atau keputusan dari instansi pemerintah
atau swasta. Dalam katagori ini dapat juga yang bersifat personal dari sebuah
peraturan maupun dalam bentuk keputusan. Pada fase ini menurut saya dapat masuk
dalam siklusnya peraturannya berupa Perpres No.54 Tahun 2010 tentang pengadaan
barang/atau jasa pemerintah. Pada Pasal 7 sampai Pasal 11 disebutkan tentang
kinerja dan siklus dari Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sumber dana utama adalah dari APBN.
Pada fase
keempat,dapat dikatagorikan peserta tambahan dan ikut
melaksanakan kesuksesan tindak pidana korupsi yaitu setiap orang yang terlibat
pada fase kedua dan ketiga baik yang mengeluarkan maupun yang mendapatkan
mandat dari atasannya. Katagori orang dalam fase ini dapat dilihat dalam Pasal
56 KUHP sebagai pembantu dalam melakukan kejahatan yaitu “orang yang sengaja melakukan kejahatan” dan “orang yang memberikan
kesempatan,sarana, dan keterangan untuk melakukan kejahatan”.
Pada fase ini orang-orang yang dapat dikatakan
terlibat adalah Anas Urbaningrum, Nazzarudin, Angielina Sondahk, Edie Baskoro, Syariah
Sofiah (kepala badan perizinan Terpadu Kabupaten Bogor), Burhanudin (kepala
Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor), Achmad A. Ardiwinata (Pejabat
Pembuat Komitmen kegiatan studi amdal tahun 2007), Yani Hassan (Kepala Dinas
Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor), Joyo Winoto (Kepala Badan
Pertanahan Nasional/BPN), Managam Manurung (Sestama dan Plt Deputi II BPN), Binsar
Simbolon (Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Pemerintah BPN), Erna
Widayati (Staf Pengolah Data Deputi II BPN), Luki Ambar Winarti (Kepala Bagian
Persuratan BPN), Wafid Muharam (Sekretaris Kemenpora), Dedy Kusdinar (Kabiro
Perecanaan Kemenpora dan Pejabat Pembuat Komitmen), Anny Ratnawati (Dirjen
Anggaran Kemenkeu), Mulia P Nasution (Sekjen Kemenkeu), Dewi Pudjiastuti
Handayani (Direktur Anggaran II Kemenkeu), Sudarto (Kasubdit II E Ditjen
Anggaran Kemenkeu), Rudi Hermawan (Kasie II E-4 Ditjen Anggaran Kemenkeu), Ahmad
Maliq (Staf Seksi II E-4 Ditjen Anggaran Kemenkeu), Guratno Hartono (Direktur Penataan
Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU), Dedi Permadi (Pengelola Teknis
Kementerian PU), Wafid Muharam (Sekretaris Kemenpora), Wisler Manalu (Ketua
Panitia Pengadaan Kemenpora), Jaelani (anggota Panitia Pengadaan Kemenpora), Bambang
Siswanto (Sekretaris Panitia Pengadaan Kemenpora), Rio Wilarso (Staf Biro
Perencanaan Kemenpora), M. Arifin (Komisaris PT Metaphora Solusi Global/MSG), Asep
Wibowo (Manajer Marketing PT MSG), Husni Al Huda (staf PT Yodya Karya), Aman
Santoso (Direktur PT Ciriajasa Cipta Mandiri/CCM), Mulyatno (Manajer Pemasaran
PT CCM), Aditya Gautama (staf PT CCM), Rudi Hamarul (staf PT CCM), RM Suhartono
(staf PT CCM), Yusuf Sholikin (staf PT CCM), Malemteta Ginting (Staf PT CCM
sekaligus Team Leader Manajemen Konstruksi), Teguh Suhanta (staf PT Adhi
Karya), R Isnanta (Kabag Keuangan Kemenpora), Teuku Bagus Muh Nur (Kepala DK-1,
PT Adhi Karya sekaligus Kuasa KSO Adhi-Wika), Machfud Suroso (Dirut PT Dutasari
Citralaras), R. Isnanta (Panitia Pemeriksa/Penerima Pengadaan Barang/Jasa Pada
Pembangunan Lanjutan P3SON Hambalang), Teuku Bagus Nur (Kepala DK-I PT Adhi
Karya sekaligus Kuasa KSO Adhi-Wika), Bu pur sebagai pihak yang ingin proyek
hambalang 2,5 T dimenangkan.
Setiap orang yang terlibat wajib diperiksa dan
dipanggil oleh KPK tanpa terkecuali SBY. Terlepas nanti terbukti atau tidak itu
persoalan lain. Dalam teori ini kinerja tim dalam lingkaran birokrasi adalah
pekerjaan berjamaah ketika melakukan kejahatan. Tidak mungkin sendiri-sendiri
pasti melibatkan semua yang masuk dalam lingkaran birokrasi tersebut. Jika Anas
Urbaningrum terlibat dan sah terbukti bersalah jelas tidak mungkin tidak ada
orang yang bersertanya, artinya dari fase 1 dan 2 wajib diperiksa. Jika semua
terbukti wajib masuk penjara semua. Berhubung proyek lain ini masih dalam
pemeriksaan maka saya tidak memasukannya dalam telaah teori ini. Apa
kemungkinan secara pidana yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum? Ia harus membuktikan
bahwa tidak menerima gratifikasi dengan pembuktian terbalik dan bukti-bukti
secara tertulis atau dari saksi-saksi yang dihadirkan. Ia juga harus membantah
dan membela diri dari setiap testimoni yang telah menyebutnya dalam
keterlibatan kasus tersebut. Terakhir adalah apa berani memberikan kesaksian
atas keterlibatan pata petinggi Partai Demokrat termasuk SBY dan putra
mahkotanya Edie Baskoro karena sebelumnya telah disebut oleh Yulianis sebagai Justice Collaborator?. Ini adalah hal
yang paling ditunggu publik.
Dalam kasus Hambalang banyak yang terlibat dari yang
baru ditahan sampai penjatuhan vonis. Kaitannya ini saya hanya mengambil
beberapa contoh saja. Pada 20 April 2012
Nazarudin telah divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda 200 juta. Ia dikenakan
Pasal 12 b UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi .Angelina Sondahk pada 20 November 2012 di tingkat kasasi
MA dari vonis 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan denda pengganti
sebesar 74,4 M. Ia dikenakan Pasal 12a UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 17 Oktober 2013 Andi
Malaranging ditahan. Ia dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun
1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Anas Urbaningrum sama persis dengan jerat hukum dari
Angelina Sondahk. Apakah vonisnya akan sama?atau justru akan ditambah dengan
jeratan hukum pencucian uang mengingat ada proyek lain selain Hambalang?.Atau
justru sebaliknya akan lebih ringan atau bebas mengingat perdebatan hukum dan
pembuktian materiil di persidangan. Ingat ada beberapa jenis vonis seperti
dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dapat diputus “bebas” jika kesalahannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Selanjutnya pada Pasal 191 ayat (2) dapat diputus “lepas dari segala tuntutan hukum” jika perbuatannya bukan jenis
tindak pidana. Hal ini juga sama dengan isi Pasal 38B ayat (6) UU No.31 Tahun
1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.