Breaking News

19 January 2014

PRAHARA AWAS ANAS SERANG CIKEAS? (TELAAH THE OCTOPUS BEHAVIOUR THEORY)


KPK dalam menetapkan sebagai tersangka menggunakan Pasal 12 a UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK beranggapan sudah ada 2 alat bukti yang sah karena menerima hadiah atau janji ketika masih menjabat sebagai anggota DPR RI. Akan tetapi apakah sudah berdasarkan Pasal 183 KUHAP?jika yang disangkakan hanya pada gratifikasi mobil Toyota Harrier dari PT Adhi Karya?. Ini akan menjadi perdebatan dalam persidangan. Sprindik yang bocor apakah ada unsur kesengajaan atau kesalahn administrasi saja?.Hal ini bisa menjadi ranah pidana ketika ada unsur kesengajaan dengan maksud tertentu. Pelakunya juga dapat dipidanakan.
Polemik surat pemanggilan KPK pada Anas Urbaningrum terdapat dua kutub yang saling berbeda dalam menafsirkan KUHAP. Dalam perspektif PPI dkk menggunakan Pasal 112 ayat (1) yang berbunyi “Penyidik yang melakukan pemeriksaan dengan menyebutkan alasan panggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut”. Pihak mereka mempermasalahkan tentang  “panggilan secara jelas”, karena masih disebut dalam surat panggilan kasus Hambalang dan proyek lain. Proyek lain tidak identik dengan klasula “penggilan secara jelas”. Disisi lain pihak KPK menggunakan Pasal  51a KUHAP yang berbunyi “Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya waktu pemeriksaan dimulai”. Klausula pada “dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti” ini menurut saya akan menjadi gugur ketika pihak tersangka mengelak tidak mengerti. Akan tetapi ironi jika dari awal ditetapkan sebagai tersangka tidak mengerti pasal-pasal yang disangkakan. Buat apa menunjuk kuasa hukum jika tidak mengerti?.Ini adalah permainan bahasa hukum. Logika hukum, penafsiran, dan debat teori bisa terjadi pada tahapan ini. Kuatnya argumentasi yuridis dengan bungkusan logika filsafat yang akan menang. Hal ini juga akan menjadi debat argumentasi hukum awal pada proses hukum selanjutnya.
Pada 10 Januari 2014 Anas Urbaningrum resmi ditahan KPK. Apakah polemiknya kenapa datang sendiri tanpa didampingi kuasa hukumnya?. Kenapa alasan penahanan karena menerima uang 2 M pada waktu Kongres Partai Demokrat?Kenapa tidak disebutkan sejak awal bersamaan gratifikasi penetapan sebagai tersangka?. Dalam karyanya Sayfudin dalam buku perdana terbit Juli 2013 pada bagian yang mengupas tentang pola,modus dan gaya korupsi pejabat ada hal yang menarik untuk perlu dikaji bersama. Dapat dikaji pada (2013:244). Ia melahirkan konstruksi hukum dan penalaran teori baru dalam pidana. Ia beri nama “The Octopus Behaviour Theory” atau “Teori Gurita Bertindak”. Sebagai penjelasan secara umum adalah hewan gurita merupakan konteks paradigma filosofis metafisis kinerja dalam sebuah birokrasi yang korup. Adapun makna umum dalam teori ini adalah sebagai berikut: Otak gurita, merupakan para penguasa dalam sebuah birokrasi atau pihak atasan; Mata gurita, merupakan aturan formal (kamuflase tingkat 1) dalam melegalkan sebuah kebijakan publik atau pihak menengah; Kaki panjang gurita, merupakan aturan materiil (kamuflase tingkat 2) dalam melegalkan sebuah kebijakan publik atau pihak menengah; dan Kaki gurita, merupakan anak buah sebagai peserta dalam pengambilan kebijakan atau pihak bawahan.
Keempat komponen tersebuat akan saling bekerja sama dan akan saling mempengaruhi. Mereka tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Jika salah satu mesin tersebut tidak ada yang bekerja salah satu saja maka tidak dapat dikatakan teori ini akan berlaku dalam menganalisis sebuah kasus. Goal setting dari seluruh pergerakan komponen tersebut adalah “kinerja tim’ dan “tindakan dalam kamuflase hukum” yang dilakukan secara bersama-sama. Setiap tindakan-tindakan yang dilakukan hanyalah upaya menutupi kesalahan dengan pengeluaran kebijakan publik sebagai alasan pembenaran. Pembenaran akan menjadi hukum setelah mendapat tutup berupa payung hukum melewati kebijakan publik dari pihak eksekutif maupun legislatif.
Terlihat aneh dan janggal, akan tetapi uji teori tersebut sudah banyak terjadi dan validisasinya terbukti pada kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat yang korup khususnya di daerah. Bagaimana teori ini bekerja pada kasus Anas Urbaningrum?. Siapakah penguasa dalam lingkaran kasus yang menjeratnya? (Hambalang yang sudah dibuktikan oleh KPK dan proyek lain). Apa saja aturan formal dan materiilnya?.Menurut saya juga tidak kalah penting adalah siapa saja yang terlibat ikut secara berjamaah pada kasus tersebut?.
Pada fase pertama, dapat dikatagorikan para pengambil kebijakan teratas ini yaitu para pejabat di birokrat pemerintah sebagai legalisator tertinggi di masing-masing instansi. Presiden pada lembaga kepresidenan. Pimpinan Banggar DPR RI sebagai alat kelengkapan negara pada proses pencaiaran dana. Menteri keuangan pada dapartemen keuangan sebagai celah dilegalkannya uang negara dari APBN. Menteri pemuda dan olah raga karena aktivitas pada jeratan kasus korupsi ini melibatkan lembaga ini dan menjadi kewenangan di bawah instansi ini juga. Pada fase ini terkait siapa yang termasuk orangnya seperti dalam Pasal 55 KUHP yaitu “orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan, turut serta melakukan, dan penganjur”. Dalam hal ini orang yang terlibat adalah SBY,Andi Malarangeng, Agus Martowardoyo, Wayan Koster, Kahar Muzakkir, dan Olly Dondokambey.
Pada fase kedua, dapat dikatagorikan sebagai aturan yang bersifat formil dan payung hukumnya yaitu berupa peraturan yang diambil dalam aturan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. KUHP dan KUHAP masuk dalam katagori ini. UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK. UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada fase ketiga, dapat dikatagorikan sebagai aturan yang bersifat materiil dan payung hukumnya yaitu aturan yang lebih teknis dan peraturan pelaksana lainnya. Dapat juga berupa Peraturan Pemerintah, peraturan atau keputusan dari instansi pemerintah atau swasta. Dalam katagori ini dapat juga yang bersifat personal dari sebuah peraturan maupun dalam bentuk keputusan. Pada fase ini menurut saya dapat masuk dalam siklusnya peraturannya berupa Perpres No.54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/atau jasa pemerintah. Pada Pasal 7 sampai Pasal 11 disebutkan tentang kinerja dan siklus dari Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sumber dana utama adalah dari APBN.
Pada fase keempat,dapat dikatagorikan peserta tambahan dan ikut melaksanakan kesuksesan tindak pidana korupsi yaitu setiap orang yang terlibat pada fase kedua dan ketiga baik yang mengeluarkan maupun yang mendapatkan mandat dari atasannya. Katagori orang dalam fase ini dapat dilihat dalam Pasal 56 KUHP sebagai pembantu dalam melakukan kejahatan yaitu “orang yang sengaja melakukan kejahatan” dan “orang yang memberikan kesempatan,sarana, dan keterangan untuk melakukan kejahatan”.
Pada fase ini orang-orang yang dapat dikatakan terlibat adalah Anas Urbaningrum, Nazzarudin, Angielina Sondahk, Edie Baskoro, Syariah Sofiah (kepala badan perizinan Terpadu Kabupaten Bogor), Burhanudin (kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor), Achmad A. Ardiwinata (Pejabat Pembuat Komitmen kegiatan studi amdal tahun 2007), Yani Hassan (Kepala Dinas Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor), Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional/BPN), Managam Manurung (Sestama dan Plt Deputi II BPN), Binsar Simbolon (Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Pemerintah BPN), Erna Widayati (Staf Pengolah Data Deputi II BPN), Luki Ambar Winarti (Kepala Bagian Persuratan BPN), Wafid Muharam (Sekretaris Kemenpora), Dedy Kusdinar (Kabiro Perecanaan Kemenpora dan Pejabat Pembuat Komitmen), Anny Ratnawati (Dirjen Anggaran Kemenkeu), Mulia P Nasution (Sekjen Kemenkeu), Dewi Pudjiastuti Handayani (Direktur Anggaran II Kemenkeu), Sudarto (Kasubdit II E Ditjen Anggaran Kemenkeu), Rudi Hermawan (Kasie II E-4 Ditjen Anggaran Kemenkeu), Ahmad Maliq (Staf Seksi II E-4 Ditjen Anggaran Kemenkeu), Guratno Hartono (Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU), Dedi Permadi (Pengelola Teknis Kementerian PU), Wafid Muharam (Sekretaris Kemenpora), Wisler Manalu (Ketua Panitia Pengadaan Kemenpora), Jaelani (anggota Panitia Pengadaan Kemenpora), Bambang Siswanto (Sekretaris Panitia Pengadaan Kemenpora), Rio Wilarso (Staf Biro Perencanaan Kemenpora), M. Arifin (Komisaris PT Metaphora Solusi Global/MSG), Asep Wibowo (Manajer Marketing PT MSG), Husni Al Huda (staf PT Yodya Karya), Aman Santoso (Direktur PT Ciriajasa Cipta Mandiri/CCM), Mulyatno (Manajer Pemasaran PT CCM), Aditya Gautama (staf PT CCM), Rudi Hamarul (staf PT CCM), RM Suhartono (staf PT CCM), Yusuf Sholikin (staf PT CCM), Malemteta Ginting (Staf PT CCM sekaligus Team Leader Manajemen Konstruksi), Teguh Suhanta (staf PT Adhi Karya), R Isnanta (Kabag Keuangan Kemenpora), Teuku Bagus Muh Nur (Kepala DK-1, PT Adhi Karya sekaligus Kuasa KSO Adhi-Wika), Machfud Suroso (Dirut PT Dutasari Citralaras), R. Isnanta (Panitia Pemeriksa/Penerima Pengadaan Barang/Jasa Pada Pembangunan Lanjutan P3SON Hambalang), Teuku Bagus Nur (Kepala DK-I PT Adhi Karya sekaligus Kuasa KSO Adhi-Wika), Bu pur sebagai pihak yang ingin proyek hambalang 2,5 T dimenangkan.
Setiap orang yang terlibat wajib diperiksa dan dipanggil oleh KPK tanpa terkecuali SBY. Terlepas nanti terbukti atau tidak itu persoalan lain. Dalam teori ini kinerja tim dalam lingkaran birokrasi adalah pekerjaan berjamaah ketika melakukan kejahatan. Tidak mungkin sendiri-sendiri pasti melibatkan semua yang masuk dalam lingkaran birokrasi tersebut. Jika Anas Urbaningrum terlibat dan sah terbukti bersalah jelas tidak mungkin tidak ada orang yang bersertanya, artinya dari fase 1 dan 2 wajib diperiksa. Jika semua terbukti wajib masuk penjara semua. Berhubung proyek lain ini masih dalam pemeriksaan maka saya tidak memasukannya dalam telaah teori ini. Apa kemungkinan secara pidana yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum? Ia harus membuktikan bahwa tidak menerima gratifikasi dengan pembuktian terbalik dan bukti-bukti secara tertulis atau dari saksi-saksi yang dihadirkan. Ia juga harus membantah dan membela diri dari setiap testimoni yang telah menyebutnya dalam keterlibatan kasus tersebut. Terakhir adalah apa berani memberikan kesaksian atas keterlibatan pata petinggi Partai Demokrat termasuk SBY dan putra mahkotanya Edie Baskoro karena sebelumnya telah disebut oleh Yulianis sebagai Justice Collaborator?. Ini adalah hal yang paling ditunggu publik.
Dalam kasus Hambalang banyak yang terlibat dari yang baru ditahan sampai penjatuhan vonis. Kaitannya ini saya hanya mengambil beberapa  contoh saja. Pada 20 April 2012 Nazarudin telah divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda 200 juta. Ia dikenakan Pasal 12 b UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .Angelina Sondahk pada 20 November 2012 di tingkat kasasi MA dari vonis 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan denda pengganti sebesar 74,4 M. Ia dikenakan Pasal 12a UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 17 Oktober 2013 Andi Malaranging ditahan. Ia dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Anas Urbaningrum sama persis dengan jerat hukum dari Angelina Sondahk. Apakah vonisnya akan sama?atau justru akan ditambah dengan jeratan hukum pencucian uang mengingat ada proyek lain selain Hambalang?.Atau justru sebaliknya akan lebih ringan atau bebas mengingat perdebatan hukum dan pembuktian materiil di persidangan. Ingat ada beberapa jenis vonis seperti dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dapat diputus “bebas” jika kesalahannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Selanjutnya pada Pasal 191 ayat (2) dapat diputus “lepas dari segala tuntutan hukum” jika perbuatannya bukan jenis tindak pidana. Hal ini juga sama dengan isi Pasal 38B ayat (6) UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Read more ...

PRAHARA AWAS ANAS SERANG CIKEAS? (PERSPEKTIF TATA NEGARA)


Berbicara tata negara berarti wajib menarik dasar hukum yang ada dalam konstitusi sebagai kitab tertinggi. Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Pada konteks pemaknaan ini adanya pengadilan tindak pidana korupsi merupakan jenis pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum hal ini juga telah diatur dalam UU No. 46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan khsusus ini juga merupakan atribusi dari UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. KPK ini juga merupakan atribusi dari Pasal 43 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebelum saya mencermati kinerja aturan tersebut dan hubungannya dengan lembaga lain termasuk lembaga kepresidenan perlu saya kupas sedikit tentang perjalanan KPK Pasca reformasi. Diawali dengan keluarnya TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Diterjemahkan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (19 Mei 1999). Disempurnakan dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16 Agustus 1999). Ini merupakan aturan yang mengawali semangat adanya pemberantasan korupsi pasca terjadinya galau konstitusi. Follow up nya adalah dengan dibentuknya beberapa komisi negara. KPKPN dan TGPTPK (PP No.19 Tahun 2000). Dua komisi ini merupakan komisi yang fokus dalam penanganan pemberantasan korupsi. Dengan adanya revisi UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (21 November 2001) maka PP No.19 Tahun 2000 di Judicial Review dan diterima akhirnya TGPTPK dibubarkan. Akhirnya lewat UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK (27 Desember 2002) dibentuk KPK. Perlu kita kaji bersama mengapa dahulu TGPTPK masih dibawah kejaksaan dan KPK dibawah presiden?.
Para pimpinan KPK berawal Antasari Azhar, Tumpak Panggabaian (Plt Antasari Azhar pasca terlibat kasus pembunuhan). Perppu plt tersebut ditolak oleh DPR akhirnya terpilih Busro Muqodas sebagai ketuanya. Terlepas kontoversi atas putusan MK terkait masa jabatan dan jumlah calon dari Panitia Seleksi serta perspektif DPR sampai voting Abaraham Samad terpilih sebagai ketua KPK (2 Desember 2011). Dalam kaitannya dengan kelembagaan presiden dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR atas usulan presiden. Selanjutnya dalam ayat (8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam ayat (12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Selanjutnya dalam ayat (13) disebutkan bahwa presiden wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan dari DPR.
Dengan demikian legitimasi tertinggi pimpinan KPK ada di tangan presiden bahkan sampai pengangkatan dan sumpahnya oleh dan dihadapan presiden. Apa ini dapat diartikan pertanggung jawabannya pada presiden?jelas berbicara inpendensi dari KPK tidak mungkin, akan tetapi perlu dicermati bersama bahwa sekedar laporan kinerja KPK pada presiden sah dan wajib. Laporan yang seperti apa?Mekanismenya seperti apa?dan kapan dapat dilaksanakan?Apa semaunya para pimpinan KPK datang pada presiden atau seenaknya presiden memanggil mereka?. Hal ini tidak ada aturan yang jelas. Terkadang koordinasi para pimpinan KPK dengan presiden dimaknai dan ditafsirkan lain apalagi ditafsrkan secara politis. Terkait kasus Anas Urbaningrum dan juga melibatkan dengan SBY sebagai ketua Partai Demokrat selaku presiden apa yang selayaknya dilakukan?. Dalam berita acara pemeriksaan kasus hambalang sering disebut keterkaitan Cikeas, dan para pimpinan KPK tentunya lebih paham akan kode etik tidak dan diperbolehkannya dengan tersangka atau pun keluarga yang terduga ada sangkut pautnya dengan kasus yang sedang diperiksa. Hal ini harus dijadikan etika dalam bernegara jangan sampai terkamuflase seolah-olah melakukan koordinasi, akan tetapi ada pembicaraan lain. Intensitas koordinasi dengan kondisi seperti itu harus dijaga jarak agar jangan sampai disalah artikan oleh publik. Hubungan personal jangan sampai terlembagakan ini akan membahayakan siklus pola hubungan dalam sistem tata negara.
            Lembaga lain yang ikut terlibat dalam kasus Hambalang ini adalah BPK. UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK merupakan penderivatifan dari Pasal 23E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 6 ayat (3) disebutkan bahwa “pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”. Pemaknaan “pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” telah dibuktikan orang-orang yang terlibat dalam kasus Hambalang termasuk spesifikasi proyek, tujuan dan kinerjanya. Hal ini telah relevan jika dikaitkan dengan Perpres No.54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/atau jasa pemerintah. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan hasil laporan BPK wajib dipublikasikan. Apa benar hal ini sudah terbukti?dalam kaitan nominal masih dirahasiakan, Kenapa?. Perlu diketahui nama Edie Baskoro, Angelina Sondahk, Nazzarudin, dan Anas Urbaningrum tidak ada dalam daftar nama hasil audit BPK, kenapa ini terjadi dan ada apa?. Nama yang ada hanya Andi Malaranging sebagai Kemenpora yang menyalahi kewenangannya dalam melakukan tugas dan kewajiban. Hasil ini akan dapat dijadikan kajian lebih lanjut dari KPK?. Apa mutlak wajib ditaati?kekuatan hukumya seperti apa?. Dalam praktek hasil audit BPK ini hanya digunakan dalam penentan kerugian negara dan apa pun hasilnya akan jad perdebatan dalam persidangan.
Perlu dicermati juga terkait kasus Hambalang adalah dengan adanya polemik ketatanegaraan pada saat pergeseran ketua Komisi III DPR. Alat kelengkapan negara di DPR salah satunya adalah adanya sebuah komisi (Pasal 81 ayat (1) point a UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3). Dalam komisi tersebut ada beberapa fraksi dari berbagai partai politik. Hal ini juga diperkuat pada Pasal 11 ayat (1) UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3. Setiap fraksi memiliki ketuanya. Ketua ini mempunyai kewenangan dalam melakukan rotasi kader sebagai arah kebijakan dari instruksi partai. Ketua fraksi Partai Demokrat dipegang oleh Nurhayati Ali Assegaf. Ketua komisi III DPR pengganti Benny K.Harman adalah Pasek Surdika dan ia dikenal sebagai loyalis Anas Urbaningrum. Pergeseran pun dilaksanakan dan diganti oleh Ruhut Sitompul. Apa yang terjadi?Pengunduran pelantikan oleh pimpinan DPR dan penggagalan dengan kelompok fraksi yang ada. Akhirnya terpilih Pieter C.Z Simabuea sebagai ketuanya. kontroversi yang mewarnainya merupakan siklus tata negara yang dijadikan alat poliltik buat mengatur ritme permainan terkait kasus Hambalalang yang melibatkan Anas Urbaningrum. Tidak kalah menarik adalah alat kelengkapan negara yang lain berupa Badan Aggaran. Dalam Pasal 107 ayat (1) pada intinya bahwa adanya pembahasan antara pemerintah yang dapat diwakili oleh para menteri dalam penganggaran kementrian lewat APBN. Siapakah yang dimaksud sebagai pihak pemerintah?adalah eksekutif presiden dan jajarannya. Siapakah menteri Pemuda dan Olah Raga waktu kasus Hambalang?.Jelas Andi Malaranging. Siapa menteri Keuangannya sebagai perwakilan pemerintah? Agus Martowardoyo. Mereka adalah orang kepercayaan SBY. Siapakah pengganti mentri keuangan sekarang dan berganti pada posisi apa?. Mari kita tafsirkan bersama (jika ditarik politik) masuk tidak logika ketatanegaraan ini?. Kubu SBY dan Anas Urbaningrum pun jelas dengan orang-orang kepercayaannya masing-masing juga masuk dalam Badan Anggaran ini.
Pada 13 Desember 2013 terdapat judicial review atas Pasal 3 dan 112 UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Prof Yusril I.M. Titik substansi yang perlu saya cermati adalah inti dari Pasal 3 ayat (1) adalah bahwa pemilu presiden dan wakil presiden setiap 5 tahun sekali. Selanjutnya pada ayat (5) bahwa pemilu presiden dan wakil presiden akan dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Pada Pasal 112 jelas disebutkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden akan dilaksanakan setelah pemilu legislatif maksimal 3 bulan. Pada point gugatan tersebut hanya akan mempersoalkan jangka waktu pemilu presiden dan wakil presiden. Batu uji dari pasal-pasal ini dapat dilihat dari Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil setiap 5 tahun”. Hal tersebut juga dibenturkan dengan Pasal 6A ayat (2) disebutkan bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu”. Gugatan tersebut pada intinya menginginkan bahwa pemilu presiden bersamaan, tidak sepakat adanya presidential threshold karena Indonesia penganut sistem presidential, tafsir konstitusi dari Pasal 6A ayat (2) atas dasar original intents dari substansi tersebut bahwa yang dimaksud adalah pemilu legislatif mengacu pada Pasal 22E.
Berkenaan dengan pemikiran substansi tersebut saya sendiri berbeda dengan logika tata negara yang dikonstruksi. Contoh kecil adalah tentang presidential threshold. Saya sendiri sepakat tetap ada. Justru harus dinaikan dari 20% suara DPR menjadi 30% dan dari 25% menjadi 35% dari jumlah suara nasional. Kenapa demikian? peluang koalisi antar partai akan menjadi lentur dan mudah. Dengan demikian akan terbentuk koalisi kenegaraan yang dapat menyatukan pemikiran konsep kebangsaan bersama dengan bermacam-macam ideologi yang ada akan memberikan kemanfaatan hasil pemikiran kritis untuk solusi bangsa. Rakyat pun tidak dibuat bingung karena hanya akan memilih hanya 2 pasangan saja. Jika memang ambang batasnya sama dengan 3,5% hal buruk akan terjadi. Kenapa? walaupun proses demokratisasi akan berlangsung dengan baik, justru akan membuat  bingung rakyat pilihan banyak dan fragmentasi perang ideologi akan berlangsung tidak sehat. Pemaknaan konsep presidential dan parlementer jika dikaitkan dengan pemilu presiden dan wakil presiden juga berbeda tafsir baik dalam tataran teoretis dan praktis. Tafsir Pasal 6A ayat (2) saya sendiri lebih mengacu pada Pasal 6A ayat (1) karena lebih pada koherensi makna gramatikal dan kadar filosofisnya tidak terdikotomi seperti yang Prof Yusril I.M paparkan dengan mengacu pada Pasal 22E. Perdebatan ini bukan substansi makna dalam tulisan saya ini, akan tetapi ini adalah perdebatan akademis dan dapat dikaji dalam tulisan lain. Dengan berbeda pendapat bukan berarti saya menginginkan MK akan menolak atau juga agar mengabulkan, akan tetapi bagaimana siklus dari logika tata negara ini akan berdampak pada kasus Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum.
Putusan MK bisa mengabulkan sebagian/seluruhnya,menolak dan menerima, bahkan bisa ultra petita. Jika menerima/menolak wajar logis implikasinya, tapi jika mengabulkan sebagian?sia-sia lah. Sekitar 90% lebih gugatan Prof Yusril I.M selalu menang. Jika lebih ekstrim dan berani buat melawan kecerdasan tersebut DPR segera rapat paripurna revisi UU tersebut dan sahkan jangan biarkan deadlock. Cabut Pasal 3 ayat (5). Pasal 9 (itu perdebatan lain). Jika menang dan dikabulkan seluruhnya, (ingat ketua MK adalah kader PBB dan pernah jadi staff khsusus beliau ketika jadi Mensesneg thn 2004-2007, jika ditarik secara politik),maka dampaknya adalah pemilu legislatif  pada 9 April 2014, pemilu presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014, dan pergantian peralihan kekuasaan pada 20 Oktober 2014 gagal atau rubah jadwal?bagaimana dengan jadwal KPU,Bawaslu dan DKPP akan menyesuaikan?harus sosialisasi lagi?rakyat bingung?keuangan dari APBN goncang?Para kandidat capres&cawapres dapat berubah jika berdasarkan survey-survey menang bisa sebaliknya?Bursa capres&cawapres ada 12 pasangan sejumlah partai peserta pemilu?. Kondisi inilah yang akan dimanfaatkan oleh SBY untuk bermanuver dengan sisa-sisa kekuasaannya lewat gerakan lembaga-lembaga negara yang masih dibawahinya untuk menghadapi serangan Anas Urbaningrum dengan ormasnya PPI. Bagaimana dengan Anas Urbaningrum dengan kondisi yang tidak menguntungkan berada diluar jalur lingkaran kekuasaan?. Intervensi partai lain dan para tokoh yang masih mengambil momentum pemilu 2014 lewat kasus Hambalang akan terlibat pada kondisi ini.
Read more ...
Designed By Mas Say