BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pemberantasan korupsi memang mutlak
diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan
kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan berkesinambungan karena sangat
sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi [1].
Pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berat. Jika pada awal reformasi
koruptor terfragmentasi, sekarang mereka semakin kompak menyusul
terkonsolidasinya kekuatan lama berupa eli-elit politik dan bisnis. Beberapa
kasus menunjukan koruptor saling melindungi melalui negoisasi politik. Para
koruptor menjadi lebih berani membajak, menganggu, dan mengancam
institusi-institusi antikorupsi [2].
Ada sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy)
yang menyatakan tentang korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan
jumlah kekayaan sebesar 8,03 milliar dolar AS [3].
Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010
stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8.
Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan
kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei,
Malaysia, dan Thailand [4].
Dalam upaya pemberantasan korupsi yang semakin merajalela dan merugikan
keuangan negara dibutuhkan sebuah konsep hukum sebagai alat yang dapat
dipergunakan untuk menjerat para pelaku korupsi di pengadilan tindak pidana
korupsi. Hukum harus menjadi panglima dan ujung tombak dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum menganut
sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) yang diwarisi oleh
pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam kehidupan
bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis dan teratur. Dalam sistem hukum civil law, hukum tertulis merupakan primadona sebagai sumber hukum.
Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme
yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar
undang-undang. Mereka mengatakan bahwa hukum adalah identik dengan
undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum diakui sebagai
hukum apabila undang-undang menunjuknya [5].
Negara hukum di Indonesia lebih merupakan negara “by moral design” [6].
Sistem hukum civil law terdapat
banyak kelemahan dan tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum dalam
penegakannya. Sistem hukum ini hanya menjadikan hukum tertulis sebagai dasar
utama dalam menjatuhkan vonis oleh hakim. Hal ini berimplikasi terhadap tiap
vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.
Dalam hukum emansipatoris dan responsif ontologi
dari aparat penegak hukum adalah bertanggung jawab dan mengacu pada hal-hal
yang kongkrit [7].
Hukum progresif mengingatkan bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti. Oleh karena
hukum terus menerus berada pada status membangun diri. Dengan demikian
terjadinya perubahan sosial dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang
menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia [8].
Hukum progresif merupakan jalan dan arahan untuk terus
memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial adalah
pembalikan dari ajaran legisme tapi dalan aplikasinya tetap dibutuhkan aturan
demi proses berjalannya sistem hukum di Indonesia. Konsep hukum progresif
yang lebih mengutamakan rasa keadian dan kebenaran materiil di dalam masyarakat
merupakan terobosan hukum yang dapat menjadi alternatif dalam penegakan hukum
yang dirasa selama ini hanya terkungkung oleh aturan tertulis saja. Subyek yang
paling berperan dalam menemukan dan menciptakan konsep hukum ini adalah hakim.
Apalagi dalam penanganan kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
hakim yang progresif wajib diperlukan demi rasa keadilan. Hal ini mengingat dampak
negatif dari hasil tindak pidana korupsi adalah kerugian atas perekonomian
negara. Dengan demikian masyarakat juga akan terkena dampaknya.
Hakim di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi merupakan penafsir undang-undang untuk memberikan pemaknaan dalam
memberikan vonis kepada pelaku tindak pidana korupsi demi terciptanya keadilan
yang substantif. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi
sebagai penemu yang dapat menemukan mana yang merupakan hukum dan yang bukan
merupakan hukum. Hal ini seolah-olah hakim sebagai pemegang kekuasaan legislative atau pembentuk
undang-undang. Selanjutnya dikatakan, bahwa undang-undang (kodifikasi) justru diadakan untuk membatasi hakim yang karena
kebebasannya telah menjurus kepada tirani atau kesewenang-wenangan. Akan tetapi
bila hukum tertulis tidak lengkap, atau belum dapat menjawab permasalahan yang
ada untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi barulah dicari kelengkapannya
dari sumber hukum yang lain-lainnya [9].
Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan
Umum”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan bahwa “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Bertolak
dari fakta ini maka hakim sebagai subyek dalam menciptakan hukum di pengadilan
tindak pidana korupsi memiliki otoritas tertinggi untuk menemukan dan
menciptakan hukum dalam memutus setiap kasus korupsi yang ada. Dengan demikian
harmonisasi antara konsep hukum progresif dengan sifat diskresi hakim dalam
menemukan hukum dalam pemberantasan korupsi dan penetapan sanksi hukum terhadap
para pelaku tindak pidana korupsi akan mendapat sanksi yang tegas serta dapat
memenuhi rasa keadilan yang didambakan oleh masyarakat luas.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka
Penulis akan mengkaji lebih detail dalam pembahasan makalah dengan judul “PERANAN HAKIM PADA PROSES PENEMUAN HUKUM
DALAM TINJAUAN KONSEP HUKUM PROGRESIF SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI PENGADILAN
TINDAK PIDANA KORUPSI”
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimanakah konsep hakim tindak pidana
korupsi pada proses penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada
para pelaku korupsi di Indonesia?
2.
Bagaimanakah korelasi Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai sarana hakim dalam penggunaan hukum progresif demi proses
penemuan hukum sebagai upaya penjatuhan sanksi kepada pelaku korupsi di
Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep hakim tindak pidana korupsi
pada proses penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada pelaku
korupsi di Indonesia
Keadilan dalam bahasa Inggris dapat
disebut dengan istilah equaty, fairness,
dan justice. Keadilan sebagai equaty dapat diartikan sebagai fairness, impartiality, evenhanded deadling.
Keadilan sebagai fairness menurut John Rawls yang didasarkan pada teori
Kontrak Sosial terdiri dari 2 (dua) interpretasi yaitu situasi awal dan atas
persoalan pilihan yang ada serta seperangkat prinsip yang akan disepakati.
Keadilan sebagai fairness berkaitan dengan eksistensi negara sebagai suatu
institusi yang dibentuk berdasarkan kontrak sosial, sehingga akan menjadi
tanggung jawab negara untuk menciptakan keadilan sebagaimana yang diperjanjikan
dengan masyarakat yang membentuknya. Keadilan sebagai justice dapat diartikan “the
fair and proper administration of laws” [10]. Dalam menentukan pilihan hukum harus berdasarkan pada
conditio sine quanon yaitu: Direktif
artinya pengarahan dalam pembagunan hukum untuk membentuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan negara. Integratif artinya akan mengedepankan
tentang pembinaan kesatuan. Stabilitatif artinya akan mementingkan pemeliharaan keseimbangan
bermasyarakat. Perfektif artinya penyempurnaan terhadap tindakan administrasi
negara. Korektif
artinya akan lebih menitik beratkan terhadap warga negara atau administrasi
negara dalam mendapatkan keadilan [11].
Jika
berpedoman dari pendapat yang dikemukakan oleh Klug [12]
bahwa undang-undang (statute) telah
menetapkan kelas dari kasus-kasus yang ditujukannya dalam istilah-istilah yang
demikian umum sehingga kasus yang sampai meragukan dari kelas umum sebagai
kasus khusus. Kajian dari makna tersebut adalah pengadilan tipikor ditujukan
untuk menanangani kasus khusus yaitu korupsi, dengan aturan yang khusus harus
mampu memberikan perubahan yang signifikan pada sistem hukum di Indonesia pada
khususnya dan pada perekonomian pada umumnya.
Prinsip umum
dari pengadilan tindak pidana korupsi adalah tidak memihak dan independen. Hal
tersebut akan tergantung dari jaksa dan hakim apakah memihak pada keadilan
rakyat atau hanya berpedoman pada aturan positif tapi justru akan menghancurkan
keadilan. Dalam menghasilkan produk hukum progrersif yang selalu bersifat
responsive dan dan ideology pro rakyat terkadang harus memisahkan untuk
sementara waktu dari hukum itu sendiri dengan keadaan sosial yang ada. Hal ini
akan senada dengan substansi dari “Conference
On Critical Legal Study” (CCLS), berikut ini akan Penulis uraikan lebih
rinci dari ciri khas CCLS adalah sebagai berikut: [13]
The separation of law
from other varieties of social control, The existence of law in the form of
rules that both define the proper sphere of their on application, That are
presented as the objective and legitimate normative mechanism while other
normative types are partial as subjective, dan Yield determinant and
predictable results in their application in judicial process.
Jika dikaji lebih lanjut maka Penulis
menganalisis bahwa hukum itu sendiri tidak dapat terpisahkan dari fakta dan
realita yang ada di masyarakat yang menjadi objek dari hukum itu sendiri,
maksudnya adalah adanya undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi yang
merupakan aturan hukumnya justru akan memberikan tatanan ke arah yang lebih
baik. Baik buruknya penerapan dari pengadilan yang dibentuk tersebut akan menentukan
baik buruknya tata sistem ekonomi sosial kemasyarakatan. Dalam perubahan itu
diperlukan proses dan keyakinan seperti slogan yang dilontarkan oleh Barack
Obama ”chance we can believe it”
yaitu perubahan yang dapat kita percaya [14].
Pengadilan tipikor itu juga diharapkan mampu memberikan warna birokrasi
weberian [15]
yang dapat menekankan berjalannya pengadilan tersebut secara
professional dan rasional yang berpihak pada kepastian dan keadilan. Hal itu
juga disebabkan badan peradilan yang berupa
pengadilan tipikor sebagai peradilan yang last bastion of legal order [16]
atau sebagai benteng terakhir dari tertib hukum.
Penulis juga berpendapat bahwa sistem
pengharmonisasian antara hukum progresif dan pengadilan tindak pidana korupsi
akan terlihat ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan
terjadi polemik yaitu dalam penangkapan terhadap hukum itu sangat statis dan
tidak pernah memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi
yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan
hukum (legal justice) tapi akan gagal
untuk menangkap keadilan masyarakat (social
justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan
mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara
cenderung berpedoman pada formalis-prosedural daripada rasa keadilan
sosiologis. Penulis juga berasumsi fenomena ini senada seperti yang dikatakan
oleh Esmi warasih “Penerapan suatu sistem
hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan
masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak
cocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain
dengan nilai-nilai yang dihayati noleh warga masyarakat itu sendiri’ [17]. Hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan
materi hukum progresif yang berorientasi pada dua hal yaitu formal prosedural
dan keadilan sosiologis mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak
pihak khususnya perekonomian masyarakat hancur tidak karuan. Aturan hukum yang
ada berupa undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi nanti akan digunakan
sebagai telaah kritis dalam menjerat semua pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Dengan
dibentuknya pengadilan tersebut dan diterapkannya hukum progresif yang
berintergritas tinggi diharapkan akan mampu mengatasi segala problema dan
polemik yang telah menghambat pembangunan di Indonesia selama ini. Jika
bertolak dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger the economy the more powerful its
smallest players to
create the new rule for the expanding global economic order”
[18].
Penulis beranggapan salah satu inti
permasalahan jika dikaitkan dengan maraknya korupsi adalah adanya korupsi telah
mengganggu stabilitas perekonomian bangsa. Kondisi ini juga telah menyebabkan
sistem hukum yang mangatur masyarakat luas ikut terganggu. Akibat korupsi yang
telah merusak tatanan perekonomian bangsa akan menciptakan rusaknya global society [19]
yang semula telah tersusun dengan baik. Hukum yang baik dan terkontrol lah yang
dapat merubah dan memperbaiki tatanan yang telah rusak tersebut. Hukum progesif
yang pro ideologi rakyat lah yang dapat menjamin terjaganya global state yang telah tercamar dan
dirusak tatanan ekonominya dengan tindak korupsi oleh para koruptor. Makin
cepat disahkannya rancanagn undang-undang pengadilan tipikor akan dapat
meminimalisasi dari segala permasalahan yang ada dalam global ekonomi. Untuk
mencapai tatanan pembangunan yang berkeadilan memang tidak langsung dapat
tercapai, tapi harus melalui tahap demi tahap. Tahapan itu dapat dimulai dari
aturan formal yang harus mendapat legalisasi dari pemerintah selaku pemegang
kekuasaan hukum tertinggi.
1. Implikasi Hukum
Progresif Sebagai Dasar Penemuan dan Penciptaan Hukum Dari Hakim di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hukum
progresif ini tidak pernah memandang bahwa hukum positif itu tidak baik, akan
tetapi terkadang jika dihadapkan pada persoalan hukum yang sulit terpecahkan
maka dengan sendirinya hukum positif tersebut akan lumpuh. Usaha mencari
kebenaran yang mewajibkan dalam menyusun suatu tatanan hukum dengan sendirinya
mendapat suatu dorongan baru apabila sudah menjadi jelas pada suatu tahap
sejarah tatanan hukum melulu ada di tangan mereka yang kuat dalam tatanan hukum
[20].
Adanya keinginan untuk menuju ke arah perombakan sistem hukum yang lebih baik
tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dibutuhkan kapabalitas dan
integritas tinggi untuk menuju perubahan tapi semua elemen bangsa termasuk
pemerinta juga punya peranan yang penting. Redfield
dan Black dalam ajarannya mengatakan
”Hukum bukan lagi rakyat atau yang
terjadi sebenarnya maka akan berubah jadi watak hukum nasional” [21].
Hukum
progresif akan berjalan lumpuh dan tidak akan efektif jika aparat penegak hukum
dan rakyat kurang peduli dalam mematuhi aturan hukum. Transfer dari hukum
progresif ke pemerintah melalui setiap kebijakannya berupa “government social control” artinya untuk pengendalian hukum agar
lebih dapat menciptakan tertib hukum dan perbaikan sistem birokrasi. Dengan
demikian akan dapat diketahui iudex
factie (apa perbutan hukumnya) dan iudex
iuris akibat hukumnya). Adanya perubahan tatanan ekonomi social melalui konsepsi
hukum progresif diharapkan mampu untuk memberikan kesetabilan dala kehidupan
masyarakat terutama setelah mengalami porak poranda dengan adanya tidak pidana
korupsi yang menghancurkan sistem perekonomian rakyat. Berikut
ini akan penulis sajikan pendapat dari Roscoe Pound yang berbunyi ”Law must stable and yet it cannot stand
still, hence all thinking about law has struggled to reconcilebthe conflicting
demands of the need of stability anf the need of change” [22].
Penulis berpendapat dengan adanya tatanan hukum yang baik akan dapat memberikan
stabilitas dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Paradigma dalam hukum
progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil membuat manusia bahagia. Dengan demikian hakim di
pengadilan tindak pidana korupsi wajib mengutamakan keadilan walaupun harus
bertentangan dengan hukum tertulis. Hukum harus ditujukan kepada kepentingan
manusia sebagai pencari keadilan.
2. Peranan Hakim Pada
Proses Penemuan dan Penciptaan Hukum Demi Mencapai Keadilan Dalam Perspektif
Hukum Progresif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hakim
adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Seorang hakim haruslah menjaga kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku
serta dalam hal ini dilakukan suatu pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY) yang
diatur dalam undang-undang. Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
hakim diatur dalam undang-undang. Hakim menjalankan tugas dan peranannya sesuai
dengan undang-undang. Tugas dan peranan hakim yaitu memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara yang masuk padanya. Bila hakim menghadapi hal tersebut dapat diatasi dengan dua cara. Jika peraturan
tidak jelas, hakim melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap bunyi undang-undang
dengan berbagai metode interpretasi atau penafsiran, seperti penafsiran
otentik, sistematis, historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturan tidak
lengkap, hakim akan melakukan penalaran (reasoning),
juga dengan berbagai metode penalaran atau argumentasi tertentu seperti argumentum peranalogiam (analogi) dan penyempitan hukum [23].
Hakim
dalam memeriksa dan memutuskan perkara menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum
tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu (rechtsvinding), dan/atau menciptakan (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum
yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus
menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum
tidak ada, tidak lengkap, atau hukum samar-samar. Hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori
hukum, dan filsafat hukum. Hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara
normatif (yang terlihat) saja. Hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu
secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan. Hakim harus dapat
melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis,
pemikiran-pemikiran apa yang ada disana, dan bagaimana rasa keadilan dan
kebenaran masyarakat akan hal itu [24].
Hakim
Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakuan penemuan hukum dan
penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua hakim dalam
lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan, baik hakim tingkat pertama,
tingkat banding maupun tinkat kasasi atau hakim Agung. Penemuan dan penciptaan
hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip
atau asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim
dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip apa yang harus dipegang hakim dalam upaya penemuan
dan penciptaan hukum, maka harus dilihat dalam prinsip-prinsip peradilan yang
ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan
dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung [25].
Dalam penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang terjadi
secara terpaksa atau silogisme [26].
Penulis mencoba mengutip pendapat dari Paul Ricouer [27]
yang menarik paradigma terkait hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan
pemahaman teks (textual eksegesis).
Dalam hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi
keanekaan makna dari simbol-simbol. Konsekuensi logis dari tugas dan wewenang
hakim tindak pidana korupsi (tipikor) adalah tidak cuma memberikan vonis pada
terdakwa sehingga menjadi terpidana hanya berdasarkan berdasar delik-delik
hukum yang menjeratnya. Akan tetapi harus lebih dalam mengkaji makna hukum yang
terkandung dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Unsur kesalahan juga harus ikut dibuktikan dengan pemaknaan yang
lebih dalam menyangkut nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Jika
hanya berpedoman dalam kontekstual tidak akan menyentuh nilai hukum yang sebenarnya
dan juga tidak akan memberikan makna keadilan dalam hukum.
B. Korelasi Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai sarana hakim dalam penggunaan hukum progresif
demi proses penemuan hukum sebagai upaya penjatuhan sanksi kepada pelaku
korupsi di Indonesia
1. Pemaknaan dan
Penafsiran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Sebagai Harmonisasi Sifat Responsif Hukum Progresif Dalam Menciptakan Keadilan
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sistem
pengharmonisasian antara hukum progresif dan undang-undang akan terlihat ketika
kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan terjadi polemik yaitu
dalam penangkapan terhadap hukuk itu sangat statis dan tidak pernah memandang
nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi yang seperti ini hakim
akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan hukum (legal justice) tapi akan gagal untuk
menangkap keadilan masyarakat (social
justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan
mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara
cenderung berpedoman pada formalis prosedural daripada rasa keadilan
sosiologis. Fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi warasih “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak
berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan masalah, khususnya
di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak cocokan antara
nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan
nilai-nilai yang dihayati oleh warga masyarakat itu sendiri’ [28].
Sangat urgen sekali ketika hakim di pengadilan tindak pidana korupsi sebagai
aparat penegak hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan
substansi hukum progresif yang berorientasi pada keadilan sosiologis mengingat
akibat korupsi itu telah merugikan banyak pihak khususnya perekonomian
masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah
itu yaitu Perubahan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih
bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan
nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia sehingga ke depan akan
terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesia [29].
Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas
dari hukum. Walaupun demikian sering kali kedua tugas tersebut tidak dapat
ditetapkan sekaligus secara merata. Menurut Max Weber yang membedakan antara substantive rationality dari formal rasionality. Pada sistem hukum
barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal
rasionality artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan
semacam itu sering kali bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rasionality yaitu
kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual [30].
Dari ajaran Max Weber di atas Penulis berpendapat satu tugas hukum adalah untuk
menciptakan kepastian hukum jika dikaitkan dengan konfigurasi hukum progresif
yang berkeadilan berarti jelas hukum akan mengatur akan kehidupan masyarakat
demi mencapai keadilan. Hal itu semua dapat tercapai jika pemaknaan yang berupa
aturan tertulis akan diberi makna oleh hakim di pengadilan tindak korupsi dalam
setiap vonis yang dijatuhkan. Hukum progresif sangat diperlukan untuk mengharmonisasi agar lebih memberikan
dorongan para aparat penegak hukum khususnya hakim dapat menyelesaikan dengan
menggunakan analogi dan sifat diskresi yang dimiliki. Dengan demikian semua
perkara korupsi dan kerugian negara yang telah terjadi dapat menemukan titik
keadilan demi kesejahteraan masyarakat luas. Salah satu pokok pikiran dari hukum progresif adalah
mengenai jurisprudence terhadap
pemaknaan dari undang-undang
atau pun aturan yang ada. Dipandang penting dalam membaca hukum sesudah diajukan gagasan pembebasan agar keberanian
melakukan pembebasan tersebut diterapkan pada saat hakim di pengadilan
tindak pidana korupsi aturan tertulis dalam menjerat para pelaku tindak pidana
korupsi. Membaca undang-undang tidak bisa diartikan cuma pasal-pasal dalam
undang-undang. Independensi dan kebebasan hakim juga terletak pada kebebasannya
untuk memberi makna kepada aturan hukum tertulis.
Dari konsep hukum progresif tersebut maka akan dapat
memberikan harmonisasi dari undang-undang tindak pidana korupsi dalam
penyelesaian kasus korupsi. Para hakim dan jaksa perlu mendapat pembelajaran
kembali agar berani membaca teks dengan bebas dan progresif, yaitu menempatkan
pada konteks sosial dan tujuan sosial yang dapat menempatkan keadilan
formalitas prosedural dan keadilan sosiologis empiris. Fenomena yang ada tidak
sedikit teks undang-undang yang malah bisa merusak masyarakat manakala tidak
dibaca dan dimaknai secara progresif dan baik. Para hakim dalam melakukan
pembebasan asal bisa memberikan argumentasi dan berkeadilan harus tetap optimis
dan tidak boleh ragu-ragu. Jika itu dapat dilakukan maka hukum progresif dapat
di tempatkan pada fungsi hukum yaitu untuk melayani, menjamin, dan menjaga penegakan
hukum di Indonesia. Jika bertolak dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh
Naisbit yang berbunyi” The bigger the
economy the more powerful its smallest
players to create the new rule for the expanding global economic order”
[31].
Konsepsi dari aturan tersebut mengindikasikan hakim harus menggali nilai dalam
masyarakat tanpa harus berpedoman pada aturan tertulis yang lebih mengedepankan
kepastian hukum. Kepastian hukum belum tentu mampu mewakili makna nilai
keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Tindak pidana korupsi telah memberikan
dampak negatif terhadap hancurnya perekonomian negara dan masyarakat lah yang
akan terkena dampaknya.
2. Penjatuhan Vonis Hakim
Sebagai Upaya Penetapan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Di dalam rumusan ketentuan Pasal 38 B
ayat (6) terdapat kata dan kalimat sebagai beikut “….dibebaskan….lepas dari segala tuntutan hukum….”. Maka kata “dibebaskan” tersebut adalah sama
sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Adapun yang dimaksud dengan
kalimat “lepas dari segala tuntutan
hukum” tersebut adalah sama sebagaimana yang dimaksud did lam Pasal 191
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 38 ayat
(6) menjelaskan bahwa : “Dasar pemikiran
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (6) Undang-Undang No.20
Tahun 2001 adalah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya
terdakwa dari segala tuntutan hakum dari perkara pokok berarti terdakwa bukan
pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”. Berhubung terdakwa
telah diputuskan oleh hakim bebas dan dinyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum dari pokok perkara tindak pidana korupsi, maka harta benda milik terdakwa
yang semula diduga berasal dari tindak pidana korupsi tidak dapat dianggap
sebagai diperoleh dari tindak pidana korupsi, sehingga penuntut umum Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) belum dapat mengajukan tuntutan rampasan untuk
negara terhadap harta benda milik terdakwa tersebut [32].
Dengan demikian dasar hukum bagi hakim yang digunakan ketika memberikan vonis
terhadap para pelaku tindak pidana korupsi tergantung dari unsur kesalahan dari
pelaku. Kesalahan tersebut akan dikomparasikan dengan delik-delik hukum yang
ada hubungannya dengan perbuatan pelaku dan makna hukum progesif, sehingga
putusannya akan dapat memberikan rasa keadilan.
Terlalu fokus dalam mencari sumber
tertulis, jika tidak berhati-hati dapat terjebak pada persoalan kelasalahan
administrasi atau kesalahan prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan
prosedur atau kesalahan administrasi adalah bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan
amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum, jika pertimbangannya semata-semata
merupakan kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi sesungguhnya adalah
tempat atau letak sifat melawan hukumnya perbuatan dari sudut formal. Namun
jika dari jika terjadi dari kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis
sebagai potensial menimbulkan kerugian negara, sehingga melawan hukum
memperkaya sudah terbukti dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Hal
ini disebabkan Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak mensyaratkan secara mutlak harus nyata telah timbul
bentuk kerugian [33].
Dalam pemberian vonis yang diberikan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi banyak dipengaruhi
oleh legal opinion yang dikonstruksi
sebelum vonis dijatuhkan. Penafsiran terhadap pemaknaan undang-undang sebagai
dasar hukum yang digunakan juga akan berpengaruh terhadap vonis yang
dijatuhkan. Pemaknaan baik secara formal maupun materiil juga harus digunakan
oleh hakim sebelum vonis dijatuhkan. Dalam penjatuhan vonis tidak hanya
kepastian hukum saja yang diperhatikan, akan tetapi juga tentang keadilan dan
kemanfaatan. Kepastian hukum di sini bermakna dengan adanya vonis hakim akan
memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku tindak pidana korupsi dan akan
memberikan efek jera. Kemanfaatan dan keadilan harus dipergunakan dasar
pertimbangan hakim sebagai upaya menyelamatkan keuangan daerah dengan setelah
adanya putusan tersebut seluruh harta yang didapat hasil perampasan dari para
pelaku tindak pidana korupsi akan dikembalikan kepada negara.
3. Konsep penafsiran hukum
sebagai elaborasi hukum progresif dalam vonis hakim di pengadilan tindak pidana
korupsi (Tipikor) terkait Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam suatu
negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol
sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai
alat untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat
[34].
Teori keadilan restoratif dikemukakan
oleh Howard Zehr sebagai penemu teori
ini secara umum mengatakan bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia
dan hubungan-hubungannya. Kejahatan menciptakan kewajiban untuk membuat
keadaan-keadaan tersebut menjadi baik. Keadilan melibatkan korban, pelaku dan
komunitas dalam rangka mencari solusi-solusi yang mengedepankan perbaikan,
rekonsiliasi dan meyakinkan kembali. Dilanjutkan oleh Walgrave yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada
penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari hasil
tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluargannya dapat
kembali pada keadaan yang semula seperti sebelum terjadi tindak pidana. Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum.
Menurut teori ini pemidanaan meliputi pelayanan masyarakat, ganti rugi dan
bentuk-bentuk lain selain pidana penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap
aktif dalam masyarakat. Keadilan restoratif mendeskripsikan keadialan
restoratif sebagai paradigma yakni lensa untuk memahami realitas yang terlihat.
Selanjutnya Kent Roach Keadilan
restoratif sebagai bagian dari teori keadilan harus direkonsialisasikan dengan
teori keadilan retributif dalam aplikasinya [35].
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun
dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1
milyar”. Selanjutnya Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar”.
Dalam hal hendak menganalisis hukum
tentang perbuatan salah administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya
dapat dipedomi sebagai berikut: Adanya kesalahan administrasi murni, maksudnya
adalah si pembuat khilaf (culpoos)
tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada
mengenai prosedur suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa
dampak kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan
administrasi semacam ini ini bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan
kesalahan dapat dilakukan secara administratif pula, misalnya dengan mencabut,
membatalkan, atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya. Si pembuat
khilaf (culpoos) dalam melaksanakan
prosedur pekerjaan tertentu yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara
tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum perdata dan
bukan korupsi. Pada si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugiaan. Korupsi
pada Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bukan bentuk tindak pidana culpoos,
malainkan tindak pidana dolus. Setiap
rumusan tindak pidana yang tidak secara tegas mencamtumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus.
Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Seperti Pasal 2 tersebut
kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatannya memperkaya, misalnya
mendepositkan uang negara atas nama pribadi tidak disadari dan tidak
dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara
menganalisisnya karena tidak dicantumkan dalam rumusan. Si pembuat sengaja
mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, tetapi tidak dapat membawa dampak
kerugiaan kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih ditoleransi
sebagai kesalahan administratif. Sanksi administratif dapat dijatuhkan pada si
pembuat, tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi.
Si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan administratif tertentu meyalahi
aturan dilakukan juga, sehingga dapat membawa kerugiaan negara. Dalam hal ini
masuk pada persoalan korupsi. Tinggal jaksa dalam pembuktiaan mempertajam
analisis hukum mengenai perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan
hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber
tertulis akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan dalam melakukan analisis
pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis [36].
Penulis mencoba akan memberikan deskripsi terhadap makna atas putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) atas Pasal 2 tersebut diatas terkait perbuatan melawan hukum
baik secara formal dan materiil. Dalam pemaknaan yang luas memang pasca putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah hakim termasuk hakim di pengadilan tindak
pidana korupsi wajib mengikuti aturan tersebut karena dianggap keputusannya
bersifat final dan mengikat dan harus kembali pada hukum positif. Dalam
pemaknaan hukum harus dikaji lebih dalam agar mendapatkan keadilan yang memihak
pada pencari keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya penjelasan
pemaknaan nilai dan norma saja tidak sampai harus berlaku formal dan hakim
tidak boleh memberikan penafsiran. Hakim mempunyai independensi dan dapat
menggali nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam pemaknaan yang bersifat perbuatan
yang materiil ini lah hakim tetap berwenang dan memberikan penafsiran terhadap
aturan tersebut. Kerugian hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para
koruptor telah memberikan kerugiaan secara sistemik. Parameter kerugiaan itulah
yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam memberikan terobosan hukum oleh para
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dalam penjatuhan vonisnya. Dalam
Pasal 3 tersebut diatas juga terdapat proses penyalahgunaan wewenang dan
merupakan perbuatan melawan hukum. Selain itu kata “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” juga
dapat dijadikan dalam mengukur kerugian materiil masyarakat atas perbuatan
korupsi. Nilai dan keadilan merupakan norma pokok yang harus digunakan hakim
sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memberikan vonis oleh hakim.
Bertolak dari aturan tersebut Penulis
mencoba akan memberikan fakta hukum dalam kasus korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pengadaan
barang dan/atau jasa di daerah. Mengingat dalam kasus tersebut tolak ukur
tentang makna kerugiaan negara dapat tersentuh dengan adanya penyalahgunaan
dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemborosan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga termasuk pemborosan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kerugiaan negara juga ikut menyengsarakan
rakyat. Keadilan yang menjadi hak konstitusional masyarakat juga terambil oleh
para pelaku tindak pidana korupsi. Berikut Penulis [37]
sajikan fakta dan data hukum terkait banyaknya kerugiaan negara di tingkat
daerah yaitu sebagai berikut:
Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
Semester I
|
Semester II
|
Jumlah
kasus: 176
|
Jumlah
kasus: 272
|
Kerugian
negara: Rp 2,1 triliun
|
Kerugian
negara: Rp 1,5 triliun
|
Jumlah
korupsi: 441 orang
|
Jumlah
korupsi: 716
|
|
|
Sektor Korupsi
|
Sektor Korupsi
|
Keuangan
daerah: 38 kasus
|
Keuangan
daerah: 44 kasus
|
Infrastruktur:
32 kasus
|
Infrastruktur:
53 kasus
|
Sosial
kemasyarakatan: 20 kasus
|
Pejabat
pelaksana teknis kegiatan
|
|
|
Aktor
|
Aktor
|
Komisiaris
atau direktur perusahaan swasta
|
Karyawan
atau staff pemerintah daerah
|
Kepala
kantor atau kabag atau kasubag
|
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
|
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
|
Pejabat
pelaksana teknis kegiatan
|
|
|
Penganganan kasus
|
Penanganan kasus
|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14
|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK): 9
|
Kepolisian:
25
|
Kepolisian:
37
|
Kejaksaan:
137
|
Kejaksaan:
226
|
Proses penjatuhan akan memberikan
relevansi antara implikasi penggunaan teori restoratif terkait tindak tindak
pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi di daerah baik akibat dari mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) maupun dari pengadaan barang dan/atau jasa. Tindak pidana korupsi
sebagai tindakan dan thesa akan berdampak terhadap antithesa akibat yang
ditimbulkan. Akibat nyata yang ditimbulkan adalah berupa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Ketika
negara mengalami kerugian maka rakyat juga akan terkena resesi perekonomiannya.
Kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab bagi negara akan menjadi terganggu
karena modal keuangan negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) berkurang di tingkat pusat dan berupa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di tingkat daerah. Negara dan rakyat merupakan satu
kesatuan dalam menciptakan tata kehidupan negara melaksanakan kewajiban dan
rakyat menuntut apa haknya. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk
kejahatan yang telah mendiskriminasikan manusia dalam arti luas dan rakyat
dalam arti khusus baik yang telah dilakukan para pelaku korupsi. Negara
mempunyai alat para penegak hukum dalam pemberantasan terhadap korupsi. Negara
melalui penegak hukum lewat hakim di pengadilan tindak pidana korupsi harus
mampu menjamin perlindungan terhadap hak rakyatnya. Dalam teori restoratif di katakan “kejahatan adalah pelanggaran terhadap
manusia”. Dalam katagori “pelanggaran”
ini lah tanggung jawab negara melalui aparat penegak hukumnya harus mampu
mengembalikan hak rakyatnya. “Kewajiban
mengembalikan ke suatu keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban
baik rakyat maupun negara”. Hal ini bertujuan sesuai dengan tujuan teori
restoratif untuk ”keadaan
yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara”.
Dengan demikian rakyat melalui negara dapat menuntut haknya tersebut. Para
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi harus bersifat progresif dalam
menjatuhkan vonis pada setiap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan demikian
nilai keadilan yang semula berpedoman pada kepastian hukum dapat ditransformasi
ke dalam keadilan yang bersifat progresif dalam penemuan dan penciptaan hukum.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Bahwa hakim di pengadilan tindak pidana
korupsi merupakan pihak yang memiliki otoritas tertinggi dalan setiap
pengambilan keputusan berupa vonis hukum. Sifat diskresi yang dimilikinya
dengan berdasarkan substansi hukum progresif akan dapat menembus aturan hukum
tertulis demi menemukan dan menciptakan hukum sendiri dalam tiap penetapan
sanksi hukum untuk mencapai keadilan. Dengan demikian hakim harus dapat
bersifat progresif memberikan makna pada setiap pembacaan terhadap
undang-undang sebagai hukum tertulis agar tercipta keadilan yang dicita-citakan
oleh para pencari keadilan di pengadilan tindak pidana korupsi.
2.
Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, merupakan dasar hukum yang
dapat digunakan oleh hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dalam pengembanan
hukum, pembentukan hukum, penenemuan hukum sampai pada proses penciptaan hukum
dalam menjatuhkan vonis kepada pelaku. Jenis korupsi proyek
pengadaan barang dan/atau jasa serta mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah merugikan keuangan
negara baik di tingkat pusat dan daerah. Pemaknaan dan penafsiran hukum dari pasal tersebut merupakan sarana
utama yang harus digunakan oleh hakim untuk memahami dan mengkaji dari setiap
kasus yang ditangai dengan tidak hanya berdasarkan aturan tertulis, akan tetapi
harus dapat memprioritaskan secara materiil bahwa korupsi telah telah merugikan
perekonomian masyarakat, sehingga vonis yang dijatuhkan walaupun bertentangan
dengan aturan tertulis dengan mengatasnamakan keadilan dapat dijatuhkan
B.
Rekomendasi
1.
Sebaiknya Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dapat digunakan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi untuk
dapat menembus aturan hukum tertulis dalam menjatuhkan vonis terhadap para
pelaku korupsi mengingat besarnya kerugian negara yang telah banyak memberikan
dampak negatif pada masyarakat luas
2.
Sebaiknya
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dapat memberikan penafsiran hukum terhadap
aturan tertulis terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi mengingat
substansi aturan tersebut terdapat nilai-nilai keadilan masyarakat yang harus
diperjuangkan oleh hakim.
3.
Sebaiknya
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi harus dapat memberikan vonis mati
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan mensinkronkan pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 terhadap
klausula hukuman mati kepada koruptor dengan konsep keadilan dari hukum
progresif.
4.
Sebaiknya
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi sebelum memberikan putusan terhadap
para pelaku tindak pidana korupsi harus mencantumkan legal reasoning dan legal
opinion terkait penggunaan hukum progresif dalam penjatuhan vonis yang
diberikan tidak bersifat formalistic yang justru akan menghancurkan rasa
keadilan.
5.
Sebaiknya
hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dapat memberikan penafsiran dari
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bersifat formal dalam penjatuhan
vonisnya, akan tetapi harus mempertimbangkan aspek perbuatan melawan hukum
secara materiil mengingat atas tidak pidana korupsi masyarakat luas lah yang
mendapat kerugian. Aspek sosiologis adalah hal yang lebih penting dari pada
aspek formalistik yang hanya terpaku pada hukum positif.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Azizy, Qodri. 2006. Menggagas
Hukum Progresif Indonesia. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang
Basah, Syahran.
1986. Tiga Tulisan Hukum. Bandung: Amico
Bisri, Ilhami. 2004. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Chazawi, Adami.
2008. Hukum Pembuktiaan Tindak Pidana
Korupsi. Bandung: PT Alumni
Bandung
Djaja, Ermansjah.
2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jakarta: Sinar Grafika
Darmadi, Sugijanto.
1998. Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Jakarta : : Penerbit CV
Mandar Maju
Gie, Kwik Kian.
2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor:
Grafika Mardi Juana
Hant, Alan. 1993. Exploration In Law And Society. New
York: Routeledge
Hamidi, Jazim. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press
Himawan, Charles. 2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Huda, Ni’matul
dkk. 2007. “Kontribusi Pemikiran Untuk 50
Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H
“Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan””. Yogyakarta: UII
Press
Keraf, Sonny. 1990.
Fakta, Nilai, Peristiwa Tentang Hubungan
Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Jakarta: PT Gramedia
Muladi dan
Arief, Barda Nawawi. 1993. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Alumni
Mertokusumo, Sudikno
dkk. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Jakarta : PT. Citra
Aditya Bakti.
………………………... 2001. Penemuan
Hukum Sebuah Pengantar, cetakan II. Yogyakarta :
Penerbit Liberty.
Purbacaraka,
Purnadi dkk.1987. Renungan Tentang
Filsafat Hukum.Jakarta: CV Rajawali
Rahardjo, Satjipta.
2008. Negara Hukum Yang Membahagiakan
Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing
Sidarta, Arif. 2002. Hukum Dan Logika. Bandung: PT Alumni Bandung
Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Thoha, Miftah 2004. Birokrasi
Dan Politik Di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wignjosoebroto, Sotandyo.
2008. Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan
Dan Masalah
Sebuah
Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media Publishing
Sumber
Jurnal Hukum Nasional
Asyrof, H.S.
Mukhsin. 2006. “Asas-Asas Penemuan Hukum
dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan”. Varia Peradilan.
Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta : Ikahi
Mujahidin. 2007. Hukum Progresif Jalan Keluar Dari
Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 April
2007. Varia Peradilan: Ikahi
O.Siahaan, Lintong.
2008. “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan
Transformasi”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 November 2006.
Jakarta : Ikahi
Sumber
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang No.31
Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No.46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi
Sumber
Media Massa
Kompas, 11 Maret 2008 hal.10
Jawa
Pos, Jum’at 13 februari
2009, hal.6
Media Indonesia, 27 Oktober 2010 hal.16
Kompas, 10 Desember 2010, hal.2
Media Indonesia,
24 Februari 2011, hal.3
[1] Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006), hal. 10
[2] Lihat Kompas,
10 Desember 2010: hal.2
[3] Lihat Kompas,
11 Maret 2008: hal.10
[4] Lihat Media
Indonesia, 27 Oktober 2010: hal.16
[5] Sudikno Mertokusumo
dkk, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Jakarta, 1993), hal.10
[6] Satjipta
Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta, 2008), hal. 93
[7] Sonny Keraf, Fakta, Nilai, Peristiwa Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan
Etika (Jakarta, 1990), hal.49
[8]
Mujahidin, “Hukum
Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia”, Majalah Hukum
Tahun XXII No. 257 (April 2007), hal.59
[10] Ni’matul Huda
dkk, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun
Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan”
(Yogyakarta, 2007), hal. 291-293
[11] Syahran Basah, Tiga Tulisan Hukum (Bandung, 1987), hal. 24-25
[12] Arif Sidarta, Hukum Dan Logika (Bandung, 2002), hal. 34
[18] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian
Sosiologi Hukum (Malang, 2008), hal. 247
[19] ibid,
hal. 89
[20]
Setiardja
A.Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral
Dalam Pembangunan Masyarakat Hukum
di Indonesia. (Jakarta, 1990), hal. 68
[23] Sudikno Mertokusumo, op,cit, hal. 159
[24]
Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan
Filsafat (Jakarta, 1998), hal. 3
[25] H.S. Mukhsin Asyrof, “Asas-Asas
Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan”. Varia
Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 (November 2006), hal.73
[26] Lintong O.Siahaan, “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan
Transformasi”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 (November
2006), hal. 63
[31] Sotandyo Wignjosoebroto, op. cit, hal. 247
[32]
Ermansjah Djaja, Memberantas
Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Jakarta, 2008), hal.
154-157
[34]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173
[35] Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi (Bandung, 2007), HAL.90
[36] Adami Chazawi, Op.cit, hal. 312
[37]
Sumber: Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3
No comments:
Post a Comment