Breaking News

15 September 2011

TINJAUAN YURIDIS KASUS TERHADAP PROSES PEMBUKTIAN DARI PIMPINAN KPK KRONOLOGIS DAN MEKANISME KELUARNYA TESTIMONIUM DE AU DITU

         Komisi Pemberantasan Korupsi meyelidiki keterlibatan petinggi polisi yang berinisial SD dalam penanganan kasus penggelapan di Bank Century. Diduga SD adalah Komisiaris Jendral Susno Duadji Kepala Badan Reserse dan Kriminal POLRI yang selama ini menangani kasus Bank Century.  Ia membuat surat dengan klarifikasi rahasia kepada Direksi Bank Century soal hasik klarifikasi uang milik PT Lancar Sampoerna Bestari perusahaan milik Budi Sampoerna. KPK mencium ada hal yang mencurigakan dalam proses tersebut. (Koran Tempo, Hari Kamis, Tanggal 10 September, Hal.1)
          Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Plori kian meruncing. Hal ini terjadi menyusul pemanggilan empat unsure pimpinan KPK terkait dengan dugaan suap Direktur PT Massaro Anggoro Widjojo dan penyalahgunaan wewenang ihwal penyadapan dan pencelakalan.Pemaniggilan pimpinan KPK oleh POLRI tidak lepas dari kerterlibatan pejabat petinggi POLRI dalam kasus Bank Century yang sedang ditangani KPK. Dalam hukum pidana yang perlu dicermati adalah dasar pemanggilan dan materi pemeriksaan. Dari pemberitaan media pemanggilan pimpinanan KPK berdasarkan kerterangn KPK (non aktif) Antasari Azhar yang bertemu dengan Direktor PT Massaro beberapa lalu di singapura. Dalam pertemuan itu Anggoro member uang kepada pimpinan KPK. (Harian Kompas, Hari Rabu 16 September 2009, Hal.7).
           Jika saya cermati dari sedikit berita di atas awal terjadinya sengketa KPK dengan POLRI sampai adanya penetapan tersangka dari dua pimpinan KPK  berawal dari penangkapan Antasari Azhar atas tuduhan pembunuhan yang telah dilakukannya. Seiring waktu berlalu pada tahap-tahapan yang harus dilaluinya pada proses penyidikan lebih lanjut, maka keluarlah testimoni yang dinyatakan oleh Antasari Azhar. Kemudian disusul dengan adanya saingan antara lembaga Negara untuk mendapatkan simpati masyarakat. Hal ini terbukti aparat polisi tidak terima anggotanya diselidiki oleh KPK, maka dengan memanfaatkan testimoni dari Antasari Azhar pihak polisi segera menangkap dan menjadikan tersangka pimpinan KPK yaitu Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Dari latar belakang inilah yang menjadi titik tolak proses pembuktiannya banyak terjadi problematik dalam memperoleh kekutan pembuktiannya.
      
            Adapun testimoni yang dinyatakan oleh Antasari Azhar adalah sebagai berikut:
Perkembangan penyidikan terhadap kasus yang menjadikan saya sebagai tersangka pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) ke-1, dalam proses tanya jawab terkait perkara yang ditanyai KPK terdapat 1 (satu) perkara yang perlu saya jelaskan sbb:
Proses penggeledahan kasus Tanjung Api-api terhadap tsk Yusuf Emir Faisal tim dik memperoleh dokumen (blangko kosong kop Dephut dengan stempel Dinas Kehutanann se- Indonesia) menurut hasil gelar perkara.
Disepakati karena dokumen tersebut digeledah di PT Masaro dan beberapa terlihat kaitannya dengan kasus yusuf emir faisal, maka akan dilampirkan saja di BAP Yusuf Emir Faisal, karena masalah tersebut akan dilakukan lid tersendiri.
Dalam perkembangan sebagai Ketua KPK, saya minta laporan kemajuan lid tidak mendapatkan jawaban pasti, karena sedang meneliti SKRT se-Indonesia.
Tetapi ketika saya mendapat informasi dari seseorang, bahwa demi menjaga nama baik saya dia ingin menyampaikan info bahwa kasus Masaro teleh ‘diselesaikan’ oleh elemen KPK dengan PT Masaro. Mendapat ini saya terkejut dan tidak percaya, selanjutnya pemberi info sanggup memberi kesempatan jika saya ingin mendengar testimoni dari Masaro.
Karena pemilik PT Masaro sdr. Anggoro berada di Singapura, maka saya yang mendatangi untuk mendapat kepastian dengan dibekali alat perekam (tape recorder).
Sungguh terkejut setelah mendengar uraian dari saudara Anggoro tersebut.
Karena rincian penyerahan dana ke oknum KPK, saudara Anggoro tidak dapat menjelaskan (ybs menyuruh sdr Toni dan Ari), ketika berada di Malay, saya bertemu langsung dengan saudara Ari di Hotel Tugu dengan ybs merinci penyerahan dana (tidak terekam).
Saudara Ari menjelaskan bahwa penyerahan dilakukan di Jakarta beberapa kali dengan berbeda tempat kepada  pimpinan KPK (2 orang) dan staf sesuai dengan keterangan Anggoro.
Belakangan pemberi info menyampaikan bahwa ada penyerahan tahap-tahap kepada salah satu pimpinan.
Demikian testimoni saya dan saya siap bersaksi seperti apa yang tulis di dalam testimoni ini
Jakarta, 16 Mei ‘09
ttd
Antasari Azhar
(www.wordpress.com)

TINJAUAN SECARA UMUM DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA TERKAIT PROSES PEMBUKTIAN PADA PIMPINAN KPK

      Menurut saya dengan pembuktian yang telah dilakukan oleh POLRI selama ini kurang mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Analisa kasus yang telah dijalani sampai sekarang sangat mengambang. Betapa tidak tuduhan yang dilakukan terus berubah-rubah dan pasal yang dugunakan untuk menjerat para pimpinan KPK juga berubah terus. Sebaiknya pihak POLRI juga menganalisis secara dalam terhadap kronologis peristiwa dan pembuktiannya. Ada metode yang saya kira sangat relevan guna menganalisis pembuktian pada pimpinan KPK ini yaitu Hipotiko Deduktif Verivikatif  1 yang substansi ajarannya adalah tiap masalah dan kasus pidana yang ada harus dipecahkan dengan baik dengan cara deduktif maupun induktif. Hukum jangan ditelan mentah tapi harus ada proses verifikasi untuk membuktikan kebenarannya. Dari kajian teori ini berarti bahwa pihak POLRI melalui Kepala Bagian Reserse Kriminal POLRI Komisaris Jendral Susno Duadji harus lebih teliti dan cermat dalam menangani kasus guna pembuktian pimpinan KPK Candra Hamzah dan Bibit Samad R. Verifikasi dalam pembuktian harus didasarkan aturan hukum yang berlaku jangan hanya berdasarkan asumsi saja, jika ini dilakukan maka akan mengotori proses penyelidikan saja.
        Hoge Raad Hazewinggel-Suringa 2 mengatakan dalam pembuktian kasus pidana ada unsur yang harus diperhatikan guna memperoleh kekuatan pembuktian yang kuat. Unsur tersebur adalah tentang kesengajaan perbuatan yang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan proses penyelidikan yang dilakukan Kepala Bagian Reserse Kriminal POLRI Komisaris Jendral Susno Duadji banyak menimbulkan tanda tanya besar. Apakah fakta-fakta hukum yang telah dipublikasikan yang selalu berubah-rubah tersebut hanya dengan sengaja ingin menjatuhkan nama baik KPK..??? walaupun dasar hukumnya masih sangat lemah atau apakah memang pengetahuan hukum dari pihak POLRI masih rendah…??? Atau ada unsur dendam pribadi pada salah satu pimpunan KPK…???. Beberapa persoalan inilah yang harus dicermati dalam sengketa institusi tersebut. Pihak POLRI kalau memang merasa mempunyai dasar hukum yang kuat terhadap testimoni yang dikeluarkan oleh Antasari Azhar harus mampu membuktikan dengan logis jangan ragu dan mudah goyah jika mendapat kritikan dari pihak lain. Tentang dugaan penyalah gunaan wewenang jika pasal yang didakwakan dirasa cukup kuat maka harus dicari fakta hukum yang konkrit guna membuktikannya, tapi selama ini pihak POLRI dalam mencari fakta kurang serius hal ini terbukti dengan dakwaan waktu yang selalu berubah-ubah. Hal ini juga menjadikan keraguan pihak publik dan pengamat hukum tentang fakta hukum yang disajikan pihak POLRI benar atau tidak.
             Ada beberapa teori dalam pembuktian yaitu:
Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim (Convictim in time)
Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (Convictim Raisone)
Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative
(Mukhammad Taufik Makarao dkk.2002:103-104).
           Menurut saya hal yang relevan untuk pembuktian dari kasus sengketa dari POLRI dan KPK adalah dengan pembuktian undang-undang secara positif. Menurut Yahya Harahap 3 sistem pembuktian undang-undang secara positif lebih dekat dengan prinsip penghukuman atas berdasarkan oleh hukum artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim tapi harus diletakan diatas kewenangan undang-undang. Mengingat Indonesia menganut sistem hukum poasitivisme maka perbuatan yang terkait dengan tindak pidana harus dibuktikan dengan bukti yang cukup agar proses selanjutnya dapat berjalan baik. Dakwaan yang telah dilakukan oleh pihak POLRI sebenarnya sudah benar yaitu dengan adanya Dalam pasal 36 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tentang peyalahgunaan wewenang dari pimpinan KPK, tapi yang menjadi kendala selama ini adalah bukti-bukti yang disajikan oleh pihak POLRI belum cukup kuat untuk menyatakan pimpinan KPK yang telah ditangkap menjadi terdakwa. Tuduhan lain yaitu telah melanggar pasal 12 e, 15 dan pasal 23 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Salah satu contoh dalam aturan positif yaitu dalam pasal 421 KUHP yang berbunyi ”Seorang pegawai negeri yang menyalahgunakan wewenang kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan sesuatu diancam dengan penjara pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”. Pasal ini juga digunakan untuk menjerat dua pimpinan KPK yang sudah ditangkap. Menurut saya sangat lucu dan ironi sekali data-data yang belum lengkap dan bukti-bukti yang belum kuat darip pihak POLRI sudah dapat digunakan untuk menjerat pimpinan KPK menjadi tersangka. Makna peyalahgunaan tersebut menurut saya masih multi tafsir apa yang telah dilakukan oleh KPK bukan penyalahgunaan wewenang tapi sudah merupakan amanah undang-undang dalam hal penyelidikan dan penyidikan yang harus dilakukan oleh KPK. Tuduhan dari POLRI yang menyatakan adanya paksaan saat mencekal petinggi PT Massaro Radiocom Anggoro Widjojo dan mencabut cekal mantan petinggi PT Era Giat Prima Djoko S.Candra menurut saya tidak benar dan pihak POLRI juga belum membuktikan dengan alat bukti yang cukup terhadap tuduhannya.


TINJAUAN KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN DARI PENETAPAN PIMPINAN KPK MENJADI TERSANGKA
    
              Menurut Eddy Os Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM  ada beberapa tolak ukur hukum pembuktian yaitu: 4
dasar-dasar pembuktian,
alat-alat bukti,
cara memperoleh dan menyampaikan alat bukti,
beban pembuktian,
kekuatan pembuktian
dan minimum bukti untuk memproses perkara pidana.
 Menurut saya dari tolak ukur di atas timbul beberapa indikasi apakah keterangan dari Antasari Azhar tersebut merupakan sebagai alat bukti yang sah sehingga dapat digunakan untuk menjerat dua pimpinan KPK sebagai tersangka…???. Dalam pasal 185 KUHAP ayat 1 berbunyi “Keterangan saksi sebagai sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di siding pengadilan” selanjutnya  ayat 2 berbunyi “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa barsalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Kalau menurut saya dalam aturan substansi ini adalah jika ada kesaksian dari orang lain tidak dapat dikatagorikna dalam bentuk bukti untuk menjerat seorang sebagai tersangka, artinya apa yang dikatakan oleh pimpinan KPK non aktif tersebut bersifat “testimonium de auditu” yaitu termasuk dalam kelompok keterangan dari orang lain bukan dari saksi yang langsung dikatakan dalam persidangan. Hal ini menunjukkan kekuatan pembuktian yang hanya berdasarkan keterangan di luar persidangan adalah bukan sebagai alat bukti yang sah.  Perdebatan yang terjadi selama ini adalah dari tarik ulur materi dari isi dari UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK diantaranya adalah sebagai berikut :
          Dalam pasal 12 ayat 1 butir a  UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berbunyi ”Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan  (wire tapping) dan merekam pembicaraan”
           Dalam pasal 36 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berbunyi ”Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun”, selanjutnya diperkuat dalam pasal 65 yang berbunyi ”Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”.

          Hal diatas jika menurut saya adalah dalam kaitannya dengan pembuktian merupakan pokok masalah yang crusial. Timbul pertanyaan apakah legal dan benar apa yang dikatakan Antasari Azhar sebagai bukti padahal caranya juga salah…???. Sepintas benar apa yang dilakukan oleh  Antasari Azhar telah sesuai dengan aturan pasal 12 ayat 1 butir a diatas yaitu berhak untuk melakukan penyadapan dan perekaman terhadap kasus tindak pidaan korupsi yang sedang ditangani. Hal ini menimbulkan kejanggalan lagi yaitu apa yang dilakukan oleh  Antasari Azhar tersebut telah melanggar pasal 36 tersebut diatas karena seorang pimpinan KPK telah melakukan hubungan interaksi dengan tersangka kasus korupsi dan jika itu terbkti berdasarkan pasal 65 tersebut diatas dapat terkena sanksi pidana berupa 5 tahun penjara. Jika pandangan saya hal inilah yang membuat kasusnya makin rumit ditambah lagi dengan kasus pembunuhan berencana yang sampai sekarang juga belum terbukti. Sedikit kesimpulan yang dapat saya ambil adalah testimoni yang didapat dengan cara benar tapi mekanismenya menyalahi aturan hukum. Hal yang patut dipertnayakan adalah sah atau tidak cara pembuktian jikan hanya berdasarkan testimoni yang masih sangat lemah dasar hukumnya…???.Ini semua membuktikan bahwa dasar yang didakwakan pada proses penangkapan dua pimpinan KPK Chandra M.Hamzah dan Bibit.S menurut saya kurang mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
               Berkenaan materi pemeriksaan yang telah dilakukan selama ini “ada dugaan penyuapan” padahal ini belum terbukti hal itu telah gugur dengan sendirinya karena adanya “testimonium de auditu” yang bukan merupakan sebagai alat bukti yang legal menurut aturan hukum. Alasan yang dijadikan POLRI dalam melalukan penetapan tersangka pada kedua pimpinan KPK tersebut adalah salah besar, jika hanya mempersoalkan tentang  “penyadapan” dan ”penyalahgunaan wewenang” bagaiaman tidak..??? jelas dari pasal 12 ayat 1 butir a tersebut diatas ada kewenangan  yang diamanahkan oleh undang-undang untuk melakukan penyadapan. Hal yang menunjukan indikasi dari POLRI yang kurang paham dalam menerapkan hukum adalah selalu berubah-ubahnya tuduhan yang dilakukan dari awalnya tuduhan penyuapan, penyalahgunaan wewenang yang telaqah berinteraksi dengan tersangka dan melakukan penerbitan pencegahan keluar negeri pada Direktur PT Era giat Prima Djoko Soegiarto Tjandra serta proses penyadapan yang dilakukan pihak KPK dianggap POLRI juga salah. Alasan dari argument saya ini adalah dari berita Koran Tempo, Selasa 29 September 2009  yaitu dengan data sebagai berikut:
Berdasarkan pemeriksaan saksi ahli Ary Muladi yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan terungkap bahwa dana Rp 5,15 M dari Anggoro Widjojo adik dari Direktur PT Massaro Anggoro Widjojo telah diserahkan kepada pimpinan KPK yaitu M.Yassin sebanyak Rp 1 M di Bellagio Residence pada tanggal 11 Agustus 2008.
Bibit Samad Rianto sebanyak Rp 1,5 M pada tanggal 18 Agustus
Chandra Hamzah sebesar Rp 1 M yang diserahkan di tempat parker Pasar Festival, Kuningan, Jakarta sekitar Maret 2009.
            Hal yang membuat saya berpikir betapa rendahya pemahaman hukum dari pihak POLRI adalah ketika berkas diserahkan pada pihak kejaksaan berbeda dengan dugaan dasar-dasar hukum yang telah dikenakan pada mereka sebelumnya. Hal ini dapat saya perkuat dengan berita dari Harian Kompas, Hari Sabtu, Tanggal 3 Oktober 20009 yang menyatakan bahwa tahap yang telah dilakukan pihak POLRI adalah telah melimpahkan berkas pada pihak kejaksaan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Efendy telah menerima berkas tersebut. Adapun yang menjadi dasar dakwaan adalah pasal 12 e dan pasal 23 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Tidak konsistennya pihak POLRI dalam membuktikan pimpinan KPK tersebut menunjukan bahwa POLRI sebenarnya tidak menemukan dasar pembuktian yang cukup kuat dalam penganganan kasus ini. Adapun tudingan polisi bahwa KPK memaksa menerbitkan surat pencekalan untuk kasus petinggi  PT Masaro Radiocom Anggoro Wijaya  juga tidak terbukti.
  Menurut Mahfud M.D surat pencekalan dan pencabutan cekal yang dikeluarkan KPK terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko S. Tjandra termasuk sengketa administrasi dan persoalan semacam ini hanya bisa dibawa ke PTUN. Polisi tidak bisa bertindak dan sesuai UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN dan mereka yang mengajukan sengketa itu ke pengadilan adalah pihak yang kepentingannya dirugikan yaitu Anggoro Widjojo dan Djoko S. Tjandra (www.kpk.go.id). Jelas sekali kalau menurut pernyataan di atas menurut saya proses pembuktian sejak awal telah mengalami cacat hukum artinya pembuktian yang dilakukan oleh pihak POLRI bukan ranahnya tindak pidana, tapi masuk dalam katagori wilayah PTUN. Bukti yang cukup lemah tersebut belum cukup kuat untuk menjadikan kedua pimpinan KPK yang sudah menjadi tersangka, ditambah lagi dengan kekuatan pembuktian dari testimoni dari Antasari Azhar yang lemah juga. Timbul pertanyaan buat saya kenapa POLRI tidak segara mengeluarkan SP3 untuk menghentikan proses tersebut…???.Mungkin ada indikasi juga rasa gengsi terhadap institusi POLRI agar tetap memperoleh nama baik dari masyarakat sebagai penegak hukum yang paling benar. Tuduhan yang selalu berubah-rubah tersebut juga menunjukan proses penyelidikan dan penyidikan yang telah dilakukan oleh POLRI “belum diperkuat dengan bukti permulaan yang cukup”, jadi menurut saya SP3 harus dikeluarkan, sebab tindak pidana yang dituduhkan belum terbukti.
Tuduhan yang terbaru adalah disampaikan oleh orang dekat Anggoro yaitu Ari Muladi dalam kesaksiannya kepada Penyidik Kepolisian beberapa waktu lalu. Ari mengaku bahwa dia menyerahkan duit suap sebesar Rp1,5 M kepada Bibit di Bellagio Residence tanggal 13 Agustus 2008 (www.okezone.com). Hal ini menurut saya kesaksian yang telah diberikan oleh Ari Muladi telah dapat digunakan sebagai bukti yang cukup kuat, tapi yang menjadi problematika adalah waktu yang di tuduhkan itu benar atau salah jika dalam pemberian uang tersebut disaksikan oleh misalkan si A dan si A ini membenarkan pernyataan Ari Muladi maka bukti tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang cukup untuk menjadikan kedua pimpinan KPK sebagai tersangka. Timbul pertanyaan sampai sekarang si A tersebut belum ada dan apakah mungkin tidak pernah ada…??? Hal inilah yang harus segera diselidiki. Pembuktian yang makin sulit gai POLRI adalah ketika ada sangkalan berupa  “ALIBI” pada tanggal tersebut oleh Bibit Samad.R dengan menunjukan surat jalan, paspor, tiket, dan surat undangan dari Kedutaan Besar Peru, bahwa ia tidak ada pada tempat yang dituduhkan. Dalam fenomena ini POLRI mempunyai PR yang besar dengan membuktikan lagi disetai alat bukti agar tuduhannyan makin kuat, tapi sampai sekarang semunya itu kok belum dilakukan…???. Berkas dari peyedik sudah diserahkan oleh POLRI kepada Kejaksaan hal ini berdampak pada adanya pelarangan dari pimpinan KPK yang sudah menjadi tersangka agar tidak keluar negeri. Jadi menurut saya akan timbul babak baru dalam kasus ini yaitu penuntutan dan sekaligus pembuktian yang akan diambil alih oleh pihak Kejaksaan. Bisakah pihak Kejaksaan membuktikan pimpinan KPK itu benar-benar terbukti bersalah…???, karena saya adalah fans dan sangat fanatik pada KPK, saya berharap pimpinan KPK tidak terbukti bersalah, Amin.

Referensi Analisis Kasus
BUKU
Sutiyoso, Bambang.2004.Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi.Jakarta:PT Raja Grafindo
                      Persada
A.Z.Abidin Farid dkk.2006.Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik Dan Hukum
                     Penitensier.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mukhammad Taufik Makarao dkk.2002. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek.
                     Jakarta:Ghalia Indonesia

SURAT KABAR
Harian Kompas, Hari Rabu 16, September 2009, Hal.7
Koran Tempo, Hari Selasa 29, September 2009, Hal.1
Harian Kompas, Hari Sabtu, Tanggal 3 Oktober 20009, Hal.4
Koran Tempo, Hari Kamis, Tanggal 10 September, Hal.1

INTERNET
http//:www.tempointeraktif.com/diakses tanggal 1 Oktober 2009 pukul 22.00 WIB
http//:www.okezone.com/ diakses tanggal 3 Oktober 2009 pukul 23.00 WIB
http//:www.wordpress.com/ diakses tanggal 4 Oktober 2009 pukul 20.00 WIB
http//:www.kpk.go.id/ diakses tanggal 5 Oktober 2009 pukul 23.00 WIB

Read more ...

POLITIK VS HUKUM???


     Problematika bangsa sejak berdirinya Republik Indonesia oleh the founding father kita tidak lepas dari fenomena hukum yang menyertainya. Pasca reformasi bergulir telah disuarakan oleh para reformis agar ditegakannya supremasi hukum di Indonesia, tapi bagaimana realita yang ada sekarang….???. Kalau Charles Hermawan menyatakan “Hukum sebagai Panglima”, apakah itu berlaku di Indonesia…???.Hukum yang seharusnya jadi panglima telah dicabik-cabik dan diporak-porandakan oleh para penegak hukum itu sendiri. Jika dengan analogi “het recht is her” yang artinya “apakah hukum itu benar ada?”.Inilah adalah pertanyaan dan tantangan kita bersama buat semua mahasiswa hukum. Jika Gustav Radbruch mengatakan “Hukum adalah benar”, maka mari kita buktikan bersama. Jika John Rawls mengatakan “justice as regularity” yang artinya “keadilan sebagai keteraturan” apakah itu telah teraktualisasi di negeri tercinta ini..???
             Pasca reformasi banyak terjadi konflik of interest antara hukum dan penegak hukum itu sendiri. Jika saya ibaratkan dari doktrin dari Hanant Arrent fenomena tersebut bagaikan “Anibal Laborans” yang artinya “orientasi dan obsesi politik adalah sebagai mata pencaharian”. Hal ini telah terbukti dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang telah menggunakan hukum sebagai jalan untuk melanggengkan obsesi para koruptor. Kejadian demi kejadian telah mewarnai hukum di Indonesia. Berawal dari adanya upaya mengkriminalisasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung adanya konstelasi politik dan hukum antara KPK dan POLRI dengan analogi Cicak Vs Buaya yang telah mendewakan Aggodo W. sebagai aktor intelektualnya. Peristiwa tersebut menyebabkan keluarnya Perpu No.4 Tahun 2009 tentang Plt Pimpinan KPK. Berawal dari Perpu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK) yang melahirkan kasus Bank Century yang telah menyeret Wakil Presiden Boediono dan Menkeu Sri Mulayani Indrawati. Telah ada Keppres No.37 Tahun 2009 tentang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tapi carut marutnya mafia peradilan di institusi penegak hukum yaitu di Polri dan Kejaksaan pasca pembongkaran yang dilakukan oleh Susno Duadji salah satu petinggi dari Polri juga. Tidak cukup sampai di situ saja kita telah digegerkan dengan temuan kasus korupsi di Dirjen pajak oleh Gayus Tambunan sebesar 28 Miliar yang juga telah menyeret para petinggi-petinggi Polri. Politik uang telah menggerogoti mental para penegak hukum dengan munculnya para makelar kasus (markus) bermental tikus yang telah memporak-porandakan sistem hukum di Indonesia. Tidak lama kemudian disuguhkan dengan hebohnya video porno dari artis Indonesia yang telah mengkooptasi hukum agar dapat dilegalkan. Existensi dari Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga menjadi taruhannya. Selain itu juga hukum kita telah goncang dengan dijadikannya tersangka Yusril Ihza Hahendra mantan Mentri Hukum dan HAM. Tarik ulur legalisasi tentang Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) juga mewarnai hukum di Indonesia. Tidak kalah menariknya statement yang menyatakan Jaksa Agung Hendarman Supanji jabatannya adalah inkonstitusional dan telah illegal. Hal ini merujuk dari Keppres No.31 Tahun 2007 bahwa masa jabatannya hanya 5 (lima) tahun dan tidak diperpanjang lagi dengan korelasi Keppres No.84 Tahun 2009 tentang salinan pembentukan kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak ada nama Jaksa Agung. Hal ini mengindikasikan bobroknya internal Kejaksaan dengan upaya penegakan hukum di Indonesia atau hanya rekayasa hukum belaka.
                  Mulai diawal tahun 2011 adanya wacana pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan UU Korupsi, Kontroversi UU no.2 Tahun 2011 tentang parpol yang justru akan melanggengkan kekuasaan, adanya tarik ulur RUU intelijen negara dan bahkan ada wacana akan jadi lembaga negara, pemilihan komisioner KPK pengganti Busro Muqodas dkk lewat kontroversi Pansel Komisi Informasi dari UU No.14 tahun 2008, ketidak netralan kejaksaan dengan membiarkan Awang Farouk ke luar negeri, kontroversi politik dan hukum di PSSI, komisioner KY yang tidak independent dalam mengawasi perilaku hakim, polemik Nunun Nurbaeti tentang ekstradisi dari Depkumham, dan pemilihan komisioner KPK pengganti Busro Muqodas dkk lewat kontroversi Pansel Komisi Informasi dari UU No.14 tahun 2008 lihat saja hasilnya..???
              Tertangkapnya Nazzaruddin dari partai penguasa di negeri ini telah menggemparkan panggung politik dan yang lain bersorak sorai. Bermula dari proyek wisma atlet dan bahkan Angelina Sondakh sebagai anggota legislatif diduga terlibat dalam melicinkan proyek tersebut bekerjasama dengan Badan Anggaran dan BURT DPR agar uang dapat keluar. Semua politisi partai penguasa tsb gempar apalagi MK adalah lembaga yang mempublikasikan kasus itu ke publik. Konspirasi dan konstelasi politik tidak berhenti begitu saja suap juga terjadi 120.000 US Dollar kepada Sekjend MK antara elit dan lembaga negara saling menjatuhkan. Hegemoni mafia hukum sedikit ada restrukturisasi dengan ditahannya Hafid Muharam, M.R Manulang dan M.El Idris oleh KPK. Perjalanan panjangnya berawal dari Singapura berakhir di Bogota, Kolombia dengan ditangkapnya oleh Interpol. Proses hukum tidak berhenti begitu saja proses pemulangannya apakah harus dengan ekstradisi atau tidak menjadi problematik mengingat Kolombia tidak ada perjanjian dengan pihak Indonesia. Fakta telah membuktikan kuasa hukumnya tidak mengajukan gugatan, jika sampai mengajukan gugatan dan diterima hilang sudah citra hukum di Indonesia. Nyanyian Nazzarudin telah melibatkan banyak pihak jajaran Sesmenpora, presidium KPK dan bahkan ketua umumnya Anas Urbaningrum juga terkena testimoni yang masih menimbulkan kontroversial. Dalam waktu yang hampir bersamaan hakim Syarifuddin yang telah membuat ulah di pengadilan. Prestasi luar biasa yang pernah dilakukan ialah membebaskan 39 terdakwa korupsi dan paling akhir telah dibebaskannya vonis bebas Gubernur Bengkulu, Agusrin M. Najamudin. Ia juga ditangkap saat diduga menerima suap sebesar Rp250 juta dari Puguh Wirawan, kurator PT Skycamping Indonesia.
               Kontroversial hukum tidak berhenti begitu saja lembaga super body MK juga terkena badai politisasi terlepas kasus yang dijalani tersebut benar atau tidak. Pemalsuan surat di MK yang melibatkan Andi Nurpati yang sekarang menjadi salah satu petinggi di partai penguasa tidak sedikit dapat tersentuh oleh hukum walaupun fakta dan bukti ia terlibat dan pernah memimpin rapat pleno terkait pembuatan surat. Dalam sistem ketatanegaraan tidak terlepas terdapat permasalahan hukum mulau dari wacana revisi UU MK dan perseteruan antara MA dan KY terkait KY yang dianggap melampaui batas dalam memberikan pengawasan terhadap kinerja hakim. Selain itu polemik di internal DPR juga terjadi dan kini sedang menghantam alat-alat kelengkapan yang dinilai selama ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ada wacana harus dihapus dan cuma tiga fungsi saja yang harus dimiliki oleh DPR, tetapi ada juga yang justru malah harus ditambahkan. Semua itu menunjukan demokrasi transaksional dan politisasi lembaga tetap akan dilanggengkan demi golongan-golongan tertentu.
                   Korupsi yang merupakan gurita dan monster bangsa telah menggerogoti di instansi-instansi pemerintah. Di penghujung tahun 2011 ini tidak kalah hebohnya pembunuhan karakter dari fungsionaris partai dihantam oleh kasus korupsi di Kemenakertrans. Walaupun KPK internalnya dikriminalisasi dan dipolitisasi oleh berbagai pihak setidaknya masih mempunyai taring untuk menjerat para koruptor. Polemik yang tengah menghinggapi KPK saat ini berawal dari perseteruan baik dari internal KPK, pemerintah dan DPR. Perlu kita ingat bahwa masalah tersebut berawal dari ditetapkannya Antasari Azhar sebagai tersangka pembunuhan kemudian pemerintah mengeluarkan Plt terhadap Tumbak P. sebagai pimpinan KPK sementara. Selang beberapa bulan terpilihlah Busro M. sebagai pimpinan KPK setelah melewati fit and proper test di DPR. Masalah lagi timbul ketika terdapat pro dan kontra terhadap masa jabatannya hanya Cuma satu tahun. Aturan dalam Pasal 30-33 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK banyak ditafsirkan dan disalahartikan. Melalui putusan MK tetap Busro M.dan jajaran presediumnya berhak menduduki jabatan tidak hanya satu tahun. Dilain pihak pansel pemilihan pimpinan KPK tetap dibentuk dan sampai sekarang terpilih 8 calon pimpinan KPK yaitu Bambang W. sebagai pengacara, Yunus Husein sebagai ketua PPATK, Abdullah Hehamahua sebagai penasehat KPK, Handoyo Sudrajat sebagai deputi KPK, Abraham Samad sebagai pengacara, Zulkarnaen sebagai jaksa, Adnan Pandupraja sebagai kompolnas, Aryanto Sutadi sebagai purnawirawan polisi. Hal ironi ditunjukan oleh para anggota dewan dari Komisi III DPR usulan dari pemerintah tersebut ditolak dan memnita 10 orang bukan 8 dengan berdalih menafsirkan dari UU KPK. Untuk hasil selanjutnya kita tunggu saja siapa yang layak menjadi pimpinan KPK..???. Tarik ulur tersebut telah mengindikasikan anggota DPR ingin mengerdilkan dan menjadi penentu aktor utama dalam proses pimpinan KPK. Kompromi politik juga ditunjukan oleh para anggota DPR agar para calon pimpinan KPK yang mempunyai kredibilitas dan professionaliatas dihantam ditangah jalan agar tidak lolos menjadi pimpinan KPK. Testimoni dari Nazzarudin tentang calon pimpinan KPK apakah benar telah ada rekayasa dan deal-dealan politik kita tunggu saja kebenarannya. Partai-partai penguasa telah dijerat oleh aksi-aksi KPK akankah perlawanan dari semua fraksi di DPR akan terus menjegal upaya KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Mampukah SBY menjadi garda paling depan dalam pemberantasan korupsi?Jika semua permasalahan hukum hanya terus dipolitisisasi dan terkoptasi oleh kepentingan maka harkat dan martabat bangsa akan tergadaikan dan tunggulah tumbangnya negara tercinta ini.
                     Lalu cinta anak negeri ini ada dimana yaaa..??? kalau seperti syair lagu dari Armada “Mau dibawa kemana” negeri ini…??? Kita semua yang akan menjawabnya. Kalau dalam syair lagunya Band Ungu “Cinta adalah misteri dalam hidupku”..ini merupakan sindiran jika kita masih mengaku sebagai putra bangsa pencarian cinta dan semangat nasionalisme terhadap bangsa dan negara merupakan tugas dan tanggung jawab dari semua anak muda terlebih lagi bagi semua mahasiswa. Seorang filosof dari Yunani yang bernama Celcus pernah mengatakan “hukum adalah keindahan cinta dan seni yang dapat mewujudkan rasa kebaikan dan kepatutan”. Nah jika melihat perilaku mahasiswa sekarang yang hanya D3 (datang, duduk, dan diam) atau Cuma menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Yaaa..tunggu sajalah hancurnya negeri ini. Cinta merupakan semangat nasionalisme, politik adalah cara dan mekanismenya serta hukum adalah senjata guna tetap menjunjung harkat dan martabat bangsa ini.
                      Kawan-kawanku semua itu adalah sedikit pergulatan hukum yang terjadi di negeri tercinta ini, masih banyak polemik hukum yang menjadi PR kita bersama. Melihat semua itu dimanakah hati nurani kita sebagai mahasiswa…???apalagi sebagai mahasiswa hukum??? Apakah kita hanya cukup diam…??? Jangan pernah kita apatis dan skeptis terhadap itu semua. Ingat nasib bangsa ada di pundak kalian mahasiswa khususnya bagi mahasiswa hukum.
Read more ...
Designed By Mas Say