Kewenangan
MK ada di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 atau sama dengan dalam Pasal 10
ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. MK memiliki visi “tegaknya
konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat”.
Kewenangan yang sering jadi permainan antara kekuasaan dan uang
adalah pada “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Tidak hanya deal-dealan uang dan kekuasaan tapi jual beli putusan
akan rentang terjadi. Cost
politic
yang tinggi disemua jenjang pemilihan akan mendorong semua pihak yang
kalah dalam pemilu akan bermain pada tingkat pemberi keputusan agar
sesuai dengan harapannya. Mengingat putusan dari MK adalah final dan
mengikat telah menjadikan lembaga ini super
body
dan tidak boleh ada lembaga lain yang mengawasi. Putusannya pun tidak
boleh diganggu gugat dan tidak ada upaya hukum yang dapat
membatalkannya. Bahkan dalam sejarah ketika ada upaya dari pemerintah
dengan Keputusan Presiden pun mental tidak ada artinya. Penangkapan
Akil Mochtar sebagai ketua MK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang
tertangkap tangan menerima suap telah menjadikan kewibawaan MK
runtuh. Lembaga yang paling dipercaya oleh publik ini menjadi sejarah
buruk dalam penegakan hukum di negeri ini. Proses hukum dan kevakuman
kepemimpinan MK akan menjadikan berjalannya putusan-putusan di MK
tidak berkualitas. Kita semua masih berharap bahwa MK akan dapat
bangkit kembali dan menjadi lembaga yang dipercaya oleh publik. Jika
kita merasa putra dan putri terbaik bangsa ini mari beripikir buat
menata ulang negeri ini agar tidak karam oleh para penjahat di negeri
ini. Mari bersama-sama berbuat demi umat, bangsa dan negara. Ini
sedikit ulasan saya akan kegelisahan tentang problemtik
ketatanegaraan di MK.
Konstelasi
politik dalam drama tangkap tangan AM
Dalam
sejarah MK ada 3 orang yang termasuk hakim konstitusi dari unsur
partai politik. Mahfud MD dari PKB, Akil Mochtar dari Partai Golkar,
dan Patrialis Akbar dari PAN. Terlepas dari dikotomi hakim konstitusi
boleh dan tidaknya dari partai politik tidak akan menjadi persoalan
yang terpenting dapat bekerja profesional dan dapat menjaga
integritas serta moralitas. Perlu jadi pertimbangan bahwa jaringan
dari partai politik dan pihak mana yang memiliki kepentingan itu lah
yang akan dapat menghancurkan integritas seseorang bahkan negarawan
dari hakim konstitusi. AM ketua MK yang tertangkap tangan oleh KPK di
kediamannya telah mengindikasikan apa dan bagamaina itu bisa terjadi.
Tidak hanya publik yang kecewa tapi 8 hakim konstitusi lainnya juga
mengalami kekecewaan tidak percaya AM merima suap sekitar 3 M. CN
dari komisi II DPR RI dari fraksi partai Golkar dan seorang
pengusaha. Kenapa harus dari Golkar dan melibatkan pengusaha?.Perlu
diingat di tempat lain juga di tangkap Bupati dan assistennya dari
Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ia bukan dari Golkar melainkan dari
PDI-P.Kenapa harus tetap melakukan lobi-lobi antar partai. Koalisi di
tingkat pusat berbeda dengan koalisi di tingkat bawah. Baik dari segi
fungsional maupun gaya politiknya. Kabupaten Gunung Mas menyimpan
banyak tambang dan SDA yang melimpah. Investor dan pengusaha akan
senang bermain proyek disana. Legalitas dari Peraturan Kepala Daerah,
Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan Daerah akan mampu memainkan
keuangan daerah lewat APBD dengan leluasa. Kepala daerah sebagai
Penerima Kuasa Anggaran (Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang
pengadaan barang dan/atau jasa) dari instansi akan memiliki otoritas
tertinggi ketika dengan pihak siapa yang berhak mengadakan proyek
atau pun dalam penggunaan keuangan daerah. Dengan demikian akan ada
pertarungan kuat untuk memperbutkan kursi kepala daerah. AM walau
sudah keluar dar partai pasti masih memiki jaringan di internalnya.
Walau tidak melibatkan secara kelembagaan partai oknum yang melihat
kekuasaan AM pasti tidak tinggal diam. Terbukti CN yang satu dalam
perjuangan yang berhasil melakukan lobi terhadapnya. Bahkan lewat
perantara pengusaha dan para kuasa hukumnya mampu berkomunikasi
dengan baik antar partai. Memanfaatkan celah dana dari proyek atau
pun janji jika kepala daerah dapat dipegang merupakan tawaran yang
pantas dipertimbangkan oleh para pengusaha. Makanya mereka akan
mengeluarkan duit berapa pun besarnya. Secara politis CN adalah kader
dari Golkar yang masih sah. Boleh langsung di PAW atau pun masih akan
menunggu proses hukum selanjutnya. Semua ada pada kebijakan internal
partai. Jangan sampai ada kader partai bisa juga aka menyeret yang
lain, karena tidak pernah tahu akan kerjasama dengan siapa saja.
Deal-dealan di tingkat elit partai politik akan terjadi. Saling
menyelamatkan, saling sandra atau kah saling mengorbankan dan paling
ironi adalah ada yang dikorbankan untuk menutupi yang lain. Bisa juga
AM dijebak dan ingin mengancurkan nama MK karena dendam dan karena
ingin mengambil kepentingan bisa saja terjadi.
Dilematik
kepemimpinan di MK
Berdasarkan UU No. 8
Tahun 2011 tentang MK di Pasal 18 (1) disebutkan bahwa hakim
konstitusi ada 9 orang dan dipilih masing-masing 3 orang yaitu dari
MA, DPR, Presiden. Hal ini hampir sama dengan isi Pasal 4 ayat (1)
bahwa hakim konstitusi ada 9 orang dengan pengesahan secara formal
lewat Keputusan Presiden. Lalu bagaimana jika terjadi kekosongan
salah satu hakim konstitusi atau bahkan dari ketuanya langsung karena
alasan tertentu dan jumlahnya tidak lagi 9 orang?. Untuk mengawalinya
saya mencoba secara dogmatis alasan itu secara logisnya adalah dengan
diberhentikan. Dalam makna diberhentikan ini bisa dengan secara
hormat dan tidak hormat. Pemberhentian secara hormat seperti
tercantum pada Pasal 23 ayat (1) yaitu kerena meninggal dunia,
mengundurkan diri, usia telah 70 tahun, masa jabatan telah habis, dan
sakit jasmani atau rohani selama 3 bulan berturut-turut. Selanjutnya
pada ayat (2) hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat
yaitu dipidana yang berkekuatan hukum tetap, melakukan perbuatan
tercela, tidak hadir sidang selama 5 kali tanpa alasan, melanggar
sumpah atau janji jabatan, dengan sengaja menghambat proses
mengadili, memeriksa, dan memutus atas kerja sama dengan DPR terhadap
perbuatan tercela, rangkap jabatan, tidak memenuhi syarat lagi
sebagai hakim konstitusi, dan melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi.Lalu bagaimana jika hakim konstitusi bahkan
ketua MK AM tertangkap tangan melakukan tindakan pidana dan tercela?
Hal tersebut dapat dicermati lewat Pasal 6 ayat (3) UU MK hakim
konstitusi langsung dapat ditindak karena tertangkap tangan oleh
lembaga penegak hukum. Dalam aturan tersebut bisa dari Kepolisian dan
Kejaksaan setelah mendapat persetujuan tertulis dari presiden, tapi
jika dengan 2 lembaga penegak hukum itu asalkan tidak tertangkap
tangan. Berhubung yang melakukan tangkap tangan adalah KPK maka yang
berhak melakukan tindakan selanjutnya adalah KPK dengan kewenangan
domain dan yuridisnya untuk menjerat lebih lanjut dengan UU No.30
Tahun 2002 dengan KPK dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keadaan dalam ketata
negaraan kepemimpinan MK seperti apa?Status ketua MK sudah jadi
tersangka, tapi ia masih resmi sebagai ketua MK yang sah dan masih
akan menjalani proses lebih lanjut. Dalam Pasal 4 ayat (4) UU MK
disebutkan bahwa ketua dan wakil ketua MK telah menjadi kewenangan
internal MK yaitu melalui rapat internal yang dipimpin oleh hakim
konstitusi yang usianya paling tua. Selanjutnya dalam ayat (4a)
minimal harus dihadiri oleh 7 hakim konstitusi agar memenuhi kuorum.
Pada pemilihan beberapa bulan kemarin AM terpilih sebagai ketua MK
dengan voting sebanyak 7 suara dan Hamdan.Z sebagai wakil ketua.
Dengan tidak dapat bekerjanya ketua MK dalam menjalan tugas dan
wewenangnya. Tidak disalahkan jika dari 8 hakim konstitusi melakukan
rapat internal dan memilih kembali ketuanya atau kah wakil ketua
sekarang bisa langsung menjadi ketua tentunya dengan persetujuan
hakim konstitusi yang lainnya. Dalam keadaan ini jika terjadi
dissenting
opinion
akan mengalami kesulitan dan tidak akan menghasilkan putusan yang
berkualitas. Terobosan baru dan memang itu harus dilakukan pihak
internal MK telah membentuk Mejelis Kehormatan (berdasarkan Pasal 27A
ayat (2)) yang terdiri dari pihak internal hakim konstitusi
(Harjono), akademisi (Mahfud MD dan Hikmahanto), dari pihak lembaga
negara lain (KY) Abas Said, dan pihak MA (mantan ketua MA Bagir
Manan). Majelis Kehormatan ini juga terkait tugas dan wewenangnya
tidak ada kejelasan. Semua itu akan dapat ditentukan dengan diadakan
rapat bersama dengan pihak internal MK dengan mengeluarkan PMK dan
Majelis Kehormatan ini dapat bekerja secara independent dan
transparan. Majelis ini hanya berpedoman pada aturan MK sebelumnya
berupa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mereka tidak memiliki
kewenangan bebas. Jika ditelaah lebih lanjut unsur DPR dan pemerintah
berdasarkan aturan tersebut maka tidak ada.
Ada beberapa pilihan
yang dapat diambil agar legalitas Keputusan Presiden (mengingat ini
adalah legalitas tertinggi dalam status hakim konstitusi) yaitu:
Pertama,
menunggu hasil atas kinerja dari Majelis Kehormatan (Pasal 27A ayat
(5) UU MK) apa pun sanksi yang akan diberikan pada AM apakah
diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara sampai ada
keputusan pengadilan yang tetap atau hanya teguran tertulis.
Pemberhentian dengan tidak hormat adalah lebih tepat. Kata “tidak
hormat” memang tidak ada, akan tetapi Majelis Kehormatan harus
menafsirkan dan melihat realita yang terjadi. Baru setelah itu
hasilnya diserahkan pada presiden agar dapat dijadikan sebagai
pertimbangan. Kedua,
pilihan lain adalah karena dari 8 hakim konstitusi masih memiliki
otoritas tertinggi dalam menentukan keberlangsungan baik dalam
jenjang fungsional dan struktural maka dapat memberikan surat
permintaan pada presiden atas nama MK agar presiden sendiri yang akan
menentukan nasib AM ini.
Lalu bagaimana
tindak lanjut atas kekosongan atas ketua MK sekarang? AM hanya
diberlakukan perpanjangan jabatan dan tidak lagi mengikuti fit
and proper
test lagi. Jejak rekam pasca jadi hakim konstitusi tidak ada kontrol
dan evaluasinya apakah masih pantas atau tidak. Logisnya tidak boleh
hakim konstitusi setelah paripurna masa jabatan hanya perpanjangan
dengan alasan masih percaya dan pantas melanjutkan jabatannya tidak
logis diberlakukan di Indonesia yang telah menjunjung tinggi hukum
diatas segala-galanya. Semua mekanisme harus melalui aturan agar
paling tidak meminimalisir dampak negatif yang ada. Tidak hanya AM
hakim konstitusi lainnya juga mengalami masa perpanjangan. Menurut
saya ada pilihan yang harus segera di tindak lanjuti yaitu sebagai
berikut: Pertama,
Secara dogma AM terpilih dari Komisi III DPR sejak tahun 2008 lalu,
maka pihak DPR wajib melakukan fit
and proper test
untuk memilih kembali hakim konstitusi. DPR harus bertanggung jawab
terhadap publik atas kesalahan yang terlah diperbuat. Perlu dicermati
juga atas standarisasi akan pemilihan dari DPR ini kurang jelas dan
masih masih intervensi politik. Deal-dealan dan konstelasi politik
masih terlihat jelas. Jual beli suara akan rentan terjadi. DPR harus
membuat aturan yang lebih rigit dan ketat agar hakim konstitusi yang
terpilih dapat lebih berkualitas baik dari segi negarawan dan
moralitasnya. Perlu dipertimbangkan juga calon dari partai politik
harus ada seleksi dan mekanisme tersendiri; Kedua,
Jika Keputusan Presiden sudah keluar pihak lembaga kepresidenan juga
memiliki otoritas untuk mengambil alih kekosongan tersebut untuk
segera dipilih dengan Keputusan Presiden sebagaimana telah diambil
kebijakan dalam pemilihan Patrialis Akbar kemarin. Ketiga,
mengutip pendapat dari Adnan Buyung dan Ketua PPP maka 8 hakim
konstitusi sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik harus
mengundurkan diri. Hal ini menurut saya sah dan etis, akan tetapi
perlu dipertimbangkan juga bahwa jika hakim konstitusi mengundurkan
diri maka justru kekosongan akan makin menimbulkan ketidak jelasan
akan penanganan perkara-perkara yang ada di MK. Apa lagi jika ada
usulan pembentukan panitia bersama antara presiden, MA, dan DPR. Hal
ini tentunya memerlukan waktu dan perlu dikaji tentang prosedur dan
mekanismenya.
Bentuk
pengawasan terhadap hakim MK
MK adalah lembaga
super
body
karena amanah konstitusi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah
mengamanahkan setiap keputusannya final dan mengikat. Tidak boleh
diganggu gugat dan wajib dipatuhi oleh semua belah pihak. Selama ini
pengawasan terhadap kinerja dari hakim konstitusi tidak ada. Hanya
sebatas kamuflase dan semi otonom saja. Pengawasan yang ada hanya
sebatas pembentukan Majelis Kehormatan sesuai dalam Pasal 27A ayat
(2) UU MK. Majelis ini pun dibentuk terkesa dadakan setelah ada
pelanggaran baru dibentuk majelis. Percuma diadakan karena perbuatan
tercela dan tindakan kejahatan sudah terjadi. Sifatnya yang dadakan
tidak menjamin kualitas keputusan yang diambil. Upaya preventif sejak
awal tidak pernah ada. Sejak ada kisruh politik dan drama yang
terjadi di MK sejak tahun 2010 banyak wacana dan publik menghendaki
adanya pengawasan terhadap hakim konstitusi. Lembaga satu-satunya
yang berhak mengawasi hakim adalah KY, akan tetapi MK menolak untuk
diawasi dengan alibi bahwa hakim yang dimaksud dari kewenangan KY di
Pasal 24B tidak menyangku hakim yang ada di MK. Pemaknaannya adalah
hakim tersebut dimaknai semua hakim yang berada dalam lingkungan
peradilan di bawah MA seperti yang tercantum dalam ruang lingkup di
Pasal 24A ayat (1). Polemik ini pun pemaknaan dan tafsir ini pun juga
sempat melibatkan lembaga lain MA dalam memberikan pemaknaan dan
putusan. Dalam pengawasan ini menurut saya ada beberapa pilihan
yaitu: Pertama,
tetap mempertahankan adanya Majelis Kehormatan akan tetapi tidak
hanya berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim kewenangan dan
pemberian keputusannya harus lebih luas. Bisa juga lewat dengan
Peraturan Majelis Kehormatan sebagai legalitas dalam melaksanakan
kewenangannya. Majelis ini agar tidak terkesan dadakan dalam
pembentukan harus disahkan jauh hari sebelum ada perbuatan tercela
dan tindakan kejahatan. Pengesahannya bisa lewat Keputusan Presiden.
Dengan demikian kinerjanya akan lebih lama dan kualitas putusannya
akan lebih dapat dipertanggung jawabkan pada publik. Kedua,
pemaknaan pengawasan hakim dari KY harus ditafsir ulang dari MA bahwa
yang dimaksud dengan hakim di Pasal 24B ayat (1) adalah yang termasuk
dalam hakim konstitusi. Dengan cara yang lebh ekstrim adalah
amandemen pasal tersebut dan mencantumkan secara jelas tentang
pengawasan hakim konstitusi oleh KY.
Bertolak
dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan
bahwa presiden ”memegang kekuasaan
pemerintahan”. Konsepsi ini juga masih tabu belum mengindikasikan kejelasan
tentang pemegan kekuasaan yang seperti apa. Dengan demikian penafsirannya pun
dapat dikatakan presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala
pemerintahan. Negara Chile merupakan negara yang dapat bertahan selama 20 tahun
lebih dalam sistem presidensial dengan metode multipartai. Sebaliknya Negara
Inggris dengan sistem parlementer dengan metode non mult partai dapat bertahan
sebagai negara yang konsisten terhadap sistem pemerintahannya. Hal ini berbeda
dengan negara Indonesia sejak tahun kemerdekaan tahun 1945 selalu
berganti-ganti sistem pemerintahannya. Hal tersebut juga diikuti dengan
perkembangan dinamika hegemoni partai politik yang terlibat dalam menjalankan
pemerintahan.
Jika
dikatakan sebagai negara dengan sistem presidensial tunggu dulu!!! Fakta
kongkrit dalam perjalanan sejarah pasca bergulirnya reformasi tahun 1999
terdapat peperangan partai dalam pemerintahan antara koalisi kebangsaan dan
koalisi kerakyatan. Waktu itu partai PDI-P memperoleh suara mayoritas dan masih
kalah votting dengan Gus Dur . Akhirnya presiden terpilih Gus Dur terjungkal
dalam sidang istimewa MPR dan digantikan oleh Megawati. Sebagai bukti lain adalah penguatan kedudukan
presiden masih terdapat intervensi dapat dijatuhkan oleh koalisi partai politik
dalam parlemen. Dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terdapat lima parameter ketika presiden dapat diperhentikan yaitu pelanggaran
hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat dan perbuatan tercela. Selanjutnya dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat proses penjatuhan presiden
melalui keputusan MPR. Berawal dari usulan ke MK minimal 2/3 anggota DPR yang
mengusulkan dan yang hadir bahwa preside nada indikasi terhadap pelanggaran
diatas. Jika MK dalam waktu maksimal 90 hari terbukti ada kesalahan maka harus
lewat rapat paripurna di DPR dan kemudian dilanjutkan ke MPR. Dengan komposisi
di MPR ¾ yang mengusulkan dan 2/3 yang hadir dalam rapat. Dalam realita
demikian apakah mungkin presiden akan benar dapat diperhentikan???ingat koalisi
partai politik sejumlah 423 anggota sedangkan yang oposisi hanya 137 anggota.
Politik transaksioanl dan konstelasi politik pasti akan menjadi permainan utama
untuk saling menjatuhkan. Fakta lain adalah kinerja pemerintah selalu ada
deal-dealan politik yang diramu dalam Sekretariat Bersama (Setgab). Ical dari
Partai Golkar sebagai pemegang ketua hariannya dan partai lain PAN,PPP,PKB,PKS
dan Partai Demokrat sebagai katalisator dalam setiap pengambilan kebijakannya.
Partai Demokrat yang punya otoritas dalam suara penuh pun juga tidak akan
berdaya jika harus menentukan kebijakan pemerintah tanpa lewat Sekretariat
Bersama (Setgab). Remot kontrol dalam kebijakan baik secara administrasi dan
politis ada dalam Sekretariat Bersama (Setgab). Lalu apa gunanya presiden
sebagai figur negara jika hanya dalam kontrol jika dikatan lembaga juga bukan
saya lebih tepat menyebutnya sebagai “Remote
Parlemen”. Hal ini akan menimbulkan konsep legislative heavy dan government
minority. Keduanya dalam praktek ketatanegaraan hanya akan menimbulkan tirani palemen dengan setiap kebijakan
ada ditangan kebijakan masing partai politik dan sebagai legalitasnya akan
dibawa dalam rapat paripurna DPR. Fungsi DPR sebagai tercantum dalam Pasal 20A
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak akan
berjalan secara maksimal.
Jika
negara Indonesia dikatakan dalam sistem parlementer juga tunggu dulu!!! Dalam
praktek posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus
terjadi keseimbangan antara kontrol antara legislatif dan eksekutif. Sejak
tahun 1999 dengan aturan Undang-Undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
banyak partai politik dalam mewarnai sistem pemerintahan di Indoensia. Dalam
sejarah ketatanegraan kita tahun 1999 telah dibuka kran demokrasi dan terdapat
48 partai politik yang ikut dalam pemilu. Dalam perjalanan demokratisasi dengan
adanya Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum dan terakhir Undang-Undang No.8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum merupakan landasan yuridis dalam keikutsertaan
partai politik dalam pemilahan umum. Hal itu tergantung dari ambang batas
perolehan kursi baik dari suara nasional maupun di DPR agar dapat ikut lagi
dalam pemilu berikutnya. Dengan konsepsi terdapat multi partai, adanya “Remote Parlemen”, dan baik koallisi
kebangsaan dan kerakyatan pasca pemilu tahun 1999 atau pun adanya koalisi dan
oposisi partai politik telah menunjukan sistem parlementar ada adan sedang
berjalan di negara kita. Lalu dalam prakteknya kekuatan dan kedudukan presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan masih memiliki otoritas dalam
setiap pengambilan kebijakannya. Pengangkatan wakil menteri (telah dibatalkan
MK karena tidak melalui aturan ketatanegaraan) atas dasar Undang-Undang No.39
tahun 2008 tentang Kementrian Negara dan pemberian grasi Corby (Keppres No.22
Tahun 2012) atas dasar Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan fakta hukum yang paling fenomenal dalam
pengambilan kebijkan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang
dimilkinya. Jauh sebelum itu juga terdapat Keppres No.13 Tahun 2006 tentang
penanganan lumpur Lapindo. Selain itu banyaknya Satuan Tugas (Satgas) yang
dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) maupun Keputusan Presiden
(Keppres) juga merupakan bukti masih tingginya posisi presiden dalam
pengambilan keputusan yang bersifat publik tanpa melibatkan partai politik. Keppres
No.37 tahun 2007 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Keppres
No.31 tahun 2007 tentang Masa Jabatan Hendarman Supanji merupakan legalitas
formal dari kebijakan seorang presiden. Tahun 2010 juga terdapat Perpres No.
109 tahun 2010 tentang Plt terhadap Darmono. Perpres No.9 Tahun 2012 tentang
perintah SBY kepada para mentri terkait dalam pengembalian asset hasil tindak
pidana korupsi dari luar negeri. Keppres maupun Perpres ini dalam katagori
otoritas sebagai hak prerogatif yang bersifat internal individual dan bukan hak
prerogratif yang bersifat ekternal dan publik. Menurut saya bukan hanya telaah
individu dan publik saja akan tetapi lebih mengedepankan bahwa posisi presiden
masih memiliki dominasi dalam menjalankan pemerintahan. Walaupun terdapat
fragmentasi dalan DPR pihak legislatif terdapat sekat yang secara politis tidak
dapat menjatuhkan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam Pasal 10
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengindikasikan
bahwa presiden memiliki otoritas kuat sebagai pimpinana tertinggi atas AD,AU
dan AL.
Dengan
konsep apa pun apakah presediensial atau kah parlementer? atau kah semi dari
keduanya bukan menjadi persoalan yang terpenting adalah keseimbangan
ketatanegaraan tidak boleh runtuh oleh egoisme golongan tertentu. Kepentingan
bangsa harus dikedepankan.
Demokrasi
ataukah otoritarianisme?
Buat mengawali kajian ini saya
mencoba mengutip dalam sebuah buku karangan Ni’matul Huda dkk yang berjudul “Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H
“Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan”” (2007:11) Konstitusionalisme
menurut William G. Andrew
menggambarkan 2 (dua) prinsip yang bebeda tetapi akan saling berkaitan yaitu
sebagai berikut: Pertama, Hubungan antara kewenangan dan warga negara. Kedua,
Hubungan antara pemerintah dan warga negara. Jelas dalam dogma ini terdapat
variable dalam proses demokratisasi atau kah otoritarianisme itu sendiri.
Kebijakan pemerintah akan menentukan corak dan warna terkait legal policy yang bersifat publik dan
akan mengikat pada seluruh warga negara. Konsepsi Indonesia merupakan negara
hukum sebagai bingkai dalam ketatanegaraan terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cerminan dari negara demokrasi
terdapat dalam ayat (2). Implikasi sebagai negara hukum harus dan wajib untuk
menerapkan semangat demokrasi dalam menjalankan pemerinrahannya. Sebenarnya
kapan Indoensia berada dalam pola ketatanegaraan otoritarianisme?dan kapan
terletak pada pola demokratisasi?. Jelas dalam quid facti jika otoritarianisme sejak zaman Presiden Soekarno
sampai Preseiden Megawati dan sejak kran demokrasi terbuka sejak presiden SBY. Benarkah
demikian adanya?Dalam fakta konsep tersebut masih tabu dan masih banyak tirani
yang mengklamufasekan demokrasi dalam setiap kebijakan pemerintah.
Walaupun dalam perjalanan historis
Indonesia telah memasuki babak demokrasi. akan tetapi masih terdapat kebijakan
yang sentralistik tanpa melihat fakta yang terjadi di dalam masyarakat. Sebut
saja sejak adanya konsep “remote
parlemen” presiden sebagai pemangku kebijakan yang bersifat publik masih
masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan saja. Kebijakan diambil
melalui kompromi politik tanpa melihat penderitaan rakyat. Fakta jelas ketika
terdapat kebijakan dalam kenaikan BBM dengan memainkan konsepsi hukum dalam
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang APBN untuk kebijakan tahun 2012 tidak
terdapat kenaikan BBM. Akan tetapi dalam Pasal 7 ayat (6) dipolitisasi dengan
penambahan klausula adanya harga 15% dari harga minya dunia. Drama politik
tersebut hanya dijadikan alat kebijakan pemerintah saja. Selain itu kebijakan
aparat penegak humum masih bertindak sewenang-wenang dalam penegakan hukum. Peristiwa
Bima dan Mesuji merupakan fakta peran militer sebagai pendukung kebijakan pemerintah
masih bersikap otoriter tanpa melihat kepentingan rakyat kecil. Penggususan PKL
yang tidak ada ganti rugi dan adanya diskriminasi terhadap rakyat kecil juga
diperankan oleh tangan-tangan pemerintah. Keadilan buat rakyat kecil masih jauh
dan kepentingan pribadi atau golongan masih menjadi tirani mayoritas. Urusan
rakyat, bangsa dan negara masih dikesampingkan.
Sejak rezim orde lama dan baru
dengan tranformasi ke arah reformasi menjadi kran demokrasi terbuka lebar.
Rakyat bebas bersuara dan menyatakan pendapat tanpa adanya pembredelan seperti
zaman dahulu. Pada pemilu tahun 1999 pemilu diikuti oleh 48 partai politik
dengan corak dan ideologi yang berbeda-beda. Pers terbuka lebar dalam membuat
berita untuk publik. Jaminan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 makin memberikan angin demokrasi bagi rakyat. Para stake holder pemerintahan pun bebas
berkreasi dengan pola dan gaya kebijakan dalam menjalankan pemerintahannya. Undang-Undang
No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga memberikan landasan
bagi kebebasan warga masyarakat untuk mendapatkan akses yang menjadi haknya.
Sidang di parlemen dapat dijadikan sebagai film drama komedi sebagai tontotan
secara langsung oleh rakyat. Pergerakan mahasiswa tidak ada lagi terkekang oleh
pemerintah dan militer. Keadilan baik sebagai equty, fairness dan justice dapat oleh para pencari
keadilan. MK dan KPK sebagai lembaga super
body tampil ke publik sebagai pahlawan dalam menyelesaikan setiap kasus
yang ditanganinya dan telah memberikan trust
kepada rakyat. Hal yang fenomenal adalah sesuai perkembangan globalisasi dan
demokratisasi MK menjadi lembaga positif
legilslator dan terkadang melampaui batas dengan ultra petita yang dimilikinya. Putusan No.46 tahun 2012 dengan
mengabulkannya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan telah berakibat hukum anak diluar nikah menimbulkan terbukanya rasa
keadilan yang didambakan oleh rakyat. Perlu diingat bahwa ibarat kran yang
dibuka airnya jangan sampai memberikan dampak negatif terhadap kaum minoritas.
MK sebagai pembuka kran harus tetap berhati-hati agar keadilan tetap berjalan
seimbang.
Terlepas apakah demokrasi atau otoritarianisme?
atau punya pola tersendiri dengan primordial dan kemajemukan bangsa Indonesia
yang terpenting adalah negara dapat melindungi dan mengayomi rakyat kecil.
Ketika rakyat menjerit kesakitan negara harus tampil menjadi obatnya.
Kesatuan
ataukah federal?
Bertolak
dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia merupakan negara kesatuan. Korelasinya harus disejajarkan dengan
konsep negara demokrasi. Peralihan wacana tersebutlah yang mengilhami isu
adanya konsep federal. Otonomi daerah yang termaktub dalam Pasal 18 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan awal tentang
konsepsi adanya pergeseran apakah negara kesatuan ataukah federal.
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang
otonomi daerah telah menimbulkan polemik dan fragmentasi otoritas tentang
kebijakan baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Jabatan politis atau kah administrasi juga menjadikan tarik ulur dan
berimplikasi terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah daerah.
Adanya otonomi dan keistimewaan terhadap Yogyakarta, Undang-Undang No.11 Tahun
2006 Aceh dan Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Papua merupakan kebijakan
penuh kepentingan walaupun sebagai moment
opname keluarnya kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah dalam
mencegah dis integrasi bangsa.
Jika konsep yang dianut di Indonesia
merupakan negara kesatuan harus perlu dikaji dan dicermati ulang. Jabatan
administrasi yang berubah menjadi jabatan politis telah merubah paradigma
berpikir bagi pemerintah daerah menjadi bagian tersendiri dari pemerintah pusat
dan tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Semi negara kecil
dan federal pun menjelma dari masing-masing daerah. Pasal 4 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang
otonomi daerah menjadikan dasar tentang adanya pemekaran wilayah dan
pembentukan daerah baru. Azas otonomi daerah berupa desentralisasi dengan
pembebanan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadikan daerah
mampu dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) guna menyejahterakan rakyatnya
sendiri. Inkonsistensi antara Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun
2004 tentang otonomi daerah.menjadikan lahirnya wakil kepala daerah akan
memberikan kewenangan bagi setiap daerah dalam menjalankan pemerintah daerah.
Konsep Program Legislasi Peratutan Daerah (Prolegda) belum adanya mekanisme
yang jelas baik pembentukan dan pengawasannya. Peraturan Daerah (Perda) hanya
akan dijadikan politik transaksional dengan perkawinan antara pengusaha dan
penguasa daerah. Pengadaan proyek dan tender pengadaan barang dan/atau jasa
akan dijadikan sumber pendapatan dan penghidupan bagi para kepala daerah.
Peraturan Daerah (Perda) hanya akan dijadikan sebagai alat legalitas formal
dalam setiap kebijkan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dalam Pasal
183 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah
daerah diterangkan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan
asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD), kedaaan
yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis
belanja serta keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun
sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan. Hal
serupa juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang
pengelolaan keuangan daerah pada Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan
Pasal 85 mengenai perubahan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dengan
perkembangan dan/ atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraann
perubahan atas Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggarannya
yang bersangkutan, apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi
kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keadaan yang
menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antas unit organisasi, antar
kegiatan dan antar jenis belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih
tahun sebelumnya harus digunakan untuk tahun berjalan, keadaan darurat dan
keadaan luar biasa.
Jika dikatakan telah bergeser ke
dalam sistem federal dengan otoritas dari pemenrintah daerah dalam menjalankan
pemerintahannya juga harus mendapat kajian lebih dalam lagi. Dalam Pasal 27
ayaut (3) yang berbunyi “Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk
Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk
Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun”. Hal
ini merupakan aturan yang positif dan masih ada perekat antara pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Pertanggung jawaban kepala daerah yang disampaikan
kepada presiden merupakan wujud pelaksanaan pola administrasi dalam hubungan
pemerintah pusat dan daerah masih berjalan. Jembatan panjang yang terhampar
antara jarak pemerintah pusat dan daerah juga telah diperpendek dengan adanya
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai bentuk representatif dari rakyat yang ada
di daerah. Azas dekonsentrasi dengan keterlibatan dari pemerintah daerah juga
masih dibiayai dengan Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) dari
pemerintah pusat.
Baik dalam konsep apapun negara ini
yang terpenting tidak terfragmentasi oleh kepentingan politis dan adminsitrasi.
Para stake holder baik di pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam
menyejahterakan rakyatnya.
Civil
law ataukah common law?
Sistem
hukum civil law telah mengalami dinamisasi dan proses perjalanan yang sanagt
panjang mengingat jiwa revolusioner yang telah mengiringi perjalanannya.
Bersamaan dengan itu pula sifat yang administratif prosedural juga menjadi
titik sentral dalam sistem civil law ini. Perlu dingat juga bahwa sistem common
law memiliki makna yang berbanding terbalik yaitu jiwanya yang evolusioner dan
lebih mengedepankan makna justice sebagai kunci law enforcement nya. Perdebatan
antara tujuan hukum yang akan dicapai apakah kepastian hukum atau kah keadilan
selalu menjadi titik point dalam penerapannya. Lalu kemannfaatan ada
dimana?apakah pada civil law atau kah pada common law?. Berbagai perspektif
banyak menempatkan letak kemanfaatan itu sendiri dan bahkan bisa berdiri
sendir.
Sistem
civil law lebih mengedepankan aturan tertulis sebagai hukum dasar dan tidak
boleh diganggu gugat. Kepastian hukum menjadi ciri khasnya. Menurut pakar civil
law Frederich Julius Stahl bahwa pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
berdasarkan dan trias politika merupakan implikasi terhadap penegakan hukumnya.
Lalu dalam penerapannya di Indonesia seperti apa?. Masih jauh dari quid juris
cita ilmu hukumnya. Indonesia tidak menganut konsep trias politika, akan tetapi
dengan konsep tersendiri berupa distribution of power. Hal ini menjadi tolak
ukur terhadap adanya saling kontrol dan bahkan saling adu citra dan adu gengsi
antara lembaga negara. Pelanggaran hak asasi manusia di Bima dan Mesuji
merupakan fakta hukum bahwa negara belum dapat menjunjung martabat warga
negaranya. Aturan tertulis hanya dijadikan alat penguasa dalam transaksional
hukum di parlemen. Selain itu terobosan hukum masih bersifat retro aktif dan
salah dalam menggunakan logika dan penafsiran hukum. Nilai-nilai hukum baik prosedural
dan substansial dicampur adukan dalam elaborasi hukum yang otonom dan tidak
memihak pada upaya menciptakan kepastian hukum. Aksiomatik hukum dibuat
permainan dan hanya digunakan oleh para penegak hukum dalam memberikan
penafsiran terhadap aturan undang-undang.
Azas legalitas hanya dijadikan alat dalam mencipatakan hukum baru.
Proses pengembanan hukum (recht boevening), pembentukan hukum (recht vorming), penemuan
hukum (recht vinding) dan sampai pada penciptaan hukum (recht cepping). Hukum
yang bersifat emansipatoris dan kritis hanya dijadikan perlengkapan hukum agar
seolah-olah dapat mencapai kepastian hukum. Nilai dan etika masih di
overlapping kan dalam penegakan hukumnya. Nilai sosial diagungkan demi meraih
nilai kepastian hukum padahal jauh dari kenyataan dan realitas sosial.
Jika
Indonesia pada posisi common law dalam konteks hukum jelas tidak mungkin. Akan
tetapi fakta hukum berbeda dalam praktek dan aturannya. Menurut A.V Dicey
konsep hukum ini jika adanya persamaan dihadapan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat jaminan
persamaan di depan hukum oleh setiap warga negara. Jelas adopsi sistem hukum
common law telah berada dalam konstitusi negara dan telah melembaga menjadi sebuah
recht verfussing hukum sebagai landasan dalam penegakan hukum di Indonesia. Hakim
yang menjadi creator hukum dalam common law dalam beberapa kasus di pengadilan
juga telah teradaopsi baik melalui interpretasi, konstruksi dan sistemisasi
hukum. Bahkan jurisprudence juga menjadi
parameter dalam sistem common law juga diterapkan di Indonesia. Perpres No.9
Tahun 2012 sebagai pengisi kekosongan hukum atas fatwa Mahkamah Agung (MA)
dalam pengusutan asset hasil tindak pidana korupsi juga menjadi tolak ukur
penerapan sistem hukum ini di Indonesia.
Terletak
dalam posisi dimanapun apakh civil law atau kah common law atau kah campuran yang
terpenting adalah hukum sebagai panglima di negeri ini harus memberikan rasa
keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadila, khsususnya rakyat kecil.
Separation
of power ataukah distribution of power?
Konsep ketatanegaraan ini muncul dan
berkembang berawal dari polemik yang terjadi dimasing-masing negara. Proses
adopsi dan transformasi juga akan berimplikasi terhadap sistem bernegara yang
akan diambil oleh masing-masing negara. Teori individualistik yang
dipelopori oleh J.J. Rousseau, Montesqieu dan John Locke merupakan titik awal dari
lahirnya negara dengan individu sebagai rakyatnya mengikatkan diri terhadap
setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Teori Class yang
dipelopori oleh Karl Marx, Engel dan Lenin berusaha mengupayakan terhadap
dominasi dari negara terhadap rakyatnya yang bersifat diktator. Teori
integralistik yang dipelopori oleh Spinosa, A.Muller dan Hegel
merupakan wacana dengan menempatkan kepentingan negara diatas segala.segalanya.
Dari perdebatan an historis ini lah saya akan mencoba menelaah sebenarnya
posisi ketatanegaraan Indonesia itu lebih tendensi kepada siapa?atau kah ada
kepentingan atau justru mempunyai ciri khas sendiri?
Jika Indonesia menganut distribution of power tunggu dulu!!!Sejarah
konstitusi di Indonesia telah mengalami transformasi baik secara kultural
maupun struktural. Dalam tataran kultural terjadi pada fase pergantian rezim
pemerintahan baik dari zaman orde lama sampai zaman reformasi saat ini. Rezim
orde lama sistem ketatanegaraanya belum teratur karena lebih cenderung
mengalami masa transisi. Kinerja lembaga lembaga yudikatif, legislative dan
eksekutif belum terbagi dengan jelas. Kinerjanya pun masih tumpang tindih.
Teori individualistik kiranya dapat digunakan dalam menelaahnya?mengapa
demikian?jelas pada waktu itu rakyat masih awam dan belum paham terhadap
masalah ketatanegraan Rakyat yang penting dapat hidup damai dan lepas dari
intervensi para penjajah. Pemerintah pun juga tidak memberikan pendidikan
politik ketatanegaraan terhadap rakyatnya agar dapat mengontrol pemerintahan.
Disis lain ke-3 lembaga yang ada belum dapat maksimal menjalankan kinerjanya
masing. Bahkan eksekutif dari seorang presiden dapat membubarkan parlemen.
Parlemen pun juga dapat menjatuhkan kursi presiden. Lembaga yudikatif pun
lembaga yang seharusnya menjadi penengah dalam mengakan keadilan juga tidak
mampu menyelesaikan kemelut ketatanegaraan yang ada. Pergantian rezim orde lama
ke orde baru sedikit ada perubahan dan perbaikan sistem ketatanegaraan. Ke-3
lembaga sudah ada kejelasan terkait tugas dan wewenangnya masing-masing. Dalam
teori class saya kira tepat untuk menelaah sistem ketatanegraan pada fase rezim
ini. Sifat pemerintah sebagai lembaga eksekutif mempuyai peranan yang sangat
penting dalam setiap kebijakan yang diambilnya. Otoriter dalam pengambilan
kebijakan menjadikan sistem ketatanegaraan walau pun sudah ada kejelasan
terkait kewenangan masing, justru kebijakan tersebut menjadikan makin kabur dan
samar. Parlemen dijadikan sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaan. Fungsi
parlemen menjadi mandul dan tidak berfungsi sebagai alat representatif suara
rakyat. Tepat lah jika seorang filosof Louis
Althusser dengan 2 paham yang digunakan akan saya coba dalam menelaah ini
lebih lanjut. Pertama, Ideologi
states apparatus dengan pemaknaan bahwa ideologi negara dijadikan sebagai alat
kekuasaan. Pancasila dijadikan dalam kajian rutin bagi seluruh pegawai negeri
sipil dan dalam kondisi ini semua diarahkan untuk memilih partai yang digunakan
sebagai alat kekuasaannya. Kedua, represive states apparatus dengan pemaknaan
bahwa alat-alat pertahanan keamanan negara juga dijadikan sebuah tameng dalam
melindungi kekuasaannya. Tidak cuma itu saja mereka juga mempunyai jatah kursi
di parlemen. Suara mereka akan berkoalisi dengan suara partai sebagai kendaraan
bersama. Hal ini ditandai dengan perubahan terhadap konstitusi negara sebagai
acuan dalam proses penyelenggaraan negara. Dalam tataran struktural dengan adanya
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 sebanyak 4
kali merupakan sejarah perjalanan panjang dalam melahirkan sebuah tata
pemerintahan bernegara dalam menopang tetap beridirinya negara ini. Adanya “Remote Parlemen” telah mengindikasikan
antara kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak adanya kejelasan dalam
pengawasan dan kontrol terhadap kinerja pemerintah. Dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Tahun 1945 telah ada dualisme dalam penyelenggara
yudikatif dengan aturan pelaksananya yaitu Undang-Undang No.3 Tahun 2009
tentang MA dan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang MK. Kewanangannya pun juga
terpisah. Antara keduanya tidak boleh saling ikut campur apa lagi saling
menjatuhkan. Hak prerogratif presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
tertinggi belum tersentuh dan masih bersifat mandiri dalam setiap pengambilan
kebijakannya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 12, 13 ayat (1), 14, 15, 16 dan
17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Tahun 1945 juga telah memberikan otoritas tertinggi bagi
DPR dalam membuat undang-undang dan telah menjelma sebagai tirani legislator.
Legalitas dalam rapat paripurna dalam setiap pengesahan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) juga tidak boleh diganggu gugat mutlak milik anggota parlemen dan
partai politik.
Jika
separation of power jelas tidak
mungkin mengingat antara ketiga lembaga yang ada saling mengawasi dan
mengontrol. Mereka tidak lepas sendiri dan bahkan tidak dapat dipisahkan antara
yang lain. Fakta kongkrit terjadi polemik terkait dalam penggunaan sistem
kontrol antar lembaga negara. Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga dalam
pengawasan hakim. Akan tetapi makna dalam Pasal 22B adalah hakim yang
mana?masih multitafsir. Ketika terjadi indikasi perilaku tidak baik dalam hakim
konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) justru ditolak karena dianggap wewenang
Komisi Yudisial (KY) tidak termasuk wewenangnya. Undang-Undang No.8 Tahun 2011
tentang MK dan Undang-Undang No.18 Tahun
2011 tentang KY juga merupakan kolaborasi dalam sistem pengawasan antar lembaga
negara. Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 telah
memberikan sikap dari DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam
memberikan pengawasan terhadap kinerja pada pemerintah dan presiden sebagai
penguasa eksekutif tertingginya. Kinerja antara MK, DPR dan MPR juga terlihat
dalam Pasal Pasal 7B. Pasal 11 ayat (1) dalam persetujuan pemerintah pada DPR
dalam menyatakan perang, perdamian dan perjanjian. Pasal 13 ayat (2) dan (3) terdapat
kinerja antara eksekutif dan legislatif. Pasal 23 ayat (1) dan (2) juga
memberikan tugas dari BPK dalam mengaudit semua lembaga negara dan DPR sebagai
bahan pertimbangannya. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) telah dihapus dan keberadaannya
dalam telah tersubstitusikan dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2006 tentang
Dewan Pertimbangan Presiden. Dengan tugas pokok memberikan supply dan masukan
terkait segala kebijakan yang akan diambil oleh pihak eksekutif dalam
menjalankan pemerintahannya.
Tidak
menjadi persoalan apakah Indoensia menganut separation of power ataukah
distribution of power atau elaborasi dari keduanya yang terpenting adalah
adanya pengawasan dan kontrol antara lembaga negara bertujuan menciptakan tatanan
hukum tata negara yang menjunjung tinggi cita hukum dan nilai demokrasi bangsa.
Liberalis,
kapitalis atau kah sosiallis?
Bertolak
dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat
klausula “dikuasasi oleh negara” yang
menjadi titik point dalam menentukan konsep dan sistem perekonomian yang dianut
oleh Indonesia. Dalam konteks historis dan prekembangan peradaban dunia konsep
liberalis yang telah dikembangkan oleh Adam Smith merupakan sebuah pijakan bagi
negara yang menggunakan sistem liberalis dimana negara tidak mempunyai peranan
dan otoritas yang penuh dalam mengatur perekonomiannya semua diserahkan pada
mekanisme pasar. Sebaliknya J.M Keynes merupakan figur yang menentang sistem
ini, karena pihak negara harus ikut bertanggung jawab dalam mengelola sistem
perekonomian bangsa. Disisi lain juga berkembang paham neo-liberalisme yang
berusaha akan mengakomodir nilai kurang dan lebih baik dari sistem liberalis
maupun sosialis. Dalam perkembangan globalisasi juga muncul sistem kapitalisme
yang berusaha akan mengakomodir kepentingan golongan yang berduit saja. Lalu
negara kita ada di posisi dimana? Jika dikatakan negara kita adalah
liberalis, masih terdapat intervensi yang sangat luar biasa dalam menentukan
kebijakan dalam perekonomian negara. Politisasi dalam kenaikan BBM dan hal yang
paling parah adalah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No.77 Tahun 2007
tentang intervensi asing dalam penanaman modal di dalam negeri.
Dengan
adanya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
nasionalisasi justru terhambat, peran pemerintah makin tersandra dan penuh
kepentingan golongan tertentu yang menyebabkan konsep perkawinan nasioanlisasi
dan swastanisasi jadi makin kacau. Asset yang menjadi milik khalayak umum
justru dimanfaatkan dan dipolitisir dengan mengatasnamakan kepentingan negara
hanya untuk kepentingan golongan saja. Dalam konteks ini kebijkan pemerintah
hanya dijadikan alat dan dimanfaatkan saja. Dalam infiltrasi inilah liberalisme
hadir dan dipertanyakan. Kapitalisme tidak dapat lepas dengan konsep
liberalisme. Jika pemerintah lebih dominan dan konsep negara kita adalah sosialis.
Maka tunggu dulu banyak terdapat fakta dan kasus dalam fallacy paradigma ini. Wacana
liberalisasi pendidikan merupakan bentuk lepas tangan pemerintah. Tanggung
jawab dan pengelolaan hanya diserahkan pada lembaga non pemerintah. Pemerintah
berusaha untuk lepas tanggung jawab. Perusahaan asing yang berbasis swasta
merupakan fakta kongkrit tentang lepas tangannya pemerintah dalam pengembangan
ekonomi di daerah. Swastanisasi dengan penyerahan mekanisme pada pasar lokal,
nasional dan dengan adopsi dari perkembangan internasional justru akan mengacaukan
sistem perekonomian bangsa. Mengingat pola dan pengelolaan dari negera punya
karakteristik khsusus
Masuknya
Indonesia menjadi anggota WTO dengan meratifikasi beberapa kesepakatan dalam
GATT merupakan manivestasi dari neo-liberalisme yang harus juga dijalankan. UU
No.22 tahun 2001 tentang Migas juga memberikan indikasi mekanisme pasar akan
memberikan dominan penuh dalam pengambilan kebiajakan pemerintah. Lalu konsep
ekonomi demokrasi pancasila dianggap konsep ekonomi yang paling ideal bagi tata
perekonomian bangsa kita. Banyak perdebatan yang muncul parameter yang
digunakan seperti apa?pengelolaannya bagaimana dengan keterlibatan asing dan
pemerintah?siapa yang paling dominan?siapa yang paling berhak dalam otoritas
tertinggi dalam pengambilan kebijakan?. Hal ini yang juga masih menjadi tolak
ukur dimana letak yang paling tepat dalam sistem perekonomian di negara ini.
Menganut
dalam sistem liberalis, kapitalis atau kah sosialis tidak menjadi substansi
penting dalam menjalankan perekonomian bangsa yang terpenting adalah sandang,
pangan dan papan bagi rakyat kecil terpenuhi dan negara mutlak bertanggung
jawab dalam memenuhinya.