Breaking News

21 September 2011

MAKALAH TENTANG MAHKAMAH TOKYO DALAM IMPLEMENTASINYA DALAM PENEGAKAN HUKUM INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting dibidang hukum internasional sebagai upaya menciptakan perdamaian dunia dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda yang merupakan salah satu organ utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini juga sedang berupaya menyelesaikan Rules of Prosedure atau Hukum Acara bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang statute pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi internasional di Roma, Italia pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut baru akan berlaku setelah disahkan oleh 60 (enam puluh) Negara. Berbeda dengan International Court of Justice. Adapun pengertian dari Yurisdiksi International Criminal Court  adalah dibidang hukum pidana internasional yang akan mengadili para individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan humaniter, genosida (pemusnahan ras), kejahatan perang, serta agresi (Boer Mauna, 2003:56).
Ide pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang ditujukan untuk mengadili individu-individu yang telah melanggar hukum internasional tidak bias dilepaskan dari pengadilan Tokyo dan Pengadilan Nuremberg. Bagaimanapun kedua pengadilan ini telah memberikan jalan bagi terciptanya hukum pidana internasional. (Jawahir Thantowi, 2006:87). Dengan demikian adanya dua instrument pengadilan tersebut merupakan tekad dan etikad baik dari dunia internasional dalam upaya penegakan hukum pidana secara internasional. Selain telah ada upaya dalam penegakan hukum pidana internasional juga terdapat upaya melindungi dan menjamin Hak Asasi Manusia.
Mahkamah Tokyo dikenal juga dengan nama Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh adalah pengadilan internasional yang merupakan pengadilan ad hoc yang mulai diselenggarakan pada 3 Mei 1946 dengan tujuan untuk mengadili para pemimpin kekaisaran Jepang atas tiga kategori kejahatan: yaitu "Kelas A" (kejahatan terhadap perdamaian), "Kelas B" (kejahatan perang), dan "Kelas C" (kejahatan terhadap kemanusiaan), yang dilakukan selama Perang Dunia II. Kelas yang pertama merujuk pada konspirasi bersama mereka untuk memulai dan menjalankan perang, dan dua yang terakhir merujuk pada kekejaman, dimana salah satunya yang paling terkenal adalah Pembantaian Nanking. (www.wikipedia.com/diakses tanggal 3 Juni 2010).
Mahkamah Tokyo sesungguhnya bukan satu-satunya forum untuk menghukum penjahat perang Jepang, hanya saja merupakan yang paling terkenal. Bahkan, negara-negara Asia korban mesin perang Jepang mengadili lebih banyak orang Jepang dapat diperkirakan lima ribu orang dan menghukum mati sebanyak 900 orang serta memenjarakan seumur hidup sejumlah lebih dari setengahnya. Dua puluh delapan personel militer dan pemimpin politik Jepang didakwa dengan kejahatan Kelas A, dan lebih dari 5.700 warga negara Jepang didakwa dengan kejahatan Kelas B dan C, sebagian besar kerena menyebabkan penyiksaan tahanan. Kejahatan yang dilakukan oleh tentara dan pihak berwenang Jepang dalam pendudukan Korea dan Cina, khususnya Manchuria (Manchukuo), bukanlah bagian dari persidangan ini. Cina menjalankan sendiri 13 persidangan, dan menghasilkan hukuman atas 504 orang dan eksekusi atas 149 orang. (www.wikipedia.com/diakses tanggal 3 Juni 2010).
Dengan pembentukan Mahkamah Tokyo oleh beberapa Negara berdasarkan proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Mahkamah ini memiliki yurisdiksi yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Tokyo dibentuk melalui proses sejarah yang panjang yang bertujuan untuk mengadili kejahatan perang. Mahkamah Tokyo memiliki peranan penting dalam upaya pembentukan Mahkamah pidana Internasional dan sekaligus dalam pelaksanaan penegakan Hukum Humaniter Internasional. Selain itu juga dapat menjamin dan melindungi martabat Hak Asasi Manusia.

  1. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas maka dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah pembentukan Mahkamah Tokyo?
2.      Apa saja yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Tokyo?
3.      Bagaimana Mahkamah Tokyo menyelesaikan kasus tindakan agresi militer Negara Israel di Jalur Gaza?

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Sejarah Mahkamah Tokyo
Berkaitan dengan landasan historis bagi pembentukan Mahkamah Tokyo di Jepang berawal dari Invasi Jepang ke China pada awal perang dunia antara tahun  1930 sampai tahun 1945. Hal tersebut merupakan masa kelam dan titik awal telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang merendahkan martabat manusia itu sendiri. Militer Jepang merupakan sebuah mesin perang yang digerakkan oleh hasrat atas agresi, ekspansi dan imperialisme. Tindakan dari militer Jepang yang dimulai sejak agresi di China terjadi juga saat Jepang mulai menyerang Negara Asia yang lain. Agresi militer Jepang baru berahkir saat Jepang dijatuhi bom atom pada tanggal 6 Agustus Tahun 1945 di Hiroshima dan tanggal 9 Agustus Tahun 1945 di Nagasaki. Tindakan militer Jepang terlihat secara nyata dalam peristiwa pembantaian Nanking atau disebut juga Nanking Massacre atau Rape of Nanking dimana diperkirakan terdapat 300.000 milter China dan warga sipil yang terbunuh derta 20.000 wanita diperkosa Korban dari agresi Jepang tidak hanya berasal dari golongan militer atau kombatan saja tapi juga termasuk orang yang tidak bersalah ( warga sipil ) yang berasal dari China, Korea, Amerika Serikat, Philipina, Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya bahkan termasuk warga Jepang sendiri. (www.hukumonline.com/diakses tanggal 5 Juni 2010). Dengan demikian Pelanggaran Hak Asasi Manusia banyak terjadi di masa agresi Jepang ke kawasan Asia. Meski sampai saat ini pemerintah Jepang belum bersedia mengakui peristiwa Nanking ini, namun bukti sejarah sudah kuat menunjukkan bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi dan membuktikan Agresi Militer Jepang telah membawa kerugiaan bagi warga sipil.
Makamah Tokyo dibentuk pada tanggal  19 Januari 1946. Nama resmi dari Mahkamah ini adalah Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang berbentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara. Keberadaan Tokyo Tibunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh yaitu Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Negara Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.
Dalam Pasal 1 Proklamasi Jenderal MacArthur dikatakan sebagai berikut :
“Akan dibentuk suatu Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal) untukTimur Jauh (Far East) untuk mengadili orang-orang yang dituduh bertanggung jawab secara individuatau sebagai anggota-anggota organisasi, atau dalam kapasitas keduanya, atas pelanggaranpelanggaran yang dikategorikan kejahatan terhadap perdamaian”. Pada dasarnya Mahkamah Tokyo dibentuk guna mengadili para penjahat perang selama terjadi perang antara Amerika Serikat dan Jepang pada Perang Dunia II. Selama perang dunia, militer Jepang melakukan berapa macam kejahatan perang. Makamah Internasinal untuk Timur Jauh atau disebut juga Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili pemimpin-pemimpin Kekaisaran Jepang atas tuduhan tiga macam jenis kejahatan yaitu Kelas A ( kejahatan terhadap perdamaian ), Kelas B ( kejahatan Perang ) dan Kelas C ( kejahatan terhadap kemanusiaan ) yang terjadi selama Perang Dunia II. (www.wikipedia.com/diakses tanggal 3 Juni 2010). Banyak warga negara Jepang yang kemudian diadili dan dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Tokyo. Kebanyakan dari terdakwa yang dibawa ke Mahkamah Tokyo adalah pejabat pemerintah dan pejabat militer. Namun Mahkamah ini tidak mengajukan tuntutan kepada Kaisar Jepang Hirohito dan juga seluruh keluarga kekaisaran Jepang.
Bertolak dari beberapa kecaman yang berkaitan dengan independensi dan imparsialitasnya, Mahkamah Tokyo menjadi salah satu acuan dan pedoman untuk membentuk peradilan militer atas kejahatan perang setelah masa Perang Dunia II berakhir. Atas dasar fakta hukum dan historis dari akibat perbuatan agresi militer Jepang ke negara-negara di Asia telah menjadi titik tolak bagi lahirnya Mahkamah Tokyo untuk penegakan hukum pidana secara internasional dan sekaligus untuk menjunjung tinggi bagi terjaminya Hak Asasi Manusia. Selain itu dibentuk Mahkamah Tokyo juga berguna untuk mengadili para penjahat perang dan menegakkan Hukum Humaniter Internasional.

  1. Yurisdiksi Mahkamah Militer Tokyo 
Adanya konsep tanggung jawab komando yaitu yang menyatakan bahwa Pemimpin, penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang ikut ambil bagian dalam perencanaan atau pelaksanaan dari sebuah rencana bersama atau konspirasi untuk melakukan kejahatan yang mana saja yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh siapa pun dalam pelaksanaan rencana atau konspirasi tersebut. Pemberkasan dakwaan di Pengadilan Tokyo:
  1. Berkas 1-36: konspirasi dalam perencanaan (preparation), memulai (commencement) , dan pemajuan (furtherance) berbagai kejahatan perang.
  2. berkas 37-52: pembunuhan, terutama pembunuhan dalam perang yang melanggar hukum dan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan dalam hukum dan kebiasaan perang.
  3. berkas 53-55: tindakan kejahatan perang konvensional lainnya dan kejahatan terhadap kemanusiaan. (www.hamline.edu.com/diakses tanggal 2 Juni 2010)
Adapun yang menjadi Yurisdiksi Mahkamah Militer yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baik di Tokyo mencakup hanya tiga kejahatan, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan terlah terdapat dalam Pasal 5  Statuta Mahkamah Roma yaitu sebagai berikut:
  1. kejahatan terhadap perdamaian(crimes against peace)
            Dalam substansi ini terdapat beberapa yurisdiksi bagi pelaksanaan penegakan hukum melalui Mahkamah Militer Tokyo. Hal ini juga berkaitan dengan perencanaan, persiapan, pencetusan, dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun tidak atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian  internasional atau yang ikut serta dalam suatu rencana bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan
  1. Kejahatan perang konvensional
Hal ini dapat dikenakan terhadap pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang.
  1. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
Substansi pokok dari tipe kejahatan ini dapat meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang. Adanya persecution berdasar politik atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum domestik dimana tindakan tersebut dilakukan.
  1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan istilah internasional yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana batasannya tertera di dalam suatu persetujuan yang dibuat antara Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk melakukan tuntutan penghukuman terhadap penjahat-penjahat perang pada tanggal 8 Agustus Tahun 1945 di London.
Dalam Pasal 6 (c) Piagam Mahkamah Militer Internasional Nuremberg dinyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai yaitu sebagai berikut:
“Tindakan kejahatan untuk melakukan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi (pengasingan, pengiriman kembali ketempat asal) dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawi yang ditujukan terhadap penduduk sipil sebelum atau selama terjadi peperangan, atau penganiayaan yang didasarkan pada latar belakang politik, rasial atau agama dalam pelaksanakan hukuman atau dalam kaitannya dengan sesuatu kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi mahkamah yang dilakukan, apakah hal itu melanggar atau tidak dengan hukum nasional sesuatu negara.“
Dengan paradigm mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 6 (c) tersebut hubungan dengan hukum kemanusiaan secara tegas dimuat dalam Mukadimah Konvensi Den Haag IV tahun 1907 yang dikenal sebagai Marten Clause yang tujuannya adalah untuk memperluas perlindungan tambahan bagi kombatan dan penduduk sipil dimana hukum tersebut masih dalam perkembangan sampai dengan adanya aturan-aturan yang lebih komprehensif dapat disetujui.
Tujuan utama dibalik ketentuan itu adalah untuk memasukkan kedalam instrumen tersebut mengenai adanya penganiayaan dan pemusnahan yang dilakukan oleh Nazi terhadap kelompok-kelompok Warga Negara Jerman tertentu seperti Yahudi dan Gypsy keturunan lainnya. Mengingat banyaknya hukuman-hukuman yang tidak dilakukan pada era pasca perang dingin, maka definisi tersebut kemudian diperluas lagi melalui praktek-praktek negara. Di dalam “Kasus Barbie“, terdakwa Barbie, seorang Kepala Gestapo di Lyon, Perancis pada periode Tahun 1942 sampai Tahun 1944 telah dihukum karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu dalam peranannya untuk mendeportasi dan memusnahkan penduduk sipil Yahudi. Pengadilan menganggap bahwa kejahatn terhadap kemanusiaan yang terdiri dari tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk sipil secara sistematis atas nama Negara yang menjalankan suatu kebijaksanaan atas dasar supremasi ideologi.
Sesuai dengan perkembangan kebiasaan internasional maka ketentuan yang terdapat di Pasal 6 kemudian dimasukkan dalam Pasal 5 Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang mempertahankan ikatannya dengan konflik bersenjata dalam Mahkamah Militer Internasional, tetapi tanpa membuat perbedaan mengenai sifat dari konflik tersebut. Di samping itu tidak sebagaimana dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional, Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) tidak menginginkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan itu dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan lainnya dalam yurisdiksi di Mahkamah Militer Tokyo

  1. Tindakan agresi militer Negara Israel di Jalur Gaza dan Analisis Kasus Dalam Perspektif Mahkamah Tokyo
  1. Kasus Posisi
Negara Israel kembali menuai darah. Dalam sesi terkini pembantaian di Gaza pada tanggal 27 Desember 2008 sampai tanggal 17 Januari 2009 tidak kurang dari 1412 warga Palestina tewas. Dari jumlah tersebut 440 jiwa adalah anak-anak dan 110 wanita.  Tidak hanya itu 2000 anak-anak dan 1000 wanita telah juga menjadi korban luka-luka. (www.hidayatullah.com/diakses tanggal 4 Juni 2010).
Negara Israel tidak sekedar menjadikannya sebagai ’penjara terbuka’ (open air prison) Israel memang telah menjadikan Gaza sebagai ladang genocide terbuka. Israel tak pilih-pilih. John Mearsheimer menyebutkan bahwa target serangan Israel adalah universitas, sekolah, masjid, rumah, apartemen, bangunan, kantor-kantor pemerintah, dan juga ambulan.  Logika penyerangan terbuka dan tak pilih-pilih ini dijelaskan oleh seorang pejabat militer senior Israel sebagai berikut : ”There are many aspects of HAMAS, and we are trying to hit the whole spectrum, because everything is connected and everything supports terrorism against Israel,”.  Dalam bahasa Israel, setiap orang adalah Teroris dan segalanya adalah target serangan yang legitimatif. Tentara Israel kembali menuai darah melalui operasi militer berskala besar ke bagian utara wilayah Palestina tersebut. Sebanyak 67 orang Palestina tewas sementara 320 orang lagi cedera.(www.republika.com/diakses tanggal 3 Juni 2010)
               Pembantaian di Jenin pada Tahun 2002 adalah satu contoh kekerasan di Kampung Pengungsi Balata awal tahun 2002. Pembunuhan bocah Muhammad Jamal Ad-Durra, penyerangan Shabra Shatilla di Lebanon,  pembunuhan 106 warga sipil di Gedung PBB Qana, Lebanon Selatan semakin menggenapkan citra Israel sebagai penjahat perang nomor wahid. Sebelum terjadinya serangan ke Gaza Dr. Sami Abu Zuhri Dosen Sejarah di Jamiah Islamiyah Gaza menyebutkan kekerasan Israel terhadap bangsa Palestina di awal Maret 2008 adalah tragedi pembantaian Palestina paling berdarah sejak 1967, karena memakan jumlah korban paling banyak. Menurut Abu Zuhri, dari total korban meninggal akibat serangan Israel itu dua puluh lima persennya adalah anak-anak dan kaum wanita. Kejahatan perang yang hampir sama terjadi pada pertengahan Januari 2008. Selama lima hari Israel menyetop suplai listrik, bensin, dan bantuan kemanusiaan ke Gaza suatu kekejian yang oleh Amnesty International disebut sebagai collective punishment. Akibat pemutusan ini, Gaza gelap gulita. Rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, hingga perumahan hanya mengandalkan lilin dan alat penerang seadanya.  Padahal di wilayah sesempit 360 km2 ini tinggal 1,5 juta rakyat Palestina dan 1 juta diantaranya adalah pengungsi. Hampir 50% diantaranya adalah kaum perempuan dan 48% diantaranya adalah anak-anak berusia kurang dari 14 tahun.
Kekerasan dan penderitaan warga sipil di Gaza utamanya perempuan dan anak-anak telah berlangsung sama tuanya dengan penjajahan Israel di Palestina. Studi yang dilakukan oleh John Hopkins University (USA) dan Al Quds University (Jerusalem) untuk CARE International pada 2002 menyebutkan bahwa warga Palestina memiliki problem kesehatan dan kekurangan gizi yang tinggi. Tujuh belas setengah persen (17.5%) dari anak-anak usia 6 hingga 59 bulan menderita kekurangan gizi kronis (chronic malnutrition). Lima puluh tiga persen (53%) perempuan pada usia reproduktif dan 44% anak-anak didapati menderita anemia
Palestina dan pembatasan oleh perbankan Uni Sovyet terhadap otoritas Palestina. Ketika pemerintahan koalisi HAMAS dan FATAH pecah pada Juni 2007 yang berujung HAMAS menjadi penguasa de facto Jalur Gaza dan FATAH menguasai Tepi Barat, maka , sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Jalur Gaza semakin ketat. Sebaliknya, sanksi ekonomi terhadap Tepi Barat yang secara de facto dan de jure dikuasai FATAH diperingan. Penghentian pasokan listrik dan bahan bakar selama lima hari pada pertengahan Januari 2008 nyata-nyata telah mengancam  kesehatan dan keselamatan seluruh penduduk Gaza. Tidak hanya rumah sakit yang menderita, warga-pun menderita kekurangan air bersih, karena listrik dan bahan bakar diperlukan untuk memompa air.  Wargapun kesulitan menyimpan makanan, karena ketiadaan listrik membuat kulkas tak dapat dihidupkan.  Bisa dipahami bila akhirnya warga membobol tembok perbatasan Gaza dengan Mesir hanya untuk membeli makanan dan barang keperluan sehari-hari. Kekerasan dan sanksi ekonomi yang terjadi membuat warga Gaza kini hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka menggantungkan hidup hanya dari bantuan internasional. Yang itupun turut terjegal oleh blokade Israel.  (www.almanar.com/diakses tanggal 3 Juni 2010).

  1. Analsis Kasus
b.1. Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional
Menurut kami sebagai sebagai penulis dengan tindakan agresi militer Negara Israel dan kuartet Timur Tengah dalam bentuk sanksi ekonomi maupun kekerasan terhadap warga sipil non combatants adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Hukum humaniter atau hukum perikemanusiaan internasional adalah serangkaian kompilasi hukum dan aturan-aturan yang berusaha untuk mengurangi dampak dari sengketa bersenjata.  Hukum humaniter internasional memberi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak ikut ataupun tidak lagi dapat berperang.  Hukum humaniter juga mengatur sarana dan metode dalam berperang. Dengan demikian, hukum ini tidak melarang perang namun mengatur bahwa ketika perang tak dapat harus memperhatikan perikemanusiaan, seperti halnya perlindungan terhadap warga sipil, tawanan perang maupun  tentara yang terluka yang tak lagi dapat berperang.  
Dalam Konvensi Geneva ke III tahun 1949 mengatur perlindungan terhadap warga sipil yang tak ikut berperang (non combatants) termasuk para tentara yang terluka. Konvensi ini telah diratifikasi oleh negara-negara seluruh dunia, termasuk Israel, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Eropa Barat.  Disamping itu, Pasal 38 Konvensi Hak Anak (Children Rights Convention) Tahun 1989 juga mengatur bahwa anak-anak adalah subyek dari Hukum Humaniter Internasional (Konvensi Geneva III 1949) yang sekali-sekali tak dapat dikorbankan ataupun dijadikan sebagai kelompok bersenjata (combatants). 
Dalam paradigma yang dibentuk terkait fenomena kasus agresi militer Negara Israel timbul beberapa masalah yaitu : Mengapa sulit menyeret Israel ke Mahkamah Kejahatan Perang? Apakah  memang tak cukup bukti hukum ataukah ada faktor-faktor non hukum yang lebih menentukan? Dan, Mahkamah manakah yang paling tepat untuk mengadili kejahatan perang Israel?  Apakah landasan hukum untuk memproses kejahatan tersebut ke pengadilan internasional?  Israel telah mengorbankan sekian banyak anak-anak, perempuan non combatant (yang tak ikut berperang), para orang tua, dan orang sakit. Dalam konterks ini menurut penulis masih adanya konstelasi politik dengan Negara Amerika Serikat yang menhambat untuk melakukan tindakan kepada Israel dengan instrumen hukum internsional.

  b.1. Pelanggaran Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Tokyo
               Badan ini adalah peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta Roma 1998.  Tujuan International Criminal of Court (ICC) adalah untuk mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum internasional seperti (1) Genocide (2) Crime Against Humanity (3) Kejahatan terhadap hukum humaniter (4) Kejahatan Agresi. International Criminal of Court (ICC) menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu baik sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan pemberontak.  Dalam hal ini memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut. Dasar pendiriannya adalah (1) kegagalan masyarakat internasional dalam menangani kejahatan genosida, crime against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi  (2) Banyaknya pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity). Dengan bertolak dari ranah yurisdiksi yang ada dalam Mahkamah Tokyo, maka menurut penulis dapat dikatakan bahwa tindakan agresi militer Negara Israel telah masuk dalam unsure pidana secara internasional. Dengan demikian semua tentara yang terlibat dalam agresi yang menyebabkan terjadinya warga sipil menderita dan bahkan menyebabkan kematian harus segara diadili sesuai hukum yang berlaku.
               Dalam perspektif kinerja dari Mahkamah Pidana Internasional atau pun Mahkamah Tokyo banyak terdapat kelemahan. Kendati menjadi harapan satu satunya untuk  menyeret kejahatan perang Israel adanya Statuta Roma sebagai dasar pembentukannya tidak berlaku surut, artinya kejahatan perang sebelum Statuta ini lahir (Tahun 1998) besar kemungkinan sulit untuk diadili. Kemudian Mahkamah Pidana Internasional hanya bisa dijalankan setelah statuta dinyatakan berlaku (minimal 60 negara telah meratifikasi). Disampng itu meskipun bukan organ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun Dewan Keamanan PBB berperan penting dalam operasional mahkamah ini. Adanya otoritas hukum nasional didahulukan dan dihargai akan menimbulakan tumpang tindihnya pemberian peran kepada Dewan Keamanan dalam Statuta Roma adalah melanggar hukum internasional. Hal ini disebabkan di bawah Statuta Roma Dewan Keamanan PBB dapat mensponsori ataupun merujuk pada sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi pihak dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
               Chibli Mallat adalah seorang pengacara yang menjadi kuasa hukum 23 korban kejahatan perang Israel di Shabra Shatilla, Lebanon pada Tahun 1982 yang akan menggugat Ariel Sharon di pengadilan Belgia. Ia mengatakan bahwa kesulitan menyeret Israel ke mahkamah kejahatan perang utamanya adalah menentukan tindakan Israel sebagai suatu kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) ataupun sebagai pembantaian massal  (genocide). Oleh karena itu, kendati tersedia cukup saksi dan cukup bukti prosesnya teramat sulit.Pada kasus Jenin Bulan April Tahun 2002.  Harian The Independent terbitan Inggris menyebutkan bahwa 50 orang tewas di Jenin termasuk warga sipil, perempuan, orang tua dan dan anak-anak.  Bahkan,  utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Terje Roed Larsen yang sempat datang ke Jenin mengaku kaget melihat ada warga yang mengangkat jenazah ayahnya dari reruntuhan.   Para pekerja kemanusiaan yang ada di Jenin semuanya nyaris tak mempercayai penglihatannya. (www.ummahnews.com/diakses tanggal 3 Juni 2010). Dari realita dan fakta hukum ini Negara Israel sebagai negara yang mengaku berdaulat dan telah melakukan langsung sejumlah kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, semestinya berada di garda terdepan dalam menindak para penjahat perangnya.  Apalagi Israel telah meratifikasi begitu banyak perjanjian internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM).  Sikap unable dan unwilling dari Israel akan menjadi tanggungjawab berikutnya tentunya terletak pada Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) utamanya Dewan Keamanan PBB untuk mensponsori penyelidikan, penuntutan, dan mahkamah kejahatan perang untuk Israel. Dewan Keamanan PBB memiliki cukup otoritas untuk membentuk mahkamah kejahatan perang ad hoc, ataupun setelah lahirnya mahkamah pidana internasional untuk Israel. Segala saksi dan alat bukti sudah tersedia, kendati untuk membuktikannya perlu perjuangan keras.  Tanggungjawab berikutnya adalah pada masyarakat internasional utamanya dari negara-negara berpenduduk muslim untuk mendesak Dewan Keamanan PBB agar bersikap tegas dalam konflik Israel dan Palestina.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Bahwa dengan adnya agresi militer Jepang pada Perang Dunia II telah mengilhami upaya penegakan Hukum Humaniter Internasinal. Hal ini terbukti dengan berdirinya Mahkamah Tokyo yang menjadi dasar yuridis bagi terbentuknya International Criminal of Court (ICC) dalam menegakan hukum pidana internasional. Efektifitas dengan adanya Mahkamah Tokyo masih siulit terealisasi dengan kasus yang pernah di ajukan. Hal ini karena mekansime yang mengatur tentang kritria tentang makna kejahatan perang masih banyak multi tafsir.

  1. Rekomendasi
Seharusnya efektitas kinerja dari Mahkmah Tokyo harus didukung didukung dengan sikap tegas dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bngsa (PBB) dan tidak ada kompromi politik antara anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bngsa (PBB) yang mempuyai hak veto, sehingga bagi negara yang melakukan tindakan kejahatan pidana internasional dapat diadili dengan seadil-adilnya.

Daftar Pustaka
Sumber Buku
Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional. Bandung:PT Alumni
International Committee of The Red Cross. 1999. Hukum Humaniter Jakarta : Miamita Print
Jawahir Thantowi. 2006. Hukum Humaniter Kontemporer. Bandung: PT Revika Aditama

Sumber Internet
http//:www.hamline.edu.com/diakses tanggal 2 Juni 2010
http//:www.almanar.com/diakses tanggal 3 Juni 2010
http//:www.hidayatullah.com/diakses tanggal 4 Juni 2010
http//:www.republika.com/diakses tanggal 3 Juni 2010
http//:www.ummahnews.com/diakses tanggal 3 Juni 2010
http//:www.hukumonline.com/diakses tanggal 5 Juni 2010


No comments:

Designed By Mas Say