Breaking News

02 September 2012

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN EFEK DOMINO PEMILU 2014


Selayang pandang

           Sebuah manivesto dari bentuk kecemasan terhadap nasib bangsa dan negara ini di masa mendatang akan digawangi dengan diselenggarakannya pemilu tahun 2014. Berbagai aturan yang mengiringinya telah dipolitisasi demi kepentingan pribadi dan partai politik. Konstelasi dan pragmatisasi ini merupakan awal dan pintu bagi setiap partai politik untuk bermanuver dan terus menjalankan strategi guna mencapai tujuan partainya. Kepentingan merupakan sebuah keharusan dan menjadi sebuah kelanggengan. Kemudian rakyat dikemanakan? Rakyat hanya dijadikan sebuah addres dan hanya dimanfaatkan untuk kendaraan orasi partai politik. Perdebatan dan pergulatan antara elit partai politik makin hari tidak mencerminkan pendidikan politik pada rakyat sama sekali. Jika saya ibaratkan seperti dalam buku terjemahan Haryatmoko yang berjudul “etika politik dan kekuasaan” (2003:125) disebutkan orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalitas “anibal laborans” dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi konsumsi sangat dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama. Sindrom yang menyertainya adalah korupsi. Hal ini sangat mungkin karena fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (pejabat), dan ideologi (pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang mendorong korupsi itu. Modalitas tersebut sering dianggap sebagai yang diperoleh dengan usaha atau suatu prestasi, sehingga penggunanya untuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap wajar. Hal tersebut menurut saya senada dengan konsep SP Varma dalam judulnya “teori politik hukum modern” (1995:3) terdapat “post behavioralisme”, sedikit saya tafsirkan berdasarkan fakta politik yang terjadi di Indonesia memang dalam perjalanan sejarah korupsi adalah budaya dan politik adalah alat untuk melakukannya sedangkan partai politik adalah kendaraannya. Konsep remote kontrol yang diberlakukan oleh sekretaris bersama (setgab) akan menjadi pertaruhan bagi partai baru maupun lama yang nanti akan memenangi pemilu 2014. Gonjang ganjing pada tata pemerintahan dengan pola koalisi partai politik akan dapat menyebabkan terjadinya legislatif heavy yang merugikan dalam pengambilan kebijakan. Ideologi partai politik akan dipertaruhkan juga dalam memberikan restorasi dan restrukturisasi dalam tata pmerintahan di negeri ini. Semua gerakan partai politik dan kebijakan dari lembaga legislatif tidak akan dapat berjalan bebas karena MK selaku lembaga penegak demokrasi dan konstitusi menjadi batu penghalang dalam perpsektif partai politik itu sendiri. Disisi lain MK juga telah memberikan terobosan-terobosan hukum yang dapat dijadikan tolak ukur dalam perbaikan hukum di negeri ini. Siapa pun yang akan untung dan dan rugi dengan keputusan MK mari kita lihat saja bukti kongkrit dan hasil dari pemilu 2014 nanti???

Korelasi equality before the law dan equality before the  election

            Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam konteks inilah persamaan di depan hukum harus dipenuhi dan semua warga termasuk person yang ada di partai politik. Diskriminasi konstitusi tidak boleh dibiarkan dan harus putusan MK telah memberikan terobosan hukum agar hukum tetap berjalan pada rel nya. Akan tetapi bagaimana jika hak warga negara dibenturkan dengan hak warga negara terkait kedaulatan dan politik. Politik telah diakomodir dan dibungkus oleh hukum. Dengan demikian pemilu 2014 juga harus objektif tanpa ada diskriminasi. Klausula diskriminasi tercermin dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. Ini menunjukan adanya diskriminasi dalam didang politik yang dirasa akan merugikan pihak lain. Jelas hal tersebut telah mengindikasikan adanya tendensi yang tidak mencermimkan persamaan bagi partai politik. Proses pemilu atau “election” tidak lepas dari konstelasi politik dan politik itulah yang akan dijadikan kendaraan oleh para kader partai politik. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan”. Pada substansi ini telah memberikan otoritas bagi 9 partai politik yang sekarang secara otomatis telah lolos untuk untuk mengikuti pemilu 2014.
Titik point dalam Pasal 8 tersebut telah menjadikan legal yuridis bagi uji materi di MK. Ada beberapa pemaknaan dalam aturan tersebut yaitu: Pertama, Partai parlemen (partai politik yang ada di DPR). Kedua Partai diluar parlemen (belum mendapat kursi di DPR). Pemaknaan partai parlemen adalah 9 partai politik yang telah berada di DPR sekarang dan partai politik yang nantinya dalam pemilu 2014 telah memenuhi ambang batas. Partai politik di luar parlemen adalah partai baru yang akan mendaftarkan diri menjadi partai politik baik pada pemilu 2014 atau pun pemilu mendatang. Menurut saya fragmentasi pada pembedaan partai politik ini lah yang telah menjadikan putusan MK “semua partai politik baik di parlemen dan diluar parlemen harus mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta pemilu 2014”.
Pasal 208 Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”. Pada klausula ini juga menjadikan polemik internal partai politik mampu dan tidaknya akan dapat lolos dari ambang batas tersebut. Bagi partai politik yang besar dan telah memiliki bassis tidak akan menjadi persoalan akan tetapi jika bagi partai politik yang memiliki bassis kecil apa lagi bagi partai politik baru dirasa akan sulit menembus ambang batas tersebut. Putusan MK telah memberikan terobosan hukum dan persamaan hak yaitu dengan “batas 3,5% hanya berlaku bagi anggota DPR”.

Nasib partai politik  dalam verifikasi pemilu 2014

       Implikasi dari putusan MK tersebut akan banyak membawa dampak terhadap strategi bagi partai politik dalam mengatur ritme dalam meraih suara dalam pemilu 2014.  Jika ambang batas 3,5% tersebuat hanya berlaku bagi anggota DPR, terus penentuan anggota DPD dan DPRD hanya berdasarkan aturan dari KPU saja. Permainan politik akan makin banyak membuka peluang untuk mengadakan infiltrasi terhadap internal di KPU dan independensi pun akan dipertaruhkan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Penentuan anggota DPD dan DPRD akan mengalami kesulitan dengan dihilangkannya klausula 3,5% tersebut. Penentuan kader dari internal partai politik tidak akan mempunyai dampak yang significant terhadap pemasangan nama dan foto calon yang di publikasikan oleh partai politik, rakyat umum lah  yang akan menentukan seberapa merakyat lah calon tersebut dan tidak akan memandang profesionalisme dari kader tersebut. Kriteria penentuan calon yang akan menang dari KPU juga kurang jelas masih multi tafsir. Penentuan berdasarkan suara terbanyak jika digunakan sebagai acuan dari KPU tidak akan cukup representatif bagi penentuan calon kader yang akan menang. Lalu apa parameter yang tepat dalam penggunaan setelah dihapusnya angka 3,5% tersebut?. Selanjutnya jika ayat (2) penentuan anggota DPD ditentukan dengan distrik berwakil banyak dan bagaimana jika penentuannnya tersebut tetap masih berdasarkan jumlah penduduk di daerah pemilihan?Kejadian ini pun juga akan berimplikasi terhadap peluang dari dari masing-masing kader partai politik dalam meraih basis massanya di daerah.
        Bagi 9 partai politik dengan putusan MK tersebut juga akan memberikan keuntungan dalam mengetahui basis massa yang ada di daerah. Selain basis massa juga akan dapat digunakan sebagai restrukturisasi kepengurusan partai mengingat banyak kutu loncat dari para kader masing-masing partai politik. Verifikasi ulang tersebut juga berdampak negatif jika ternyata fakta dalam kepengurusan internal sudah tidak baik dan banyak kutu loncat. Dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD point (c) harus ada minimal 75% jumlah kabupaten dari provinsi, pada point (d) harus ada minimal 50% jumlah kecamatan dari kabupaten hal ini juga sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) point c Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik terkait kepengurusan. Selanjutnya keterkaitan dengan keterwakilan perempuan minimal 30% juga terdapat dalam Pasal 8 ayat 2 point d Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Terkait dengan jumlah kantor kepengurusan ini jika benar-benar ditelaah lebih lanjut kebanyakan dari partai politik hanya sebagai formalitas tidak dalam SK tertulis sebagai legalitas agar seolah-olah ada kantornya. Demikian juga terkait keterwakilan perempuan terkadang hanya asal comot nama dan disertakan dalam SK partai. Bagi calon peserta yang akan mendaftar ulang dari awal dengan persyaratan tersebut juga akan menjadi kendala khusus. Pasal 8 ayat 2 point f Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD merupakan kendala yang berarti bagi partai di luar parlemen tersebut. Batas dengan jumlah minimal 1000 orang dari ketentuan c dan d dengan bukti KTP akan banyak dimanipulasi sebagai legalitas dalam penentuan persyaratan agar lolos verifikasi. Negatif legislatif merupakan bentuk perjuangan dari partai yang berada diluar parlemen dalam memperjuangkan ideologinya. Konsep Positif legislatif juga akan dipertaruhkan oleh partai dalam menarik simpati rakyat sebagai pemilihnya. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga disebutkan minimal 2,5 tahun verifikasi harus sudah selesai. Batas ketentuan ini pasti jelas akan dilanggar oleh KPU karena dari awal 7 September 2012 akan dirubah pada batas akhir 15 Desember 2012 untuk menentukan partai yang benar-benar ikut pada pemilu 2014. Soal bursa pencapresan dari masing-masing partai politik dan kader yang tersangkut jerat hukum korupsi akan menggangu internal dalam persiapan dalam verifikasi. Waktu yang singkat tersebut jika tidak dapat dimanfaatkan dengan baik akan menjadi boomerang bagi nasib partai poilitik di pemilu 2014.

Telaah atas putusan MK terhadap pra konsep pemilu 2014

        Putusan MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat final dan mengikat. Putusan MK dapat menolak, menerima dan bahkan dapat melebihi dari tuntutan para pemohon (ultra petita). Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Bagaimana kaitannya konsep perdata yang bersifat pribadi masuk ke ranah publik dan harus ditaati secara umum berdasarkan pertimbangan hukum??? apakah dissenting opinion yang ada dalam penentuan kebijakan melanggar hukum dan kode etik??? walaupun argumentasi yang digunakan adalah aturan induk dan aturan pokok merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan jika yang dimintakan dari pemohon hanya aturan induk dan aturan anaknya tidak dihapus akan bertentangan. Selain itu jika terdapat pembenaran konsep perdata berbeda dari kebijakan putusannya berdasarkan asas erga omnes???Menurut saya parameter tersebut belum lah cukup untuk memberikan rasa keadilan secara umum. Konsekuensi logis yuridis pun memang akan berimplikasi terhadap setiap putusan yang akan diambil. Erga omnes pun menurut saya bukan makna norma yang sebenarnya dalam aturan yanmg wajib diganti tidak diganti pun tidak akan menjadi persoalan. Aturan yang jelas tentang kewenangan ini juga harus diatur lebih kongkrit baik terkait klausula hukum dan mekanismenya. Polemik memang muncul dari Pasal 45A Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang No.8 Tahun 201 tentang MK terkait legalitas dari ultra petita ini. MK bukan positif legislatif yang  berhak membuat norma baru dan bersifat umum apakah MK dapat melebihi lembaga legislatif atau kah sama???jika didasarkan pada fakta tersebut memang tidak lah ada kejelasan.
           Lalu dalam menyikapi kontelasi politik dan hukum dalam persiapan pemilu 2014 apakah terdapat kepastian hukum yang dapat menjamin tata pemerintahan ini akan menjadi lebih baik lagi??? Dalam menjawab realitas ini tidak lah mudah dan harus dicermati lebih mendalam. Aturan dalam pemilu sebagaimana tersebut diatas melibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tata pemerintahan akan dipertaruhkan pasca adanya putusan MK. Partai politik lah yang akan terkena dampak baik positif dan negatif. Partai politik juga yang akan menafsirkan apakah dapat memberikan keadilan atau tidak???tapi perlu dingat bahwa rakyat lah yang akan menilai proses demokratisasi di negeri ini. Keadilan yang dicoba diberikan oleh MK dalam memberikan terobosan hukum merupakan upaya dalam menata ulang tata pemerintahan di negeri ini. Dengan demikian semua calon anggota DPR, DPD dan DPRD baik secara pribadi dan institusi (lewat partai politik) akan menyiapkan amunisi dalam menghadapi pemilu 2014. Partai politik pun juga akan mempertaruhkan semua yang dimiliki baik ideologi, basis massa dan cost politic nya. Siapa yang akan lolos verifikasi?dan siapa yang akan menang dalam pemilu 2014?mari kita tunggu saja apakah pasca pemilu 2014 putusan MK ini dapat menjawab persoalan bangsa ini, karena refleksi aksiologi pada moment opname hukum lah yang akan dapat menjawab dengan jelas.
Read more ...

16 August 2012

KONSEP HAKIM DALAM PEMBERIAN VONIS PADA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi [1]. Pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berat. Jika pada awal reformasi koruptor terfragmentasi, sekarang mereka semakin kompak menyusul terkonsolidasinya kekuatan lama berupa eli-elit politik dan bisnis. Beberapa kasus menunjukan koruptor saling melindungi melalui negoisasi politik. Para koruptor menjadi lebih berani membajak, menganggu, dan mengancam institusi-institusi antikorupsi [2].
Ada sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy) yang menyatakan tentang korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan jumlah kekayaan sebesar 8,03 milliar dolar AS [3]. Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand [4]. Dalam upaya pemberantasan korupsi yang semakin merajalela dan merugikan keuangan negara dibutuhkan sebuah konsep hukum sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menjerat para pelaku korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi. Hukum harus menjadi panglima dan ujung tombak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum civil law  (Eropa Kontinental) yang diwarisi oleh pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Dalam sistem hukum civil law, hukum tertulis merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang. Mereka mengatakan bahwa hukum adalah identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya [5]. Negara hukum di Indonesia lebih merupakan negara “by moral design” [6]. Sistem hukum civil law terdapat banyak kelemahan dan tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum dalam penegakannya. Sistem hukum ini hanya menjadikan hukum tertulis sebagai dasar utama dalam menjatuhkan vonis oleh hakim. Hal ini berimplikasi terhadap tiap vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.
Dalam hukum emansipatoris dan responsif ontologi dari aparat penegak hukum adalah bertanggung jawab dan mengacu pada hal-hal yang kongkrit [7]. Hukum progresif mengingatkan bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti. Oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri. Dengan demikian terjadinya perubahan sosial dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia [8]. Hukum progresif merupakan jalan dan arahan untuk terus memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial adalah pembalikan dari ajaran legisme tapi dalan aplikasinya tetap dibutuhkan aturan demi proses berjalannya sistem hukum di Indonesia. Konsep hukum progresif yang lebih mengutamakan rasa keadian dan kebenaran materiil di dalam masyarakat merupakan terobosan hukum yang dapat menjadi alternatif dalam penegakan hukum yang dirasa selama ini hanya terkungkung oleh aturan tertulis saja. Subyek yang paling berperan dalam menemukan dan menciptakan konsep hukum ini adalah hakim. Apalagi dalam penanganan kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hakim yang progresif wajib diperlukan demi rasa keadilan. Hal ini mengingat dampak negatif dari hasil tindak pidana korupsi adalah kerugian atas perekonomian negara. Dengan demikian masyarakat juga akan terkena dampaknya.
Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan penafsir undang-undang untuk memberikan pemaknaan dalam memberikan vonis kepada pelaku tindak pidana korupsi demi terciptanya keadilan yang substantif. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menemukan mana yang merupakan hukum dan yang bukan merupakan hukum. Hal ini seolah-olah hakim sebagai pemegang kekuasaan legislative atau pembentuk undang-undang. Selanjutnya dikatakan, bahwa undang-undang (kodifikasi) justru diadakan untuk membatasi hakim yang karena kebebasannya telah menjurus kepada tirani atau kesewenang-wenangan. Akan tetapi bila hukum tertulis tidak lengkap, atau belum dapat menjawab permasalahan yang ada untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi barulah dicari kelengkapannya dari sumber hukum yang lain-lainnya [9]. Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Bertolak dari fakta ini maka hakim sebagai subyek dalam menciptakan hukum di pengadilan tindak pidana korupsi memiliki otoritas tertinggi untuk menemukan dan menciptakan hukum dalam memutus setiap kasus korupsi yang ada. Dengan demikian harmonisasi antara konsep hukum progresif dengan sifat diskresi hakim dalam menemukan hukum dalam pemberantasan korupsi dan penetapan sanksi hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi akan mendapat sanksi yang tegas serta dapat memenuhi rasa keadilan yang didambakan oleh masyarakat luas.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka Penulis akan mengkaji lebih detail dalam pembahasan makalah dengan judul “PERANAN HAKIM PADA PROSES PENEMUAN HUKUM DALAM TINJAUAN KONSEP HUKUM PROGRESIF SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI”

B. Rumusan masalah

1.      Bagaimanakah konsep hakim tindak pidana korupsi pada proses penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada para pelaku korupsi di Indonesia?
2.      Bagaimanakah korelasi Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai sarana hakim dalam penggunaan hukum progresif demi proses penemuan hukum sebagai upaya penjatuhan sanksi kepada pelaku korupsi di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep hakim tindak pidana korupsi pada proses penemuan hukum sebagai upaya penetapan sanksi hukum kepada pelaku korupsi di Indonesia
Keadilan dalam bahasa Inggris dapat disebut dengan istilah equaty, fairness, dan justice. Keadilan sebagai equaty dapat diartikan sebagai fairness, impartiality, evenhanded deadling. Keadilan sebagai fairness menurut John Rawls yang didasarkan pada teori Kontrak Sosial terdiri dari 2 (dua) interpretasi yaitu situasi awal dan atas persoalan pilihan yang ada serta seperangkat prinsip yang akan disepakati. Keadilan sebagai fairness berkaitan dengan eksistensi negara sebagai suatu institusi yang dibentuk berdasarkan kontrak sosial, sehingga akan menjadi tanggung jawab negara untuk menciptakan keadilan sebagaimana yang diperjanjikan dengan masyarakat yang membentuknya. Keadilan sebagai justice dapat diartikan “the fair and proper administration of laws” [10]. Dalam menentukan pilihan hukum harus berdasarkan pada conditio sine quanon yaitu: Direktif artinya pengarahan dalam pembagunan hukum untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan negara. Integratif artinya akan mengedepankan tentang pembinaan kesatuan. Stabilitatif artinya akan mementingkan pemeliharaan keseimbangan bermasyarakat. Perfektif artinya penyempurnaan terhadap tindakan administrasi negara. Korektif artinya akan lebih menitik beratkan terhadap warga negara atau administrasi negara dalam mendapatkan keadilan [11].
Jika berpedoman dari pendapat yang dikemukakan oleh Klug [12] bahwa undang-undang (statute) telah menetapkan kelas dari kasus-kasus yang ditujukannya dalam istilah-istilah yang demikian umum sehingga kasus yang sampai meragukan dari kelas umum sebagai kasus khusus. Kajian dari makna tersebut adalah pengadilan tipikor ditujukan untuk menanangani kasus khusus yaitu korupsi, dengan aturan yang khusus harus mampu memberikan perubahan yang signifikan pada sistem hukum di Indonesia pada khususnya dan pada perekonomian pada umumnya.
Prinsip umum dari pengadilan tindak pidana korupsi adalah tidak memihak dan independen. Hal tersebut akan tergantung dari jaksa dan hakim apakah memihak pada keadilan rakyat atau hanya berpedoman pada aturan positif tapi justru akan menghancurkan keadilan. Dalam menghasilkan produk hukum progrersif yang selalu bersifat responsive dan dan ideology pro rakyat terkadang harus memisahkan untuk sementara waktu dari hukum itu sendiri dengan keadaan sosial yang ada. Hal ini akan senada dengan substansi dari “Conference On Critical Legal Study” (CCLS), berikut ini akan Penulis uraikan lebih rinci dari ciri khas CCLS adalah sebagai berikut: [13] The separation of law from other varieties of social control, The existence of law in the form of rules that both define the proper sphere of their on application, That are presented as the objective and legitimate normative mechanism while other normative types are partial as subjective, dan Yield determinant and predictable results in their application in judicial process.
Jika dikaji lebih lanjut maka Penulis menganalisis bahwa hukum itu sendiri tidak dapat terpisahkan dari fakta dan realita yang ada di masyarakat yang menjadi objek dari hukum itu sendiri, maksudnya adalah adanya undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi yang merupakan aturan hukumnya justru akan memberikan tatanan ke arah yang lebih baik. Baik buruknya penerapan dari pengadilan yang dibentuk tersebut akan menentukan baik buruknya tata sistem ekonomi sosial kemasyarakatan. Dalam perubahan itu diperlukan proses dan keyakinan seperti slogan yang dilontarkan oleh Barack Obama ”chance we can believe it” yaitu perubahan yang dapat kita percaya [14]. Pengadilan tipikor itu juga diharapkan mampu memberikan  warna birokrasi weberian [15]  yang dapat menekankan berjalannya pengadilan tersebut secara professional dan rasional yang berpihak pada kepastian dan keadilan. Hal itu juga disebabkan  badan peradilan yang berupa pengadilan tipikor  sebagai peradilan yang last bastion of legal order  [16] atau sebagai benteng terakhir dari tertib hukum.
Penulis juga berpendapat bahwa sistem pengharmonisasian antara hukum progresif dan pengadilan tindak pidana korupsi akan terlihat ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan terjadi polemik yaitu dalam penangkapan terhadap hukum itu sangat statis dan tidak pernah memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan hukum (legal justice) tapi akan gagal untuk menangkap keadilan masyarakat (social justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara cenderung berpedoman pada formalis-prosedural daripada rasa keadilan sosiologis. Penulis juga berasumsi fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi warasih “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati noleh warga masyarakat itu sendiri’ [17]. Hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan materi hukum progresif yang berorientasi pada dua hal yaitu formal prosedural dan keadilan sosiologis mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak pihak khususnya perekonomian masyarakat hancur tidak karuan. Aturan hukum yang ada berupa undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi nanti akan digunakan sebagai telaah kritis dalam menjerat semua pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
Dengan dibentuknya pengadilan tersebut dan diterapkannya hukum progresif yang berintergritas tinggi diharapkan akan mampu mengatasi segala problema dan polemik yang telah menghambat pembangunan di Indonesia selama ini. Jika bertolak dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger the economy the more powerful its smallest players to create the new rule for the expanding global economic order[18].
Penulis beranggapan salah satu inti permasalahan jika dikaitkan dengan maraknya korupsi adalah adanya korupsi telah mengganggu stabilitas perekonomian bangsa. Kondisi ini juga telah menyebabkan sistem hukum yang mangatur masyarakat luas ikut terganggu. Akibat korupsi yang telah merusak tatanan perekonomian bangsa akan menciptakan rusaknya global society [19] yang semula telah tersusun dengan baik. Hukum yang baik dan terkontrol lah yang dapat merubah dan memperbaiki tatanan yang telah rusak tersebut. Hukum progesif yang pro ideologi rakyat lah yang dapat menjamin terjaganya global state yang telah tercamar dan dirusak tatanan ekonominya dengan tindak korupsi oleh para koruptor. Makin cepat disahkannya rancanagn undang-undang pengadilan tipikor akan dapat meminimalisasi dari segala permasalahan yang ada dalam global ekonomi. Untuk mencapai tatanan pembangunan yang berkeadilan memang tidak langsung dapat tercapai, tapi harus melalui tahap demi tahap. Tahapan itu dapat dimulai dari aturan formal yang harus mendapat legalisasi dari pemerintah selaku pemegang kekuasaan hukum tertinggi.

1.      Implikasi Hukum Progresif Sebagai Dasar Penemuan dan Penciptaan Hukum Dari Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hukum progresif ini tidak pernah memandang bahwa hukum positif itu tidak baik, akan tetapi terkadang jika dihadapkan pada persoalan hukum yang sulit terpecahkan maka dengan sendirinya hukum positif tersebut akan lumpuh. Usaha mencari kebenaran yang mewajibkan dalam menyusun suatu tatanan hukum dengan sendirinya mendapat suatu dorongan baru apabila sudah menjadi jelas pada suatu tahap sejarah tatanan hukum melulu ada di tangan mereka yang kuat dalam tatanan hukum [20]. Adanya keinginan untuk menuju ke arah perombakan sistem hukum yang lebih baik tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dibutuhkan kapabalitas dan integritas tinggi untuk menuju perubahan tapi semua elemen bangsa termasuk pemerinta juga punya peranan yang penting. Redfield dan Black dalam ajarannya mengatakan ”Hukum bukan lagi rakyat atau yang terjadi sebenarnya maka akan berubah jadi watak hukum nasional” [21].
Hukum progresif akan berjalan lumpuh dan tidak akan efektif jika aparat penegak hukum dan rakyat kurang peduli dalam mematuhi aturan hukum. Transfer dari hukum progresif ke pemerintah melalui setiap kebijakannya berupa “government social control” artinya untuk pengendalian hukum agar lebih dapat menciptakan tertib hukum dan perbaikan sistem birokrasi. Dengan demikian akan dapat diketahui iudex factie (apa perbutan hukumnya) dan iudex iuris akibat hukumnya). Adanya perubahan tatanan ekonomi social melalui konsepsi hukum progresif diharapkan mampu untuk memberikan kesetabilan dala kehidupan masyarakat terutama setelah mengalami porak poranda dengan adanya tidak pidana korupsi yang menghancurkan sistem perekonomian rakyat. Berikut ini akan penulis sajikan pendapat dari Roscoe Pound yang berbunyi ”Law must stable and yet it cannot stand still, hence all thinking about law has struggled to reconcilebthe conflicting demands of the need of stability anf the need of change” [22]. Penulis berpendapat dengan adanya tatanan hukum yang baik akan dapat memberikan stabilitas dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Paradigma dalam hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil membuat manusia bahagia. Dengan demikian hakim di pengadilan tindak pidana korupsi wajib mengutamakan keadilan walaupun harus bertentangan dengan hukum tertulis. Hukum harus ditujukan kepada kepentingan manusia sebagai pencari keadilan.
2.      Peranan Hakim Pada Proses Penemuan dan Penciptaan Hukum Demi Mencapai Keadilan Dalam Perspektif Hukum Progresif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Seorang hakim haruslah menjaga kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku serta dalam hal ini dilakukan suatu pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY) yang diatur dalam undang-undang. Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang. Hakim menjalankan tugas dan peranannya sesuai dengan undang-undang. Tugas dan peranan hakim yaitu memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang masuk padanya. Bila hakim menghadapi hal tersebut  dapat diatasi dengan dua cara. Jika peraturan tidak jelas, hakim melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap bunyi undang-undang dengan berbagai metode interpretasi atau penafsiran, seperti penafsiran otentik, sistematis, historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturan tidak lengkap, hakim akan melakukan penalaran (reasoning), juga dengan berbagai metode penalaran atau argumentasi tertentu seperti argumentum peranalogiam (analogi) dan penyempitan hukum [23].
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu (rechtsvinding), dan/atau menciptakan (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap, atau hukum samar-samar. Hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif (yang terlihat) saja. Hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan. Hakim harus dapat melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, pemikiran-pemikiran apa yang ada disana, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu [24].
Hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakuan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua hakim dalam lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tinkat kasasi atau hakim Agung. Penemuan dan penciptaan hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip atau asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang harus dipegang hakim dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka harus dilihat dalam prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung [25]. Dalam penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara terpaksa atau silogisme [26]. Penulis mencoba mengutip pendapat dari Paul Ricouer [27] yang menarik paradigma terkait hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks (textual eksegesis). Dalam hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Konsekuensi logis dari tugas dan wewenang hakim tindak pidana korupsi (tipikor) adalah tidak cuma memberikan vonis pada terdakwa sehingga menjadi terpidana hanya berdasarkan berdasar delik-delik hukum yang menjeratnya. Akan tetapi harus lebih dalam mengkaji makna hukum yang terkandung dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur kesalahan juga harus ikut dibuktikan dengan pemaknaan yang lebih dalam menyangkut nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Jika hanya berpedoman dalam kontekstual tidak akan menyentuh nilai hukum yang sebenarnya dan juga tidak akan memberikan makna keadilan dalam hukum.

B.     Korelasi Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai sarana hakim dalam penggunaan hukum progresif demi proses penemuan hukum sebagai upaya penjatuhan sanksi kepada pelaku korupsi di Indonesia

1.      Pemaknaan dan Penafsiran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Sebagai Harmonisasi Sifat Responsif Hukum Progresif Dalam Menciptakan Keadilan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sistem pengharmonisasian antara hukum progresif dan undang-undang akan terlihat ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan terjadi polemik yaitu dalam penangkapan terhadap hukuk itu sangat statis dan tidak pernah memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan hukum (legal justice) tapi akan gagal untuk menangkap keadilan masyarakat (social justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara cenderung berpedoman pada formalis prosedural daripada rasa keadilan sosiologis. Fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi warasih “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh warga masyarakat itu sendiri’ [28]. Sangat urgen sekali ketika hakim di pengadilan tindak pidana korupsi sebagai aparat penegak hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan substansi hukum progresif yang berorientasi pada keadilan sosiologis mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak pihak khususnya perekonomian masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah itu yaitu Perubahan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesia [29].
Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas dari hukum. Walaupun demikian sering kali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara merata. Menurut Max Weber yang membedakan antara substantive rationality dari formal rasionality. Pada sistem hukum barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal  rasionality artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan semacam itu sering kali bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rasionality yaitu kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual [30]. Dari ajaran Max Weber di atas Penulis berpendapat satu tugas hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum jika dikaitkan dengan konfigurasi hukum progresif yang berkeadilan berarti jelas hukum akan mengatur akan kehidupan masyarakat demi mencapai keadilan. Hal itu semua dapat tercapai jika pemaknaan yang berupa aturan tertulis akan diberi makna oleh hakim di pengadilan tindak korupsi dalam setiap vonis yang dijatuhkan. Hukum progresif sangat diperlukan untuk  mengharmonisasi agar lebih memberikan dorongan para aparat penegak hukum khususnya hakim dapat menyelesaikan dengan menggunakan analogi dan sifat diskresi yang dimiliki. Dengan demikian semua perkara korupsi dan kerugian negara yang telah terjadi dapat menemukan titik keadilan demi kesejahteraan masyarakat luas. Salah satu pokok pikiran dari hukum progresif adalah mengenai jurisprudence terhadap pemaknaan dari undang-undang atau pun aturan yang ada. Dipandang penting dalam membaca hukum sesudah diajukan gagasan pembebasan agar keberanian melakukan pembebasan tersebut diterapkan pada saat hakim di pengadilan tindak pidana korupsi aturan tertulis dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi. Membaca undang-undang tidak bisa diartikan cuma pasal-pasal dalam undang-undang. Independensi dan kebebasan hakim juga terletak pada kebebasannya untuk memberi makna kepada aturan hukum tertulis.
Dari konsep hukum progresif tersebut maka akan dapat memberikan harmonisasi dari undang-undang tindak pidana korupsi dalam penyelesaian kasus korupsi. Para hakim dan jaksa perlu mendapat pembelajaran kembali agar berani membaca teks dengan bebas dan progresif, yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial yang dapat menempatkan keadilan formalitas prosedural dan keadilan sosiologis empiris. Fenomena yang ada tidak sedikit teks undang-undang yang malah bisa merusak masyarakat manakala tidak dibaca dan dimaknai secara progresif dan baik. Para hakim dalam melakukan pembebasan asal bisa memberikan argumentasi dan berkeadilan harus tetap optimis dan tidak boleh ragu-ragu. Jika itu dapat dilakukan maka hukum progresif dapat di tempatkan pada fungsi hukum yaitu untuk melayani, menjamin, dan menjaga penegakan hukum di Indonesia. Jika bertolak dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger the economy the more powerful its smallest players to create the new rule for the expanding global economic order[31]. Konsepsi dari aturan tersebut mengindikasikan hakim harus menggali nilai dalam masyarakat tanpa harus berpedoman pada aturan tertulis yang lebih mengedepankan kepastian hukum. Kepastian hukum belum tentu mampu mewakili makna nilai keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Tindak pidana korupsi telah memberikan dampak negatif terhadap hancurnya perekonomian negara dan masyarakat lah yang akan terkena dampaknya.

2.      Penjatuhan Vonis Hakim Sebagai Upaya Penetapan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Korupsi  di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Di dalam rumusan ketentuan Pasal 38 B ayat (6) terdapat kata dan kalimat sebagai beikut “….dibebaskan….lepas dari segala tuntutan hukum….”. Maka kata “dibebaskan” tersebut adalah sama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Adapun yang dimaksud dengan kalimat “lepas dari segala tuntutan hukum” tersebut adalah sama sebagaimana yang dimaksud did lam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 38 ayat (6) menjelaskan bahwa : “Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (6) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hakum dari perkara pokok berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”. Berhubung terdakwa telah diputuskan oleh hakim bebas dan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari pokok perkara tindak pidana korupsi, maka harta benda milik terdakwa yang semula diduga berasal dari tindak pidana korupsi tidak dapat dianggap sebagai diperoleh dari tindak pidana korupsi, sehingga penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum dapat mengajukan tuntutan rampasan untuk negara terhadap harta benda milik terdakwa tersebut [32]. Dengan demikian dasar hukum bagi hakim yang digunakan ketika memberikan vonis terhadap para pelaku tindak pidana korupsi tergantung dari unsur kesalahan dari pelaku. Kesalahan tersebut akan dikomparasikan dengan delik-delik hukum yang ada hubungannya dengan perbuatan pelaku dan makna hukum progesif, sehingga putusannya akan dapat memberikan rasa keadilan.
Terlalu fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-hati dapat terjebak pada persoalan kelasalahan administrasi atau kesalahan prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi adalah bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum, jika pertimbangannya semata-semata merupakan kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi sesungguhnya adalah tempat atau letak sifat melawan hukumnya perbuatan dari sudut formal. Namun jika dari jika terjadi dari kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis sebagai potensial menimbulkan kerugian negara, sehingga melawan hukum memperkaya sudah terbukti dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Hal ini disebabkan Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan secara mutlak harus nyata telah timbul bentuk kerugian [33]. Dalam pemberian vonis yang diberikan oleh hakim  pengadilan tindak pidana korupsi banyak dipengaruhi oleh legal opinion yang dikonstruksi sebelum vonis dijatuhkan. Penafsiran terhadap pemaknaan undang-undang sebagai dasar hukum yang digunakan juga akan berpengaruh terhadap vonis yang dijatuhkan. Pemaknaan baik secara formal maupun materiil juga harus digunakan oleh hakim sebelum vonis dijatuhkan. Dalam penjatuhan vonis tidak hanya kepastian hukum saja yang diperhatikan, akan tetapi juga tentang keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum di sini bermakna dengan adanya vonis hakim akan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku tindak pidana korupsi dan akan memberikan efek jera. Kemanfaatan dan keadilan harus dipergunakan dasar pertimbangan hakim sebagai upaya menyelamatkan keuangan daerah dengan setelah adanya putusan tersebut seluruh harta yang didapat hasil perampasan dari para pelaku tindak pidana korupsi akan dikembalikan kepada negara.

3.      Konsep penafsiran hukum sebagai elaborasi hukum progresif dalam vonis hakim di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) terkait Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam suatu negara yang sedang mem­bangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kon­trol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk mela­kukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat [34]. Teori keadilan restoratif dikemukakan oleh Howard Zehr sebagai penemu teori ini secara umum mengatakan bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia dan hubungan-hubungannya. Kejahatan menciptakan kewajiban untuk membuat keadaan-keadaan tersebut menjadi baik. Keadilan melibatkan korban, pelaku dan komunitas dalam rangka mencari solusi-solusi yang mengedepankan perbaikan, rekonsiliasi dan meyakinkan kembali. Dilanjutkan oleh Walgrave yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari hasil tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluargannya dapat kembali pada keadaan yang semula seperti sebelum terjadi tindak pidana.  Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum. Menurut teori ini pemidanaan meliputi pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk-bentuk lain selain pidana penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat. Keadilan restoratif mendeskripsikan keadialan restoratif sebagai paradigma yakni lensa untuk memahami realitas yang terlihat. Selanjutnya Kent Roach Keadilan restoratif sebagai bagian dari teori keadilan harus direkonsialisasikan dengan teori keadilan retributif dalam aplikasinya [35]. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar”. Selanjutnya Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar”.
Dalam hal hendak menganalisis hukum tentang perbuatan salah administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya dapat dipedomi sebagai berikut: Adanya kesalahan administrasi murni, maksudnya adalah si pembuat khilaf (culpoos) tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan administrasi semacam ini ini bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara administratif pula, misalnya dengan mencabut, membatalkan, atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya. Si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum perdata dan bukan korupsi. Pada si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugiaan. Korupsi pada Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan bentuk tindak pidana culpoos, malainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana yang tidak secara tegas mencamtumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus. Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Seperti Pasal 2 tersebut kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatannya memperkaya, misalnya mendepositkan uang negara atas nama pribadi tidak disadari dan tidak dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara menganalisisnya karena tidak dicantumkan dalam rumusan. Si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, tetapi tidak dapat membawa dampak kerugiaan kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih ditoleransi sebagai kesalahan administratif. Sanksi administratif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi. Si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan administratif tertentu meyalahi aturan dilakukan juga, sehingga dapat membawa kerugiaan negara. Dalam hal ini masuk pada persoalan korupsi. Tinggal jaksa dalam pembuktiaan mempertajam analisis hukum mengenai perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber tertulis akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan dalam melakukan analisis pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis [36]. Penulis mencoba akan memberikan deskripsi terhadap makna atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 2 tersebut diatas terkait perbuatan melawan hukum baik secara formal dan materiil. Dalam pemaknaan yang luas memang pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah hakim termasuk hakim di pengadilan tindak pidana korupsi wajib mengikuti aturan tersebut karena dianggap keputusannya bersifat final dan mengikat dan harus kembali pada hukum positif. Dalam pemaknaan hukum harus dikaji lebih dalam agar mendapatkan keadilan yang memihak pada pencari keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya penjelasan pemaknaan nilai dan norma saja tidak sampai harus berlaku formal dan hakim tidak boleh memberikan penafsiran. Hakim mempunyai independensi dan dapat menggali nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam pemaknaan yang bersifat perbuatan yang materiil ini lah hakim tetap berwenang dan memberikan penafsiran terhadap aturan tersebut. Kerugian hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para koruptor telah memberikan kerugiaan secara sistemik. Parameter kerugiaan itulah yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam memberikan terobosan hukum oleh para hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dalam penjatuhan vonisnya. Dalam Pasal 3 tersebut diatas juga terdapat proses penyalahgunaan wewenang dan merupakan perbuatan melawan hukum. Selain itu kata “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” juga dapat dijadikan dalam mengukur kerugian materiil masyarakat atas perbuatan korupsi. Nilai dan keadilan merupakan norma pokok yang harus digunakan hakim sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memberikan vonis oleh hakim.
Bertolak dari aturan tersebut Penulis mencoba akan memberikan fakta hukum dalam kasus korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pengadaan barang dan/atau jasa di daerah. Mengingat dalam kasus tersebut tolak ukur tentang makna kerugiaan negara dapat tersentuh dengan adanya penyalahgunaan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemborosan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga termasuk pemborosan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kerugiaan negara juga ikut menyengsarakan rakyat. Keadilan yang menjadi hak konstitusional masyarakat juga terambil oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Berikut Penulis [37] sajikan fakta dan data hukum terkait banyaknya kerugiaan negara di tingkat daerah yaitu sebagai berikut:
Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah sebagai berikut:
Semester I
Semester II
Jumlah kasus: 176
Jumlah kasus: 272
Kerugian negara: Rp 2,1 triliun
Kerugian negara: Rp 1,5 triliun
Jumlah korupsi: 441 orang
Jumlah korupsi: 716


Sektor Korupsi
Sektor Korupsi
Keuangan daerah: 38 kasus
Keuangan daerah: 44 kasus
Infrastruktur: 32 kasus
Infrastruktur: 53 kasus
Sosial kemasyarakatan: 20 kasus
Pejabat pelaksana teknis kegiatan


Aktor
Aktor
Komisiaris atau direktur perusahaan swasta
Karyawan atau staff pemerintah daerah
Kepala kantor atau kabag atau kasubag
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Pejabat pelaksana teknis kegiatan


Penganganan kasus
Penanganan kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): 9
Kepolisian: 25
Kepolisian: 37
Kejaksaan: 137
Kejaksaan: 226

Proses penjatuhan akan memberikan relevansi antara implikasi penggunaan teori restoratif terkait tindak tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi di daerah baik akibat dari mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun dari pengadaan barang dan/atau jasa. Tindak pidana korupsi sebagai tindakan dan thesa akan berdampak terhadap antithesa akibat yang ditimbulkan. Akibat nyata yang ditimbulkan adalah berupa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Ketika negara mengalami kerugian maka rakyat juga akan terkena resesi perekonomiannya. Kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab bagi negara akan menjadi terganggu karena modal keuangan negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkurang di tingkat pusat dan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tingkat daerah. Negara dan rakyat merupakan satu kesatuan dalam menciptakan tata kehidupan negara melaksanakan kewajiban dan rakyat menuntut apa haknya. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang telah mendiskriminasikan manusia dalam arti luas dan rakyat dalam arti khusus baik yang telah dilakukan para pelaku korupsi. Negara mempunyai alat para penegak hukum dalam pemberantasan terhadap korupsi. Negara melalui penegak hukum lewat hakim di pengadilan tindak pidana korupsi harus mampu menjamin perlindungan terhadap hak rakyatnya.  Dalam teori restoratif di katakan “kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia”. Dalam katagori “pelanggaran” ini lah tanggung jawab negara melalui aparat penegak hukumnya harus mampu mengembalikan hak rakyatnya. “Kewajiban mengembalikan ke suatu keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara”. Hal ini bertujuan sesuai dengan tujuan teori restoratif untuk ”keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara”. Dengan demikian rakyat melalui negara dapat menuntut haknya tersebut. Para hakim di pengadilan tindak pidana korupsi harus bersifat progresif dalam menjatuhkan vonis pada setiap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan demikian nilai keadilan yang semula berpedoman pada kepastian hukum dapat ditransformasi ke dalam keadilan yang bersifat progresif dalam penemuan dan penciptaan hukum.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Bahwa hakim di pengadilan tindak pidana korupsi merupakan pihak yang memiliki otoritas tertinggi dalan setiap pengambilan keputusan berupa vonis hukum. Sifat diskresi yang dimilikinya dengan berdasarkan substansi hukum progresif akan dapat menembus aturan hukum tertulis demi menemukan dan menciptakan hukum sendiri dalam tiap penetapan sanksi hukum untuk mencapai keadilan. Dengan demikian hakim harus dapat bersifat progresif memberikan makna pada setiap pembacaan terhadap undang-undang sebagai hukum tertulis agar tercipta keadilan yang dicita-citakan oleh para pencari keadilan di pengadilan tindak pidana korupsi.
2.      Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dalam pengembanan hukum, pembentukan hukum, penenemuan hukum sampai pada proses penciptaan hukum dalam menjatuhkan vonis kepada pelaku. Jenis korupsi proyek pengadaan barang dan/atau jasa serta mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah merugikan keuangan negara baik di tingkat pusat dan daerah. Pemaknaan dan penafsiran hukum dari pasal tersebut merupakan sarana utama yang harus digunakan oleh hakim untuk memahami dan mengkaji dari setiap kasus yang ditangai dengan tidak hanya berdasarkan aturan tertulis, akan tetapi harus dapat memprioritaskan secara materiil bahwa korupsi telah telah merugikan perekonomian masyarakat, sehingga vonis yang dijatuhkan walaupun bertentangan dengan aturan tertulis dengan mengatasnamakan keadilan dapat dijatuhkan

B.     Rekomendasi
1.      Sebaiknya Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat digunakan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi untuk dapat menembus aturan hukum tertulis dalam menjatuhkan vonis terhadap para pelaku korupsi mengingat besarnya kerugian negara yang telah banyak memberikan dampak negatif pada masyarakat luas
2.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dapat memberikan penafsiran hukum terhadap aturan tertulis terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi mengingat substansi aturan tersebut terdapat nilai-nilai keadilan masyarakat yang harus diperjuangkan oleh hakim.
3.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi harus dapat memberikan vonis mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan mensinkronkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 terhadap klausula hukuman mati kepada koruptor dengan konsep keadilan dari hukum progresif.
4.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi sebelum memberikan putusan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi harus mencantumkan legal reasoning dan legal opinion terkait penggunaan hukum progresif dalam penjatuhan vonis yang diberikan tidak bersifat formalistic yang justru akan menghancurkan rasa keadilan.
5.      Sebaiknya hakim di pengadilan tindak pidana korupsi dapat memberikan penafsiran dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bersifat formal dalam penjatuhan vonisnya, akan tetapi harus mempertimbangkan aspek perbuatan melawan hukum secara materiil mengingat atas tidak pidana korupsi masyarakat luas lah yang mendapat kerugian. Aspek sosiologis adalah hal yang lebih penting dari pada aspek formalistik yang hanya terpaku pada hukum positif.

 
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Azizy, Qodri. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang
Basah, Syahran. 1986. Tiga Tulisan Hukum. Bandung: Amico
Bisri, Ilhami. 2004. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktiaan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Alumni    
               Bandung
Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).   
             Jakarta: Sinar Grafika
Darmadi, Sugijanto. 1998. Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Jakarta : : Penerbit CV
             Mandar Maju
Gie, Kwik Kian. 2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika Mardi Juana
Hant, Alan. 1993. Exploration In Law And Society. New York: Routeledge
Hamidi, Jazim. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press
Himawan, Charles. 2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Huda, Ni’matul dkk. 2007. “Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H
           “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan””. Yogyakarta: UII Press
Keraf, Sonny. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika. Jakarta: PT Gramedia  
Muladi dan Arief,  Barda Nawawi. 1993. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni
Mertokusumo, Sudikno dkk. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Jakarta : PT. Citra    
              Aditya Bakti.
………………………... 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cetakan II. Yogyakarta :
              Penerbit Liberty.
Purbacaraka, Purnadi dkk.1987. Renungan Tentang Filsafat Hukum.Jakarta: CV Rajawali
Rahardjo, Satjipta. 2008. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing
Sidarta, Arif. 2002. Hukum Dan Logika. Bandung: PT Alumni Bandung
Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Thoha, Miftah 2004. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wignjosoebroto, Sotandyo. 2008. Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
           Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media Publishing

Sumber Jurnal Hukum Nasional
Asyrof, H.S. Mukhsin. 2006. “Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta : Ikahi
Mujahidin. 2007. Hukum Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 April 2007. Varia Peradilan: Ikahi
O.Siahaan, Lintong. 2008. “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 November 2006. Jakarta : Ikahi

Sumber Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Sumber Media Massa
Kompas, 11 Maret 2008 hal.10
Jawa Pos, Jum’at 13 februari 2009, hal.6
Media Indonesia, 27 Oktober 2010  hal.16
Kompas, 10 Desember 2010, hal.2
Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3



[1]  Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006), hal. 10
[2]  Lihat Kompas, 10 Desember 2010: hal.2
[3]  Lihat Kompas, 11 Maret 2008: hal.10
[4]  Lihat Media Indonesia, 27 Oktober 2010: hal.16
[5]  Sudikno Mertokusumo dkk, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Jakarta, 1993), hal.10
[6]  Satjipta Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta, 2008), hal. 93
[7] Sonny Keraf, Fakta, Nilai, Peristiwa Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika (Jakarta, 1990), hal.49
[8] Mujahidin, “Hukum Progresif Jalan Keluar Dari Keterpurukan Hukum Di Indonesia”, Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 (April 2007), hal.59
[9] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta, 2001), hal. 48

[10] Ni’matul Huda dkk, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan” (Yogyakarta, 2007),  hal. 291-293
[11] Syahran Basah, Tiga Tulisan Hukum (Bandung, 1987), hal. 24-25
[12] Arif Sidarta, Hukum Dan Logika (Bandung, 2002), hal. 34
[13] Alan Hant., Exploration In Law And Society  (New York, 1993), hal. 142
[14] Jawa Pos, Jum’at 13 februari 2009, hal.6
[15] Miftah Thoha, Birokrasi Dan Politik Di Indonesia (Jakarta, 2004), hal. 16
[16] Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima (Jakarta, 2006), hal.5
[17] Qodr Azizy, Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Yogyakarta, 2006), hal. 80
[18] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah Sebuah Pengantar Ke  Arah Kajian Sosiologi Hukum (Malang, 2008), hal. 247
[19] ibid, hal. 89
[20] Setiardja A.Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Hukum  di Indonesia. (Jakarta, 1990), hal. 68
[21]  Sotandyo Wignjosoebroto, op.cit, hal.141
[22]  Purnadi Purbacaraka dkk, Renungan Tentang Filsafat Hukum (Jakarta, 1987), hal. 34
[23] Sudikno Mertokusumo, op,cit, hal. 159
[24] Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat (Jakarta, 1998), hal. 3

[25] H.S. Mukhsin Asyrof, “Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 (November 2006), hal.73
[26] Lintong O.Siahaan, “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi”. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252 (November 2006), hal. 63
[27]  Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum (Yogyakarta, 2006), hal.36
[28] Qodri Azizy, op.cit, hal.60
[29]  Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 2004), hal. 126-127
[30] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum  (Jakarta, 2006), hal. 18-19
[31]  Sotandyo Wignjosoebroto, op. cit, hal. 247
[32] Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Jakarta, 2008), hal. 154-157
[33]  Adami Chazawi, Hukum Pembuktiaan Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2008), hal. 310
[34]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173

[35] Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), HAL.90
[36] Adami Chazawi, Op.cit, hal. 312
[37] Sumber: Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3

Read more ...
Designed By Mas Say