Breaking News

24 July 2012

PROBLEMATIK NORMATIF KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI DI DAERAH (by: Mas Say)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi (Kwik Kian Gie, 2006: 10). Korupsi masih belum dirasakan sesuatu yang belum merugikan publik. Hal ini jelas berakar pada budaya masyarakat yang tidak ada ada pemisahan nilai antara milik masyarakat (public domain) dan milik pribadi (private domain) (Suhartono W. Pranoto, 2008: 80). Adanya kasus korupsi yang mengatasnamakan demokrasi justru akan digunakan demi kepentingan politik oleh golongan tertentu. Hal ini akan merusak sistem birokrasi dan meruntuhkan konsep demokratisasi di Indonesia. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali kemungkinan besar akan membawa bencana dan tidak saja terhadap kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional serta menghambat pembangunan nasional melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara (Dudu Duswara Machmudin, 2007: 19)
Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. (Media Indonesia, 27 Oktober 2010: hal.16). Dengan makin terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi, mengindikasikan bahwa mekanisme keuangan baik di tingkat pusat dan di daerah masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik kleptokrat yang maniak dan haus untuk mencari keuntungan pribadi dengan menggadaikan uang rakyat.
Modus operandi korupsi telah berkembang pesat mulai dari cara konvensional sampai kepada pemanfaatan hi-tech yang memunculkan kejahatan berdimensi baru, seperti bank crime, crime as business, manipulation crime, corporation crime, custom fraud, money laundring, illegal logging, illegal fishing dan berbagai modus cyber crime lainnya. (Rohim, 2008: 13). Gaya dan tipe cara para pejabat untuk melakukan tindak pidana korupsi banyak modus yang dilakukan guna memperoleh kekayaan pribadi. Modus korupsi dalam penggelembungan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memberikan infiltrasi pada birokrasi dengan mengkamuflasekan dana real menjadi abstrak, sehingga akan sulit untuk diidentifikasi untuk direalisasikan menjadi dana yang nyata guna membiayai pembangunan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Pengadilan tipikor ini juga merupakan amanah dalam Pasal 53 Undang Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunnyi:
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Dalam Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga mengamanahkan agar segera dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi di semua provinsi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan agar upaya pemberantasan korupsi di daerah dapat berjalan maksimal. Berdasarkan pemaparan diatas maka, Penulis akan menelaah lebih lanjut dengan judul “Problematik Normatif Komisi Pemberantasan Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penanggulangan Korupsi di Daerah”

B.Rumusan Masalah
            Dari berbagai pemaparan pada latar belakang diatas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam pemberantasan korupsi di daerah?
2.      Bagaimankah kerangka politik hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di daerah?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam pemberantasan korupsi di daerah

Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat tugas, wewenang dan kewajiban dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu sebagai berikut:
Pasal 6
”Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a.    koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b.    supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d.    melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e.    melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara”

Pasal 7
“Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a.    mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.    menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d.    melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.    meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi”

Dalam penerapan pengadilan tindak pidana korupsi tidak serta merta langsung dapat dilaksankan, tapi harus memperhatikan prinsip-prinsip umumnya terlebih dahulu. Adapun prinsip umumnya itu adalah sebagai berikut:
1)    Independent dan tidak memihak (impartial)
Prinsip ini merupakan hal yang utama yang telah ditentukan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketentuan internasional. Peradilan yang independen tidak memihak dan mampu memainkan peranan penting dalam upaya memujudkan tata pemerintahan yang adil,jujur, terbuka dan bertanggung jawab. Independensi adalah inti dari pemisahan kekuasaan. Jika lembaga-lembaga pemerintah yang lain bertanggung jawab pada rakyat hanya peradilan yang bertanggung jawab pada nilai-nilai yang lebih tinggi dan pada standart kejujuran peradilan. Prinsip independensi menghendaki agar institusi peradilan bebas dan merdeka dari campur tangan, tekanan dan paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak-pihak yang berada di luar pengadilan. Prinsip tidak memihak pada dasarnya bahwa hakim dalam mengadili harus tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil dan seimbang hak-hak para pihak, sehingga bebas dan terhindar dari benturan kepentingan (conflict of interest).
2)        Sederhana dan cepat
Salah satu yang dituntut publik ketika memasuki proses peradilan mereka harus mendapat kemudahan yang didukung sistem. Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian dan ketidak adilan, akan tetapi harus didiingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula menjamin pemberian keadilan dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengambilan keputusan. Proses di pengadilan yang harus ditempuh para pencari keadilan juga diharapkantidak memakan yang waktu. Proses pengadilan haruslah cepat, jelas dan tepat waktu, jika proses yang lama dan tidak jelas batas waktunya bukan hanya membuat pesimisme para pencari keadilan tapi akan mengundang kecurigaan atau dugaan yang bersifat negatif. Oleh karena itu proses persidangan di pengadilan tipikor harus dapat ditentukan dalam batas waktu yang tepat dan memadai.
3)        Transparan
Prinsip ini bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada kesempatan bagi publik untuk melekukan control dan koreksi. Hal ini maksudnya adalah keterbukaan akan jadwal dan agenda persidangan, kerterbukaan akan keputusan serta kinerja dari pengadilan tipikor terutama dalam hal pengelolaan anggaran. Erat hubungannya dengan konsep ini adalah kebebasan untuk memperoleh informasi dengan syarat tidak membahayakan jalannya proses pengadilan. Berbeda halnya dengan keterbukaan putusan pengadilan yang harus dapat diakses oleh publik untuk dapat mengetahui landasan diambilnya sebuah putusan.
4)        Akuntable
Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya akuntabilitas dalam kerangka pelaksanaan akuntabilitas. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu adanya ketaatan pada hukum, prosedur yang jelas, adil dan layak serta kontrol yang efektif. Sebagai pemegang kekuasaan untuk melakukan proses peradilan kewenangan yang tanpa batas akan membahayakan publik. Oleh karena itu diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling kurang mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan wewenang demi terjaminnya hak asasi manusia. Dalam menjalankan mekanisme persidangan dapat dilakukan beberapa cara yaitu sebagai berikut: Pertama, adalah dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik oleh “peer group” maupun atasan. Kedua, adalah pihak eksternal yang dilakukan oleh para pihak yang berada diluar lembaga. Ketiga, adalah oleh lembaga lain dalam hubungan horizontal dan terakhir yang Keempat adalah secara vertikal yang dilakukan oleh  pihak yang memiliki hubungan vertical dengan personil atau lembaga (Tim Taskforce, 2008: 26-28).
Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyelidikan. Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penuntut umum melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi. Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri (Ermansjah Djaja, 2008: 224-227).
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 25).
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 27).
Adapun jenis modus operandi korupsi yang dilakukan para pelaku dari perspektif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebagai berikut:
a)        Modus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
1.         Memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas anggota dewan;
2.         Menyalurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi anggota dewan melalui yayasan fiktif;
3.         Memanipulasi perjalanan dinas;
4.         Menerima gratifikasi; dan
5.         Menerima suap.
b)        Modus Pejabat Daerah
1.         Pengadaan barang dana jasa pemerintah dengan mark up harga dan merubah spesifikasi barang;
2.         Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan dan tanpa prosedur;
3.         Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah;
4.         Manipulasi sisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
5.         Manipulasi dalam proses pengadaan atau perijinan atau konsensi hutan;
6.         Gratifikasi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) penampung dana daerah;
7.         Bantuan sosial tidak sesuai peruntukannya;
8.         Menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk keperluan keluarganya dan koleganya;
9.         Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
10.     Ruislag atau tukar guling tanah dengan mark down harga; dan
11.     Penerimaan Fee Bank.
Adapun jenis modus operandi korupsi yang dilakukan para pelaku dari perspektif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah sebagai berikut:
a)         Penggelembungan dana program;
b)        Program fiktif; dan
c)         Investasi dana daerah ke lembaga keuangan yang tidak pruden.
(http://mukhsonrofi.wordpress.com/2010/08/05/kpk-beber-modus-korupsi-daerah/ diakses tanggal 1 Juni 2012 pukul 22.00 WIB).

Korupsi merupakan gurita dan monster bangsa yang merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi menimbulkan banyak kerugiaan dengan hancurnya perekonomina rakyat dan terkurasnya keuangan negara. Infiltrasi dan transformasi sosial budaya makin mengalami perubahan yang significant, sehingga akan memberikan implikasi terhadap gaya dan pola hidup masyarakat. Para pelaku tindak pidana korupsi juga terkena dampak adanya perubahan tersebut. Harmonisasi akibat perubahan sosial budaya juga berdampak terhadap gaya dan cara para koruptor dalam melakukan kejahatannya baik dari cara yang konvensional sampai pada cara yang modern. Hal ini menyebabkan karakteristik dan anasir-anasir terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri menjadi makin bervariasi dan sulit untuk diditeksi pola pemberantasannya. Epistimologi yang menjadi tolak ukur agar korupsi dapat diberantas oleh para penegak hukum menjadi makin kabur dan sulit untuk menetapkan penerapan sanksi pada para pelakunya.
Bentuk korupsi yang secara langsung berdampak pada lemahnya perekonomian masyarakat daerah adalah korupsi yang terjadi di daerah dengan memanfaatkan kewenangan para pejabat daerah dalam menggunakan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD). Jika bertolak dari teori korupsi Robert Glitgaard tentang pengertian korupsi, maka banyak terjadinya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimilki oleh pejabat daerah untuk bertindak bebas terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan. Menurut Penulis gaya penyalahgunaan wewenang tersebut sama substansinya dengan pendapat Lord Acton yang mempunyai paradigma adanya kekuasaan akan cenderung untuk berlaku korup dan adanya kekuasaan atau wewenang yang dimiliki makin kuat, maka akan mempunyai kecenderungan untuk berlaku korup dengan bebas mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kehendaknya. Kebebasan tersebut sejalan dengan pertanggung jawaban yang tidak transparan pada publik terkait keuangan daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengeluaran wajib dari pemerintah daerah berupa pengeluaran rutin dan pembangunan tidak dilaporkan secara transparan dan justru terkesan ditutupi.
Para pelaku yang terlibat langsung dalam proses manipulasi dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati atau Wali Kota, Sekretaris Daerah dan para pejabat daerah lainnya. Proses mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) titik mulanya berawal dari adanya konstelasi politik dan kompromi dari semua pejabat daerah untuk membuat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah agar dapat mengakomodir kepentingan yang sesuai diinginkan mereka. Penetapan anggaran dan besarnya biaya belanja daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Peraturan Daerah, sehingga semua belanja yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal yang lebih ironisnya lagi adalah belanja dan pembiayaan yang dilakukan daerah mengkamuflasekan atas nama otonomi daerah dan kesejahteraan rakyat, sehingga besar dana yang dikeluarkan justru menyimpang dari Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah telah ada politic will dari para stakeholder lewat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan dikeluarkannya Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-undang No.46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemerintah tersebut ternyata seiring dengan gaya modus operandi korupsi yang makin modern dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi belum dapat berjalan maksimal untuk memberikan efek jera pada mereka. Selain sulitnya birokrasi yang sulit ditembus oleh para penegak hukum, tapi penegak hukum itu sendiri justru banyak yang terlibat dalam kasus korupsi.
Keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga telah ditunjukan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Substansi pokok dalam aturan tersebut adalah ada empat (4) jenis peradilan yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Peradilan umum inilah yang menjadi sentral dan legalisasi yuridis formil dari pemerintah untuk dibentuknya badan-badan pengadilan khusus termasuk Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam konteks tata urutan kekuasaan kehakiman di Indonesia badan-badan pengadilan khusus tersebut berada di bawah Peradilan Umum. Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pihak penyidiknya berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) walaupun sudah ada pejabat daerah yang sudah dihukum, tapi dengan pola dan gaya modus operandi korupsi yang mengatasnamakan menjalankan Peraturan Derah dan otonomi daerah menjadikan hambatan dan kendala yang serius bagi Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Peradilan Umum selain menjadi sentral legalisasi yuridis formal bagi badan-badan pengadilan khusus yang berada di bawahnya juga menjadi sumber masalah ketika Peradilan Umum juga berperan dalam pemberantasan korupsi. Hal ini bermula dari ada perbedaan antara pihak penyidik baik di Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pihak penyidik di Peradilan Umum. Pihak penyidik dari Peradilan Umum berasal dari kejaksaan yang mempunyai otoritas penuh dalam pemberantasan korupsi di daerah. Dalam keadaan demikian timbul permasalahan terkait sinergisitas antara Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum dalam memproses para pelaku tindak pidana korupsi di daerah. Selain perbedaan dari pihak penyidik juga terdapat perbedaan tentang cara dan mekanisme birokrasi yang dimilikinya. Jika keduanya tidak saling melakukan sinergisitas dan fungsi koordinasi yang baik tidak menutup kemungkinan akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam upaya penegakan hukum. Hal ini jelas akan berimplikasi tidak mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah seluruh Indonesia.
Kualitas penindakan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum di Indonesia menurun. Kecenderungan itu terjadi pada semester II tahun 2010 pada aparat kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal. 3). Dalam penetapan terhadap pelaku tindak pidana korupsi mark up di daerah banyak terjadi adanya over lapping antara penegak hukum yang satu dengan yang lain. Menurut Penulis agar semua permasalahan hukum yang terjadi ketika akan menetapkan status pada pelaku tindak pidana korupsi harus langsung ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melibatkan langsung para penyidik yang dimilikinya. Dengan demikian terjadinya over lapping penindakan dapat dihindari dan pola penetapan yang dilakukan akan lebih terarah dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi di daerah. Banyak problematik yang dihadapi terkait mekanisme penetapan yang harus dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu dapat dipengaruhi sulitnya menembus aturan pada pengaturan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan bersama baik dari kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Aturan hukum yang dijadikan pedoman penetapan dan bukti-bukti administrasi dalam setiap pengeluaran keuangan daerah. Dari tingkat bawah sampai ke atas semua pejabat daerah banyak yang terlibat secara langsung dalam manipulasi keuangan daerah dengan mengatasnamakan demi peningkatan pembangunan di daerah. Walaupun sulit dalam proses penetapan para pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), akan tetapi pihak kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sedikit dalam menetapkan para pelaku tindak pidana keuangan daerah baik telah ditetapkan sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa. Dalam proses penetapan kepada pelaku tersebut tetap akan melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan di daerah dan kemudian dikoordinasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukukm utama dalam pemberantasan korupsi di daerah.

B. Kerangka politik hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di daerah

1.      Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tarik ulur politik dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pengawasan terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara memeriksa, menguji, dan menilai penggunaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan sesuai dengan tujuan penganggarannya atau tidak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pengawasan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam tahun anggaran yang berjalan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Disamping itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana dekonsentrasi pada pemerintah provinsi dan dana tugas pembantuan baik pada pemerintah provinsi maupun pada pemerintah kabupaten atau kota dan pengawasan ini bersifat represif (Hanif Nurcholis, 2005: 199).
Menurut Penulis berkenaan dengan korelasi dengan audit dan investigasi terhadap ada dan tidaknya kerugiaan negara dalam penetapan delik hukumnya harus menggunakan dengan ahli yang dihadirkan dalam persidangan. Hasil dari judicial review dari Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/ PUU-IV/ 2006 yang menyatakan kata “dapat” tetap dipertahankan sepanjang perhitungannya dilakukan oleh para ahli. Audit dan investigasi tersebut dapat berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Akan tetapi dalam praktek yang ada dalam persidangan terdapat polemik antara hasil audit dan investigasi antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini terjadi ketika pihak penyidik menggunakan kedua lembaga tersebut, tetapi hasil audit dan investigasinya berbeda.  Walaupun atas putusan  Mahkamah Agung (MA) hasil yang digunakan adalah audit dan investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), akan tetapi dalam praktek yang dilakukan oleh para penyidik proses penuntutan masih menggunakan hasil dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menjerat para koruptor di daerah. Pihak kepolisian dan kejaksaan dalam prakteknya masih sering menggunakan hasil dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan ternyata dalam proses persidangan hasil tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Hal ini akan berimplikasi terhadap sah dan tidaknya legal opinion yang dikonstruksi oleh para penyidik dalam menetapakan para pelaku menjadi tersangka maupun terdakwa.
Analisis Penulis jika berdasarkan fungsi dan kedudukan dalam perspektif kekuasaan kehakiman, maka adanya pengadilan ad hac Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bentuk pengadilan khusus yang berada di bawah Peradilan Umum. Keduanya baik Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum juga sama-sama melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada Peradilan Umum biasanya dilakukan di Pengadilan Negeri pihak yang menangani perkara berasal dari pihak kepolisian dan kejaksaan. Disamping itu pada Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pihak yang menangani perkara adalah mutlak dan hanya dilakukan oleh para petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam Pasal 11 Undang-Undang No.10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan “(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. (2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Penulis lembaga semi otonom yang dibentuk oleh pemerintah ini merupakan tindakan yang akan diberlakukukan dalam penaggulangan tindak pidana korupsi yang ada di daerah terkait uang yang ada dibank. Pembagian hasil tender dan atau pengadaan barang dan jasa dari pihak kontraktor akan memasukan rekening hasil korupsi lewat bank partai politik atau pun bank pribadi mereka. Kinerja dari Pusat Pelaporan Analsisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) ini harus mendapatkan data valid dan dapat dipertanggung jawabkan terhadap public terkait uang hasil korupsi yang terindikasi dimiliki oleh para koruptor yang ada di daerah. Lalu bagaimana konsep sinergisitas antara lembaga penegak hukum lainnya? . Ini nanti jika tidak dapat berjalan secara maksimal akan terjadi politisasi yang akan diinfiltrasi oleh pihak-pihak tertentuk agar upaya pemberantasan korupsi yang ada di daerah dapat berhenti. Penulis berpendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan Analsisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) harus dapat bekerja sama dengan baik. Hasil data yang mereka peroleh harus segera dilimpahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar setiap kasus yang masuk segera dapat dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi.

2.      Upaya Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana di Derah Hanya Politisasi dari Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dalam Pasal 3 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”. selanjutnya dalam Pasal 35 juga disebutkan “(1) Dengan Undang-Undang ini untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi. (2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah hukum provinsi yang bersangkutan”.

Penulis mencoba memberikan landasan yuridis terkait kontekstual sebagai upaya pemberantasan korupsi yang ada di daerah. Aturan diatas mengindikasikan bahwa tujuan dari lembaga legislatif memberikan arahan agar dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi si setia daerah agar korupsi yang ada di didaerah dapat segera diselesaikan. Apakah ini hanya politisasi yang dilakukan oleh lembaga legislatif saja?. Menurut Penulis demikian adanya, karena sampai sekarang pengadilan tindak pidana korupsi belum terwujud dan bahkan ada indikasi akan diperlambat upaya pembentukan tersebut. Para anggota dewam merasa maikn ketakutan dengan makin banyaknya pengadilan tindak pidana korupsi yang ada di daerah mereka takut kader-kader partai politik yang duduk sebagai anggota dewan akan terjerat dan dapat dipidanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui pengdilan tindak pidana korupsi di dearah tersebut. Dalam hal ini menunjukan para anggota yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya sebuah maneuver politik yang akan digunakan biar seolah-olah mereka serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Padahal dengan kebiajakan yang mereka ambil hanya akan melindungi para kader partai politik yang  ada di daerah agar aman dari jeratan korupsi.
Adapun terkait data korupsi yang melibatkan yang ada di daerah adalah sebagai berikut:

Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah
Jenis Korupsi








1.    Pengadaan Barang dan/atau Jasa
2
12
8
14
18
16
16
86
2.    Perizinan
-
-
5
1
3
1
-
10
3.    Penyuapan
-
7
2
4
13
12
19
57
4.    Pungutan
-
-
7
2
3
-
-
12
5.    Penyalahgunaan Anggaran
-
-
5
3
10
8
5
31
Jumlah
2
19
27
24
47
37
40
196

            Sumber: Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4

      
         Sebanyak 17 gubernur dan 158 bupati serta wali kota terjerat dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar kepala daerah diduga terlibat korupsi pengadaan barang dan jasa. Lebih dari 90% kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan kepala daerah terkait proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah. Total anggaran yang dikorupsi adalah sebesar Rp 1,9 triliun. Secara keseluruhan tingkat kebocoran dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah sejak tahun 2005-2010 mencapai 35%. Indikasi kebocoran adalah banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Banyaknya alat yang dibeli tidak bisa dipakai dan masa pakai lebih pendek hanya mencapai 30%-40%. Selain itu kebiasaan kewajiban untuk  memberikan fee oleh kontraktor, panitia pengadaan dan pimpinan proyek kepada atasan dengan dalih untuk belanja organisasi. Perbedaan harga barang sejenis yang cukup mencolok antara satu instansi dan instansi lain serta adanya beberapa invoice untuk satu jenis barang. Adanya modus penyimpangan anggaran adalah dengan penunjukan langsung (94%) dan penggelembungan harga (6%) (Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4). Secara umum para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala daerah telah mempunyai tugas dan wewenang yang telah diberikan hukum tertulis, akan tetapi dalam prakteknya tidak dapat berjalan sesuai rule of law yang ada.

 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Bahwa pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan senjata pamungkas guna menjerat para pejabat daerah terkait perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan jabatan serta wewenang yang dimilikinya untuk diseret dalam persidangan. Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan domain dalam jurisdiksi dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi pasal  tersebut merupakan pasal yang multitafsir yang dijadikan bahan untuk disalah interpretasikan dan diputar balikkan fakta hukumnya ketika di dalam persidangan agar para pelaku korupsi di daerah tidak mendapatkan hukuman  berat dan bahkan agar dapat lepas dari kasus korupsi yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegak hukum dapat berfungsi sebagai lembaga utama dalam pemberantasan korupsi di daerah.
2.      Bahwa dalam penanganan kasus korupsi di daerah masih terdapat dualisme dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari pihak Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyebabkan tidak berjalan efektifnya upaya penegakan pemberantasan korupsi di daerah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga mitra kerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan konsep secara politis yang kemudian dijurisdiksikan dalam proses realisasi sebagai lembaga penegak hukum.

B.     Saran

1.      Dalam proses penetapan sanksi hukum kepada para pelaku koruptor di daerah sebaiknya delik hukum yang berupa “perbuatan melawan hukum”, “penyalahgunaan wewenang” dan “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” harus dapat disinergisitaskan dengan baik agar dalam penetapan, penyidikan dan penuntutan hukum dapat mencerminkan kepastian hukum, sehingga sanksi yang tegas akan didapatkan oleh para koruptor terkait manipulasi keuangan di daerah.
2.      Sebaiknya pemerintah dan pihak lembaga legislatif segera berupaya agar bekerja bersama-sama untuk menindak lanjuti amanah konstitusi untuk segara dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi guna pemberantasan korupsi. Penulis berpendapat agar dibentuk saja Peraturan Pemerintah (PP) guna mempercepat proses realisasi pemberantasan korupsi di daerah. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan dipolitisasi saja.
3.      Seharusnya pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan Analasis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dapat berjalan dengan seimbang dan memberikan data yang valid terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di daerah.

Dafar Pustaka

Sumber Buku
Hanif Nucholis. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika Mardi Juana
Suhartono W. Pranoto. 2008. Bandit Berdasi Korupsi Berjamaah Merangkai Hasil Kejahatan Pasca Reformasi. Yogyakarta: Kanisius
Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pena Multi Media
Tim Taskforce. 2008.  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Naskah Rancangan Undang-Undang. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
KPK. 2006. Memahami Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK              Universitas Atmajaya Yogyakarta

Sumber Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No.46  Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Sumber Jurnal Nasional
Dudu Duswara Machmudin. 2007. Konsepsi, Visi, Misi dan Strategi Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXII No. 257 April 2007. Varia Peradilan: Ikahi
Sumber Internet
Anonim. KPK Beber Modus Korupsi Daerah. dalam http://mukhsonrofi.wordpress.com/2010/08/05/kpk-beber-modus-korupsi-daerah/ diakses tanggal 1 Juni 2012 pukul 22.00 WIB


Sumber Media Massa
Media Indonesia, 27 Oktober 2010  hal.16
Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4
Read more ...
Designed By Mas Say