BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemberantasan korupsi memang mutlak
diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan
kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan berkesinambungan karena sangat
sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi
(Kwik Kian Gie, 2006: 10). Korupsi masih belum dirasakan sesuatu yang belum
merugikan publik. Hal ini jelas berakar pada budaya masyarakat yang tidak ada
ada pemisahan nilai antara milik masyarakat (public domain) dan milik pribadi (private domain) (Suhartono W. Pranoto, 2008: 80). Adanya kasus
korupsi yang mengatasnamakan demokrasi justru akan digunakan demi kepentingan
politik oleh golongan tertentu. Hal ini akan merusak sistem birokrasi dan
meruntuhkan konsep demokratisasi di Indonesia. Meningkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali kemungkinan besar akan membawa bencana dan tidak
saja terhadap kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional serta menghambat
pembangunan nasional melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
(Dudu Duswara Machmudin, 2007: 19)
Transparansi International Indonesia
(TII) mencatat Corruption Perseption
Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama
dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di
posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota
ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. (Media Indonesia, 27 Oktober 2010:
hal.16). Dengan makin terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan
korupsi, mengindikasikan bahwa mekanisme keuangan baik di tingkat pusat dan di
daerah masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik
kleptokrat yang maniak dan haus untuk mencari keuntungan pribadi dengan
menggadaikan uang rakyat.
Modus operandi korupsi telah berkembang
pesat mulai dari cara konvensional sampai kepada pemanfaatan hi-tech yang memunculkan kejahatan
berdimensi baru, seperti bank crime,
crime as business, manipulation crime, corporation crime, custom fraud, money
laundring, illegal logging, illegal fishing dan berbagai modus cyber crime
lainnya. (Rohim, 2008: 13). Gaya dan tipe cara para pejabat untuk melakukan
tindak pidana korupsi banyak modus yang dilakukan guna memperoleh kekayaan
pribadi. Modus korupsi dalam penggelembungan dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) memberikan infiltrasi pada birokrasi dengan
mengkamuflasekan dana real menjadi abstrak, sehingga akan sulit untuk
diidentifikasi untuk direalisasikan menjadi dana yang nyata guna membiayai
pembangunan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun
2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang
berada di lingkungan Peradilan Umum”. Pengadilan tipikor ini juga merupakan amanah dalam Pasal 53 Undang Undang No.30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunnyi:
”Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Dalam Undang-undang No.46 Tahun 2008
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga mengamanahkan agar segera
dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi di semua provinsi di Indonesia. Hal
ini mengindikasikan agar upaya pemberantasan korupsi di daerah dapat berjalan
maksimal. Berdasarkan pemaparan diatas maka, Penulis akan menelaah lebih lanjut
dengan judul “Problematik Normatif Komisi Pemberantasan Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam Penanggulangan Korupsi di Daerah”
B.Rumusan
Masalah
Dari
berbagai pemaparan pada latar belakang diatas, maka dapat diambil beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam pemberantasan korupsi
di daerah?
2.
Bagaimankah kerangka politik hukum dari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi di daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam
pemberantasan korupsi di daerah
Berdasarkan
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terdapat tugas, wewenang dan kewajiban dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yaitu sebagai berikut:
Pasal 6
”Komisi Pemberantasan Korupsi
mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
b. supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara”
Pasal 7
“Dalam
melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi”
Dalam
penerapan pengadilan tindak pidana korupsi tidak serta merta langsung dapat
dilaksankan, tapi harus memperhatikan prinsip-prinsip umumnya terlebih dahulu.
Adapun prinsip umumnya itu adalah sebagai berikut:
1)
Independent dan tidak memihak
(impartial)
Prinsip ini merupakan hal yang utama
yang telah ditentukan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan ketentuan internasional. Peradilan yang independen
tidak memihak dan mampu memainkan peranan penting dalam upaya memujudkan tata
pemerintahan yang adil,jujur, terbuka dan bertanggung jawab. Independensi
adalah inti dari pemisahan kekuasaan. Jika lembaga-lembaga pemerintah yang lain
bertanggung jawab pada rakyat hanya peradilan yang bertanggung jawab pada
nilai-nilai yang lebih tinggi dan pada standart kejujuran peradilan. Prinsip
independensi menghendaki agar institusi peradilan bebas dan merdeka dari campur
tangan, tekanan dan paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung dari
pihak-pihak yang berada di luar pengadilan. Prinsip tidak memihak pada dasarnya
bahwa hakim dalam mengadili harus tidak membeda-bedakan dan menghargai secara
adil dan seimbang hak-hak para pihak, sehingga bebas dan terhindar dari
benturan kepentingan (conflict of
interest).
2)
Sederhana
dan cepat
Salah satu yang dituntut publik ketika
memasuki proses peradilan mereka harus mendapat kemudahan yang didukung sistem.
Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian dan ketidak adilan,
akan tetapi harus didiingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula menjamin
pemberian keadilan dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya
ketelitian dalam pengambilan keputusan. Proses di pengadilan yang harus
ditempuh para pencari keadilan juga diharapkantidak memakan yang waktu. Proses
pengadilan haruslah cepat, jelas dan tepat waktu, jika proses yang lama dan
tidak jelas batas waktunya bukan hanya membuat pesimisme para pencari keadilan
tapi akan mengundang kecurigaan atau dugaan yang bersifat negatif. Oleh karena
itu proses persidangan di pengadilan tipikor harus dapat ditentukan dalam batas
waktu yang tepat dan memadai.
3)
Transparan
Prinsip ini bukanlah keterbukaan yang
tanpa batas akan tetapi sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan,
asalkan ada kesempatan bagi publik untuk melekukan control dan koreksi. Hal ini maksudnya adalah keterbukaan akan jadwal dan
agenda persidangan, kerterbukaan akan keputusan serta kinerja dari pengadilan
tipikor terutama dalam hal pengelolaan anggaran. Erat hubungannya dengan konsep
ini adalah kebebasan untuk memperoleh informasi dengan syarat tidak
membahayakan jalannya proses pengadilan. Berbeda halnya dengan keterbukaan
putusan pengadilan yang harus dapat diakses oleh publik untuk dapat mengetahui
landasan diambilnya sebuah putusan.
4)
Akuntable
Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi
adanya akuntabilitas dalam kerangka pelaksanaan akuntabilitas. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu adanya ketaatan pada hukum, prosedur yang jelas,
adil dan layak serta kontrol yang efektif. Sebagai pemegang kekuasaan untuk
melakukan proses peradilan kewenangan yang tanpa batas akan membahayakan
publik. Oleh karena itu diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling
kurang mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan wewenang demi
terjaminnya hak asasi manusia. Dalam menjalankan mekanisme persidangan dapat
dilakukan beberapa cara yaitu sebagai berikut: Pertama, adalah dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan sendiri,
baik oleh “peer group” maupun atasan.
Kedua, adalah pihak eksternal yang
dilakukan oleh para pihak yang berada diluar lembaga. Ketiga, adalah oleh lembaga lain dalam hubungan horizontal dan
terakhir yang Keempat adalah secara
vertikal yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki hubungan vertical dengan personil atau lembaga (Tim Taskforce, 2008:
26-28).
Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidik
melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika
penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya
2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik
atau optik. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti
permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyelidikan. Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam hal
seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam
rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lain. Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal dimulainya penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara
terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Penuntut umum melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut
wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri (Ermansjah
Djaja, 2008: 224-227).
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun
dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1
milyar” (Komisi
Pemberantsan Korupsi, 2006: 25).
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan
paling banyak 1 milyar”
(Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 27).
Adapun jenis modus operandi korupsi
yang dilakukan para pelaku dari perspektif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
adalah sebagai berikut:
a)
Modus Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD)
1.
Memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas
anggota dewan;
2.
Menyalurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) bagi anggota dewan melalui yayasan fiktif;
3.
Memanipulasi perjalanan dinas;
4.
Menerima gratifikasi; dan
5.
Menerima suap.
b)
Modus Pejabat Daerah
1.
Pengadaan barang dana jasa pemerintah dengan mark up harga dan merubah spesifikasi
barang;
2.
Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan dan
tanpa prosedur;
3.
Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas
daerah;
4.
Manipulasi sisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD);
5.
Manipulasi dalam proses pengadaan atau perijinan atau
konsensi hutan;
6.
Gratifikasi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD)
penampung dana daerah;
7.
Bantuan sosial tidak sesuai peruntukannya;
8.
Menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) untuk keperluan keluarganya dan koleganya;
9.
Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
10.
Ruislag atau
tukar guling tanah dengan mark down harga; dan
11.
Penerimaan Fee
Bank.
Adapun jenis modus operandi korupsi
yang dilakukan para pelaku dari perspektif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
adalah sebagai berikut:
a)
Penggelembungan dana program;
b)
Program fiktif; dan
c)
Investasi dana daerah ke lembaga
keuangan yang tidak pruden.
(http://mukhsonrofi.wordpress.com/2010/08/05/kpk-beber-modus-korupsi-daerah/ diakses tanggal 1 Juni 2012 pukul 22.00 WIB).
Korupsi merupakan gurita dan monster
bangsa yang merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi menimbulkan banyak kerugiaan dengan
hancurnya perekonomina rakyat dan terkurasnya keuangan negara. Infiltrasi dan
transformasi sosial budaya makin mengalami perubahan yang significant, sehingga
akan memberikan implikasi terhadap gaya dan pola hidup masyarakat. Para pelaku
tindak pidana korupsi juga terkena dampak adanya perubahan tersebut.
Harmonisasi akibat perubahan sosial budaya juga berdampak terhadap gaya dan
cara para koruptor dalam melakukan kejahatannya baik dari cara yang
konvensional sampai pada cara yang modern. Hal ini menyebabkan karakteristik
dan anasir-anasir terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri menjadi makin
bervariasi dan sulit untuk diditeksi pola pemberantasannya. Epistimologi yang
menjadi tolak ukur agar korupsi dapat diberantas oleh para penegak hukum
menjadi makin kabur dan sulit untuk menetapkan penerapan sanksi pada para
pelakunya.
Bentuk korupsi yang secara langsung
berdampak pada lemahnya perekonomian masyarakat daerah adalah korupsi yang
terjadi di daerah dengan memanfaatkan kewenangan para pejabat daerah dalam
menggunakan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD). Jika bertolak dari teori korupsi Robert Glitgaard tentang pengertian korupsi, maka banyak terjadinya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimilki oleh pejabat daerah untuk
bertindak bebas terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan. Menurut Penulis
gaya penyalahgunaan wewenang tersebut sama substansinya dengan pendapat Lord Acton yang mempunyai paradigma
adanya kekuasaan akan cenderung untuk berlaku korup dan adanya kekuasaan atau
wewenang yang dimiliki makin kuat, maka akan mempunyai kecenderungan untuk
berlaku korup dengan bebas mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kehendaknya.
Kebebasan tersebut sejalan dengan pertanggung jawaban yang tidak transparan
pada publik terkait keuangan daerah yang tertuang dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengeluaran wajib dari pemerintah daerah
berupa pengeluaran rutin dan pembangunan tidak dilaporkan secara transparan dan
justru terkesan ditutupi.
Para pelaku yang terlibat langsung dalam
proses manipulasi dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati
atau Wali Kota, Sekretaris Daerah dan para pejabat daerah lainnya. Proses mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) titik mulanya berawal dari adanya konstelasi politik dan kompromi
dari semua pejabat daerah untuk membuat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah
agar dapat mengakomodir kepentingan yang sesuai diinginkan mereka. Penetapan
anggaran dan besarnya biaya belanja daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Peraturan Daerah, sehingga semua belanja
yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal yang lebih
ironisnya lagi adalah belanja dan pembiayaan yang dilakukan daerah
mengkamuflasekan atas nama otonomi daerah dan kesejahteraan rakyat, sehingga
besar dana yang dikeluarkan justru menyimpang dari Peraturan Daerah yang telah
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di Indonesia dalam upaya pemberantasan
korupsi baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah
telah ada politic will dari para stakeholder lewat Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) dengan dikeluarkannya Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Undang-undang No.46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemerintah
tersebut ternyata seiring dengan gaya modus operandi korupsi yang makin modern
dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi belum dapat berjalan maksimal
untuk memberikan efek jera pada mereka. Selain sulitnya birokrasi yang sulit
ditembus oleh para penegak hukum, tapi penegak hukum itu sendiri justru banyak
yang terlibat dalam kasus korupsi.
Keseriusan pemerintah dalam
pemberantasan korupsi juga telah ditunjukan dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Substansi pokok dalam aturan
tersebut adalah ada empat (4) jenis peradilan yaitu Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Peradilan umum inilah yang
menjadi sentral dan legalisasi yuridis formil dari pemerintah untuk dibentuknya
badan-badan pengadilan khusus termasuk Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor). Dalam konteks tata urutan kekuasaan kehakiman di Indonesia
badan-badan pengadilan khusus tersebut berada di bawah Peradilan Umum.
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) pihak penyidiknya berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
walaupun sudah ada pejabat daerah yang sudah dihukum, tapi dengan pola dan gaya
modus operandi korupsi yang mengatasnamakan menjalankan Peraturan Derah dan
otonomi daerah menjadikan hambatan dan kendala yang serius bagi Pengadilan Ad
Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Peradilan Umum selain menjadi sentral
legalisasi yuridis formal bagi badan-badan pengadilan khusus yang berada di
bawahnya juga menjadi sumber masalah ketika Peradilan Umum juga berperan dalam
pemberantasan korupsi. Hal ini bermula dari ada perbedaan antara pihak penyidik
baik di Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pihak penyidik di
Peradilan Umum. Pihak penyidik dari Peradilan Umum berasal dari kejaksaan yang
mempunyai otoritas penuh dalam pemberantasan korupsi di daerah. Dalam keadaan
demikian timbul permasalahan terkait sinergisitas antara Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum dalam memproses para pelaku
tindak pidana korupsi di daerah. Selain perbedaan dari pihak penyidik juga
terdapat perbedaan tentang cara dan mekanisme birokrasi yang dimilikinya. Jika
keduanya tidak saling melakukan sinergisitas dan fungsi koordinasi yang baik
tidak menutup kemungkinan akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam upaya penegakan hukum. Hal ini jelas akan
berimplikasi tidak mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum untuk
menjerat para pelaku tindak pidana korupsi mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah seluruh
Indonesia.
Kualitas penindakan tindak pidana
korupsi oleh aparat penegak hukum di Indonesia menurun. Kecenderungan itu
terjadi pada semester II tahun 2010 pada aparat kepolisian, kejaksaan, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal. 3).
Dalam penetapan terhadap pelaku tindak pidana korupsi mark up di daerah banyak terjadi adanya over lapping antara penegak hukum yang satu dengan yang lain.
Menurut Penulis agar semua permasalahan hukum yang terjadi ketika akan
menetapkan status pada pelaku tindak pidana korupsi harus langsung ditangani
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melibatkan langsung para
penyidik yang dimilikinya. Dengan demikian terjadinya over lapping penindakan dapat dihindari dan pola penetapan yang
dilakukan akan lebih terarah dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi
di daerah. Banyak problematik yang dihadapi terkait mekanisme penetapan yang
harus dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu dapat
dipengaruhi sulitnya menembus aturan pada pengaturan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan bersama baik dari kepala daerah dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Aturan hukum yang dijadikan
pedoman penetapan dan bukti-bukti administrasi dalam setiap pengeluaran
keuangan daerah. Dari tingkat bawah sampai ke atas semua pejabat daerah banyak
yang terlibat secara langsung dalam manipulasi keuangan daerah dengan
mengatasnamakan demi peningkatan pembangunan di daerah. Walaupun sulit dalam
proses penetapan para pelaku korupsi mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), akan tetapi pihak
kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sedikit
dalam menetapkan para pelaku tindak pidana keuangan daerah baik telah
ditetapkan sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa. Dalam proses penetapan
kepada pelaku tersebut tetap akan melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan di
daerah dan kemudian dikoordinasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai penegak hukukm utama dalam pemberantasan korupsi di daerah.
B.
Kerangka politik hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi di daerah
1.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan tarik ulur politik dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan
pengawasan terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara memeriksa, menguji,
dan menilai penggunaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apakah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan sesuai dengan tujuan
penganggarannya atau tidak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pengawasan
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam tahun anggaran
yang berjalan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Disamping itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pengawasan terhadap
penggunaan dana dekonsentrasi pada pemerintah provinsi dan dana tugas
pembantuan baik pada pemerintah provinsi maupun pada pemerintah kabupaten atau
kota dan pengawasan ini bersifat represif (Hanif Nurcholis, 2005: 199).
Menurut Penulis berkenaan dengan
korelasi dengan audit dan investigasi terhadap ada dan tidaknya kerugiaan
negara dalam penetapan delik hukumnya harus menggunakan dengan ahli yang
dihadirkan dalam persidangan. Hasil dari judicial
review dari Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/ PUU-IV/ 2006 yang menyatakan
kata “dapat” tetap dipertahankan
sepanjang perhitungannya dilakukan oleh para ahli. Audit dan investigasi
tersebut dapat berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Akan tetapi dalam praktek yang ada dalam
persidangan terdapat polemik antara hasil audit dan investigasi antara Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hal ini terjadi ketika pihak penyidik menggunakan kedua lembaga tersebut,
tetapi hasil audit dan investigasinya berbeda.
Walaupun atas putusan Mahkamah
Agung (MA) hasil yang digunakan adalah audit dan investigasi dari Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), akan tetapi dalam praktek yang dilakukan oleh para
penyidik proses penuntutan masih menggunakan hasil dari Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menjerat para koruptor di daerah. Pihak
kepolisian dan kejaksaan dalam prakteknya masih sering menggunakan hasil dari
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan ternyata dalam proses
persidangan hasil tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Hal ini
akan berimplikasi terhadap sah dan tidaknya legal
opinion yang dikonstruksi oleh para penyidik dalam menetapakan para pelaku
menjadi tersangka maupun terdakwa.
Analisis Penulis jika berdasarkan fungsi
dan kedudukan dalam perspektif kekuasaan kehakiman, maka adanya pengadilan ad
hac Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bentuk pengadilan khusus yang
berada di bawah Peradilan Umum. Keduanya baik Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum juga sama-sama melakukan proses
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada Peradilan Umum biasanya dilakukan
di Pengadilan Negeri pihak yang menangani perkara berasal dari pihak kepolisian
dan kejaksaan. Disamping itu pada Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) pihak yang menangani perkara adalah mutlak dan hanya dilakukan oleh
para petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam
Pasal 11 Undang-Undang No.10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan “(1)
Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang
yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut,
kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. (2) Setiap Orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Penulis lembaga semi otonom yang
dibentuk oleh pemerintah ini merupakan tindakan yang akan diberlakukukan dalam
penaggulangan tindak pidana korupsi yang ada di daerah terkait uang yang ada
dibank. Pembagian hasil tender dan atau pengadaan barang dan jasa dari pihak
kontraktor akan memasukan rekening hasil korupsi lewat bank partai politik atau
pun bank pribadi mereka. Kinerja dari Pusat Pelaporan Analsisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK) ini harus mendapatkan data valid dan dapat dipertanggung
jawabkan terhadap public terkait uang hasil korupsi yang terindikasi dimiliki
oleh para koruptor yang ada di daerah. Lalu bagaimana konsep sinergisitas antara
lembaga penegak hukum lainnya? . Ini nanti jika tidak dapat berjalan
secara maksimal akan terjadi politisasi yang akan diinfiltrasi oleh pihak-pihak
tertentuk agar upaya pemberantasan korupsi yang ada di daerah dapat berhenti.
Penulis berpendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan
Analsisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) harus dapat bekerja sama dengan baik.
Hasil data yang mereka peroleh harus segera dilimpahkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) agar setiap kasus yang masuk segera dapat dilimpahkan
ke pengadilan tindak pidana korupsi.
2.
Upaya Pembentukan Pengadilan Tindak
Pidana di Derah Hanya Politisasi dari Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dalam Pasal 3 Undang-undang
No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”. selanjutnya dalam Pasal
35 juga disebutkan “(1) Dengan
Undang-Undang ini untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk
pada setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi. (2) Daerah hukum Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah hukum
provinsi yang bersangkutan”.
Penulis
mencoba memberikan landasan yuridis terkait kontekstual sebagai upaya
pemberantasan korupsi yang ada di daerah. Aturan diatas mengindikasikan bahwa
tujuan dari lembaga legislatif memberikan arahan agar dibentuk pengadilan
tindak pidana korupsi si setia daerah agar korupsi yang ada di didaerah dapat
segera diselesaikan. Apakah ini hanya politisasi yang dilakukan oleh lembaga
legislatif saja?. Menurut Penulis demikian adanya, karena sampai sekarang
pengadilan tindak pidana korupsi belum terwujud dan bahkan ada indikasi akan
diperlambat upaya pembentukan tersebut. Para anggota dewam merasa maikn
ketakutan dengan makin banyaknya pengadilan tindak pidana korupsi yang ada di
daerah mereka takut kader-kader partai politik yang duduk sebagai anggota dewan
akan terjerat dan dapat dipidanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melalui pengdilan tindak pidana korupsi di dearah tersebut. Dalam hal ini
menunjukan para anggota yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya sebuah
maneuver politik yang akan digunakan biar seolah-olah mereka serius dalam upaya
pemberantasan korupsi. Padahal dengan kebiajakan yang mereka ambil hanya akan
melindungi para kader partai politik yang
ada di daerah agar aman dari jeratan korupsi.
Adapun terkait data korupsi yang
melibatkan yang ada di daerah adalah sebagai berikut:
Tahun
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Jumlah
|
Jenis
Korupsi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1. Pengadaan
Barang dan/atau Jasa
|
2
|
12
|
8
|
14
|
18
|
16
|
16
|
86
|
2. Perizinan
|
-
|
-
|
5
|
1
|
3
|
1
|
-
|
10
|
3. Penyuapan
|
-
|
7
|
2
|
4
|
13
|
12
|
19
|
57
|
4. Pungutan
|
-
|
-
|
7
|
2
|
3
|
-
|
-
|
12
|
5. Penyalahgunaan
Anggaran
|
-
|
-
|
5
|
3
|
10
|
8
|
5
|
31
|
Jumlah
|
2
|
19
|
27
|
24
|
47
|
37
|
40
|
196
|
Sumber:
Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4
Sebanyak 17 gubernur dan 158 bupati
serta wali kota terjerat dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar kepala daerah diduga terlibat
korupsi pengadaan barang dan jasa. Lebih dari 90% kasus tindak pidana korupsi
yang melibatkan kepala daerah terkait proyek pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Total anggaran yang dikorupsi adalah sebesar Rp 1,9 triliun. Secara
keseluruhan tingkat kebocoran dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah
sejak tahun 2005-2010 mencapai 35%. Indikasi kebocoran adalah banyaknya proyek
pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas,
dan tidak efisien. Banyaknya alat yang dibeli tidak bisa dipakai dan masa pakai
lebih pendek hanya mencapai 30%-40%. Selain itu kebiasaan kewajiban untuk memberikan fee oleh kontraktor, panitia pengadaan dan pimpinan proyek kepada
atasan dengan dalih untuk belanja organisasi. Perbedaan harga barang sejenis
yang cukup mencolok antara satu instansi dan instansi lain serta adanya
beberapa invoice untuk satu jenis
barang. Adanya modus penyimpangan anggaran adalah dengan penunjukan langsung
(94%) dan penggelembungan harga (6%) (Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4).
Secara umum para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala
daerah telah mempunyai tugas dan wewenang yang telah diberikan hukum tertulis,
akan tetapi dalam prakteknya tidak dapat berjalan sesuai rule of law yang ada.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Bahwa pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan senjata
pamungkas guna menjerat para pejabat daerah terkait perbuatan melawan hukum dan
penyalahgunaan jabatan serta wewenang yang dimilikinya untuk diseret dalam
persidangan. Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) merupakan domain dalam jurisdiksi dalam pemberantasan korupsi. Akan
tetapi pasal tersebut merupakan pasal
yang multitafsir yang dijadikan bahan untuk disalah interpretasikan dan diputar
balikkan fakta hukumnya ketika di dalam persidangan agar para pelaku korupsi di
daerah tidak mendapatkan hukuman berat
dan bahkan agar dapat lepas dari kasus korupsi yang didakwakan kepadanya.
Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegak
hukum dapat berfungsi sebagai lembaga utama dalam pemberantasan korupsi di
daerah.
2.
Bahwa dalam penanganan kasus korupsi di
daerah masih terdapat dualisme dalam proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan dari pihak Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang
menyebabkan tidak berjalan efektifnya upaya penegakan pemberantasan korupsi di
daerah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK) sebagai lembaga mitra kerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) merupakan konsep secara politis yang kemudian dijurisdiksikan dalam
proses realisasi sebagai lembaga penegak hukum.
B. Saran
1.
Dalam proses penetapan sanksi hukum
kepada para pelaku koruptor di daerah sebaiknya delik hukum yang berupa “perbuatan melawan hukum”, “penyalahgunaan
wewenang” dan “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
harus dapat disinergisitaskan dengan baik agar dalam penetapan, penyidikan dan
penuntutan hukum dapat mencerminkan kepastian hukum, sehingga sanksi yang tegas
akan didapatkan oleh para koruptor terkait manipulasi keuangan di daerah.
2.
Sebaiknya pemerintah dan pihak lembaga
legislatif segera berupaya agar bekerja bersama-sama untuk menindak lanjuti amanah
konstitusi untuk segara dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi guna
pemberantasan korupsi. Penulis berpendapat agar dibentuk saja Peraturan
Pemerintah (PP) guna mempercepat proses realisasi pemberantasan korupsi di
daerah. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan
dipolitisasi saja.
3.
Seharusnya pihak Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan Analasis dan Transaksi Keuangan (PPATK)
dapat berjalan dengan seimbang dan memberikan data yang valid terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di
daerah.
Dafar
Pustaka
Sumber Buku
Hanif
Nucholis. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan
dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Kwik
Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Korupsi.
Bogor: Grafika Mardi Juana
Suhartono
W. Pranoto. 2008. Bandit Berdasi Korupsi
Berjamaah Merangkai Hasil Kejahatan Pasca Reformasi. Yogyakarta: Kanisius
Rohim. 2008. Modus
Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pena Multi Media
Tim
Taskforce. 2008. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Naskah Rancangan Undang-Undang.
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
KPK. 2006. Memahami
Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK Universitas Atmajaya Yogyakarta
Sumber
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang
No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang
No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Sumber Jurnal
Nasional
Dudu Duswara
Machmudin. 2007. Konsepsi, Visi, Misi dan
Strategi Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Majalah
Hukum Tahun XXII No. 257 April 2007. Varia Peradilan: Ikahi
Sumber
Internet
Anonim.
KPK Beber Modus Korupsi Daerah. dalam
http://mukhsonrofi.wordpress.com/2010/08/05/kpk-beber-modus-korupsi-daerah/ diakses tanggal
1 Juni 2012 pukul 22.00 WIB
Sumber
Media Massa
Media
Indonesia, 27 Oktober 2010 hal.16
Media
Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4