Breaking News

20 September 2011

MAKALAH TENTANG PENYIMPANGAN TUGAS DAN KODE ETIK HAKIM YANG SELALU “THE HAVE COME ON A HEAD” (Pembelaan Terhadap Orang Kaya Itulah Yang Dimenangkan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hakim merupakan aparat penegak hukum yang punya otoritas tinggi dan mutlak dalam menyelesaikan tiap perkara dan kasus dalam pengadilan. Hakim sangat berperan dalam menciptakan aplikasi dan reslisasi demi kebenaran dan keadilan atas tiap perkara yang ada. Hakim dan pengadilan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Keduanya saling membutuhkan dalam mengimplementasikan untuk merealisasikan dari tujuan pembuatan hukum. Hakim dan pengadilan merupakan benteng terakhir untuk menegakkan hukum dan keadilan. Bertolak dari pasal 2 ayat (1) UU no. 14 tahun 1970, tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa tugas pokok dari badan-badan peradilan (hakim) adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (Tutik, Titik Triwulan 2006 : 249). Ada lima pilar dari sebuah negara hukum demokratis yaitu adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak.
 Salah satu dari substansi hukum itulah yang telah memberikan perspektif terhadap runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan, hal ini disebabkan hakim (peradilan) tidak lagi bersifat bebas dan tidak memihak. Perjalanan hukum yang dimotori oleh hakim dipandang masyarakat tidak bersifat bebas tetapi ada unsur diskriminatif dan kurang memenuhi rasa keadilan. Hakim selalu membela orang-orang yang kaya dan ber-uang itulah yang akan dimenangkan jika suatu perkara di pengadilan dihadapkan terhadap pada orang-orang miskin atau dengan kata lain hakim bersifat ”the have come on a head”.
 Tidak jelasnya penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaanya hanya untuk memperoleh keuntungan pribadinya. Perilaku hakim sekarang memang sudah jauh dari aturan kode etik hakim. Ada lima perlambang atau sifat hakim, salah satunya adalah ”candra” artinya bijaksana, tapi realita yang ada sekarang adalah sifat hakim tidak lagi bijaksana yaitu jauh dari arti kebijaksanaan. Ada satu lagi perlambang sifat hakim yaitu ”sari” , hakim harus bersifat jujur dalam memutus tiap perkara yang ada.
Sifat-sifat dari konstitusi terhadap hakim ternyata dihancurkan sendiri oleh perilaku hakim itu. Demi menjaga integritas dan perilaku hakim ini sangat penting agar hakim dapat dipercaya lagi oleh masyarakat. Kewibawaan kehakiman ditentukan oleh seberapa besar integritas, independensi, dan keteguhan para hakim memegang moral dan janji yang telah didikrarkan. Guna mendapatkan kepercayaan dan simpati masyarakat, menjadi keharusan agar terbangun kelembagaan peradilan yang bebas tidak memihak dan terpecaya dengan meningkatkan kredibilitas dan integritas para hakim melalui proses pencalonan dan pengawasan terhadap kinerja para hakim.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas maka mengenai penyimpangan kode etik hakim dapat diambil rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
a)      Apakah yang menjadi sebab hakim selalu bersifat pada ”the have come on a head” ?
b)      Mengapa peradilan di Indonesia independensi dan kredibilitasnya kurang ?
c)      Apakah yang seharusnya dilakukan hakim agar penegakan hukum di Indonesia bisa berjalan pada kerangka yang benar ?

C. Tujuan
a)       Untuk menjelaskan dan menggambarkan hal-hal yang mempengaruhi hakim cenderung untuk bersifat ”the have come a head”
b)      Adanya makalah ini penulis bertujuan untuk menjelaskan alasan adanya peradilan-peradilan di Indonesia tidak bisa bersifat independent atau bebas dan tidak bisa bersifat kredibilitas semaksimal mungkin.
c)       Untuk memberikan solusi atau strategi, agar hakim bisa bersifat proporsional, jujur, adil, dan bijaksana serta tidak menyimpang dari aturan atau konstitusi yang ada. Dan yang paling penting agar kinerja hakim sekarang tidak hanya memihak pada orang-orang kaya saja.
D. Manfaat
Dengan ditulisnya makalah ini maka berharap agar para pembaca bisa mengetahui alasan yang menjadi sebab telah terjadinya penyimpangan hakim dari kode etik hakim ataupun dari aturan kehakiman lainnya. Selain itu pembaca diharapkan agar lebih mengerti, memahami bahwa sistim dan birokrasi di peradilan Indonesia benar-benar talah hancur. Setelah mengetahui dan memahami akan sistim dan birokrasi itu diharapkan pembaca khusunya mahasiswa sebagai agent of change bisa tergugah pikiran dan ide-ide cemerlangnya untuk merubah atau merombak kode etik hakim yang telah menyimpang dari aturan yang ada. Dengan lahirnya ide-ide tersebut diharapkan bisa mamberikan perubahan pada perilaku hakim agar bisa lebih bijak dalam mengambil tiap keputusan yang diajukan ke pengadilan.

BAB III
KERANGKA TEORI

1. Di dalam kode etik kehormatan hakim ada 5 (lima) sifat hakim yang harus dijalankan sebagaimana mestinya, walaupun dalam prakteknya selalu menyimpang dari aturan – aturan yang ada. Sifat atau perlambang hakim itu adalah :
a)      Kartika (= Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa)
Kartika artinya bercahaya dan bertakwa kepada Tuhan YME dengan agama dan kepercayaanya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
b)      Cakra (= Senjata ampuh dari dewan keadilan yang berfungsi untuk memusnahkan segala kebatilan, kedzaliman, dan ketidakadilan )
Cakra artinya dapat dibedakan menjadi dua macam,
Dalam kedinasan, yaitu :
1.      Adil dan tidak berprasangka atau buruk sebelah
2.      Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
3.      Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani
4.      Sanggup mempertahankan kepada Tuhan
Di luar kedinasan, yaitu :
1.      Saling menghargai, tertib, dan lugas
2.      Berpandangan luas dan saling pengertian.
c)      Candra (= Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam kegelapan yang berarti bijaksana atau berwibawa)
Candra artinya bujaksana atau berwibawa dan ini dapat dibedakan menjadi dua macam,
Dalam kedinasan, yaitu :
1.      Kepribadian, bijaksanan berilmu
2.      Sabar, tegas, disiplin, dan oenuh tanggung jawab

Di luar kedinasan, yaitu :
1.      Dapat dipercaya dan penuh rasa tanggung jawab
2.      Menimbulkan rasa hormat, anggun, dan dipercaya
d)     Sari (= Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat yang berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela)
Sari artinya berbudi luhur atau berkelakuan tidak tercela,terbagi menjadi dua
Di dalam kedinasan , yaitu :
1.      Tawakal, sopan dan ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas
2.      Bersemangat ingin maju dan saling tenggang rasa
Di luar kedinasan, yaitu :
1.      Berhati-hati dalam pergaulan hidup, sopan dan susila
2.      Menyenangkan dalam pergaulan dan tenggang rasa
3.      Berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya
e)      Tirta (= Air yang membersihkan segala kotoran di dunia yang mensyaratkan bahwa seorang hakim harus jujur)   
Tirta artinya jujur, dan dibedakan menjadi dua jenis,
Dalam kedinasan, yaitu :
1.      Jujur, merdeka, dan bebas dari pengaruh siapa pun juga
2.      Sepi ing pamrih dan tabah
Di luar kedinasan, yaitu :
1.      Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
2.      Tidak boleh berjiwa mumpung dan waspada

2. Selain sifat-sifat yang dimiliki hakim, maka hakim juga harus punya sikap dalam kedinasan dalam kategori sikap hakim dalam persidangan, sikap-sikap itu antara lain :
a)              Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku
b)             Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati ataupun antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara.
c)              Harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
d)            Harus menjaga kewibawaan dann kenikmatan persidangan.
               (Pustaka Justisia, 2006 : 155)
3. Menurut teorinya Wiarda ia mengatakan,”Hakim mempunyai masukan sendiri dalam pembentukan hukum dan daripadanya diharapkan agar ia menguji tindakan para pihak berperkara, dan hakim itu punya kekuasaan yang otonom dan dalam masukan itu dari setiap perkara hakim menganggap ada suatu kebebasan, tetapi tidak saja kebebasan  terhadap kekuasaan pelaksana” (Van Gerven, W, 1990 : 23)
4. Berdasarkan UU no. 4 tahun 2004 Dasar Kode Etik Hakim adalah :
a) Kekuasaan kehakiman merdeka yaitu bebas dari campur tangan apapun
b) Peradilan harus berdasarkan ”demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”
c) Kebebasan hakim untuk mengadili
d) Mengadili tidak diskriminasi
e) Azas praduga tak bersalah
f) Menggali,mengikuti, memahami nilai dan hukum yang hidup di masyarakat.   


BAB III
PEMBAHASAN

1. Substansi dan kode etik hakim dalam proses penegakan hukum
a)      Problematik pada aplikasi kode etik hakim  di peradilan
         Hakim harus mempunyai kode etik Profesi, Majelis Kehormatan Kode Etik dan Majelis Kehormatan Non Etik Majelis Impeacment Peradilan.  Dalam komposisi dio Majelis Kehormatan Non Etik serta Majelis Impeacment harus ada wakil dari para penegak hukum lainnya dan prominent publik figur yang mempunyai integritas dan kapabilitas dalam bidang hukum. Kalau ada hakim yang melanggar kode etik, maka Majelis Kehormatan etik mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta Ketua MA untuk mempertimbangkan dan mengesahkan putusannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan pelanggaran, Majelis Kehormatan Etik memeriksanya kemudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya MPR lah yang akan bertindak melakukan pemberhentian. Tindakan hakim yang tidak menyangkut soal etik namun berkaitan dengan kemampuan hakim, penjatuhan sanksi pidana serta tindakan/kelakuan yang bertentangan dengan martabat dan kedudukannya sebagai hakim diperiksa sebagai oleh Majelis Kehormatan Hakim Non Etik. Majelis akan memeriksa, mengambil sikap dan putusan.  Ketua MA akan mengesahkannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan  pelanggaran  itu, maka Majelis Kehormatan akan memeriksanya, kremudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya, MPRlah yang akan bertindak melakukan pemberhentian.
       Berdasarkan analisis historis konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan pelaksanaan sistem politik.  Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
       Berbagai peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman.  Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis dan inkonsistensi dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya.  Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung multi penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement.  Sementara mekanisme berbagai peraturan perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
      Intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa.  Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik.  Dalam rezim iu, peradilan merupakan bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus mnejalankan direktiva dan mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan.  Sehinggga fungsi genuinenya tidak bisa dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna melaksanakan, mempertahankan dan mengamankan program pembangunan dan kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen stabilitas politik dan pendorong pertumbuhan ekonomi.
       Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif.  Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitasa hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan.  Mereka seharusnya tidak boleh mmepengaruhi dan /atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
    b) Usaha-Usaha menuju sifat hakim yang bebas dan mandiri
        Tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum.  Reformasi dibidang kekuasaan kehakiman ditujukan untuk : pertama: menjadikan kekuasan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independen ;kedua: mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum;ketiga:menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;keempat: mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna  mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima:  melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit.
        Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan mandiri, tidak hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung.  Secara organisatoris MA dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah.  Secara politik, kekuasaan kehakiman harus didukung oleh  pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengimplementasikan ketetapan MPR  yaitu TAP MPR No. X / 1998 yang menyatakan perlunya pemisahan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif, sehingga menciptakan adanya check and balances dalam sistem politik.  Jaminan kebebasan pers juga menjadi salah satu prasyarat dan bagian integral yang tak terpisahkan bagi terwujudnya kebebasan kekuasaan kehakiman.
       Indonesia juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekwen prinsip-prinsip universal dari kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman.  Karena itu harus direvisi dan diamandemen segala peraturan perundang-undangan kebijakan dan lembaga -lemnbaga yang bertentangan dengan jiwa dan  prinsip dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. 

2. Keburukan sistim peradilan sebagai penyebab runtuhnya independensi kinerja hakim
Sistim peradilan di Indonesia sekarang sudah diambang kehancuran. Pembantu-pembantu hakim dalam suatu pengadilan seperti jaksa dan advokat sudah tidak lagi menghiraukan kode etiknya. Sungguh ironi sekali seorang hakim dalam ruangan pengadilan sebagai penentu tegaknya keadilan justru cenderung untuk mementingkan dirinya sendiri. Seorang harus bersifat independent dan bebas dari pengaruh siapapun. Realita yang ada sekarang hakim dalam memutuskan suatu perkara cenderung membela pihak-pihak orang yang kaya untuk dimenangkan. Padahal menurut teori Indonesia sebagai negara hukum dan prinsip ”Equality before the law” yaitu adanya persamaan bagi setiap orang di hadapan hukum bertolak dari prinsip ini sistim peradilan yang sudah hancur, dan ditambah lagi tingkah hakim yang sudah menyimpang dari kode etik hakim. Itulah yang menjadi sebab hancurnya birokrasi di pengadilan sebagai runtuhnya independensi hakim dalam memutus perkara. Adanya peredaran uang di ruang pengadilan bisa menjadikan rapuhnya birokrasi peradilan di Indonesia.

3. Kehancuran independent hakim menuju sikap hakim yang ”The have come on a head”.
Dalam memutus setiap perkara prinsip-prinsip independent dan tidak memihak sudah benar-benar tidak ada lagi. Indonesia sebagai negara hukum harus bisa melindungi hak-hak warga negaranya. Persamaan di muka hukum merupakan bentuk aplikasi dari perlindungan hak-hak warga negara. Hal ini sesuai dari isi pasal 28 ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen yang bunyinya sebagai berikut :
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” (Mahkamah Konstitusi Indonesia, 2007 : 47)
Dalam mengadili suatu perkara hakim harus melakukan tiga tindakan :
a) Mengkonstatir tidaknya peristiwa, yaitu melihat, mengakui, dan membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan.
b) Mengkualifikasi peristiwa yaitu melihat, mengakui, dan menilai peristiwa yang telah dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum atau bukan.
c) Mengkonstituir atau memberi konstitusi yaitu menentukan hukumnya dan memberi keadilan (Tutik, Titik Triwulan 2006 : 250)
Berpedoman dari itu semua maka hakim adalah penentu terakhir dalam menciptakan keadilan. Dalam bukunya Sacipto Raharjo Brian 2. Tamanaha mengemukakan adanya ietilah ”The have come on a head”. Inti dan makna dari istilah itu adalah, adanya kecenderungan hakim dalam tiap memutus perkara memihak pada orang-orang kaya dan ada kecenderungan mengabaikan nasib rakyat miskin. Sikap hakim yang seperti inilah dapat menyalahi kode etik yang dimiliki hakim dalam mengimplementasikan kewajibannya di suatu pengadilan.

4. Sebab-sebab hakim selalu bersifat “The have come on a head”
The have come on a head merupakan teori yang menyatakan orang-orang yang kaya akan dimenangkan oleh hakim di pengadila, hakim dapat bersifat seperti ini dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a) Adanya kelemahan iman dan takwa dari hakim, sehingga mudah untuk tergiur akan kemewahan dunia yang berupa uang banyak.
b) Moral dan mental hakim memang sudah benar-benar buruk ditambah lagi hakim yang bersifat seperti itu, ilmu dan wawasan dalam membuat tiap kebijaksanaan atau keputusan masih sangat rendah dan lemah.
c) Hakim tidak mengetahui, mengerti dan memahami kode etik juga harus ia terapkan dalam tiap memutuskan perkara di pengadilan, padahal sikap hakim di suatu pengadilan itu harus bebas dan tidak memihak pada siapapun.
d) Adanya tekanan-tekanan atau mungkin ancaman yang dilakukan oleh terdakwa kepada hakim dengan membawa sejumlah uang yang banyak.
e) Hakim cenderung akan terpengaruh dan masuk dalam lingkaran peredaran uang di pengadilan, dan karena memang rusaknya birokrasi di negara kita.
f) Adanya tindak kejahatan berupa mafia peradilan yang sudah lama hidup dan tumbuh di peradilan Indonesia dan adanya itu dapat disebabkan adanya keburukan sistim dan kegiatan di ruang pengadilan. Sistimnya yaitu ketika hakim sebelum resmi dapat jabatannya, ia mengeluarkan banyak duit untuk memperoleh jabatannya seorang hakim yang ia pikirkan ialah “balik modal”. Dalam hal kegiatannya memang adanya peredaran uang di kalangan pembantu-pembantu hakim jaksa dan advokat (pengacara) sudah bisa dihindarkan.
g) Adanya kelambanan reformasi hukum dan kemauan politik dari aparat penegakan hukum ; untuk memperbarui sistim peradilan di Indonesia.
Menurut pendapat Daro Param Cumaraswamy pelapor khusus dari PBB
(www. Transparansi.or.id )

5. Solusi agar hakim berada pada jalur kode etik profesi yang benar.
Memang secara prosedural diantara hakim yang menyimpang dari kode etik profesi masih ada sebagian yang bisa memposisikan pada jalur yang benar, sebagai contoh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan mantan Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo (Tempo, Kamis 29 Mei 2008 : hal. 6).
Bagaimanapun juga sikap hakim yang menyimpang dari kode etiknya harus dirubah, solusinya adalah sebagai berikut :
a) Hakim harus jujur, independent dan tidak memihak atau melakukan disdriminasi dalam tiap memutus suatu perkara.
b) Hakim tidak boleh menerima hadiah dari pihak manapun, harus bersifat jujur dan adil ketika memutus suatu perkara
c) Sesuai lambang berupa candra, maka harus dapat bijaksana dan tegas untuk membuat keadilan di ruang pengadilan.
d) Hakim harus selalu meningkatkan iman dan takwanya kepada Tuhan YME, agar tidak dapat terpengaruh akan kemewahan duniawi berupa uang
e) Hakim harus lebih memperdalam ilmu dan wawasannya mengenai kehakiman agar keadilan yang diciptakan dapat sesuai seperti yang diinginkan masyarakat.
f) Hakim tidak boleh terpengaruh akan adanya mafia peradilan peredaran-peredaran uang di pengadilan ataupun tidak boleh terpengaruh dari tekanan dan ancaman dari terdakwa.
g) Hal yang paling penting adalah hakim harus berpegang teguh pada kode etik profesi seorang hakim agar tiap keputusan hakim bisa adil.


BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Ternyata hakim di Indonesia sekarang dalam memutus tiap perkara di pengadilan cenderung memihak orang-orang kaya untuk dimenangkan kasusnya. Hakim sebagai benteng terakhir untuk menciptakan keadilan realitanya masih ada unsur diskriminasi. Tindakan hakim sekarang telah menyimpang dari aturan ataupun kode etik profesi seorang hakim yang semestinya memberi keadilan kepada terdakwa. Sikap hakim yang  ”the have come on a head” telah menjadi salah satu faktor dari keruntuhan sistim  birokrasi di peradilan Indonesia.
 Peredaran uang yang mengarah ke mafia peradilan juga bisa menjadi sebab hakim dapat memenangkan pihak orang-orang kaya. Agar hakim berada pada jalur kode etik yang benar, seharusnya bersifat jujur, bebas dari pengaruh apapun, tidak memihak dan tegas dalam memutus perkara. Jika penyimpangan kode etik hakim ini terus berlan jut maka rasa kepercayaan masyarakat terhadap hakim dan sistim peradilan di Indonesia akan hancur bahkan tidak akan pernah ada lagi. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah akan terjadi Eigenricthing (main hakim sendiri) di kehidupan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Buku catatan selama kuliah Etika Profesi pada sub bab kode etik hakim
Pustaka Justisia. 2006. Himpunan Etika Profesi. Jogjakarta. Pustaka Justisia
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
K. Lubis Suhrawardi. 2003. Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka
Gerven, W. Van. Alih bahasa Hartini Tranggono. 1990. Kebijaksanaan hakim. Jakarta : Erlangga. 

SURAT KABAR
Tempo, kamis 29 Mei 2008, hal.8

INTERNET
http //:www. Transparansi. com
http //:www. Pnsleman. com
       

No comments:

Designed By Mas Say