(disampaikan pada diskusi (I) S2 UII
Yogyakarta angkatan ke-28 di Paku Alaman tgl 6 Mei 2012)
(By: Zuhri Sayfudin, S.H
”Mas Say”)
Fenomena
hukum yang menarik untuk dikupas dan dikaji secara dalam terkait Kepmen BUMN No.236/MBU/2011, karena
menimbulkan tarik ulur hukum antara dialektika idealis dan dialektika realis
baik dalam tataran teoretis maupun praktis. Perdebatan hukum juga timbul antara
kaum akademisi, praktisi dan politisi. Perdebatan merupakan hal wajar dan patut
dicermati dari berbagai aspek ilmu hukum. Bagaimana korelasi dan pertentangan Keputusan
Mentri (Kepmen) tersebut dari aspek politik, tata negara, perdata, pidana dan Hak
Asasi Manusia (HAM) ??? Saya sedikit akan mencoba menganalisis dengan segala
keterbatasan ilmu dan akan mencoba mulai sedikit belajar dalam mencermati
problematik hukum di negeri ini. Inilah sedikit alur berpikir dan mind site saya sebagai pemaparan secara
general terlebih dahulu yaitu sebagai berikut:
Dalam perspektif
politik
Sedikit mengutip pernyataan guru besar Prof. Mahfud MD
dalam sebuah bukunya yang berjudul “pergulatan
politik dan hukum di Indonesia” (1999:1) beliau menyatakan “konfigurasi politik berkembang melalui
tolak tarik antara demokratisasi dan otoritarianisme, sedangkan karakter produk
hukum berkembang melalui tolak tarik antara responsif dan konservatif”. Bagaimanakah
legal policy akan ikut mewarnai
polemik konstelasi politik ini?. politik dan hukum ibarat sebuah rel dan kereta
yang tidak mungkin akan terpisahkan. Jika bertanya politik atau hukum dulu yang
lahir ibarat mempertanyakan ayam atau telur dulu yang ada. Pertempuran politik
ini lah yang terjadi di negeri ini dan tidak akan pernah berujung dengan benang
merah yang pasti. Berawal dari rasa keberatan dari Aria Bima Komisi VI Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi partai oposisi di pemerintahan terkait hak
interpelasi yang akan diajukan terhadap pemerintah. Hal ini telah berujung terhadap
terjadinya kegoncangan dalam peta politik di pemerintah. Dalam Pasal 20A ayat (2)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang disebutkan adanya hak
interpelasi sebagai bingkai legalitas formal ketika hak itu digulirkan pada
pemerintah. Apakah komposisi antara partai koalisi sebanyak 423 dan partai oposisi
sebanyak 137 akan goyah dan berubah?. Hal ini masih menjadi dilema
diantara internal partai. Walaupun lobi-lobi politik dan deal-dealannya akan
berimplikasi terkait setiap kebijakan yang akan diambil. Sedikit mempertanyakan
apakah hak interpelasi ini mempunyai daya paksa? ketika pemerintah tidak mau menghadiri
undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?.
Saya
coba mengutip lagi dalam bukunya Prof Budi Winarno yang berjudul “sistem politik Indonesia era reformasi”
(2007: 5). David Easton pernah mengatakan “bahwa
dalam mengidentifikasi sistem politik antar unit-unit politik dan memisahkannya
diperlukan dua hal yaitu politic unit dan politic boundry”. Saya akan
mencobati mencermati korelasi dan sistem transaksional perpolitikan terkait hak
interpelasi ini. Partai Demokrat adalah satu-satunya partai yang berada di
garda paling depan dalam mendukung kebijakan Dahlan Iskan. Kepentingannya sebenarnya apa?
memang masih tabu, akan tetapi sederhananya ketika ada pihak yang mendukung
kebijakan pemerintah pasti akan dibela denga segala pasukan yang dipunyainya.
Kita juga tidak pernah tahu jika memang partai tersebut akan memanfaatkan
moment pemilu buat memainkan aliran dana dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
guna mengggemukan pundi-pundi dana partai. Partai koalisi yang lain bagaiamana? partai
yang berbasis agama seperti PAN,PKB,PPP dan PKS kelihatannya tidak akan ambil
pusing terkait keluarnya kebijakan tersebut. Mereka lebih pada fokus pada
pemilu tahun 2014 dengan mengamankan suara dan memanfaatkan floating mass dari berbagai basis massa
yang mereka miliki di masing-masing daerah dengan memanfaatkan para
ideolog-ideolog yang dipunyai, karena sistem Parlementary Treshold (PT) 3,5%
dirasa sangat memberatkan. Dengan demikian ketika dalam menyamakan frame suara
pasti ikut pada pemerintah. Lalu bagaimana dengan Partai Golkar?
partai ini lah yang menurut saya akan banyak mengambil pertimbangan politik.
Hal ini disebabkan karena kader-kadernya lebih banyak berkecimpung dalam
birokrasi perusahaan. Mereka tidak akan mau kecolongan ketika direksi yang
dipilih tidak memihak dan berseberangan dengan perusahaannya. Partai ini pasti
akan bermain cantik lewat lobi-lobi internal dengan mengamankan Sektretariat
Bersama (Setgab) yang berada dalam genggamannya. Strategis pengamanan politik
pasti akan diambil ketika akan memainkan dana lewat pajak dan aliran dana dari
Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dilema dan kegalauan sekarang
tengah menghinggapi partai ini dengan tetap akan memainkan ritme politik yang
cantik, tetap professional dan tidak akan frontal. Kemudian partai oposisi seperti
PDI-P, Partai Hanura dan Partai Gerindra akan seperti apa?. Jalan
satu-satunya adalah dengan tetap mengajukan hak interpelasi agar goal setting
yang diharapkan terealisasi. Kepentingan mereka akan tetap sama dengan gaya
politik yang frontal dengan jalan hak interpelasi dirasa akan mengamankan
kepentingan para investor sebagai penyumbang dana dari perusahaan pendukung
mereka. Dalam hal inilah politic unit
akan bervariable dengan komposis antara partai pemerintah dan partai oposisi.
Terkait politic boundry akan
dependent dengan batas kepentingan dari masing-masing partai. Mari lihat saja
perkembangan pertempuran selanjutnya apakah politik transaksional akan tetap
berlaku?apakah hak interpelasi akan chaos
di tengah jalan?
Parameter
terkait apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan pemerintah ketika menggapi
hak interpelasi ini juga belum jelas. Ini akan membuka celah setting politik
dari pemerintah buat mengakali kebodohan dari anggota parlemen. Misalkan juga ketika
pemerintah sudah memberikan keterangan dan pertanggung jawaban kekuatan
mengikat dan hukuman apa yang seharusnya diberikan terhadap pemerintah juga
tidak ada kejelasan. Menurut saya ketidak jelasan ini juga tidak terlepas
dari konsep negara kita yang tidak jelas
juga. Apakah kita menganut konsep bikameral atau trikameral bukan dan masih
rancu?. Presidensial atau kah parlementer juga bukan dan masih semu?. tidak separation of power tapi distribution of power juga bukan masih
kamuflase? demokratisasi atau kah otoritarianisme juga bukan masih overlapping?. Konsep hukum yang selalu
berada di tengah-tengah dengan jenis kelamin tidak jelas alias hermafrodit telah menimbulkan konsep “negara
yang bukan-bukan”. Akan tetapi jangan sampai terjadi “negara
jadi-jadian” saja.
Menurut
saya hak angket lah yang paling tepat buat menyikapi kasus ini. Kenapa saya
berpendapat seperti ini? karena ketika menggunakan hak angket upaya penyelidikan
dan penyidikan terhadap motif dengan dikeluarkannya kebijakan ini akan mempuyai
mekanisme yang lebih jelas dan paling penting adalah mempunyai daya paksa hukum
mengikat. Siapakah yang sebenarnya berada di belakang Dahlah Iskan? apakah
memang partai?atau kah oknum partai? atau kah dengan kebijakan ini hanya
dimanfaatkan oleh partai yang akan mengambil kepentingan?. Perlu diingat juga
penunjukan direksi, komisaris dan pejabat eselon I ini juga akan menimbulkan
politisasi yang harus tetap diwaspadai. Mereka apakah dari partai? dekat dengan
partai atau kah oknum partai?. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga akan
melibatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan
kondisi seperti ini jangan sampai justru akan menimbulkan celah korupsi melalui
kebocoran keuangan negara.
Dalam perspektif hukum
tata negara
Berangkat dari logika ketatanegaraan memang dalam
problematik normatif baik dalam konstitusi atau pun turunannya. Dalam
logika ketatanegaraan sebenarnya posisi aturan ini terletak dimana?
Perlu diingat bahwa dalam historis perjalanan bangsa sempat berlaku TAP
MPRS/No.XX/MPRS/1966 yang mengakomodir tentang legalitas peraturan mentri yang
berada dibawah keputusan presiden. Kemudian dengan TAP MPR/No.III/MPR/2000 legalitas
keputusan mentri ini hilang lagi. Bahkan sampai dengan adanya UU No.10 Tahun
2004 sebagaimana diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang peraturan
perundang-undangan legalitas keputusan mentri ini juga tidak diatur dan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Cuma dalam konteks lain dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jelas bahwa seorang mentri wajib dan tunduk hanya kepada
presiden. Lalu bagaimana keputusan ini muncul?memang secara resmi belum ada
pernyataan dari pemerintah terhadap dukungan terkait pemberlakuan keputusan
ini. Akan tetapi Dahlan Iskan berapriori dan berdiskresi dengan legalitas dari Pasal
8 UU No. 39 Tahun 2008 tentang kementrian negara terkait fungsi mentri sebagai
representatif dari pemerintah ketika mengambil sebuah kebijakan. Dalam konteks
pengambilan kebijakan dengan pertimbangan pemangkasan agar birokrasi yang
berbelit-belit dapat dihindari itu sah-sah saja. Akan tetapi ada tidak jaminan
jika Sang Mentri professional dalam penunjukan direksi? jika dapat maka konsep moment opname dari pertimbangan
diskresinya pasti dimaklumi dan mendapat apresiasi dengan terobosan hukum yang
dilakukan. Tidak cuma itu paradigm hukum untuk manusia juga akan dapat
terealisasi. Akan tetapi jika terjadi sebaliknya?jelas justru akan merusak
tatanan sistem hukum yang telah menjadi konsep dasar di negeri ini. Dalam asas lex posterior pun juga telah dilanggar.
Muncul sebuah wacana aturan ini akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) agar
legalitasnya dapat terbukti benar atau salah. Mari kita tunggu saja hasilnya
akan seperti apa? Apakah dapat dibatalkan? karena bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi atau justru aturan yang diatasnya justru harus dihapus?karena aturan
dibawahnya lebih baik baik secara konsep dan substansinya. Terkait hal ini pro
dan kontra dapat diperdebatkan dalam forum lain. Ini hanya wacana awal saja. Polemik
juga jika keputusan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?
terkait subyek dan obyek yang ada. Hal ini dapat iya dan tidak tergantung dari
perspektif mana perdebatan akan dimunculkan. Sekali lagi ini hanya wacana awal
saya belum pada penjabaran lebih detail lagi. Hal yang mungkin dalam
problematik lain adalah jika deadlock
di taran Mahkamah Agung (MA) atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menutup
kemungkinan akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa lembaga
negara. Bagaimanakah legal opinion
dan legal science yang akan
dikonstruksi?. Hal paling penting adalah ketika terjadi perdebatan
ketatanegaraan seperti ini harus dimaknai secara holistik jangan parsial
saja jangan sampai ada distorsi dalam
pemaknaan konteks hukum agar dikotomi dalam sistem ketatanegaraan dapat
terminimalisir.
Dalam perspektif hukum perdata
Proses
pendelegasian terhadap direksi dan komisaris merupakan konsep yang terdapat
dalam sistem keperdataan di Indonesia. Bagaimanakah konsepsi legalnya?
Kewenangan terhadap pengangkatan direksi merupakan hak mutlak dari Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), akan tetapi dalam aturan ini merupakan tanpa adanya
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bagaimankah legalitas?dalam konsep memang
telah menembus aturan dogma hukum, tapi dalam tataran praktis digunakan
konsepsi hukum adalah untuk manusia dan demi mengurangi sistem birokrasi yang
justru memang memberikan banyak kesulitan. Penentu dan sebagai wasit utamanya
adalah keprofesionalisan dari sang mentri sendiri. Apakah hasilnya mari nanti
kita buktikan bersama dan jangan sampai ber apriori serta spekulasi atau pun
menjustifikasi akan sesuatu yang belum kongkrit kebenarannya.
Konsep
hukum perdata dapat dilihat dari UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT) disebutkan dalam Pasal 97 ayat (3) tentang tanggung jawab jika direksi
lalai atau pun lupa akan pelaksanaan yang telah dijalankan. Dalam Pasal 98 ayat
(1) disebutkan bahwa direksi dapat bertanggung penuh baik di dalam atau pun di
luar pengadilan. Perlu kita cermati bersama dalam Pasal 1 adanya tanggung jawab
karena merupakan subyek hukum yang ada korelasinya terkait hak dan kewajiban
yang telah melekat. Ingat juga konsepsi yang terdapat dalam Pasal 1365 BW
terkait adanya perbuatan melawan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
gugatan ganti rugi. Perlu dicermati juga dalam UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
apa sebenarnya korelasi dan implikasinya? buat mengawali dapat dilihat terkait paradigma
privatisasi. Dalam 4 ayat (3) dinyatakan tentang modal yang didapatkan memang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ingat bahwa
substansi dari permodalannya adalah terkait kekayaan negara yang terpisahkan
(dapat dirunut terkait historis dari PP No.5 Tahun 1990 tentang adanya
privatisasi yang pertama dan adanya transfer dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
ke pasal modal).
Dalam perspektif hukum
pidana
Korelasi dengan
jeratan hukum pidana memang tidak mudah ketika harus membenturkan konsep
korporasi dengan kepentingan pribadi. Akan tetapi saya akan berangkat dengan piranti
dan dogma hukum berupa strict liability.
Dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) disebutkan dalam
Pasal 97 ayat (3) tentang tanggung jawab jika direksi lalai atau pun lupa akan
pelaksanaan yang telah dijalankan. Dalam Pasal 98 ayat (1) disebutkan bahwa seorang
direksi dapat bertanggung penuh baik di dalam atau pun di luar pengadilan. Jika
saya cermati jika terdapat kelalaian atau pun unsur kesengajaan dapat dipertanggung
jawabkan secara pidana. Selain itu juga perlu dicermati bersama dalam Pasal 15
UU Darurat No.7 Tahun 1955 ketika oknum dalam sebuah birokrasi ada beberapa
yang wajib dan harus ikut bertanggung jawab yaitu orang yang memberkan
perintah, badan atau pun korporasi itu sendiri dan atau pun kedua-duanya.
Dengan demikian subyek hukum tersebut dapat bertanggung jawab secara pidana.
Arti perbuatan melawan hukum juga dapat dilihat dari aspek perbuatannya yang
merupakan salah satu unsur dapat dipidana tidaknya seseorang.
Dalam
bukunya Moeljatno yang berjudul “azas-azas
hukum pidana” (1993: 54) disebutkan bahwa “tindak pidana adalah perbuatan yang suatu oleh peraturan hukum
dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang”. Dari artian ini dapat diambil sebuah ontologi
hukumnya berupa kesalahan person ketika mengambil sebuah kebijakan. Adanya
perbuatan, kesalahan dan kesengajaan merupakan parameter seseorang dapat
dipidanakan. Hal ini akan saya perkuat dengan sebuah paradigma hukum dalam
bukunya Adami Chazawi yang berjudul “hukum
permbuktian tindak pidana korupsi” (2008: 312). Dalam hal hendak
menganalisis hukum tentang perbuatan salah administrasi dalam hubungannya
dengan korupsi, kiranya dapat dipedomi sebagai berikut: Adanya kesalahan
administrasi murni, maksudnya adalah si pembuat khilaf (culpoos) tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan
ketentuan yang ada mengenai prosedur suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf
ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah
perbuatan administrasi semacam ini ini bukan korupsi. Pengembalian atau
pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara administrative pula, misalnya
dengan mencabut, membatalkan, atau melalui klausula pembetulan sebagaimana
mestinya. Si pembuat khilaf (culpoos)
dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu yang dari pekerjaan ini membawa
kerugian negara tertentu. Adanya perbuatan melawan hukum sampai merugikan
korporasi padahal korporasi tersebut masih berbentuk badan hukum milik negara
dan modalnya pun masih menjadi tanggung jawab negara lewat Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Seorang direksi memang mempunyai tanggung penuh
terhadap setiap pengambil kebijakan yang akan dan telah diputuskan. Ada tidak
proses penyalahgunaan wewenang yang sampai merugikan keuangan negara?. Dalam Pasal
2 dan 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jelas disebutkan konsepsi perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Dua korelasi dan harmonisasi hukum ini dapat digunakan untuk menjerat para
pelaku apakah direksi yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pengambilan
kebijakan dapat dipidana atau tidak. Hal yang perlu dipertanyakan lagi adalah
kebijakan publik yang terindikasi adanya unsur tindak pidana apakah dapat
dipidanakan?. Hal ini memang masih kontroversi dan dapat diterapkan
dengan berbeagai pendekatan dalam menjerat dalam pemidanaan. Menurut saya
parameter yang digunakan adalah tergantung waktu, tempat, obyek hukum yang
telah dirugikan, adanya unsure kesengajaan dan sampai merugikan keuangan negara
merupakan tolak ukur dapat dipidana atau tidak.
Dalam perspektif Hak
Asasi Manusia (HAM)
Dalam konstitusi pasti ada tahap proses penyelenggaraan
negara dan pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga sipil. Terkait
keputusan mentri ini sejauh mana sebenarnya penyimpangan hak warga sipil.
Ketika penunjukan direksi dan komisaris tidak melibatkan proses dan mekanisme
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kejadian ini telah mengebiri hak-hak
dari anggota. Hak mereka dirampas dan cuma dimanfaatkan oleh golongan elit
tertentu saja. Berawal dari Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 disebutkan bahwa “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Jelas dengan konsep ini ketika hak-hak mereka dilanggar dan tidak diberikan
ruang untuk melaksanakan hak sekaligus kewajiban yang telah melekat pada
dirinya. Ketika direksi yang ditunjuk tidak memihak pada keadilan dan
anggotanya, maka mereka dapat dikelurakan secara sepihak oleh direksi. Dengan
demikian pekerjaan yang seharusnya akan didapat akan hilang akibat tindakan
yang sewenang-wenang tersebut.
Dalam
bukunya David Foryste yang berjudul “Hak Asasi Manusia dan Politik Dunia” (1978:1)
menyebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah suatu bentuk bentuk dari cita-cita hukum yang berasal daru debat umum
mengenai struktur dan organisasi yang dikehendaki”. Dalam dogma dan
paradigma ini jelas terlihat bahwa kehendak para pembuat hukum di negeri ini
harus dapat merealisasikan cita hukum. Hal ini kan berimplikasi cita hukum yang
seperti apa? jika dengan dikelurkannya kebijkan tersebut justru akan
menghilngkan hak warga sipil. Dalam Pasal 28A UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 disebutkan bahwa “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Ketika hak-hak untuk hidup (the right to
life) dari anggota diperusahaan telah diabaikan, maka kelangsungan
kehidupan mereka juga akan terancam. Bagaimana mereka akan bertahan hidup
ketika ada pengekangan terhadap kinerja mereka? Dalam pemaknaan ketika pihak direksi
tidak sejalan dengan visi dan misi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau justru
dalam ruangan kerja akan ada pemaksaan kehendak juga.
Demikianlah
sedikit pemaparan polemik hukum di negeri ini yang saya gunakan sebagai bahan
dalam forum diskusi ini. Pemikiran dan pemahaman hukum yang masih terbatas dari
saya ini mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai referensi, bahan memberikan
masukan dan kritikan serta saling berargumentasi
dalam forum ini. Terima kasih atas perhatian dan kepercayaannya. Salam das rechts bildende wirkung des machts……………