Kewenangan
MK ada di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 atau sama dengan dalam Pasal 10
ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. MK memiliki visi “tegaknya
konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat”.
Kewenangan yang sering jadi permainan antara kekuasaan dan uang
adalah pada “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Tidak hanya deal-dealan uang dan kekuasaan tapi jual beli putusan
akan rentang terjadi. Cost
politic
yang tinggi disemua jenjang pemilihan akan mendorong semua pihak yang
kalah dalam pemilu akan bermain pada tingkat pemberi keputusan agar
sesuai dengan harapannya. Mengingat putusan dari MK adalah final dan
mengikat telah menjadikan lembaga ini super
body
dan tidak boleh ada lembaga lain yang mengawasi. Putusannya pun tidak
boleh diganggu gugat dan tidak ada upaya hukum yang dapat
membatalkannya. Bahkan dalam sejarah ketika ada upaya dari pemerintah
dengan Keputusan Presiden pun mental tidak ada artinya. Penangkapan
Akil Mochtar sebagai ketua MK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang
tertangkap tangan menerima suap telah menjadikan kewibawaan MK
runtuh. Lembaga yang paling dipercaya oleh publik ini menjadi sejarah
buruk dalam penegakan hukum di negeri ini. Proses hukum dan kevakuman
kepemimpinan MK akan menjadikan berjalannya putusan-putusan di MK
tidak berkualitas. Kita semua masih berharap bahwa MK akan dapat
bangkit kembali dan menjadi lembaga yang dipercaya oleh publik. Jika
kita merasa putra dan putri terbaik bangsa ini mari beripikir buat
menata ulang negeri ini agar tidak karam oleh para penjahat di negeri
ini. Mari bersama-sama berbuat demi umat, bangsa dan negara. Ini
sedikit ulasan saya akan kegelisahan tentang problemtik
ketatanegaraan di MK.
Konstelasi
politik dalam drama tangkap tangan AM
Dalam
sejarah MK ada 3 orang yang termasuk hakim konstitusi dari unsur
partai politik. Mahfud MD dari PKB, Akil Mochtar dari Partai Golkar,
dan Patrialis Akbar dari PAN. Terlepas dari dikotomi hakim konstitusi
boleh dan tidaknya dari partai politik tidak akan menjadi persoalan
yang terpenting dapat bekerja profesional dan dapat menjaga
integritas serta moralitas. Perlu jadi pertimbangan bahwa jaringan
dari partai politik dan pihak mana yang memiliki kepentingan itu lah
yang akan dapat menghancurkan integritas seseorang bahkan negarawan
dari hakim konstitusi. AM ketua MK yang tertangkap tangan oleh KPK di
kediamannya telah mengindikasikan apa dan bagamaina itu bisa terjadi.
Tidak hanya publik yang kecewa tapi 8 hakim konstitusi lainnya juga
mengalami kekecewaan tidak percaya AM merima suap sekitar 3 M. CN
dari komisi II DPR RI dari fraksi partai Golkar dan seorang
pengusaha. Kenapa harus dari Golkar dan melibatkan pengusaha?.Perlu
diingat di tempat lain juga di tangkap Bupati dan assistennya dari
Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ia bukan dari Golkar melainkan dari
PDI-P.Kenapa harus tetap melakukan lobi-lobi antar partai. Koalisi di
tingkat pusat berbeda dengan koalisi di tingkat bawah. Baik dari segi
fungsional maupun gaya politiknya. Kabupaten Gunung Mas menyimpan
banyak tambang dan SDA yang melimpah. Investor dan pengusaha akan
senang bermain proyek disana. Legalitas dari Peraturan Kepala Daerah,
Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan Daerah akan mampu memainkan
keuangan daerah lewat APBD dengan leluasa. Kepala daerah sebagai
Penerima Kuasa Anggaran (Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang
pengadaan barang dan/atau jasa) dari instansi akan memiliki otoritas
tertinggi ketika dengan pihak siapa yang berhak mengadakan proyek
atau pun dalam penggunaan keuangan daerah. Dengan demikian akan ada
pertarungan kuat untuk memperbutkan kursi kepala daerah. AM walau
sudah keluar dar partai pasti masih memiki jaringan di internalnya.
Walau tidak melibatkan secara kelembagaan partai oknum yang melihat
kekuasaan AM pasti tidak tinggal diam. Terbukti CN yang satu dalam
perjuangan yang berhasil melakukan lobi terhadapnya. Bahkan lewat
perantara pengusaha dan para kuasa hukumnya mampu berkomunikasi
dengan baik antar partai. Memanfaatkan celah dana dari proyek atau
pun janji jika kepala daerah dapat dipegang merupakan tawaran yang
pantas dipertimbangkan oleh para pengusaha. Makanya mereka akan
mengeluarkan duit berapa pun besarnya. Secara politis CN adalah kader
dari Golkar yang masih sah. Boleh langsung di PAW atau pun masih akan
menunggu proses hukum selanjutnya. Semua ada pada kebijakan internal
partai. Jangan sampai ada kader partai bisa juga aka menyeret yang
lain, karena tidak pernah tahu akan kerjasama dengan siapa saja.
Deal-dealan di tingkat elit partai politik akan terjadi. Saling
menyelamatkan, saling sandra atau kah saling mengorbankan dan paling
ironi adalah ada yang dikorbankan untuk menutupi yang lain. Bisa juga
AM dijebak dan ingin mengancurkan nama MK karena dendam dan karena
ingin mengambil kepentingan bisa saja terjadi.
Dilematik
kepemimpinan di MK
Berdasarkan UU No. 8
Tahun 2011 tentang MK di Pasal 18 (1) disebutkan bahwa hakim
konstitusi ada 9 orang dan dipilih masing-masing 3 orang yaitu dari
MA, DPR, Presiden. Hal ini hampir sama dengan isi Pasal 4 ayat (1)
bahwa hakim konstitusi ada 9 orang dengan pengesahan secara formal
lewat Keputusan Presiden. Lalu bagaimana jika terjadi kekosongan
salah satu hakim konstitusi atau bahkan dari ketuanya langsung karena
alasan tertentu dan jumlahnya tidak lagi 9 orang?. Untuk mengawalinya
saya mencoba secara dogmatis alasan itu secara logisnya adalah dengan
diberhentikan. Dalam makna diberhentikan ini bisa dengan secara
hormat dan tidak hormat. Pemberhentian secara hormat seperti
tercantum pada Pasal 23 ayat (1) yaitu kerena meninggal dunia,
mengundurkan diri, usia telah 70 tahun, masa jabatan telah habis, dan
sakit jasmani atau rohani selama 3 bulan berturut-turut. Selanjutnya
pada ayat (2) hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat
yaitu dipidana yang berkekuatan hukum tetap, melakukan perbuatan
tercela, tidak hadir sidang selama 5 kali tanpa alasan, melanggar
sumpah atau janji jabatan, dengan sengaja menghambat proses
mengadili, memeriksa, dan memutus atas kerja sama dengan DPR terhadap
perbuatan tercela, rangkap jabatan, tidak memenuhi syarat lagi
sebagai hakim konstitusi, dan melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi.Lalu bagaimana jika hakim konstitusi bahkan
ketua MK AM tertangkap tangan melakukan tindakan pidana dan tercela?
Hal tersebut dapat dicermati lewat Pasal 6 ayat (3) UU MK hakim
konstitusi langsung dapat ditindak karena tertangkap tangan oleh
lembaga penegak hukum. Dalam aturan tersebut bisa dari Kepolisian dan
Kejaksaan setelah mendapat persetujuan tertulis dari presiden, tapi
jika dengan 2 lembaga penegak hukum itu asalkan tidak tertangkap
tangan. Berhubung yang melakukan tangkap tangan adalah KPK maka yang
berhak melakukan tindakan selanjutnya adalah KPK dengan kewenangan
domain dan yuridisnya untuk menjerat lebih lanjut dengan UU No.30
Tahun 2002 dengan KPK dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keadaan dalam ketata
negaraan kepemimpinan MK seperti apa?Status ketua MK sudah jadi
tersangka, tapi ia masih resmi sebagai ketua MK yang sah dan masih
akan menjalani proses lebih lanjut. Dalam Pasal 4 ayat (4) UU MK
disebutkan bahwa ketua dan wakil ketua MK telah menjadi kewenangan
internal MK yaitu melalui rapat internal yang dipimpin oleh hakim
konstitusi yang usianya paling tua. Selanjutnya dalam ayat (4a)
minimal harus dihadiri oleh 7 hakim konstitusi agar memenuhi kuorum.
Pada pemilihan beberapa bulan kemarin AM terpilih sebagai ketua MK
dengan voting sebanyak 7 suara dan Hamdan.Z sebagai wakil ketua.
Dengan tidak dapat bekerjanya ketua MK dalam menjalan tugas dan
wewenangnya. Tidak disalahkan jika dari 8 hakim konstitusi melakukan
rapat internal dan memilih kembali ketuanya atau kah wakil ketua
sekarang bisa langsung menjadi ketua tentunya dengan persetujuan
hakim konstitusi yang lainnya. Dalam keadaan ini jika terjadi
dissenting
opinion
akan mengalami kesulitan dan tidak akan menghasilkan putusan yang
berkualitas. Terobosan baru dan memang itu harus dilakukan pihak
internal MK telah membentuk Mejelis Kehormatan (berdasarkan Pasal 27A
ayat (2)) yang terdiri dari pihak internal hakim konstitusi
(Harjono), akademisi (Mahfud MD dan Hikmahanto), dari pihak lembaga
negara lain (KY) Abas Said, dan pihak MA (mantan ketua MA Bagir
Manan). Majelis Kehormatan ini juga terkait tugas dan wewenangnya
tidak ada kejelasan. Semua itu akan dapat ditentukan dengan diadakan
rapat bersama dengan pihak internal MK dengan mengeluarkan PMK dan
Majelis Kehormatan ini dapat bekerja secara independent dan
transparan. Majelis ini hanya berpedoman pada aturan MK sebelumnya
berupa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mereka tidak memiliki
kewenangan bebas. Jika ditelaah lebih lanjut unsur DPR dan pemerintah
berdasarkan aturan tersebut maka tidak ada.
Ada beberapa pilihan
yang dapat diambil agar legalitas Keputusan Presiden (mengingat ini
adalah legalitas tertinggi dalam status hakim konstitusi) yaitu:
Pertama,
menunggu hasil atas kinerja dari Majelis Kehormatan (Pasal 27A ayat
(5) UU MK) apa pun sanksi yang akan diberikan pada AM apakah
diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara sampai ada
keputusan pengadilan yang tetap atau hanya teguran tertulis.
Pemberhentian dengan tidak hormat adalah lebih tepat. Kata “tidak
hormat” memang tidak ada, akan tetapi Majelis Kehormatan harus
menafsirkan dan melihat realita yang terjadi. Baru setelah itu
hasilnya diserahkan pada presiden agar dapat dijadikan sebagai
pertimbangan. Kedua,
pilihan lain adalah karena dari 8 hakim konstitusi masih memiliki
otoritas tertinggi dalam menentukan keberlangsungan baik dalam
jenjang fungsional dan struktural maka dapat memberikan surat
permintaan pada presiden atas nama MK agar presiden sendiri yang akan
menentukan nasib AM ini.
Lalu bagaimana
tindak lanjut atas kekosongan atas ketua MK sekarang? AM hanya
diberlakukan perpanjangan jabatan dan tidak lagi mengikuti fit
and proper
test lagi. Jejak rekam pasca jadi hakim konstitusi tidak ada kontrol
dan evaluasinya apakah masih pantas atau tidak. Logisnya tidak boleh
hakim konstitusi setelah paripurna masa jabatan hanya perpanjangan
dengan alasan masih percaya dan pantas melanjutkan jabatannya tidak
logis diberlakukan di Indonesia yang telah menjunjung tinggi hukum
diatas segala-galanya. Semua mekanisme harus melalui aturan agar
paling tidak meminimalisir dampak negatif yang ada. Tidak hanya AM
hakim konstitusi lainnya juga mengalami masa perpanjangan. Menurut
saya ada pilihan yang harus segera di tindak lanjuti yaitu sebagai
berikut: Pertama,
Secara dogma AM terpilih dari Komisi III DPR sejak tahun 2008 lalu,
maka pihak DPR wajib melakukan fit
and proper test
untuk memilih kembali hakim konstitusi. DPR harus bertanggung jawab
terhadap publik atas kesalahan yang terlah diperbuat. Perlu dicermati
juga atas standarisasi akan pemilihan dari DPR ini kurang jelas dan
masih masih intervensi politik. Deal-dealan dan konstelasi politik
masih terlihat jelas. Jual beli suara akan rentan terjadi. DPR harus
membuat aturan yang lebih rigit dan ketat agar hakim konstitusi yang
terpilih dapat lebih berkualitas baik dari segi negarawan dan
moralitasnya. Perlu dipertimbangkan juga calon dari partai politik
harus ada seleksi dan mekanisme tersendiri; Kedua,
Jika Keputusan Presiden sudah keluar pihak lembaga kepresidenan juga
memiliki otoritas untuk mengambil alih kekosongan tersebut untuk
segera dipilih dengan Keputusan Presiden sebagaimana telah diambil
kebijakan dalam pemilihan Patrialis Akbar kemarin. Ketiga,
mengutip pendapat dari Adnan Buyung dan Ketua PPP maka 8 hakim
konstitusi sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik harus
mengundurkan diri. Hal ini menurut saya sah dan etis, akan tetapi
perlu dipertimbangkan juga bahwa jika hakim konstitusi mengundurkan
diri maka justru kekosongan akan makin menimbulkan ketidak jelasan
akan penanganan perkara-perkara yang ada di MK. Apa lagi jika ada
usulan pembentukan panitia bersama antara presiden, MA, dan DPR. Hal
ini tentunya memerlukan waktu dan perlu dikaji tentang prosedur dan
mekanismenya.
Bentuk
pengawasan terhadap hakim MK
MK adalah lembaga
super
body
karena amanah konstitusi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah
mengamanahkan setiap keputusannya final dan mengikat. Tidak boleh
diganggu gugat dan wajib dipatuhi oleh semua belah pihak. Selama ini
pengawasan terhadap kinerja dari hakim konstitusi tidak ada. Hanya
sebatas kamuflase dan semi otonom saja. Pengawasan yang ada hanya
sebatas pembentukan Majelis Kehormatan sesuai dalam Pasal 27A ayat
(2) UU MK. Majelis ini pun dibentuk terkesa dadakan setelah ada
pelanggaran baru dibentuk majelis. Percuma diadakan karena perbuatan
tercela dan tindakan kejahatan sudah terjadi. Sifatnya yang dadakan
tidak menjamin kualitas keputusan yang diambil. Upaya preventif sejak
awal tidak pernah ada. Sejak ada kisruh politik dan drama yang
terjadi di MK sejak tahun 2010 banyak wacana dan publik menghendaki
adanya pengawasan terhadap hakim konstitusi. Lembaga satu-satunya
yang berhak mengawasi hakim adalah KY, akan tetapi MK menolak untuk
diawasi dengan alibi bahwa hakim yang dimaksud dari kewenangan KY di
Pasal 24B tidak menyangku hakim yang ada di MK. Pemaknaannya adalah
hakim tersebut dimaknai semua hakim yang berada dalam lingkungan
peradilan di bawah MA seperti yang tercantum dalam ruang lingkup di
Pasal 24A ayat (1). Polemik ini pun pemaknaan dan tafsir ini pun juga
sempat melibatkan lembaga lain MA dalam memberikan pemaknaan dan
putusan. Dalam pengawasan ini menurut saya ada beberapa pilihan
yaitu: Pertama,
tetap mempertahankan adanya Majelis Kehormatan akan tetapi tidak
hanya berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim kewenangan dan
pemberian keputusannya harus lebih luas. Bisa juga lewat dengan
Peraturan Majelis Kehormatan sebagai legalitas dalam melaksanakan
kewenangannya. Majelis ini agar tidak terkesan dadakan dalam
pembentukan harus disahkan jauh hari sebelum ada perbuatan tercela
dan tindakan kejahatan. Pengesahannya bisa lewat Keputusan Presiden.
Dengan demikian kinerjanya akan lebih lama dan kualitas putusannya
akan lebih dapat dipertanggung jawabkan pada publik. Kedua,
pemaknaan pengawasan hakim dari KY harus ditafsir ulang dari MA bahwa
yang dimaksud dengan hakim di Pasal 24B ayat (1) adalah yang termasuk
dalam hakim konstitusi. Dengan cara yang lebh ekstrim adalah
amandemen pasal tersebut dan mencantumkan secara jelas tentang
pengawasan hakim konstitusi oleh KY.