Breaking News

02 September 2012

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN EFEK DOMINO PEMILU 2014


Selayang pandang

           Sebuah manivesto dari bentuk kecemasan terhadap nasib bangsa dan negara ini di masa mendatang akan digawangi dengan diselenggarakannya pemilu tahun 2014. Berbagai aturan yang mengiringinya telah dipolitisasi demi kepentingan pribadi dan partai politik. Konstelasi dan pragmatisasi ini merupakan awal dan pintu bagi setiap partai politik untuk bermanuver dan terus menjalankan strategi guna mencapai tujuan partainya. Kepentingan merupakan sebuah keharusan dan menjadi sebuah kelanggengan. Kemudian rakyat dikemanakan? Rakyat hanya dijadikan sebuah addres dan hanya dimanfaatkan untuk kendaraan orasi partai politik. Perdebatan dan pergulatan antara elit partai politik makin hari tidak mencerminkan pendidikan politik pada rakyat sama sekali. Jika saya ibaratkan seperti dalam buku terjemahan Haryatmoko yang berjudul “etika politik dan kekuasaan” (2003:125) disebutkan orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalitas “anibal laborans” dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi konsumsi sangat dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama. Sindrom yang menyertainya adalah korupsi. Hal ini sangat mungkin karena fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (pejabat), dan ideologi (pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang mendorong korupsi itu. Modalitas tersebut sering dianggap sebagai yang diperoleh dengan usaha atau suatu prestasi, sehingga penggunanya untuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap wajar. Hal tersebut menurut saya senada dengan konsep SP Varma dalam judulnya “teori politik hukum modern” (1995:3) terdapat “post behavioralisme”, sedikit saya tafsirkan berdasarkan fakta politik yang terjadi di Indonesia memang dalam perjalanan sejarah korupsi adalah budaya dan politik adalah alat untuk melakukannya sedangkan partai politik adalah kendaraannya. Konsep remote kontrol yang diberlakukan oleh sekretaris bersama (setgab) akan menjadi pertaruhan bagi partai baru maupun lama yang nanti akan memenangi pemilu 2014. Gonjang ganjing pada tata pemerintahan dengan pola koalisi partai politik akan dapat menyebabkan terjadinya legislatif heavy yang merugikan dalam pengambilan kebijakan. Ideologi partai politik akan dipertaruhkan juga dalam memberikan restorasi dan restrukturisasi dalam tata pmerintahan di negeri ini. Semua gerakan partai politik dan kebijakan dari lembaga legislatif tidak akan dapat berjalan bebas karena MK selaku lembaga penegak demokrasi dan konstitusi menjadi batu penghalang dalam perpsektif partai politik itu sendiri. Disisi lain MK juga telah memberikan terobosan-terobosan hukum yang dapat dijadikan tolak ukur dalam perbaikan hukum di negeri ini. Siapa pun yang akan untung dan dan rugi dengan keputusan MK mari kita lihat saja bukti kongkrit dan hasil dari pemilu 2014 nanti???

Korelasi equality before the law dan equality before the  election

            Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam konteks inilah persamaan di depan hukum harus dipenuhi dan semua warga termasuk person yang ada di partai politik. Diskriminasi konstitusi tidak boleh dibiarkan dan harus putusan MK telah memberikan terobosan hukum agar hukum tetap berjalan pada rel nya. Akan tetapi bagaimana jika hak warga negara dibenturkan dengan hak warga negara terkait kedaulatan dan politik. Politik telah diakomodir dan dibungkus oleh hukum. Dengan demikian pemilu 2014 juga harus objektif tanpa ada diskriminasi. Klausula diskriminasi tercermin dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. Ini menunjukan adanya diskriminasi dalam didang politik yang dirasa akan merugikan pihak lain. Jelas hal tersebut telah mengindikasikan adanya tendensi yang tidak mencermimkan persamaan bagi partai politik. Proses pemilu atau “election” tidak lepas dari konstelasi politik dan politik itulah yang akan dijadikan kendaraan oleh para kader partai politik. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan”. Pada substansi ini telah memberikan otoritas bagi 9 partai politik yang sekarang secara otomatis telah lolos untuk untuk mengikuti pemilu 2014.
Titik point dalam Pasal 8 tersebut telah menjadikan legal yuridis bagi uji materi di MK. Ada beberapa pemaknaan dalam aturan tersebut yaitu: Pertama, Partai parlemen (partai politik yang ada di DPR). Kedua Partai diluar parlemen (belum mendapat kursi di DPR). Pemaknaan partai parlemen adalah 9 partai politik yang telah berada di DPR sekarang dan partai politik yang nantinya dalam pemilu 2014 telah memenuhi ambang batas. Partai politik di luar parlemen adalah partai baru yang akan mendaftarkan diri menjadi partai politik baik pada pemilu 2014 atau pun pemilu mendatang. Menurut saya fragmentasi pada pembedaan partai politik ini lah yang telah menjadikan putusan MK “semua partai politik baik di parlemen dan diluar parlemen harus mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta pemilu 2014”.
Pasal 208 Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”. Pada klausula ini juga menjadikan polemik internal partai politik mampu dan tidaknya akan dapat lolos dari ambang batas tersebut. Bagi partai politik yang besar dan telah memiliki bassis tidak akan menjadi persoalan akan tetapi jika bagi partai politik yang memiliki bassis kecil apa lagi bagi partai politik baru dirasa akan sulit menembus ambang batas tersebut. Putusan MK telah memberikan terobosan hukum dan persamaan hak yaitu dengan “batas 3,5% hanya berlaku bagi anggota DPR”.

Nasib partai politik  dalam verifikasi pemilu 2014

       Implikasi dari putusan MK tersebut akan banyak membawa dampak terhadap strategi bagi partai politik dalam mengatur ritme dalam meraih suara dalam pemilu 2014.  Jika ambang batas 3,5% tersebuat hanya berlaku bagi anggota DPR, terus penentuan anggota DPD dan DPRD hanya berdasarkan aturan dari KPU saja. Permainan politik akan makin banyak membuka peluang untuk mengadakan infiltrasi terhadap internal di KPU dan independensi pun akan dipertaruhkan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disebutkan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Penentuan anggota DPD dan DPRD akan mengalami kesulitan dengan dihilangkannya klausula 3,5% tersebut. Penentuan kader dari internal partai politik tidak akan mempunyai dampak yang significant terhadap pemasangan nama dan foto calon yang di publikasikan oleh partai politik, rakyat umum lah  yang akan menentukan seberapa merakyat lah calon tersebut dan tidak akan memandang profesionalisme dari kader tersebut. Kriteria penentuan calon yang akan menang dari KPU juga kurang jelas masih multi tafsir. Penentuan berdasarkan suara terbanyak jika digunakan sebagai acuan dari KPU tidak akan cukup representatif bagi penentuan calon kader yang akan menang. Lalu apa parameter yang tepat dalam penggunaan setelah dihapusnya angka 3,5% tersebut?. Selanjutnya jika ayat (2) penentuan anggota DPD ditentukan dengan distrik berwakil banyak dan bagaimana jika penentuannnya tersebut tetap masih berdasarkan jumlah penduduk di daerah pemilihan?Kejadian ini pun juga akan berimplikasi terhadap peluang dari dari masing-masing kader partai politik dalam meraih basis massanya di daerah.
        Bagi 9 partai politik dengan putusan MK tersebut juga akan memberikan keuntungan dalam mengetahui basis massa yang ada di daerah. Selain basis massa juga akan dapat digunakan sebagai restrukturisasi kepengurusan partai mengingat banyak kutu loncat dari para kader masing-masing partai politik. Verifikasi ulang tersebut juga berdampak negatif jika ternyata fakta dalam kepengurusan internal sudah tidak baik dan banyak kutu loncat. Dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD point (c) harus ada minimal 75% jumlah kabupaten dari provinsi, pada point (d) harus ada minimal 50% jumlah kecamatan dari kabupaten hal ini juga sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) point c Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik terkait kepengurusan. Selanjutnya keterkaitan dengan keterwakilan perempuan minimal 30% juga terdapat dalam Pasal 8 ayat 2 point d Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Terkait dengan jumlah kantor kepengurusan ini jika benar-benar ditelaah lebih lanjut kebanyakan dari partai politik hanya sebagai formalitas tidak dalam SK tertulis sebagai legalitas agar seolah-olah ada kantornya. Demikian juga terkait keterwakilan perempuan terkadang hanya asal comot nama dan disertakan dalam SK partai. Bagi calon peserta yang akan mendaftar ulang dari awal dengan persyaratan tersebut juga akan menjadi kendala khusus. Pasal 8 ayat 2 point f Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD merupakan kendala yang berarti bagi partai di luar parlemen tersebut. Batas dengan jumlah minimal 1000 orang dari ketentuan c dan d dengan bukti KTP akan banyak dimanipulasi sebagai legalitas dalam penentuan persyaratan agar lolos verifikasi. Negatif legislatif merupakan bentuk perjuangan dari partai yang berada diluar parlemen dalam memperjuangkan ideologinya. Konsep Positif legislatif juga akan dipertaruhkan oleh partai dalam menarik simpati rakyat sebagai pemilihnya. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga disebutkan minimal 2,5 tahun verifikasi harus sudah selesai. Batas ketentuan ini pasti jelas akan dilanggar oleh KPU karena dari awal 7 September 2012 akan dirubah pada batas akhir 15 Desember 2012 untuk menentukan partai yang benar-benar ikut pada pemilu 2014. Soal bursa pencapresan dari masing-masing partai politik dan kader yang tersangkut jerat hukum korupsi akan menggangu internal dalam persiapan dalam verifikasi. Waktu yang singkat tersebut jika tidak dapat dimanfaatkan dengan baik akan menjadi boomerang bagi nasib partai poilitik di pemilu 2014.

Telaah atas putusan MK terhadap pra konsep pemilu 2014

        Putusan MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat final dan mengikat. Putusan MK dapat menolak, menerima dan bahkan dapat melebihi dari tuntutan para pemohon (ultra petita). Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Bagaimana kaitannya konsep perdata yang bersifat pribadi masuk ke ranah publik dan harus ditaati secara umum berdasarkan pertimbangan hukum??? apakah dissenting opinion yang ada dalam penentuan kebijakan melanggar hukum dan kode etik??? walaupun argumentasi yang digunakan adalah aturan induk dan aturan pokok merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan jika yang dimintakan dari pemohon hanya aturan induk dan aturan anaknya tidak dihapus akan bertentangan. Selain itu jika terdapat pembenaran konsep perdata berbeda dari kebijakan putusannya berdasarkan asas erga omnes???Menurut saya parameter tersebut belum lah cukup untuk memberikan rasa keadilan secara umum. Konsekuensi logis yuridis pun memang akan berimplikasi terhadap setiap putusan yang akan diambil. Erga omnes pun menurut saya bukan makna norma yang sebenarnya dalam aturan yanmg wajib diganti tidak diganti pun tidak akan menjadi persoalan. Aturan yang jelas tentang kewenangan ini juga harus diatur lebih kongkrit baik terkait klausula hukum dan mekanismenya. Polemik memang muncul dari Pasal 45A Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang No.8 Tahun 201 tentang MK terkait legalitas dari ultra petita ini. MK bukan positif legislatif yang  berhak membuat norma baru dan bersifat umum apakah MK dapat melebihi lembaga legislatif atau kah sama???jika didasarkan pada fakta tersebut memang tidak lah ada kejelasan.
           Lalu dalam menyikapi kontelasi politik dan hukum dalam persiapan pemilu 2014 apakah terdapat kepastian hukum yang dapat menjamin tata pemerintahan ini akan menjadi lebih baik lagi??? Dalam menjawab realitas ini tidak lah mudah dan harus dicermati lebih mendalam. Aturan dalam pemilu sebagaimana tersebut diatas melibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tata pemerintahan akan dipertaruhkan pasca adanya putusan MK. Partai politik lah yang akan terkena dampak baik positif dan negatif. Partai politik juga yang akan menafsirkan apakah dapat memberikan keadilan atau tidak???tapi perlu dingat bahwa rakyat lah yang akan menilai proses demokratisasi di negeri ini. Keadilan yang dicoba diberikan oleh MK dalam memberikan terobosan hukum merupakan upaya dalam menata ulang tata pemerintahan di negeri ini. Dengan demikian semua calon anggota DPR, DPD dan DPRD baik secara pribadi dan institusi (lewat partai politik) akan menyiapkan amunisi dalam menghadapi pemilu 2014. Partai politik pun juga akan mempertaruhkan semua yang dimiliki baik ideologi, basis massa dan cost politic nya. Siapa yang akan lolos verifikasi?dan siapa yang akan menang dalam pemilu 2014?mari kita tunggu saja apakah pasca pemilu 2014 putusan MK ini dapat menjawab persoalan bangsa ini, karena refleksi aksiologi pada moment opname hukum lah yang akan dapat menjawab dengan jelas.

No comments:

Designed By Mas Say