Breaking News

09 August 2012

PERTARUNGAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILU 2014 (TELAAH KRITIS PT 3,5%)



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam perjalanan sejarah perpolitikan di dunia terdapat beberapa fase yaitu tradisionalisme, behavioralisme dan post behavioralisme [1]. Dengan demikian perjalanan sejarah dalam perpolitikan di Indonesia tidak terlepas dari konstelasi dan pragmatisasi belaka. Kenapa Penulis mendiskripsikan seperti itu? Konstelasi dan pragmatisasi ini merupakan awal dan pintu bagi setiap partai politik untuk bermanuver dan terus menjalankan strategi guna mencapai tujuan partainya. Kepentingan merupakan sebuah keharusan dan menjadi sebuah kelanggengan. Kemudian rakyat dikemanakan? Rakyat hanya dijadikan sebuah addres dan hanya dimanfaatkan untuk kendaraan orasi partai politik. Perdebatan dan pergulatan antara elit partai politik makin hari tidak mencerminkan pendidikan politik pada rakyat sama sekali. Penulis mencoba memberikan deskripsi fenomena tersebut dari pendapat Hannah Arrendt [2] orang yang terjun di dunia politik masih dengan mentalitas “anibal laborans” dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi konsumsi sangat dominan, politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama. Sindrom yang menyertainya adalah korupsi. Hal ini sangat mungkin karena fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (pejabat), dan ideologi (pejabat atau pemuka agama) merupakan modalitas yang mendorong korupsi itu. Modalitas tersebut sering dianggap sebagai yang diperoleh dengan usaha atau suatu prestasi, sehingga penggunanya untuk bisa mendatangkan kekayaan dianggap wajar.
Menurut David Easton dalam sistem politik terdapat lingkuangan (environment), bentuk dan dukungan (demands and supports) selanjutnya akan dikonversi dalam sebuah kebijakan keputusan (policy decision). Jika kebijakan pemerintah responsif dan aspiratif terhadap publik akan menghasilkan outcomes yang bisa memberikan perubahan-perubahan dalam lingkungan sesuai tuntutan rakyat [3]. Fungsi partai politik adalah sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekruitmen politik dan sebagai sarana pengatur konflik [4]. Ada 3 (tiga) hal penting yang harus diatur oleh pemerintah yaitu wakil rakyat melalui parlemen, pengaturan yang dapat mengurangi hak warga negara, dan pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara [5].
Sifat terbuka dari ideologi sistem politik demokrasi memungkinkan dan bahkan menghendaki komunikasi politik mengembangkan dialog yang wajar dan sehat dan arah timbal balik secara vertikal maupun horizontal [6]. Menurut Efzim dan Halevy berpendapat bahwa birokrasi adalah “thus bereucracy developed, because its rationality and technical superiority made it the most appropriate tool for dealing  with the tastes and problems of compley modern society” [7]. Hans Kelsen mengatakan negara tidak lain adalah suatu bangunan hukum [8]. Politik hukum berkaitan dengan yang dicita-citakan (ius constituendum) [9]. Dengan demikian jelas bahwa berbagai ideologi yang dibawa oleh setiap anggota partai politik akan menjadi salah satu parameter yang akan digunakan dalam pertempuran pada pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Landasan hukum yang digunakan sebagai acuan utama adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan penggunaan ambang batas agar setiap partai politik dapat lolos dan mendapat kursi di Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) harus melewati angka 3,5% dari suara sah secara nasional. Dalam konteks dan substansi landasan tersebut hukum menjadi fondasi dasar, walaupun produk hukum yang dihasilkan berasal dari kesepakatan politik dengan legalitas di rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Posisi kekuasan yudisial dalam kurun waktu pasca kemerdekaan kerap kali menyisakan berita yang kurang menggembirakan. Hal ini membuktikan kekuasaan yudisial tersubdinasi oleh kekuasaan legislatif dan eksekutif yang merupakan bentuk paling nyata dari peningkatan substantif dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka sangat beralasan untuk mengatakan bahwa hukum dipengaruhi, ditentukan dan bahkan dintervensi oleh politik seperti yang sering terlihat dalam tataran empirik di Indonesia  [10]. Demokrasi merupakan anak kandung dari produk hukum belum tentu dapat terealisasi dengan baik ketika masih didominasi oleh kepentingan politik saja. Pada pemilihan umum tahun 2014 selain adanya pertarungan dari berbagai calob legislatif agar dapat duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga akan menentukan presiden dan wakil presiden Indonesia. Dalam Pasal 6A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menunjukan adanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan diusung dari partai politik baik dari pribadi partai maupun dari koalisi partai partai politik. Pertaruhan dalam menciptakan tata negara yang demokratis selain berasal dari kendaraan partai politik juga telah diakomodir oleh konstitusi negara sebagai landasan dasar dalam menjalankan tata pemerintahan. Suara rakyat akan dipertaruhkan dalam penentuan apakah politik yang akan dominan ataukah hukum yang akan memberikan dominasi dalam tata pemerintahan di Indonesia atau kah keduanya akan berjalan bersama demi tercapainya negara hukum yang penuh demokrasi guna didedikasikan untuk kesejahteraan rakayat.
B. Rumusan Masalah
Dari berbagai pemaparan Penulis dalam latar belakang diatas, maka akan dapat ditinjau lebih kritis lagi dalam rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah konsepsi parlementary threshold sebagai jalan bagi partai politik untuk memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?
2.      Bagaimanakah pertarungan politik antara partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam relevansi parlementary threshold dengan presidential threshold sebagai proses pembentukan hukum tata negara yang demokratis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsepsi parlementary threshold sebagai jalan bagi partai politik untuk memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

1.      Konsepsi Yuridis Parlementary Threshlod
Ambang batas pemilihan umum dalam artian electoral threshold itu merupakan induk dari segala induk ketika batasan-batasan dari pihak legislatif diberikan pada partai politik dalam menentukan kebijakan yang akan diambil sebelum dan sesudah pemilu berlangsung baik itu jumlah kursi atau pun batasan presiden yang akan maju di pemilihan presiden. Secara historis pun juga menjadi polemik terkait pemaknaan batasan dari partai politik yang diberikan oleh pihak legislatif. Munculnya istilah parlementary threshold menurut Penulis bukan hal baru dalam tata perpolitikan di Indonesia. Istilah tersebut muncul juga mengikuti dinamika yang berkembang dalam penyikapan fenomena yang ada. Parlementary threshold ini merupakan dogmatik hukum dan anak dari electoral threshold (digunakan dalam istilah pada pemilu tahun 1999 yang hanya 2%) yang sekarang sudah menjadi landasan yang disepakati bersama. Dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum disebutkan “Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kurs DPR atau mmiliki sekurang kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD l atau DPRD Il yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2(setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum”. Dalam Pasal 9 Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan “(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di ? (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ? (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia”. Dalam Pasal 142 “Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di? (setengah) jumlah provinsi dan di? (setengah) kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999”
Parlementary threshold ini sebenarnya apa? Secara historis normatif pun banyak penafsiran apakah batas partai pada waktu pemilihan itu untuk dapat ikut pemilu berikutnya?atau kah batasan bagi setiap yang telah melalui batas itu baru anggotanya boleh duduk di parlemen? atau sebaliknya?. Ini merupakan salah satu alat yang akan digunakan dalam pertarungan partai politik guna meraih basis-basis massa di tingkat daerah. Pada pemilu tahun 2009 ambang batas yaitu sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (27) Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang entang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebesar 2,5% dari suara nasional sebagai batasan dari setiap partai politik agar bisa lolos dan mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam Pasal 208 Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.


2.      Elaborasi Konsep Parlementary Threshlod dan Partai Politik Dalam Konfigurasi Menembus Ambang Batas Kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Politik hukum adalah legal policy atau arahan hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama [11]. Jika kompromi dan tarik ulur politik dapat terkonsep dengan baik maka akan berimplikasi terhadap lahirnya produk hukum yang baik, sebaliknya jika kompromi politik hanya digunakan untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi dan golongan tertentu justru akan memberikan dampak terhadap lahirnya produk hukum yang buruk. Konsep parlementary threshlod yang telah disepakati bersama sebagai acuan dalam pemilihan umum tahun 2014 terdapat tarik ulur antara produk politik atau kah hukum yang berperan masih menjadi polemik. Terlepas dari yang memegang peranan dalam penentuan kebijakan tersebut politik atau kah hukum yang terpenting adalah dapat digunakan oleh partai politik dalam memberikan pendidikan politik pada rakyat.
Sebagai review ini merupakan hasil dari 9 partai yang lolos dari ambang batas pada pemilihan umum tahun 2009. Partai Demokrat dengan jumlah 150 kursi (20,85%), Partai Golkar 107 kursi (14,45%), PDIP 95 kursi (14,03%), PKS 57 kursi (7,88%), PAN 43 kursi (6,01%), PPP 37 kursi (5,32%), PKB 27 kursi (4,94%), Partai Gerindra 26 kursi (4,46%) dan Partai Hanura 18 kursi (3,77%). Dengan demikian semua jumlah total kursinya adalah sebanyak 560. Pada pemilu tahun 2004 Partai Demokrat sebanyak 55 kursi, Partai Golkar 128 kursi, Partai Demokrasi Indoensia Perjuangan (PDIP) 109 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 45 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 53 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 58 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 52 kursi, Partai Gerindra dan Hanura belum ikut pemilu, Partai Bulan Bintang (PBB) 11 kursi, Partai Bintang Reformasi (PBR) 14 kursi, Partai Damai Sejahtera (PDS) 13 kursi, dan partai lain 12. Dengan demikian semua total kursinya adalah sebanyak 550 kursi. Kenapa tahun 2004 masih belum ketat terkait ambang batasnya?dan setiap partai yang mendapatkan kursi langsung dapat duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Pasca reformasi bergulir keluar Undang-Undang No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dengan demikian proses demokratisasi masih mengalami masa transisi dan setiap partai belum terlalu fokus dalam perolehan suara yang akan diperoleh. Mereka hanya memikirkan pencitraan partai saja agar dapat dingat rakyat dan tidak kalah. Tahun 1999 itu lah merupakan torehan sejarah partai-partai menjamur dan merupakan konsep multi partai dalam sistem presidential muncul sebanyak 48 partai peserta pemilu. Tampak aneh memang? tapi itu lah karakteristik bangsa Indonesia dengan keragaman majemuk dan pluralitasnya. Selama proses berjalannya waktu pada tahun 2009 dengan diterapkannya parlementary threshold, maka dapat terlihat hasil pertarungan dan perseteruan politik yang terjadi antara partai politik.  Pada tahun 2004 terdapat 10 fraksi dan pada tahun 2009 tinggal 9 fraksi yang dapat lolos dan menduduki kursi di parlemen. Fenomena yang dapat dijadikan telaah secara politis adalah ada 2 partai politik yang mengalami kenaikan, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan 5 partai politik lainnya mengalami penurunan, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal fenomenal adalah partai politik baru membuat gebrakan dalam proses demokratisasi di negeri ini yakni Partai Gerindra dan Partai Hanura. Beberapa partai lama justru hancur dan lenyap dari parlemen, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan beberapa partai kecil lainnya. Pada tahun 1999 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang dengan azas nasionalisnya. Tahun 2004 Partai Golkar dengan azas kekaryaannya berhasil menjadi pemenang. Pada tahun 2009 tampil Partai Demokrat dengan azas nasionalis religious nya juga berhasil tampil menjadi pemenang. Lalu pada pemilihan umum tahun 2014 siapa yang menang?dan siapa yang justru akan hancur dan terpental dari kursi parlemen?atau justru ada gebrakan dari partai baru lagi?.
Konsep floating mass (massa mengambang) menjadi indikator lain dari partisipasi rakyat [12]. Fenomena ini juga akan dimanfaatkan oleh masing-masing partai politik demi penggalangan massa dan meraih suara. Penulis mencoba memberikan deskripsi terhadap telaah dari partai-partai yang akan bertarung di pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebagai berikut:

1.                  Partai dalam koalisi pro pemerintah yaitu: Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN);
2.                  Partai diluar koalisi pemerintah yaitu: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra dan Partai Hanura; dan
3.                  Partai yang lolos verifikasi yaitu Partai Nasional Demokrat.
Partai Demokrat sebagai partai pemenang dan mendominasi dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah akan banyak peluang. Pencitraan para tokoh partai dan pemanfaatan kebijakan pemerintah akan dimanfaatkan untuk meraih massa sebesar-besarnya. Partai Golkar yang banyak didominasi oleh para pengusaha akan mendapatkan sumber pendanaan yang cukup sebagai modal untuk kampanye pada rakyat. Kelebihan lain adalah salah satu saluran televisi sudah dipegang sebagai komunikasi dengan rakyat. Partai yang berbasis agama yaitu: Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) akan memanfaatkan para simpatisan masing-masing untuk meraih suara.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai yang paling konsisten yang berada diluar pemerintah akan lebih banyak diminati oleh kalangan nasionalis dengan penokohan para pemimpin partai. Pencitraan lewat para kadernya Joko Widodo yang menjadi figur di ibu kota Jakarta akan lebih banyak menarik hati rakyat. Partai Gerindra sebagai partai baru dan konsisten dalam visi dan misi partainya dengan pendanaan besar serta penokohan dari Probowo sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) akan lebih diminati oleh rakyat kecil. Partai Hanura dalam pergerakannya yang stagnan dan hanya mengandalkan penokohan dari Wiranto akan sulit meraih suara rakyat.
Partai Nasional Demokrat lahir berawal dengan pendirian organisasi massa Nasional Demokrat dengan agenda sosial dan pencitraan langsung terjun ke masyarakat dan partai ini lebih cepat dikenal. Pendanaan yang besar dari para pengusaha dan pencitraan partai lewat media televisi dan media massa yang menjadi pemilik sah dari beberap pimpinan partai ini akan lebih sering muncul dalam iklan-iklan dan rakyat sebagai pemilih akan lebih mengenali pergerakan partai ini. Peluang untuk meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan terbuka lebar.

B.     Pertarungan politik antara partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam relevansi parlementary threshold dengan presidential threshold sebagai proses pembentukan hukum tata negara yang demokratis

Dalam teori integralistik yang dikemukan oleh para pakarnya Spinoza, A. Muller dan Hegel dinyatakan bahwa kepentingan negara harus diletakan diatas segalanya [13]. Konstitusionalisme menurut William G. Andrew menggambarkan 2 (dua) prinsip yang bebeda tetapi akan saling berkaitan yaitu sebagai berikut: Pertama, Hubungan antara kewenangan dan warga negara. Kedua, Hubungan antara pemerintah dan warga negara [14]. Substansi pokok dari hal ini mengindikasikan tugas negara secara tidak langsung terhadap rakyatnya. Dalam sudut pandang ketatanegaraan dengan proses demokratisasi pengambil kebijakan tertinggi ada dalam negara. Dalam negara tersebut ada lembaga yang mengaturnya. Di Indonesia pengambil kebijakan tertinggi ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam setiap menentukan arah kebijakan baik yang bersifat politis dan demokratis. Menurut Mahfud, MD ia mengatakan “fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsif dan yang konervatif” [15]. Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang No.23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil disebutkan “Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR”. dan Pasal 9 Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden disebutkan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Menurut Penulis akan sangat sulit melewati batas ambang presiden dengan melihat realitas politik yang terjadi. Dalam 3  partai besar seperti: Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan tetap sulit akan langsung dapat mengusung presiden dari partainya sendiri. Terlebih lagi aturan diatas akan direvisi dan apalagi jika akan ditingkatkan ambang batasnya. Jika tetap tidak dirubah koalisi antar partai tetap ada. Jika harus dinaikan dari 20% suara di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi 30% dan dari 25% menjadi 35% dari jumlah suara nasional. Kenapa demikian? peluang koalisi antar oartai akan menjadi lentur dan mudah. Dengan demikian akan terbentuk koalisi kenegaraan yang dapat menyatukan pemikiran konsep kebangsaan bersama dengan bermacam-macam ideologi yang ada akan memberikan kemanfaatn hasil pemikiran kritis untuk solusi bangsa. Rakyat pun tidak dibuat bingung karena hanya akan memilih hanya 2 (dua) pasangan saja. Jika memang ambang batasnya sama dengan 3,5% hal buruk akan terjadi. Kenapa? walaupun proses demokratisasi akan berlangsung dengan baik, justru akan membuat  bingung rakyat pilihan banyak dan fragmentasi perang ideologi akan berlangsung tidak sehat.
Pertikaian antara 2 ambang batas ini berimplikasi terhadap proses koalisi partai politik yang akan dibangun. Perolehan ambang batas sebesar 3,5% dari jumlah suara nasional akan menentukan pola koalisi dan mekanisme yang akan dilakukan oleh partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hal ini jelas menjadi landasan legal formal terhadap koalisi antar partai politik dalam transaksional suara yang akan menentukan bursa pencalonan presiden dan wakil presiden. Jika pada Rancangan Undang-Undang (RUU) atas perubahan No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berhasil membuat perubahan maka juga akan berimplikasi terhadap peluang antar partai politik dan pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden dari masing-masing partai politik. Apakah justru di bawah angka 20% dan 25%? ataukah diatas angka tersebut?atau justru bagi yang tiap lolos dari angka 3,5% dapat mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden?. Hal tersebut bukan menjadi titik penting bagi kesuksesan pemilihan umum tahun 2014, akan tetapi kesejahteraan rakyat terjamin, perekonomian selalu membela rakyat kecil dan reformasi hukum terus berjalan.
Semangat reformasi dan demokratisasi secara prosedural terwadahi melalui perubahan sistem pemilu dan pemilihan kepala daerah. Walaupun dalam prakteknya dominasi elit ternyata masih kuat menentukan dinamika politik di level nasional dan lokal. Kondisi inilah yang seolah mengindikasikan bahwa demokrasi tengah mengalami stagnasi bahkan memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi gagal mewujudkan kesejahteraan masyarakat [16]. Sistem pemerintahan yang demokratis menurut Mohtar Mas’eod harus memenuhi tiga syarat pokok yaitu sebagai berikut: adanya kompetisi, adanya partisipasi politik, dan adanya kebebasan sipil berpolitik [17].
Politik transaksioanl dan konstelasi politik pasti akan menjadi permainan utama untuk saling menjatuhkan. Fakta lain adalah kinerja pemerintah selalu ada deal-dealan politik yang diramu dalam Sekretariat Bersama (Setgab). Aburizal Bakri dari Partai Golkar sebagai pemegang ketua hariannya dan partai lain Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai katalisator dalam setiap pengambilan kebijakannya. Partai Demokrat yang punya otoritas dalam suara penuh pun juga tidak akan berdaya jika harus menentukan kebijakan pemerintah tanpa lewat Sekretariat Bersama (Setgab). Remot kontrol dalam kebijakan baik secara administrasi dan politis ada dalam Sekretariat Bersama (Setgab). Lalu apa gunanya presiden sebagai figur negara jika hanya setiap kebijakan yang diambil kontrol? Jika dikatan lembaga juga bukan dan Penulis lebih tepat menyebutnya sebagai “remote parlemen”. Hal ini akan menimbulkan konsep legislatif heavy [18]. Dalam praktek ketatanegaraan hanya akan menimbulkan tirani palemen dengan setiap kebijakan ada ditangan kebijakan masing partai politik dan sebagai legalitasnya akan dibawa dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak akan berjalan secara maksimal. Korelasi antara diskresi yang besar tersebut dalam elaborasi dengan sistem presidential yang dianut oleh Indonesia justru akan menimbulkan polemik dan masalah baru dalam mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis. Hukum yang diharapakn akan berjalan demokratis akan selalu ditunggangi oleh kepentingan golongan dan ideologi dari partai politik. Politik akan selalu mendominasi dalam setiap pengambilan kebijakan dari pemerintah. Dengan demikian semangat penegakan hukum yang demokratis sulit terealisasi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1.      Tidak hanya sebuah persepsi akan tetapi konsepsi terkait polemik yang mewarnai pergulatan politik di Indonesia tidak dapat lepas dari setiap manuver dari partai politik meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) dengan adanya parlementary threshold. Pada pemilihan umum tahun 2014 telah disepati bersama setiap partai politik harus dapat melewati angka 3,5% dari jumlah sah suara nasional. Hal ini akan dijadikan pijakan dan adu strategi antara partai politik agar dapat meloloskan setiap para calon legislatifnya untuk mendapatkan kursi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sekaligus dasar yang digunakan untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada periode lagi atau tidak.
2.      Parlementary threshold sebesar 3,5% dari suara sah nasional akan dijadikan parameter oleh setiap partai politik untuk menentukan presiden yang akan diusung oleh masing-masing partai. Presidential threshold pada pemilihan umum tahun 2014 yang belum ada kepastian besarannya dan sekedar sebagai bahan telaah kritis Penulis yang sekarang menjadi kesepakatan sebesar 20% dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 25% dari suara sah secara nasional. Batasan tersebut merupakan batasan yang akan digunakan dalam pemilihan presiden secara langsung dengan koalisi atau tidak. Pada proses koalisi dan tidaknya ini akan terjadi penentuan harga diri partai politik, perang ideologi dan bahkan akan saling menjual citra figur dari masing-masing partai politik untuk maju dalam pemilihan presiden. Mengingat aturan ini juga diatur dalam konstitusi negara akan berimplikasi terhadap polemik antara politik dan hukum dalam kinerjanya demi mewujudkan negara hukum yang demokrasi.

B. Saran
1.      Sebaiknya ambang batas parlementary threshold sebesar 3,5% dari suara sah secara nasional dari partai politik tidak hanya dijadikan sebagai penggalangan massa dari rakyar demi meraih suara, akan tetapi partai politik tersebut harus dapat memberikan pendidikan politik pada rakyat.
2.      Sebaiknya dalam penentuan presidential threshold pada pemilihan umum tahun 2014 dalam wacana dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait revisi Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden dapat dinaikan dari angka 20% menjadi 30% dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dari 25% menjadi 35% dari jumlah suara sah secara nasional. Dengan demikian akan dapat meminimalisir jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga koalisi dapat terjadi dalam menyatukan berbagai ideologi dan pemilih tidak akan dibuat bingung dengan adanya sidikit pilihan.
3.      Walaupun partai koalisi pendukung pemerintah masih dibayang-bayangi oleh “remote parlemen” dalam setiap pengambilan kebijakan dengan mengatas namakan pemerintah harus mengesampingkan ideologi partainya masing-masing. Kepentingan rakyat dan upaya penegakan demokrasi dalam kerangka negara hukum harus dapat diprioritaskan.


[1] SP. Varma, Teori Politik Hukum Modern (Jakarta, 1995), hal.3
[2] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta, 2003), hal.125
[3]  Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformas (Jakarta, 2007), hal. 106-107
[4] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, 2003), hal. 151
[5] Jimly Assidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (Jakarta, 2005), hal. 32
[6] Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia (Jakarta, 1993) hal. 13
[7] Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Yogyakarta, 1997), hal. 70
[8]  Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta, 2009), hal.6
[9]  Imran Syaukani dkk, Dasar-dasar politik hukum (Jakarta, 2004), hal.28
[10] Sarip dan Achmad Rizky Pratama, Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta, 2008), hal. 11
[11] Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi (Jakarta, 2006), hal.5.
[12] Adi Sasono dkk, Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisisme Dalam Orde Baru (Jakarta, 1998), hal. xxi
[13] Sidik Jatmiko, Otonomi Daerah Perspektif Hubungan Internasional (Yogyakarta, 2007), hal.5
[14]  Ni’matul Huda dkk, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan”, (Yogyakarta, 2007), hal.11

[15] Mahfud, MD, Pergulatan politik dan hukum di Indoensia  (Yogyakarta, 1999), hal.1
[16] Dede Mariana Caroline Paskarina, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, (Yogyakarta, 2008), hal. xxi
[17] Muhammad Budairi, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, (Yogyakarta, 2002), hal.57
[18] Erman Rajagukguk, “Legislatif heavy”, Jurnal Nasional Negara dan Masyarakat Justisia, (Januari 2008-Juli 2009), hal. 47

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku
Adi Sasono dkk. 1998. Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisisme Dalam Orde
                   Baru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Alfian. 1993. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
                    Utama
Budi Winarno. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: MedPress
Dede Mariana Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Yogyakarta:
                  Graha Ilmu
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas
Imran Syaukani dkk. 2004. Dasar-dasar politik hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jimly Assidiqie. 2005. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konpres
Mahfud, MD.2006. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES
                     Indonesia
…………....1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
Miriam Budiarjo. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mohtar Mas’oed. 1997. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhammad Budairi. 2002. Masyarakat Sipil dan Demokrasi. Yogyakarta: E-law Indonesia
Ni’matul Huda dkk. 2007. Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H
                   “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan”. Yogyakarta: UII Press
Sarip dan Achmad Rizky Pratama. 2008. Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara Indonesia.
                   Yogyakarta: Genta Press
Satjipto Rahardjo. 2009. Negara Hukum Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta
                  Publishing
Sidik Jatmiko. 2007. Otonomi Daerah Perspektif Hubungan Internasional. Yogyakarta: Bigrat
                  Publishing
Sumber Jurnal Hukum Nasional
Erman Rajagukguk. 2009. Legislatif heavy. Jurnal Nasional Negara dan Masyarakat Justisia.
                  Januari 2008-Juli 2009. Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas
                  Hukum Universitas Islam Indonesia

No comments:

Designed By Mas Say