Breaking News

14 September 2014

FRUSTASI RUU PEMILUKADA:ANTESIS ATAUKAH DOGMA DEMOKRASI?

Galau konstitusi terjadi sejak tumbangnya rezim orde baru diikuti dengan format akan kemanakah negara dibawa?format sistem pemerintahan yang seperti apakah yang paling tepat?termasuk akan diposisikan dimanakah urusan daerah dalam konteks pemerintahan pusat?apakah terpisah dengan urusan masing-masing atau kah ada hubungan dengan sistem tertentu?.Pada space ini konstitusi sudah berusaha memberikan solusi dan argumentasi pada BAB VI tentang Pemerintahan Daerah setelah amandemen kedua. Derivatifnya dari amandemen konstitusi tersebut pemerintah telah menjawab dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

 
Pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur,Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pada tafsir ini polemik yang muncul pertama adalah dalam praktek demokrasi ada istilah “wakil kepala daerah” padahal konstitusi tidak memberikan makna keharusan ada wakil kepala daerah. Istilah ini baru muncul pada Pasal 1 point 20 UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Adanya istilah tersebut diperkuat pada Pasal 24 ayat (3) yang berbunyi “Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah”. Perdebatan dari mulai inkonstitutional,pemborosan anggaran sampai politik ban serep mewarnai polemik tersebut.
Hal yang perlu diketahui adalah jika mengikuti tafsir konstitusi dari kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 salah satu kewenangannya adalah “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Dalam masyarakat berkembang istilah “pilkada atau pemilihan kepala daerah” memang ada dalam istilah dalam Pasal 1 point 23 UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi penafsiran dari MK karena ada istilah “pemilihan umum” dan karena kepala daerah adalah bagian dari proses demokrasi pemilihan umum itu maka yang tepat adalah “pemilukada atau pemilihan umum kepala daerah”.

Tarik ulur makna konstitusi dan demokrasi

RUU Pemilukada yang muncul adalah dogma dari UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan tersebut jika masih melekat masih terlalu sempit, makanya para pihak baik dari anggota legilatif atau unsur eksekutif yang diwakili oleh Kemendagri mewacanakan RUU tersebut. Hal ini pun juga telah masuk Program Legislasi Nasional agar segera disahkan. Pada Pasal 37 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah “Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan”. Pasal inilah yang menjadi dasar bahwa Kemendagri adalah tangan panjang dari pemerintah pusat. Persoalan yang banyak terkait Pemilukada baik dari segi biaya dan mekanismenya, maka RUU Pemilukada harus segera direalisasikan dan dipisahkan dari aturan tersebur diatas.
Pada Pasal 56 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Makna “demokratis” inilah juga menjadi salah satu tolak ukur perdebatan publik bahkan para legislator yang ada di DPR RI dalam merumuskan RUU Pemilukada. Demokratis apakah tolak ukurnya dipilih langsung atau tidak oleh rakyat?ataukah jika tidak dipilih rakyat tidak demokratis?. Dalam konteks demokrasi ada hal yang berkaitan dengan istilah “pemilihan umum” (grand norm dari tafsir kewenangan MK Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945). Dengan demikian ada perdebatan konstitusi lain yaitu dalam Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Kata “secara langsung oleh rakyat” secara gramatikal jelas tanpa harus ditafsirkan ulang harus melalui rakyat. Hal ini banyak dijelaskan teori-teori demokrasi sejak zaman Yunani bahwa “langsung” tersebut menunjukan sebagai “rakyat” adalah objek yang dapat memberikan arti dan memberikan gambaran akan terjadinya pemilihan umum tersebut.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah kata “secara langsung oleh rakyat” sama tidak dengan “demokratis”?Jika berbeda apa yang membedakan dan tolak ukurnya atau jika sama apa tolak ukurnya?. Pakar ahli tata negara dan bahkan pakar politik pun menurut pandangan dan pemikiran saya belum memberikan tolak ukur yang seperti apa?batasannya sampai dimana?karena relitas politik jika dibenturkan dengan normatif hasilnya akan berbeda dengan relitas sosial ketika dibenturkan dengan normatif, karena pendekatannya pun berbeda-beda. Perdebatan ini biarlah menjadi dinamika yang akan terus memperkaya khasanah keilmuan dalam membuat format tata negara yang lebih baik. Dikotomi istilah “kemunduran” atau “kemajuan” demokrasi kurang tepat jika diperdebatkan sekarang, karena semua memiliki pendekatan masing-masing. Indonesia sekarang memasuki masa “konsolidasi demokrasi” setelah melewati “transisi demokrasi”. Jadi wajar dan sah-sah saja mengikuti dinamika yang berkembang dalam praktek demokrasi yang melibatkan rakyat sebagai objek demokrasi.

Dua faksi yang terbelah

Hasil perolehan kursi yang lolos parliementary threshold 3,5% (Pasal 208 UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, dan DPRD) adalah 10 partai yaitu sebagai berikut: PDIP ada 109 kursi, Golkar ada 91 kursi, Gerindra ada 73 kursi, Demokrat ada 61 kursi, PAN ada 49 kursi, PKB ada 47 kursi, PKS ada 40 kursi, PPP ada 39 kursi, Nasdem ada 35 kursi, dan Hanura ada 16 kursi. Jumlah total yang sudah dapat dipastikan perang koalisi adalah antara faksi sebagai berikut:

1.      Koalisi Merah Putih (KMP) dengan gerbong dari Gerindra, PPP,PAN,PKS,Golkar dan PBB (tidak lolos PT 3,5%, sehingga tidak dapat kursi di DPR) = 73+39+49+40+91= 292; dan
2.      Koalisi Presiden Terpilih (KPT) dengan gerbong dari PDIP,Nasdem,PKB,dan Hanura = 109+35+47+16 = 207.
Misalkan saja Partai Demokrat merapat pada pasangan koalisi merah putih (karena menurut pandangan dan pemikiran saya politik dua kaki masih dijalankan oleh partai ini sejak pemilihan umum presiden dan/atau wakil presiden tanggal 9 juli 2014) jadinya = 292+61 = 353. Hasilnya 207+ 353 adalah 560 sesuai dengan jumlah kursi yang ditentukan di DPR dan diperebutkan di 77 dapil se-Indonesia.

Dari jumlah faksi tersebut maka perdebatannya adalah sebagai berikut:
1.      KMP menginginkan pemilukada dipilih oleh anggota DPRD di semua jenjang (baik di tingkat provinsi,kabupaten dan/atau wali kota). Alasannya logisnya adalah penghematan biaya demokrasi;
2.      KPT menginginkan pemilukada tetap dipilih oleh rakyat secara langsung di semua jenjang (baik di tingkat provinsi,kabupaten dan/atau wali kota). Alasannya jika tidak ada kemunduran demokrasi; dan
3.      Usulan dari Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah adalah di tingkat provinsi tetap dipilih oleh rakyat secara langsung, akan tetapi di tingkat kabupaten dan/atau walikota dipilih oleh anggota DPRD.

Antitesis ataukah dogma demokrasi?

Jika saya ibaratkan polemik sekarang adalah seperti memilih kucing dalam karung?(rakyat tidak tahu siapa pemimpinnya?)akan tetapi jika kucingnya terlihat ternyata kucingnya terbuat dari emas dan berlian, sehingga membuat bingung para pembelinya (rakyat) jadi dibeli atau tidak. Jika saya komparasikan dengan adagium “frozen de democracy” apa yang diistilahkan Georg Sorensen apakah memang terjadi di Indonesia saat ini?
Jika ternyata KMP akan menang selain penghematan biaya demokrasi juga kualitas kepala daerah harus diprioritaskan tidak hanya menjadi pilihan mutlak partai pengusungnya. Tidak hanya senioritas dalam partai?ataukah yang dapat membayar mahal suara anggota DPRD?Menurut pandangan dan pemikiran saya adalah calon yang akan diusung dipublikasikan paling tidak rakyat tahu akan rekam jejaknya seperti apa?ataukah melibatkan lembaga survey yang dapat dipercaya calon yang akan diusung?.Walaupun hak mutlak ada di anggota DPRD atau faksi-faksi yang terbentuk dalam koalisi. Hal tersebut akan dapat meminimalisir terjadinya “memilih kucing dalam karung”. Akan tetapi perlu diingat dalam praktek sekarang koalisi di pusat berbeda dengan koalisi di daerah. KMP ini jika dapat mensolidkan dari tingkat pusat sampai ke daerah akan memberikan dinamika dan terobosan demokrasi bahwa suara dari pusat sampai daerah akan tetap sama. Hal ini akan tergantung kesolidan tidak hanya partai di tingkat DPP akan tetapi di tingkat DPD dan DPC juga harus solid. Dalam Pasal 10 RUU Pemilukada disebutkan “Peserta pemilihan gubernur adalah; a. calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Berkaitan pemilihan di tingkat kabupaten dan/atau walikota disebutkan dalam Pasal 70 yang berbunyi “ (1) Calon didaftarkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan. (2) Pendaftaran calon oleh partai politik ditandatangani oleh ketua partai politik dan sekretaris partai politik tingkat kabupaten/kota atau sebutan lain sesuai dengan AD/ART partai politik. (3) Pendaftaran calon oleh gabungan partai politik ditandatangani oleh para ketua partai politik dan sekretaris partai politik di tingkat kabupaten/kota atau sebutan lain dari setiap partai politik yang bergabung sesuai dengan AD/ART partai politik. (4)Pendaftaran calon perseorangan ditanda tangani oleh  calon perseorangan”. Pembahasaan dalam RUU yang ada masih banyak versi belum lagi perubahan-perubahan yang sekarang masih dibahas baik di fraksi, gabungan fraksi maupun yang masih dikaji oleh pihak pemerintah lewat Kemendagri. Pada fase ini juga menjawab beberap kelemahan yang terjadi selama pemilukada secara langsung. Apakah demokratis?saya katakan pada fase ini masih bersifat demokratis karena makna demokratis dapat berupa langsung maupun dengan perwakilan (substansi filosofis sila IV Pancasila). Pada sistem perwakilan aspirasi rakyat juga tetap dilibatkan dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPRD. Pendelegasian legitimasi pelembagaan ini suara rakyat masih terakomodir dan masih terjamin kesucian suaranya. Suara rakyat yang telah diberikan tersebut masih tetap dapat memberikan sifat demokratis pada penentuan kepemimpinan lokal.
Jika KPT menang, maka harus ada regulasi yang menyebabkan biaya demokrasi tidak akan terjadi atau menimal dapat terminimalisir dengan adanya regulasi baru . Selain rakyat harus menjadi pemilih cerdas tidak tergiur akan memilih pada figur yang memberikan uang, maka biaya demokrasi akan dapat terminimalisir. Jaminan regulasi dan praktek yang terjadi sekarang belum dapat menjamin tidak akan membutuhkan biaya demokrasi yang tinggi. Pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat”. Dengan demikian kedaulatan dalam menentukan pemimpin bukan lagi ditentukan oleh “perwakilan” dalam arti anggota DPRD, akan tetapi langsung oleh rakyat tanpa ada perantara apa pun. Dianggap kemunduran demokrasi adalah bagian dari konsekuensi normatif bahwa UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengadopsi agar pemilihan secara langsung (Pasal 56 bahasanya jika dicermati masih menggunakan makna “demokratis”, karena mengikuti pemilihan presiden dan/atau wakil presiden secara langsung maka pemilukada pun juga ikut secara langsung. Pasal tersebut tidak memberikan kewajiban agar pemilukada secara langsung). Mari dibandingkan sedikit jauh menengok ke belakang bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tepatnya pada Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota”. Pada bahasa hukum ini jelas dan dimaknai bahwa anggota DPRD memang memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan kepemimpinan lokal. Selain itu sistem pemilihan umum dengan “proporsional tertutup” juga memberikan dampak pada tahun 1999 tersebut. Argumentasi yang dapat diajukan adalah jika bertolak dari teori J.J Rousseau tentang “kontrak sosial”dalam berdemokrasi adalah logis. Demokrasi tanpa adanya partisipasi dari rakyat adalah bentuk pengingkaran dari demokrasi tersebut. Hal ini disebabkan bahwa dalam fakta tersebut terdapat perjanjian antara yang memerintah dan yang diperintah (pemimpin dan rakyat secara langsung). Dengan demikian pemimpin secara otomatis langsung bertanggung jawab secara moral-politis pada rakyat bukan lagi pada partai atau pun koalisi partai yang mengusungnya, karena ini adalah hakikat demokrasi sebenarnya yaitu seperti yang disampaikan Abraham Lincoln“dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat”. Pada fase ini juga akan dapat mereduksi distorsi aspirasi publik dan intervensi pusat pada daerah dalam menentukan kepemimpinan lokal. Oligarkhi partai juga akan memberikan implikasi terhadap kebijakan lokal dalam menentukan figur-figur kepemimpinan lokal sebagai alternatif sebagai bekal dalam kepemimpinan nasional. Pada fase ini jangan sampai terjadi apa yang dikatakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philip C.Schmitter terkait “liberalisasi politik”, karena tahapan ini akan ada kecenderungan mengarah pada fakta tersebut jika tidak ada kran penutup atau jarak antara rakyat dengan sistem demokras yang masih serba coba-coba ini.
Usulan dari Kemendagri ini menurut pandangan dan pemikiran saya merupakan jalan tengah. Selain memang coba-coba sistem dalam praktek demokrasi juga hanya yang dipilih langsung di tingkat provinsi saja. Sistem coba-coba ini akan dapat memimimalisir biaya demokrasi yang tinggi mengingat jumlah kabupaten dan/atau wali kota sangat banyak, karena demoracy is “sell of expensive”, sehingga dari pemilukada yang terjadi dari berbagai lembaga yang saya amati tidak ada proses yang tidak memakan biaya tinggi. Semua menguras APBN dan APBD bahkan uang pribadi atau partai pengusungnya. Fase 3 tahun pertama adalah balik modal. 1 tahun kemudian baru bekerja untuk rakyat itu pun jika serius. 1 tahun terakhir adalah persiapan untuk mencari modal untuk pertarungan pada pemilukada selanjutnya. Fakta ini sangat tepat jika saya benturkan dengan istilah “illicit income generaton” atau dalam beberapa pandangan diistilahkan dengan “teori balik modal”. Semua memiliki pendekatan masing-masing dan saya lebih suka dengan istilah pemaknaan saya sendiri tersebut. Jika ini dipraktekan maka harus dipertimbangkan dengan wacana pemilukada serentak tahun 2015 dan 2018 serta pemilukada secara nasional tahun 2020 Jika tidak dalam praktek akan terjadi hambatan baik secara teknis maupun biayanya.

Perdebatan fraksi dalam perpecahan faksi di DPR sebenarnya telah dimulai sejak tanggal 8 Juli 2009 tentang pengesahan RUU MD3 menjadi UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3. Akhirnya faksi KMP memenangkan drama politik tersebut. Jika ternyata musyawarah mufakat tidak tercapai dan voting dilakukan, maka tanggal 25 September 2014 pada sidang paripurna sudah dapat dipastikan yang menang adalah faksi KMP,akan tetapi jika sebaliknya komposisi berubah (ada satu saja partai yang tergabung dalam koalisi berpindah halauan) maka KPT akan menang. Apakah justru SBY akan turun tangan dan menjadi penengah? (mendengarkan berbagai pihak dan kalangan terkait format yang paling ideal) dan hasilnya akan ditunda pada periode berikutnya?. Mari kita tunggu saja akan seperti apa hasilnya.

No comments:

Designed By Mas Say