Presiden adalah simbol baik sebagai
kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan (Pasal Pasal 4 UUD NRI Tahun
1945). Konsekuensinya hak sebagai presiden melekat dan bersifat mutlak. Akan
tetapi dalam proses ketetanegaraan sifat mutlak tersebut tergerus dengan makin
terbukanya proses demokratisasi yang ada. Demokrasi membuka agar melibatkan
semua pihak dalam menentukan nasib negara dan proses bernegara menuju good governance maupun clean governmant. Presiden dengan hak
prerogatifnya juga memiliki peranan penting dalam penegakan hukum, khususnya
dalam pemberantasan korupsi. Trisula alat penegakan hukum pemberantasan korupsi
dirasakan penting karena masih menempati urutan 179 negara terkorup di dunia.
Trisula tersebut adalah KPK,Kejaksaan dan POLRI. Hak mutak presiden yang juga
sebagai panglima tertinggi atas AD,AL, dan AU (Pasal 10 UUD NRI Tahun 1945).
Pasca reformasi dan dilema adanya pemisahan dwifungsi ABRI, maka TNI dan POLRI
dipisahkan baik secara kelembagaan mapun dalam tugas dan wewenangnya maupun
posisi dalam tata negara di Indonesia setelah amandemen kedua konstitusi
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah umbrella
act dalam menjalankan tugas dan wewenang POLRI. Aggota terbaik dari POLRI
dari zaman Megawati sebagai presiden sampai SBY (Da’i Bachtiar,Sutanto,Bambang
Hendarso Danuri,Timur Pradopo, dan Sutarman) telah mengalami pergantian dan
mekanisme maupun gaya politik berbeda dalam menentukan pimpinan tertinggi di
tubuh POLRI. Sejak 20 0ktober 2014 presiden telah berganti pada Jokowi.
Konstelasi dan kontestasi politik tetap memanas mengikuti koalisi masing-masing
baik yang tergabung dalam KMP maupun KIH. Masa sidang DPR RI sampai akhir tahun
2104 adalah titik awal polemik politik makin terlihat saling manjatuhkan dan
saling sandra menyandra. Masa reses DPR RI pun tiba dengan diakhiri PR besar
tentang RUU Pemilukada. Awal tahun 2015 dengan adanya R-APBN, maka masa sidang dibuka
pada tanggal 12 Januari 2015.
Presiden sebagai pimpinan tertinggi
dalam lembaga kepresidenan dan sebagai pemegang tertinggi dari lembaga
eksekutif pasca pelantikan tetap menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kebijakan-kebijkan yang kontroversi dinilai masyarakat dari proses pemilihan
menteri,kenaikan BBM dan dianggap mengabaikan adanya hukum dalam setiap
pengambilan kebijakannya. Hukum dianggap tidak penting dan yang terpenting
adalah kerja dan kerja. Hal itu sah dan boleh saja, akan tetapi perlu diingat
bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945).
Ibarat kereta api yang berjalan tanpa rel?ibarat yang seharusnya jalan di zebra
cross, tapi berjalan di jalan raya?ibarat naik pesawat, tanpa adanya
pilot?ibarat jalan dilaut tanpa kapal?. Hal tersebut boleh saja asalkan
memiliki kesaktian tertentu. Polemik terjadi dan menghebohkan publik ketika
selang beberapa hari sebelum masa sidang DPR dibuka, presiden mengajukan Budi
Gunawan ke DPR RI sebagai Cakapolri tunggal pengganti Sutarman walaupun masih akan
selesai jabatannya pada Oktober 2015. Pasca dijadikannya sebagai tersangka dan
sesuai batas waktu yang diberikan adalah 20 hari. Hal ini diatur dalam Pasal 11
ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Akhrinya selang 1 hari setelah masa sidang DPR RI dibuka tanggal 13
Januari 2015 Cakapolri tersebut dijadikan tersangka oleh KPK. Selang beberapa
waktu tepatnya tanggal 23 Januari 2015 gantian wakil ketua KPK Bambang
Widjoyanto yang dijadikan tersangka oleh POLRI. Hal ini menjadikan titik awal dua
instansi saling menyandra.
Dalam perspektif politik
Penetapan status tersangka
Budi Gunawan oleh KPK banyak dipertanyakan publik kenapa mendekati uji
kelayakan di Komisi III DPR RI atau hanya selang 1 hari setelah masa sidang DPR
RI dibuka?. POLRI yang paling tidak terima salah satu anggota terbaiknya
dijadikan tersangka atas kasus yang terjadi pada tahun 2010. Penerapan hukumnya
juga dipertanyakan benar atau tidak?. KPK pun tidak selamanya benar dalam
menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini terbukti dengan bocornya
sprindik atas penetapan tersangka Anas Urbaningrum dan setelah diperiksa oleh
komite etik ternyata ada kesalahan prosedur. Jika dicermati bersama
transaksional politik masih terjadi dan ada sangkut pautnya dengan deal-dealan
politik sebelum pilpres. Ketua Kompolnas yang juga politisi dari Partai Nasdem (partai
dianggap paling berjasa dengan menaikan popularitas waktu pilpres) sekaligus
sebagai Menkopolhukam mengajukan Budi Gunawan sebagai Cakapolri tunggal
(terlepas pro dan kontra penentuan anggota terbaik di POLRI). Dia adalah mantan
ajudan dari Megawati yang sekaligus sebagai ketua umum dari PDIP partai penguasa.
Hal tersebut sah dan wajar. Dengan berbagai pertimbangan, maka DPR RI
melanjutkan melakukan fit and proper test
pada Budi Gunawan sebagai Cakapolri tunggal yang diajukan presiden. Pada fase
ini timbul konflik dan pemaknaan dari berbagai kalangan yang debat dan argumentasi
tentang etis dan tidaknya DPR RI melanjutkan uji kelayakan tersebut karena sudah
dijadikan tersangka oleh PK. Akhirnya Komisi III DPR RI menyetujui dan bahkan
setelah diparipurnakan. Lalu kenapa hanya Partai Demokrat yang tidak
menyetujui?padahal KMP solid bersatu dengan KIH?padahal sebenarnya selalu beda
pendapat?.Partai Demokrat sebagai partai penyeimbang apakah hanya dijadikan
patron dan icon?karena usulnya secara tidak langsung dituruti presiden untuk
menunda pelantikan. Bagaimanakah sikap manuver SBY dan Megawati dalam posisi
ini?rivalitas masih ada dan sama-sama tidak mau kalah. KMP seolah-olah lepas
tangan atau ini adalah jebakan agar internal KIH makin konflik dengan patron
presiden dibuat bingung mengambil sikap?. PDIP pun tampak pecah dan banyak
faksi antara pendukung dan kontra dengan presiden. Jika presiden blunder salah
mengambil sikap, maka celah pemakzulan terhadap presiden terbuka lebar dan
tinggal tunggu waktu.
Disisi lain KPK pun
juga akan melanjutkan proses hukumnya sesuai tugas dan wewenangnya. Fase ini
juga timbul polemik bahwa jika diloloskan akan seperti apa?dan jika tidak
seperti apa?. Menurut saya jelas konteks ketatanegaraan yang seharusnya dapat
berjalan dengan baik telah ditunggangi dan dirusak oleh kepentingan politik. Dalam
politik kepentingan abadi dan sakit hati adalah mutlak terjadi. Anasir politik
telah memasuki wilayah institusi KPK (para politisi PDIP sebagai personal telah
disakiti karena kasus hukum,PDIP secara lembaga karena dianggap kalah manuver,
dan grey area sebagai trouble maker) dan POLRI (kubu PDIP
Megawati lewat Budi Gunawan, kubu Nasdem lewat ketua Kompolnas, kubu Presiden
sendiri sebagai netralisir dan menjadikan Sekab sebagai tamengnya,kubu
rivalitas di dalam POLRI sendiri) terlepas atas manuver pribadi maupun
melibatkan institusi. Atas laporan tim 11 sebelum Pilpres tanggal 9 Juli 2014
Abaraham Samad ketua KPK pernah menjadi bagian dari 6 cawapres Jokowi. Hal ini
semua diungkap oleh politisi dari PDIP Hasto Kristiyanto
membuka dan mempraktekan kepada publik bahwa ketua KPK pernah bertemu dengan
para tim sukses PDIP dan para pengusung capres Jokowi. Dampak hal ini jelas
terkena pada institusinya yaitu KPK itu sendiri. Dapat dicermati karena KPK
telah menetapkan tersangka pada Budi Gunawan yang diusulkan oleh PDIP. Pada
tahun politik 2014 baik oknum maupun atas nama instansi banyak yang bermain mata.
Hal ini jelas saling sandra politik belum selesai dan presiden pun belum dapat
lepas dari sandra tersebut. Partai politik sebagai pendukung dalam KIH, mantan
tim sukses dan orang yang berjasa pasti akan diberikan posisi jabatan oleh
presiden. Presiden secara tidak langsung dari partai penguasa akan memecah dua
faksi dan menyebabkan berseberangan dengan ketua umumnya.
Hal ini dapat dicermati dari
pernyataan-pernyataan Sekab yang selalu berseberangan dengan para politisi
PDIP. Retorika ini dapat dijadikan sebagai pengalihan isu agar seolah-olah
eksekutif lepas dari partai pengusung. Walaupun presiden masih tampak terjerat
dan belum berani keluar dari kepungan orang-orang terdekatnya. Bahkan Sekab
juga bilang bahwa belum ada Plt POLRI yaitu atas pengangkatan Wakapolri
Badrotin Haiti sebagai Plt dari presiden. Pada posisi dan polemik ini menurut
saya jika berani presiden harus mengundurkan diri dari partainya, karena dengan
itu akan dapat terlepas dari sandra politik. Jika berani maka dukungan rakyat akan
makin solid dan akan dikenang dalam sejarah.
Polemik terkait hak prerogatif
presiden dalam penetapan Kapolri belum selesai, timbul masalah baru yaitu
dijadikan tersangkanya Bambang Widjoyanto salah satu wakil ketua KPK tersangka
oleh POLRI. Hal ini terjadi pada tanggal 23 Januari 2014. Penetapan status
tersangka ini juga menuai kecaman dari berbagai pihak kenapa hampir bersamaan
dengan dijadikannya tersangka Budi Gunawan oleh KPK?. Penetapan tersangka oleh
POLRI juga berdasarkan KUHAP dalam menetapkan tersangka. Hal ini dijelaskan
penetapan status tersangka tersebut karena terindikasi pengarahan saksi palsu
pada sengketa Pemilukada dari Kota Waringin Barat pada tahun 2010. Sekitar 4
hari sebelum penetapan tersebut telah
ada laporan yang dijadikan dasar oleh POLRI. Pelapor tersebut adalah Sugianto
Sabran (merupakan politisi dari PDIP) yang telah dianulir kemenangannya pada pemilukada
tersebut dan memenangkan klien dari Bambang Widjoyanto yang pada waktu itu
menjadi kuasa hukum dari pihak yang dimenangkan oleh MK.
Dalam perspektif hukum
tata negara
Dengan ditetapkan tersangka wakil
ketua KPK tersebut maka pimpinan KPK hanya 3 orang. Dengan jumlah tersebut
timbul masalah baru terkait sah dan tidaknya penetapan kasus tersangka jika
tidak memenuhi semua unsur dari KPK yang seharusnya ada 5 orang. Akan tetapi
hal ini sudah ada putusan MK terkait makna kolektif dalam pimpinan KPK. Selain
itu juga terindikasi akan ada kekosongan pimpinan KPK karena status tersangka. Jika
ditelaah lebih lanjut, maka sebenarnya Bambang Widjoyanto ketika menjalankan
tugas tersebut mendapat hak imunitas tidak dapat dipidana selama menjalankan
tugasnya yaitu dari Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat
maupun putusan MK No.26 Tahun 2013. Untuk menengahi potensi konflik yang
terjadi sebenarnya baik dari advokat yang berada dalam naungan PERADI dan POLRI
telah diatur dalam Mou No.B/7/II/2012 dan No.002/Peradi-DPN/Mou/II/2012. Dalam
praktek masih terdapat banyak perbedaan.
Dalam Pasal 32 ayat (2)
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan
bahwa “Dalam hal Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan,
diberhentikan sementara dari jabatannya”.
Selanjutnya pada ayat (3) “Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia”. Dari pernyataan dari
Sekab jika akan dikeluarkan Keppres masih akan menunggu dari penyidik POLRI,
hal ini terlihat janggal. Keppres pada posisi ini belum dapat dikeluarkan.
Keppres baru dapat dikeluarkan jika memang sudah ada inisiatif dari Bambang
Widjoyanto untuk mengundurkan diri dari KPK (pengundurannya ditolak pimpinan
KPK dan akan ditindaklanjuti dengan pemberian surat pada presiden) atau sudah
ada putusan tetap dari pengadilan. Menurut saya dari tafsir putusan MK tahun
2009 terkait makna yang diajukan materi dari pasal tersebut diatas. Akhirnya
Bambang Widjoyanto berdasarkan Pasal 32 ayat (1) point e bahwa adanya syarat
pimpinan KPK dapat berhenti jika mengundurkan diri. Aturan tersebut telah
digunakan walaupun akhirnya pimpinan KPK lainnya menolak pengunduran diri
tersebut. Senjata yang paling ampuh digunakan oleh presiden adalah Keppres (Pasal
4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945) maupun Perppu (Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945) dalam menyikapi ini semua, walaupun sebagai argumentasi dalam penggunaan
2 alat tersebut jika tidak hati-hati akan blunder. Keppres setelah dan jika
terbukti dari putusan tetap dari pengadilan baru dikeluarkan adalah cara bijak
bagi presiden agar Bambang Widjoyanto tetap melaksanakan tugas sebagai
komisioner KPK.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut berbunyi
“Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya dalam ayat
(2) “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya” adalah titik awal perdebatan
antara lembaga eksekutif dan legislatif. Pada aturan ini lebih dominan
digunakani oleh DPR RI sebagai argumentasi agar segera dilantik oleh presiden.
Akan tetapi presiden juga memilik tafsir sendiri terhadap fenomena ini dari
aturan dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara bahwa
hak prerogatif tersebut merupakan hak presiden dalam menjalankan proses
administrasi negara terhadap jajaran bawahanya. Hal ini ada batasan waktu dalam
20 hari yang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang No.2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait kewenangan DPR
RI dalam menyikapi tersebut.
Persoalan yang muncul adalah apakah
wajib segera dilantik atau tidak setelah mendapat persetujuan DPR RI?Batas
waktu terkait hal ini tidak ada aturan jelas baik dalam konstitusi maupun
aturan dibawahnya. Dalam fenomena ini dimanfaatkan oleh presiden dengan hak
prerogatifnya sebagai celah. Terlepas anasir politik yang masuk, konteks tata
negara tidak boleh ada jalan buntu. Tafsir dari Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun
1945 adalah
paling relevan dalam penerapan sistem presidential atau check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif jika
digunakan alasan terkait batas waktu yang harus diberikan terkait batas
pelantikan yang seharusnya dilakukan oleh presiden. Batas waktu hanya 30 hari
terkait masalah legalitas RUU bukan masalah Cakapolri dari presiden. Hal ini
jelas menurut saya beda argumentasi yang diberikan jika terkait dengan
pengajuan Cakapolri oleh presiden. Walaupun secara kelembagaan ada kesamaan,
akan tetapi dalam domainnya berbeda. Celah dalam tata negara akan ada jika
presiden jelas dalam memberikan argumentasi tentang pengangkatan Plt Kapolri.
Ketidak jelasan tersebut meliputi batas waktu Plt sampai kapan?.Plt diberikan
atas dasar masa tugas Kapolri Sutarman sudah berakhir atau cuma menggantikan
Budi Gunawan yang masih ditunda pelantikannya? Presiden adalah lambang panglima
tertinggi dalam menerapkan sistem presidential dalam pemerintahan. Baju partai
harus dilepas dan menunjukan sikap negarawan ketika sudah merasa menjadi
presiden dan 70% presiden memiliki kewenangan apapun dalam bingkai presidential
tersebut. Image sebagai petugas
partai harus dilepaskan dan dibuktikan tegas dalam mengambil sikap. Agar
polemik tata negara dalam terminimalisir maka menurut saya ada beberapa
alternatif agar Keppres sesuai rule
nya yaitu sebagai berikut:
1. Presiden
mengundurkan diri dari PDIP agar sistem presidential makin kuat dan kebijakan
tidak terintervensi;
2. Budi
Gunawan diminta mundur instansi POLRI dan dari Cakapolri dan kemudian Plt Kapolri
Badrotin Haiti diajukan pada DPR RI untuk mendapat persetujuan;
3. Presiden
mengajukan lagi Cakapolri dan minimal adalah dua jangan tunggal agar dapat
meminimalisir potensi konflik untuk mendapat persetujuan dari DPR RI; dan
4. Jika
Budi Gunawan tidak mau mengundurkan diri karena anasir politik dari partai
koalisi pasti akan merecoki, maka presiden dapat mengajukan Cakapolri dan melakukan
seleksi ulang (melibatkan banyak pihak dan para pakar) untuk diajukan lagi ke
DPR RI untuk mendapat persetujuan.
No comments:
Post a Comment