Breaking News

28 January 2015

LANGKAH PRESIDENKU: TRANSAKSIONAL ATAUKAH PRESIDENTIAL (KPK vs POLRI)



Presiden adalah simbol baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan (Pasal Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945). Konsekuensinya hak sebagai presiden melekat dan bersifat mutlak. Akan tetapi dalam proses ketetanegaraan sifat mutlak tersebut tergerus dengan makin terbukanya proses demokratisasi yang ada. Demokrasi membuka agar melibatkan semua pihak dalam menentukan nasib negara dan proses bernegara menuju good governance maupun clean governmant. Presiden dengan hak prerogatifnya juga memiliki peranan penting dalam penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Trisula alat penegakan hukum pemberantasan korupsi dirasakan penting karena masih menempati urutan 179 negara terkorup di dunia. Trisula tersebut adalah KPK,Kejaksaan dan POLRI. Hak mutak presiden yang juga sebagai panglima tertinggi atas AD,AL, dan AU (Pasal 10 UUD NRI Tahun 1945). Pasca reformasi dan dilema adanya pemisahan dwifungsi ABRI, maka TNI dan POLRI dipisahkan baik secara kelembagaan mapun dalam tugas dan wewenangnya maupun posisi dalam tata negara di Indonesia setelah amandemen kedua konstitusi

Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah umbrella act dalam menjalankan tugas dan wewenang POLRI. Aggota terbaik dari POLRI dari zaman Megawati sebagai presiden sampai SBY (Da’i Bachtiar,Sutanto,Bambang Hendarso Danuri,Timur Pradopo, dan Sutarman) telah mengalami pergantian dan mekanisme maupun gaya politik berbeda dalam menentukan pimpinan tertinggi di tubuh POLRI. Sejak 20 0ktober 2014 presiden telah berganti pada Jokowi. Konstelasi dan kontestasi politik tetap memanas mengikuti koalisi masing-masing baik yang tergabung dalam KMP maupun KIH. Masa sidang DPR RI sampai akhir tahun 2104 adalah titik awal polemik politik makin terlihat saling manjatuhkan dan saling sandra menyandra. Masa reses DPR RI pun tiba dengan diakhiri PR besar tentang RUU Pemilukada. Awal tahun 2015 dengan adanya R-APBN, maka masa sidang dibuka pada tanggal 12 Januari 2015.
Presiden sebagai pimpinan tertinggi dalam lembaga kepresidenan dan sebagai pemegang tertinggi dari lembaga eksekutif pasca pelantikan tetap menjalankan tugas dan wewenangnya. Kebijakan-kebijkan yang kontroversi dinilai masyarakat dari proses pemilihan menteri,kenaikan BBM dan dianggap mengabaikan adanya hukum dalam setiap pengambilan kebijakannya. Hukum dianggap tidak penting dan yang terpenting adalah kerja dan kerja. Hal itu sah dan boleh saja, akan tetapi perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945). Ibarat kereta api yang berjalan tanpa rel?ibarat yang seharusnya jalan di zebra cross, tapi berjalan di jalan raya?ibarat naik pesawat, tanpa adanya pilot?ibarat jalan dilaut tanpa kapal?. Hal tersebut boleh saja asalkan memiliki kesaktian tertentu. Polemik terjadi dan menghebohkan publik ketika selang beberapa hari sebelum masa sidang DPR dibuka, presiden mengajukan Budi Gunawan ke DPR RI sebagai Cakapolri tunggal pengganti Sutarman walaupun masih akan selesai jabatannya pada Oktober 2015. Pasca dijadikannya sebagai tersangka dan sesuai batas waktu yang diberikan adalah 20 hari. Hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akhrinya selang 1 hari setelah masa sidang DPR RI dibuka tanggal 13 Januari 2015 Cakapolri tersebut dijadikan tersangka oleh KPK. Selang beberapa waktu tepatnya tanggal 23 Januari 2015 gantian wakil ketua KPK Bambang Widjoyanto yang dijadikan tersangka oleh POLRI. Hal ini menjadikan titik awal dua instansi saling menyandra.

                        Dalam perspektif politik

Penetapan status tersangka Budi Gunawan oleh KPK banyak dipertanyakan publik kenapa mendekati uji kelayakan di Komisi III DPR RI atau hanya selang 1 hari setelah masa sidang DPR RI dibuka?. POLRI yang paling tidak terima salah satu anggota terbaiknya dijadikan tersangka atas kasus yang terjadi pada tahun 2010. Penerapan hukumnya juga dipertanyakan benar atau tidak?. KPK pun tidak selamanya benar dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini terbukti dengan bocornya sprindik atas penetapan tersangka Anas Urbaningrum dan setelah diperiksa oleh komite etik ternyata ada kesalahan prosedur. Jika dicermati bersama transaksional politik masih terjadi dan ada sangkut pautnya dengan deal-dealan politik sebelum pilpres. Ketua Kompolnas yang juga politisi dari Partai Nasdem (partai dianggap paling berjasa dengan menaikan popularitas waktu pilpres) sekaligus sebagai Menkopolhukam mengajukan Budi Gunawan sebagai Cakapolri tunggal (terlepas pro dan kontra penentuan anggota terbaik di POLRI). Dia adalah mantan ajudan dari Megawati yang sekaligus sebagai ketua umum dari PDIP partai penguasa. Hal tersebut sah dan wajar. Dengan berbagai pertimbangan, maka DPR RI melanjutkan melakukan fit and proper test pada Budi Gunawan sebagai Cakapolri tunggal yang diajukan presiden. Pada fase ini timbul konflik dan pemaknaan dari berbagai kalangan yang debat dan argumentasi tentang etis dan tidaknya DPR RI melanjutkan uji kelayakan tersebut karena sudah dijadikan tersangka oleh PK. Akhirnya Komisi III DPR RI menyetujui dan bahkan setelah diparipurnakan. Lalu kenapa hanya Partai Demokrat yang tidak menyetujui?padahal KMP solid bersatu dengan KIH?padahal sebenarnya selalu beda pendapat?.Partai Demokrat sebagai partai penyeimbang apakah hanya dijadikan patron dan icon?karena usulnya secara tidak langsung dituruti presiden untuk menunda pelantikan. Bagaimanakah sikap manuver SBY dan Megawati dalam posisi ini?rivalitas masih ada dan sama-sama tidak mau kalah. KMP seolah-olah lepas tangan atau ini adalah jebakan agar internal KIH makin konflik dengan patron presiden dibuat bingung mengambil sikap?. PDIP pun tampak pecah dan banyak faksi antara pendukung dan kontra dengan presiden. Jika presiden blunder salah mengambil sikap, maka celah pemakzulan terhadap presiden terbuka lebar dan tinggal tunggu waktu.
Disisi lain KPK pun juga akan melanjutkan proses hukumnya sesuai tugas dan wewenangnya. Fase ini juga timbul polemik bahwa jika diloloskan akan seperti apa?dan jika tidak seperti apa?. Menurut saya jelas konteks ketatanegaraan yang seharusnya dapat berjalan dengan baik telah ditunggangi dan dirusak oleh kepentingan politik. Dalam politik kepentingan abadi dan sakit hati adalah mutlak terjadi. Anasir politik telah memasuki wilayah institusi KPK (para politisi PDIP sebagai personal telah disakiti karena kasus hukum,PDIP secara lembaga karena dianggap kalah manuver, dan grey area sebagai trouble maker) dan POLRI (kubu PDIP Megawati lewat Budi Gunawan, kubu Nasdem lewat ketua Kompolnas, kubu Presiden sendiri sebagai netralisir dan menjadikan Sekab sebagai tamengnya,kubu rivalitas di dalam POLRI sendiri) terlepas atas manuver pribadi maupun melibatkan institusi. Atas laporan tim 11 sebelum Pilpres tanggal 9 Juli 2014 Abaraham Samad ketua KPK pernah menjadi bagian dari 6 cawapres Jokowi. Hal ini semua diungkap oleh politisi dari PDIP Hasto Kristiyanto membuka dan mempraktekan kepada publik bahwa ketua KPK pernah bertemu dengan para tim sukses PDIP dan para pengusung capres Jokowi. Dampak hal ini jelas terkena pada institusinya yaitu KPK itu sendiri. Dapat dicermati karena KPK telah menetapkan tersangka pada Budi Gunawan yang diusulkan oleh PDIP. Pada tahun politik 2014 baik oknum maupun atas nama instansi banyak yang bermain mata. Hal ini jelas saling sandra politik belum selesai dan presiden pun belum dapat lepas dari sandra tersebut. Partai politik sebagai pendukung dalam KIH, mantan tim sukses dan orang yang berjasa pasti akan diberikan posisi jabatan oleh presiden. Presiden secara tidak langsung dari partai penguasa akan memecah dua faksi dan menyebabkan berseberangan dengan ketua umumnya.
Hal ini dapat dicermati dari pernyataan-pernyataan Sekab yang selalu berseberangan dengan para politisi PDIP. Retorika ini dapat dijadikan sebagai pengalihan isu agar seolah-olah eksekutif lepas dari partai pengusung. Walaupun presiden masih tampak terjerat dan belum berani keluar dari kepungan orang-orang terdekatnya. Bahkan Sekab juga bilang bahwa belum ada Plt POLRI yaitu atas pengangkatan Wakapolri Badrotin Haiti sebagai Plt dari presiden. Pada posisi dan polemik ini menurut saya jika berani presiden harus mengundurkan diri dari partainya, karena dengan itu akan dapat terlepas dari sandra politik. Jika berani maka dukungan rakyat akan makin solid dan akan dikenang dalam sejarah.
Polemik terkait hak prerogatif presiden dalam penetapan Kapolri belum selesai, timbul masalah baru yaitu dijadikan tersangkanya Bambang Widjoyanto salah satu wakil ketua KPK tersangka oleh POLRI. Hal ini terjadi pada tanggal 23 Januari 2014. Penetapan status tersangka ini juga menuai kecaman dari berbagai pihak kenapa hampir bersamaan dengan dijadikannya tersangka Budi Gunawan oleh KPK?. Penetapan tersangka oleh POLRI juga berdasarkan KUHAP dalam menetapkan tersangka. Hal ini dijelaskan penetapan status tersangka tersebut karena terindikasi pengarahan saksi palsu pada sengketa Pemilukada dari Kota Waringin Barat pada tahun 2010. Sekitar 4 hari sebelum  penetapan tersebut telah ada laporan yang dijadikan dasar oleh POLRI. Pelapor tersebut adalah Sugianto Sabran (merupakan politisi dari PDIP) yang telah dianulir kemenangannya pada pemilukada tersebut dan memenangkan klien dari Bambang Widjoyanto yang pada waktu itu menjadi kuasa hukum dari pihak yang dimenangkan oleh MK.

Dalam perspektif hukum tata negara

Dengan ditetapkan tersangka wakil ketua KPK tersebut maka pimpinan KPK hanya 3 orang. Dengan jumlah tersebut timbul masalah baru terkait sah dan tidaknya penetapan kasus tersangka jika tidak memenuhi semua unsur dari KPK yang seharusnya ada 5 orang. Akan tetapi hal ini sudah ada putusan MK terkait makna kolektif dalam pimpinan KPK. Selain itu juga terindikasi akan ada kekosongan pimpinan KPK karena status tersangka. Jika ditelaah lebih lanjut, maka sebenarnya Bambang Widjoyanto ketika menjalankan tugas tersebut mendapat hak imunitas tidak dapat dipidana selama menjalankan tugasnya yaitu dari Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun putusan MK No.26 Tahun 2013. Untuk menengahi potensi konflik yang terjadi sebenarnya baik dari advokat yang berada dalam naungan PERADI dan POLRI telah diatur dalam Mou No.B/7/II/2012 dan No.002/Peradi-DPN/Mou/II/2012. Dalam praktek masih terdapat banyak perbedaan.
Dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan bahwa “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”. Selanjutnya pada ayat (3) “Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia”. Dari pernyataan dari Sekab jika akan dikeluarkan Keppres masih akan menunggu dari penyidik POLRI, hal ini terlihat janggal. Keppres pada posisi ini belum dapat dikeluarkan. Keppres baru dapat dikeluarkan jika memang sudah ada inisiatif dari Bambang Widjoyanto untuk mengundurkan diri dari KPK (pengundurannya ditolak pimpinan KPK dan akan ditindaklanjuti dengan pemberian surat pada presiden) atau sudah ada putusan tetap dari pengadilan. Menurut saya dari tafsir putusan MK tahun 2009 terkait makna yang diajukan materi dari pasal tersebut diatas. Akhirnya Bambang Widjoyanto berdasarkan Pasal 32 ayat (1) point e bahwa adanya syarat pimpinan KPK dapat berhenti jika mengundurkan diri. Aturan tersebut telah digunakan walaupun akhirnya pimpinan KPK lainnya menolak pengunduran diri tersebut. Senjata yang paling ampuh digunakan oleh presiden adalah Keppres (Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945) maupun Perppu (Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945) dalam menyikapi ini semua, walaupun sebagai argumentasi dalam penggunaan 2 alat tersebut jika tidak hati-hati akan blunder. Keppres setelah dan jika terbukti dari putusan tetap dari pengadilan baru dikeluarkan adalah cara bijak bagi presiden agar Bambang Widjoyanto tetap melaksanakan tugas sebagai komisioner KPK.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut berbunyi “Kapolri  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya dalam ayat (2) “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya” adalah titik awal perdebatan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Pada aturan ini lebih dominan digunakani oleh DPR RI sebagai argumentasi agar segera dilantik oleh presiden. Akan tetapi presiden juga memilik tafsir sendiri terhadap fenomena ini dari aturan dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara bahwa hak prerogatif tersebut merupakan hak presiden dalam menjalankan proses administrasi negara terhadap jajaran bawahanya. Hal ini ada batasan waktu dalam 20 hari yang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait kewenangan DPR RI dalam menyikapi tersebut.
Persoalan yang muncul adalah apakah wajib segera dilantik atau tidak setelah mendapat persetujuan DPR RI?Batas waktu terkait hal ini tidak ada aturan jelas baik dalam konstitusi maupun aturan dibawahnya. Dalam fenomena ini dimanfaatkan oleh presiden dengan hak prerogatifnya sebagai celah. Terlepas anasir politik yang masuk, konteks tata negara tidak boleh ada jalan buntu. Tafsir dari Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 adalah paling relevan dalam penerapan sistem presidential atau check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif jika digunakan alasan terkait batas waktu yang harus diberikan terkait batas pelantikan yang seharusnya dilakukan oleh presiden. Batas waktu hanya 30 hari terkait masalah legalitas RUU bukan masalah Cakapolri dari presiden. Hal ini jelas menurut saya beda argumentasi yang diberikan jika terkait dengan pengajuan Cakapolri oleh presiden. Walaupun secara kelembagaan ada kesamaan, akan tetapi dalam domainnya berbeda. Celah dalam tata negara akan ada jika presiden jelas dalam memberikan argumentasi tentang pengangkatan Plt Kapolri. Ketidak jelasan tersebut meliputi batas waktu Plt sampai kapan?.Plt diberikan atas dasar masa tugas Kapolri Sutarman sudah berakhir atau cuma menggantikan Budi Gunawan yang masih ditunda pelantikannya? Presiden adalah lambang panglima tertinggi dalam menerapkan sistem presidential dalam pemerintahan. Baju partai harus dilepas dan menunjukan sikap negarawan ketika sudah merasa menjadi presiden dan 70% presiden memiliki kewenangan apapun dalam bingkai presidential tersebut. Image sebagai petugas partai harus dilepaskan dan dibuktikan tegas dalam mengambil sikap. Agar polemik tata negara dalam terminimalisir maka menurut saya ada beberapa alternatif agar Keppres sesuai rule nya yaitu sebagai berikut:
1.      Presiden mengundurkan diri dari PDIP agar sistem presidential makin kuat dan kebijakan tidak terintervensi;
2.      Budi Gunawan diminta mundur instansi POLRI dan dari Cakapolri dan kemudian Plt Kapolri Badrotin Haiti diajukan pada DPR RI untuk mendapat persetujuan;
3.      Presiden mengajukan lagi Cakapolri dan minimal adalah dua jangan tunggal agar dapat meminimalisir potensi konflik untuk mendapat persetujuan dari DPR RI; dan
4.      Jika Budi Gunawan tidak mau mengundurkan diri karena anasir politik dari partai koalisi pasti akan merecoki, maka presiden dapat mengajukan Cakapolri dan melakukan seleksi ulang (melibatkan banyak pihak dan para pakar) untuk diajukan lagi ke DPR RI untuk mendapat persetujuan.


No comments:

Designed By Mas Say