Breaking News

30 June 2015

DINAMIKA PEMILUKADA SERENTAK TAHUN 2015

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) pada tahun 2015 berbeda dengan tahapan yang diselenggarakan sebelumnya. Perjalanan penjang telah dilewati sebagai proses demokratisasi di Indonesia. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah memuat aturan tentang pemilukada masuk ke dalam aturan tersebut. Akan tetapi, setelah dinamika praktek demokrasi dengan intrik politik yang terjadi aturan terkait dengan pemilukada ada aturan tersendiri. Bersamaan dengan perubahan politik baik sebelum maupun pasca pilpres 2014 khususnya di legislatif terdapat polarisasi dan distorsi antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka aturan pemilukada pun terpisah tersendiri dan tarik ulurnya sesuai dinamika di legislatif. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Udang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-udang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada tanggal 9 Desember 2015 akan diadakan pemilukada secara serentak di seluruh Indonesia. Amanat dari Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat maupun daerah juga telah menyiapkan semuanya termasuk mengeluarkan kebijakan yang lebih teknis dengan beberapa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Salah satunya adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Aturan yang lebih teknis dari PKPU tersebut dapat berupa surat edaran KPU atau yang lainnya. Penderevatifan beberapa aturan ini adalah langkah awal agar konstruksi hukum dalam pemilukada dalam berjalan dengan baik.

 
Substansi dalam pemilukada yang akan berpotensial menimbulkan konflik hukum adalah pada tahap penyelenggaraan. Adapun alurnya adalah sebagai berikut: Penyerahan syarat dukungan calon Gubernur dan Wakil Gubernur ke KPU Provinsi pada tanggal 8 Juni 2015 sampai 12 Juni 2015; Penyampaian syarat dukungan ke KPU Kabupaten pada tanggal 16 Juni 2015 sampai 18 Juni 2015; Penyerahan syarat dukungan calon Bupati dan Wakil Bupati dan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke KPU pada tanggal 11 Juni 2015 sampai 15 Juni 2015; Penyampaian syarat dukungan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke PPS pada tanggal 19 Juni 2015 sampai 22 Juni 2015; Pendaftaran pasangan calon pada tanggal 26 Juli 2015 sampai 28 Juli 2015; Penelitian syarat pencalonan dan syarat calon pada tanggal 28 Juli sampai 3 Agustus 2015; Penelitian perbaikan syarat pencalonan partai politik atau gabungan partai politik; Penelitian administrasi dan faktual di tingkat desa atau keluruhan pada tanggal pada tanggal 12 Agustus 2015 sampai 16 Agustus 2015; Penetapan pasangan calon pada tanggal 24 Agustus 2015; Pengajuan permohonan sengketa di Bawaslu Provinsi dan Panwaslu di Kabupaten atau Kota pada tanggal 24 Agustus 2015 sampai 26 Agustus 2015; Perbaikan permohonan sengketa pada tanggal 27 Agustus 2015 sampai 29 Agustus 2015; Penyelesaian sengketa dan putusan pada tanggal 30 Agustus 2015 sampai 10 September 2015; Pengajuan gugatan atas sengketa Tata Usaha Negara pada tanggal 11 September 2015 sampai 13 September 2015; Perbaikan gugatan pada tanggal 14 Agustus 2015 sampai 16 Agustus 2015; Pemeriksaan dan putusan pada PTUN pada tanggal 17 September 2015 sampai 8 Oktober 2015; Kasasi di Mahkamah Agung pada tanggal 8 Oktober 2015 sampai 15 Oktober 2015; Pemeriksaan dan putusan di Mahkamah Agung pada tanggal 16 Oktober 2015 sampai 14 November 2015; Laporan dan dana audit dana kampanye pada tanggal 26 Agustus 2015 sampai 26 Desember 2015; Rekapitulasi hasil pemungutan suara pada tanggal 9 Desember 2015 sampai 27 Desember 2015; Sengketa perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Desember 2015 sampai 13 Februari 2016; Penetapan pasangan calon terpilih pasca ada putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 12 Februari 2015 sampai 14 Maret 2015; dan Pengusulan pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih pada tanggal 23 Desember 2015 sampai 15 Maret 2016.

Anasir politik
Persoalan politik selalu mengiringi dinamika yang terjadi pasca menjelang diselenggarakannya pemilukada serentak. KMP dan KIH di pusat tentunya akan berbeda dengan KMP dan KIH yang ada di daerah. KMP dan KIH dapat bersatu dan juga dapat pecah kongsi mengikuti siapa para kandidat kepala daerah yang lebih memberikan keuntungan dan mengamankan kepentingan partainya. Pertarungan antar partai politik akan dipertaruhkan dengan parameter kualitas calon kepala daerah yang akan diusung. Publik pun dapat menilai ketika ada manuver dari beberapa partai politik terlepas sentimen publik yang menilai akan menganggu proses pemilukada serentak maupun tidak. Adanya konflik dari Partai Golkar kubu ARB dan Agung Laksono yang terindikasi tidak dapat mengikuti pemilukada karena masih ada dualisme kepengurusan, sehingga akan berdampak terhadap keputusan yang akan diambil di daerah. Polemik ini memunculkan lobi-lobi politik dengan melegalkan aturan dari atas dengan usulan revisi undang-undang pemilukada. Hal ini terjadi karena Partai Golkar memang didukung oleh suara mayoritas di legislatif. Jika disetujui kemungkinan besar akan disahkan undang-undang baru. Bahkan wacana ini sempat meminta persetujuan dari presiden agar menyetujui. Partai yang berada dalam KIH pun ikut bersuara dan tentunya akan menggagalkan wacana tersebut. Disisi lain opini publik juga memberikan pengaruh terhadap upaya menggagalkan revisi tersebut karena dianggap akan mengakomodir kepentingan pribadi dan golongan bukan kepentingan yang lebih luas.
Seiring waktu keputusan PTUN telah memenangkan Partai Golkar kubu ARB, tetapi kubu Agung Laksono sebagai pihak tergugat II masih tetap mengusahakan banding, sehingga belum dianggap ada putusan yang tetap. Terlepas tafsir yang ada dalam fakta ini tetap memberikan dampak terhadap partai tersebut masih sulit dalam keikutsertaan dalam pemilukada. Dengan lobi-lobi yang ada, maka kedua kubu telah melakukan islah sementara agar dapat ikut dalam pemilukada dengan nota kesepekatan yang telah ditanda tangani kedua belah pihak. Disisi lain juga terdapat partai yang masih ada dualisme kepengurusan yaitu PPP. Partai ini tidak begitu gencar melakukan manuver politik dalam keikutsertaan pemilukada seperti Partai Golkar. Audit BPK yang dianggap menggancal proses pemilukada, usulan dana aspirasi 20M setiap anggota DPR dalam 1 tahun dan usulan penambahan dana partai politik dari Kemendagri adalah fenomena politik yang terus mewarnai adanya pemilukada serentak.

Anasir hukum
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota periodisasi pemilukada serentak adalah setiap 5 tahun sekali. Hal ini masih akan menunggu kesamaan semua jenjang jabatan kepala daerah di setiap daerah agar sama. Dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (1) (2) dan (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah diberikan mandat terkait peran serta partai politik dalam mengusung calon pemilukada yang akan diusung. Bahkan aturan tersebut bersifat adanya parliementary threshold yang berlaku di daerah yang sebelumnya belum pernah ada. Sifatnya pun bersifat relatif bukan komulatif. Dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait calon perseorangan atau independent akan menjadi bagian persoalan sendiri dalam hal jumlah dukungan dan prosedur serta pendanaan calon tersebut. Adanya multitafsir legalitas dari partai politik sebagai pengusung para kandidat yang ingin maju sebagai kepala daerah khususnya bagi partai politik yang memiliki dualisme kepengurusan. Bertolak dari Partai Golkar karena ada dualisme kepengurusan antara kubu ARB dan kubu Agung Laksono yang berdampak terhadap keikutsertaan dalam pemilukada. Sengketa tersebut telah diberikan jalan dengan Pasal 32 ayat (2) dan (5) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bahwa wajib diselesaikan oleh Mahkamah Partai dan putusannya adalah final dan mengikat secara internal. Putusannya pun telah diberikan, tapi masih multitafsir dan sama-sama mengklaim menang dan berhak secara sah atas kepengurusannya. Sebelum putusan tersebut kubu ARB telah melakukan gugatan terhadap PN Jakarta Barat dan dengan putusan yang menyarankan agar mekanisme lewat internal partai diselesaikan terlebih dahulu. Disisi lain terkait dengan masalah pidana di PN Jakarta Utara juga masih dalam proses. Polemik makin meruncing ketika Kemenkumham mengeluarkan surat keputusan dan mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono. Kubu ARB pun melakukan gugatan ke PTUN dan akhirnya menang. Persoalan belum berhenti karena pihak tergugat II tetap melakukan banding, akan tetapi menurut pengamatan saya pihak Kemenkumham sebagai pihak tergugat I belum menyatakan secara resmi akan banding karena memang mencari posisi aman. Ketika banding tentunya dapat ditafsirkan belum ada keputusan yang tetap. Kubu ARB tetap mengklaim yang paling sah karena jika menggunakan dasar aturan dari KPU bagi yang terdaftar di Kemenkumham yang berhak ikut dalam pemilukada. Dasar ini digunakan karena hasil Munas sebelumnya adalah yang masih terdaftar di Kemenkumham sebagai ketua umum adalah ARB. Hal ini sesuai makna dari Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Hal ini juga dikuatkan dalam Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tentang peran serta legalitas tanda tangan ketua dan sekretaris partai disertai dengan surat keputusan struktur kepengurusannya. Hal ini yang menjadikan pentingnya legalitas pengesahan dalam keikut sertaan dalam pemilukada. Kubu Agung Laksono pun tetap menjalankan aktivitas politiknya dan menganggap tetap sah karena belum ada keputusan yang tetap. Pihak KPU pun dalam menyikapi persoalan ini dengan PKPU yang dilkeluarkan memiliki tafsir yang berbeda antara komisioner yang satu dengan yang lain. Disisi lain dari PPP juga memiliki persoalan kubu Romi telah disahkan oleh Kemenkumham dan kubu SDA dkk melakukan gugatan ke PTUN dan menang. Hampir sama dengan Partai Golkar upaya banding tetap dijalankan. Berbeda dinamika yang terjadi PPP tidak melakukan gugatan ke PN. Sejauh ini dalam pengamatan saya belum ada kejelasan pihak tergugat I Kemenkumham ikut dalam banding atau tidak. Hasil Bandingnya pun juga belum ada kejelasan dari pihak tergugat II dari kubu Romi.
Polemik dan tafsir hukum hukum lain dalam pemilukada yaitu terkait syarat untuk menjadi kepala daerah adalah sesuai dalam Pasal 7 huruf n,o,p,q dan r Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disebutkan bahwa “ n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota; p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon; q. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota; r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Hal yang menurut saya penuh konflik adalah ada istilah “petahana” dan dalam Pasal 1 ketentuan umum tidak dijelaskan artinya. Selain itu juga ada klasula “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Kata “konflik kepentingan” ini masih sangat ambigu dan belum ada tafsir yang jelas. Hal ini masih menunggu tafsir karena masih di uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah yang dimaksud dengan kepentingan profesi jabatan?atau dengan nasab kekeluargaan?atau dalam hal kaitannya dengan kewenangan sebagai kepala daerah?. Tafsir tersebut menurut saya masih luas dan perlu hal yang lebih detail agar tidak dapat dimaknai secara parsial. Akan tetapi harus dapat dimaknai secara komprehensif dan holistik. Disisi lain KPU sebagai pihak dalam penyelanggara pemilukada mengeluarkan tafsir sendiri berupa PKPU untuk memberikan pencerahan terhadap polemik ini. Akan tetapi, dalam praktek masih menimbulkan potensi konflik dan masih multi tafsir apalagi setelah dikomunikasikan dengan pihak Komisi II DPR RI. Menanggapi persoalan ini KPU mengeluarkan kebijakan lagi dengan Surat Edaran No.302 Tahun 2015 untuk memberikan tafsir “petahana” agar dalam teoretis tidak multi tafsir dan dalam praktek dapat dijalankan para pihak. Hal ini justru menimbulkan konflik berkepanjangan dan makin menimbulkan ketegangan konstitusi. Pihak Komisi II DPR RI memberikan rekomendasi agar segera dicabut. Akan tetapi, surat tersebut telah dimanfaatkan oleh para pihak untuk memanfaatkan celah hukum yang ada agar saudaranya masih ikut dalam pemilukada dengan melakukan surat pengunduran diri walaupun masa jabatannya belum habis. KPU telah terlanjur mengeluarkan surat edaran dan tidak mau mencabut dengan alasan masih menunggu keputusan dari MK. Persoalan akan muncul ketika akan banyak pihak yang mengundurkan diri agar kerabat atau saudaranya dapat maju sebagai kepala daerah. Batasan 2 kali masa jabatan bagi kepala daerah akan tetap dilanggengkan oleh kerabat lainnya. Padahal original intent dari Pasal 7 huruf n Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota agar politik dinasti di daerah segera terputus dan tidak ada daur ulang akan terhambat. Bagi pihak yang mengundurkan diri juga sah karena itu adalah hak konstitutional warga negara apalagi dikuatkan dengan adanya surat edaran dari KPU tersebut. Menurut saya surat edaran tersebut harus segera dicabut dan jika MK pasca itu mengeluarkan keputusannya baru dapat disesuaikan substansinya. Hal ini akan mempersempit celah hukum bagi para pihak yang ingin melanggengkan kekuasaannya di daerah.

             Penutup
Pemilukada serentak akan dilaksanakan secara bertahap dalam beberapa tahun kedepan tentunya akan disesuaikan dengan masa jabatan masing-masing kepala daerah yang akan habis karena setiap daerah tidak sama. Semangat menata konsolidasi demokrasi,mengurangi potensi konflik horizontal dan menekan biaya dengan pemilukada serentak harus tetap berjalan. Dukungan semua pihak dari partai politik, KPU,Bawaslu dan DKPP harus dapat profesional dan menjaga independent etis dan organisatoris. Semua pihak harus ada sense of belonging dalam membangun daerahnya masing-masing agar grass root dalam menata demokrasi tetap berjalan dengan baik. Out put terbesar adalah dapat menghasilkan kualitas kepala daerah agar dapat memberikan yang terbaik bagi daerahnya. Dengan demikian semua pihak khususnya yang ada di daerah dapat terus mengawal para calon kandidat yang akan maju sebagai kepala daerah.

No comments:

Designed By Mas Say