Pemilihan umum
kepala daerah (Pemilukada) pada tahun 2015 berbeda dengan tahapan
yang diselenggarakan sebelumnya. Perjalanan penjang telah dilewati
sebagai proses demokratisasi di Indonesia. Undang-Undang No.32 Tahun
2004 jo Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
memuat aturan tentang pemilukada masuk ke dalam aturan tersebut. Akan
tetapi, setelah dinamika praktek demokrasi dengan intrik politik yang
terjadi aturan terkait dengan pemilukada ada aturan tersendiri.
Bersamaan dengan perubahan politik baik sebelum maupun pasca pilpres
2014 khususnya di legislatif terdapat polarisasi dan distorsi antara
Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, maka aturan pemilukada pun terpisah
tersendiri dan tarik ulurnya sesuai dinamika di legislatif. Hal ini
tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Udang (Perppu) No. 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi
undang-udang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada
tanggal 9 Desember 2015 akan diadakan pemilukada secara serentak di
seluruh Indonesia. Amanat dari Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No.15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa Komisi Pemilihan Umum
(KPU) baik di tingkat pusat maupun daerah juga telah menyiapkan
semuanya termasuk mengeluarkan kebijakan yang lebih teknis dengan
beberapa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Salah satunya adalah
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.2 Tahun 2015 tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil
Wali Kota. Aturan yang lebih teknis dari PKPU tersebut dapat berupa
surat edaran KPU atau yang lainnya. Penderevatifan beberapa aturan
ini adalah langkah awal agar konstruksi hukum dalam pemilukada dalam
berjalan dengan baik.
Substansi dalam
pemilukada yang akan berpotensial menimbulkan konflik hukum adalah
pada tahap penyelenggaraan. Adapun alurnya adalah sebagai berikut:
Penyerahan syarat dukungan calon Gubernur dan Wakil Gubernur ke KPU
Provinsi pada tanggal 8 Juni 2015 sampai 12 Juni 2015; Penyampaian
syarat dukungan ke KPU Kabupaten pada tanggal 16 Juni 2015 sampai 18
Juni 2015; Penyerahan syarat dukungan calon Bupati dan Wakil Bupati
dan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke KPU pada tanggal 11 Juni
2015 sampai 15 Juni 2015; Penyampaian syarat dukungan calon Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali
Kota ke PPS pada tanggal 19 Juni 2015 sampai 22 Juni 2015;
Pendaftaran pasangan calon pada tanggal 26 Juli 2015 sampai 28 Juli
2015; Penelitian syarat pencalonan dan syarat calon pada tanggal 28
Juli sampai 3 Agustus 2015; Penelitian perbaikan syarat pencalonan
partai politik atau gabungan partai politik; Penelitian administrasi
dan faktual di tingkat desa atau keluruhan pada tanggal pada tanggal
12 Agustus 2015 sampai 16 Agustus 2015; Penetapan pasangan calon pada
tanggal 24 Agustus 2015; Pengajuan permohonan sengketa di Bawaslu
Provinsi dan Panwaslu di Kabupaten atau Kota pada tanggal 24 Agustus
2015 sampai 26 Agustus 2015; Perbaikan permohonan sengketa pada
tanggal 27 Agustus 2015 sampai 29 Agustus 2015; Penyelesaian sengketa
dan putusan pada tanggal 30 Agustus 2015 sampai 10 September 2015;
Pengajuan gugatan atas sengketa Tata Usaha Negara pada tanggal 11
September 2015 sampai 13 September 2015; Perbaikan gugatan pada
tanggal 14 Agustus 2015 sampai 16 Agustus 2015; Pemeriksaan dan
putusan pada PTUN pada tanggal 17 September 2015 sampai 8 Oktober
2015; Kasasi di Mahkamah Agung pada tanggal 8 Oktober 2015 sampai 15
Oktober 2015; Pemeriksaan dan putusan di Mahkamah Agung pada tanggal
16 Oktober 2015 sampai 14 November 2015; Laporan dan dana audit dana
kampanye pada tanggal 26 Agustus 2015 sampai 26 Desember 2015;
Rekapitulasi hasil pemungutan suara pada tanggal 9 Desember 2015
sampai 27 Desember 2015; Sengketa perselisihan hasil pemilihan ke
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Desember 2015 sampai 13 Februari
2016; Penetapan pasangan calon terpilih pasca ada putusan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 12 Februari 2015 sampai 14 Maret 2015; dan
Pengusulan pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih pada
tanggal 23 Desember 2015 sampai 15 Maret 2016.
Anasir
politik
Persoalan politik
selalu mengiringi dinamika yang terjadi pasca menjelang
diselenggarakannya pemilukada serentak. KMP dan KIH di pusat tentunya
akan berbeda dengan KMP dan KIH yang ada di daerah. KMP dan KIH dapat
bersatu dan juga dapat pecah kongsi mengikuti siapa para kandidat
kepala daerah yang lebih memberikan keuntungan dan mengamankan
kepentingan partainya. Pertarungan antar partai politik akan
dipertaruhkan dengan parameter kualitas calon kepala daerah yang akan
diusung. Publik pun dapat menilai ketika ada manuver dari beberapa
partai politik terlepas sentimen publik yang menilai akan menganggu
proses pemilukada serentak maupun tidak. Adanya konflik dari Partai
Golkar kubu ARB dan Agung Laksono yang terindikasi tidak dapat
mengikuti pemilukada karena masih ada dualisme kepengurusan, sehingga
akan berdampak terhadap keputusan yang akan diambil di daerah.
Polemik ini memunculkan lobi-lobi politik dengan melegalkan aturan
dari atas dengan usulan revisi undang-undang pemilukada. Hal ini
terjadi karena Partai Golkar memang didukung oleh suara mayoritas di
legislatif. Jika disetujui kemungkinan besar akan disahkan
undang-undang baru. Bahkan wacana ini sempat meminta persetujuan dari
presiden agar menyetujui. Partai yang berada dalam KIH pun ikut
bersuara dan tentunya akan menggagalkan wacana tersebut. Disisi lain
opini publik juga memberikan pengaruh terhadap upaya menggagalkan
revisi tersebut karena dianggap akan mengakomodir kepentingan pribadi
dan golongan bukan kepentingan yang lebih luas.
Seiring waktu
keputusan PTUN telah memenangkan Partai Golkar kubu ARB, tetapi kubu
Agung Laksono sebagai pihak tergugat II masih tetap mengusahakan
banding, sehingga belum dianggap ada putusan yang tetap. Terlepas
tafsir yang ada dalam fakta ini tetap memberikan dampak terhadap
partai tersebut masih sulit dalam keikutsertaan dalam pemilukada.
Dengan lobi-lobi yang ada, maka kedua kubu telah melakukan islah
sementara agar dapat ikut dalam pemilukada dengan nota kesepekatan
yang telah ditanda tangani kedua belah pihak. Disisi lain juga
terdapat partai yang masih ada dualisme kepengurusan yaitu PPP.
Partai ini tidak begitu gencar melakukan manuver politik dalam
keikutsertaan pemilukada seperti Partai Golkar. Audit BPK yang
dianggap menggancal proses pemilukada, usulan dana aspirasi 20M
setiap anggota DPR dalam 1 tahun dan usulan penambahan dana partai
politik dari Kemendagri adalah fenomena politik yang terus mewarnai
adanya pemilukada serentak.
Anasir
hukum
Dalam Pasal 3 ayat
(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota periodisasi pemilukada serentak adalah setiap 5
tahun sekali. Hal ini masih akan menunggu kesamaan semua jenjang
jabatan kepala daerah di setiap daerah agar sama. Dalam Pasal 39 ayat
(1) dan Pasal 40 ayat (1) (2) dan (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah diberikan
mandat terkait peran serta partai politik dalam mengusung calon
pemilukada yang akan diusung. Bahkan aturan tersebut bersifat adanya
parliementary
threshold
yang berlaku di daerah yang sebelumnya belum pernah ada. Sifatnya pun
bersifat relatif bukan komulatif. Dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal
41 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota terkait calon perseorangan atau independent akan
menjadi bagian persoalan sendiri dalam hal jumlah dukungan dan
prosedur serta pendanaan calon tersebut. Adanya multitafsir legalitas
dari partai politik sebagai pengusung para kandidat yang ingin maju
sebagai kepala daerah khususnya bagi partai politik yang memiliki
dualisme kepengurusan. Bertolak dari Partai Golkar karena ada
dualisme kepengurusan antara kubu ARB dan kubu Agung Laksono yang
berdampak terhadap keikutsertaan dalam pemilukada. Sengketa tersebut
telah diberikan jalan dengan Pasal 32 ayat (2) dan (5) Undang-Undang
No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik bahwa wajib diselesaikan oleh Mahkamah Partai dan putusannya
adalah final dan mengikat secara internal. Putusannya pun telah
diberikan, tapi masih multitafsir dan sama-sama mengklaim menang dan
berhak secara sah atas kepengurusannya. Sebelum putusan tersebut kubu
ARB telah melakukan gugatan terhadap PN Jakarta Barat dan dengan
putusan yang menyarankan agar mekanisme lewat internal partai
diselesaikan terlebih dahulu. Disisi lain terkait dengan masalah
pidana di PN Jakarta Utara juga masih dalam proses. Polemik makin
meruncing ketika Kemenkumham mengeluarkan surat keputusan dan
mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono. Kubu ARB pun melakukan
gugatan ke PTUN dan akhirnya menang. Persoalan belum berhenti karena
pihak tergugat II tetap melakukan banding, akan tetapi menurut
pengamatan saya pihak Kemenkumham sebagai pihak tergugat I belum
menyatakan secara resmi akan banding karena memang mencari posisi
aman. Ketika banding tentunya dapat ditafsirkan belum ada keputusan
yang tetap. Kubu ARB tetap mengklaim yang paling sah karena jika
menggunakan dasar aturan dari KPU bagi yang terdaftar di Kemenkumham
yang berhak ikut dalam pemilukada. Dasar ini digunakan karena hasil
Munas sebelumnya adalah yang masih terdaftar di Kemenkumham sebagai
ketua umum adalah ARB. Hal ini sesuai makna dari Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-Undang No.2 Tahun 2011
tentang Partai Politik. Hal ini juga dikuatkan dalam Pasal 42 ayat
(4) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota tentang peran serta legalitas tanda tangan
ketua dan sekretaris partai disertai dengan surat keputusan struktur
kepengurusannya. Hal ini yang menjadikan pentingnya legalitas
pengesahan dalam keikut sertaan dalam pemilukada. Kubu Agung Laksono
pun tetap menjalankan aktivitas politiknya dan menganggap tetap sah
karena belum ada keputusan yang tetap. Pihak KPU pun dalam menyikapi
persoalan ini dengan PKPU yang dilkeluarkan memiliki tafsir yang
berbeda antara komisioner yang satu dengan yang lain. Disisi lain
dari PPP juga memiliki persoalan kubu Romi telah disahkan oleh
Kemenkumham dan kubu SDA dkk melakukan gugatan ke PTUN dan menang.
Hampir sama dengan Partai Golkar upaya banding tetap dijalankan.
Berbeda dinamika yang terjadi PPP tidak melakukan gugatan ke PN.
Sejauh ini dalam pengamatan saya belum ada kejelasan pihak tergugat I
Kemenkumham ikut dalam banding atau tidak. Hasil Bandingnya pun juga
belum ada kejelasan dari pihak tergugat II dari kubu Romi.
Polemik dan tafsir
hukum hukum lain dalam pemilukada yaitu terkait syarat untuk menjadi
kepala daerah adalah sesuai dalam Pasal 7 huruf n,o,p,q dan r
Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota disebutkan bahwa “ n. belum pernah menjabat sebagai
Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam
jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota; o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan
Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon
Wakil Walikota; p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang
mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon; q.
tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan
penjabat Walikota; r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan
petahana”. Hal yang menurut saya penuh konflik adalah ada istilah
“petahana” dan dalam Pasal 1 ketentuan umum tidak dijelaskan
artinya. Selain itu juga ada klasula “tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana”. Kata “konflik kepentingan” ini
masih sangat ambigu dan belum ada tafsir yang jelas. Hal ini masih
menunggu tafsir karena masih di uji materi di Mahkamah Konstitusi
(MK). Apakah yang dimaksud dengan kepentingan profesi jabatan?atau
dengan nasab kekeluargaan?atau dalam hal kaitannya dengan kewenangan
sebagai kepala daerah?. Tafsir tersebut menurut saya masih luas dan
perlu hal yang lebih detail agar tidak dapat dimaknai secara parsial.
Akan tetapi harus dapat dimaknai secara komprehensif dan holistik.
Disisi lain KPU sebagai pihak dalam penyelanggara pemilukada
mengeluarkan tafsir sendiri berupa PKPU untuk memberikan pencerahan
terhadap polemik ini. Akan tetapi, dalam praktek masih menimbulkan
potensi konflik dan masih multi tafsir apalagi setelah
dikomunikasikan dengan pihak Komisi II DPR RI. Menanggapi persoalan
ini KPU mengeluarkan kebijakan lagi dengan Surat Edaran No.302 Tahun
2015 untuk memberikan tafsir “petahana” agar dalam teoretis tidak
multi tafsir dan dalam praktek dapat dijalankan para pihak. Hal ini
justru menimbulkan konflik berkepanjangan dan makin menimbulkan
ketegangan konstitusi. Pihak Komisi II DPR RI memberikan rekomendasi
agar segera dicabut. Akan tetapi, surat tersebut telah dimanfaatkan
oleh para pihak untuk memanfaatkan celah hukum yang ada agar
saudaranya masih ikut dalam pemilukada dengan melakukan surat
pengunduran diri walaupun masa jabatannya belum habis. KPU telah
terlanjur mengeluarkan surat edaran dan tidak mau mencabut dengan
alasan masih menunggu keputusan dari MK. Persoalan akan muncul ketika
akan banyak pihak yang mengundurkan diri agar kerabat atau saudaranya
dapat maju sebagai kepala daerah. Batasan 2 kali masa jabatan bagi
kepala daerah akan tetap dilanggengkan oleh kerabat lainnya. Padahal
original
intent
dari Pasal 7 huruf n Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota agar politik dinasti di daerah segera
terputus dan tidak ada daur ulang akan terhambat. Bagi pihak yang
mengundurkan diri juga sah karena itu adalah hak konstitutional warga
negara apalagi dikuatkan dengan adanya surat edaran dari KPU
tersebut. Menurut saya surat edaran tersebut harus segera dicabut dan
jika MK pasca itu mengeluarkan keputusannya baru dapat disesuaikan
substansinya. Hal ini akan mempersempit celah hukum bagi para pihak
yang ingin melanggengkan kekuasaannya di daerah.
Penutup
Pemilukada serentak
akan dilaksanakan secara bertahap dalam beberapa tahun kedepan
tentunya akan disesuaikan dengan masa jabatan masing-masing kepala
daerah yang akan habis karena setiap daerah tidak sama. Semangat
menata konsolidasi demokrasi,mengurangi potensi konflik horizontal
dan menekan biaya dengan pemilukada serentak harus tetap berjalan.
Dukungan semua pihak dari partai politik, KPU,Bawaslu dan DKPP harus
dapat profesional dan menjaga independent etis dan organisatoris.
Semua pihak harus ada sense
of belonging
dalam membangun daerahnya masing-masing agar grass
root
dalam menata demokrasi tetap berjalan dengan baik. Out
put
terbesar adalah dapat menghasilkan kualitas kepala daerah agar dapat
memberikan yang terbaik bagi daerahnya. Dengan demikian semua pihak
khususnya yang ada di daerah dapat terus mengawal para calon kandidat
yang akan maju sebagai kepala daerah.
No comments:
Post a Comment