Sedikit tulisan ini adalah bagian dari bahan diskusi-diskusi publik ketika saya sebagai pembicara mengisi acara sejak adanya wacana Kantor Staf Presiden. Banyak pertanyaan yang muncul kepada saya. Tentunya saya menjawab dalam kapasitas akademisi sesuai keilmuan saya dalam hukum tata negara. Berbeda analisis ketika saya jawab dari sudut pandang politik atau dari sudut pandang dari lembaga-lembaga atau LSM yang saya bawahi. Banyak pertanyaan lagi ketika muncul pergantian “Kabinet Kerja”. Mudah-mudahan hal ini bermanfaat.
Presidential rasa palementer
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Turunan dari konstitusi ini adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam Pasal 4 Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa “(1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, (2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Saya menyebutkan aturan normatif diatas adalah sebagai dasar dalam mengkaji adanya “Kantor Staf Presiden”. Sepintas memang jauh dihubungan dalam kajian ini. Akan tetapi saya mencoba menghubungkan kaitannya presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan dalam memperlakukan menteri-menterinya dalam bingkai sistem presidential. Fungsi kontrol dari lembaga kepresidenan dan presiden sebagai pimpinannya. Presiden juga pimpinan lembaga eksekutif dan fungsi kontrol ada di lembaga legislatif. Turunan secara fungsional baik dari lembaga eksekutif maupun lembaga kepresidenan tersebut adalah adanya kementerian negara. Dalam lingkaran birokrasi ini hanya ada satu komando yaitu dari seorang presiden. Dalam sistem presidential tentunya seorang presiden tentunya hanya dapat dikontrol dari lembaga legislatif. Tidak ada yang berhak mengontrol kinerjanya selain dari pihak lembaga legislatifSejak dilantik menjadi Kepala Staf Presiden Luhut pada tanggal 31 Desember 2014 oleh presiden ditugasi untuk membuka komunikasi politik baik dengan parlemen, partai koalisi dan oposisi. Adanya peran lobi inilah yang menjadikan Kantor Staf Presiden berbeda dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang digantikannya. Kewenangan yang membawa kepentingan politik presiden kepada partai politik lain tidak dimiliki oleh Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Presiden terinspirasi dan memang sudah digagas waktu dibentuk Tim Transisi dalam pembentukan kabinet tepatnya pada September 2014. Dalam majalah detik edisi 177 tanggal 20-26 April 2015 saya mencoba mengutip terkait adanya titik mula adanya Kantor Staf Presiden. Hal ini terinspirasi dari cerita Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Ada 4 hal dalam menjaga pemerintahan yaitu policy adviser, strategy adviser, communication adviser, dan delivery adviser. Kantor Staf Presiden bertugas mengendalikan dan memantau program- program prioritas nasional. Jika ada hambatan, merekalah yang memberi rekomendasi penyelesaian. Banyak pihak justru cemas dengan kewenangan Kantor Staf Presiden yang dianggap kelewat luas. Selain monitoring program prioritas, presiden juga memberi tugas kepada Luhut buat memberi informasi dan analisis buat beliau mengambil kebijakan. Apalagi sejumlah sumber di kalangan istana menyebut masukan Luhut sangat didengar presiden. Tahu pengaruh Luhut sangat besar terhadap presiden, kini banyak orang yang mengadu dan minta bantuan ke Kantor Staf Presiden jika bermasalah dengan kementerian, BUMN, dan lembaga pemerintah lainnya. Adanya pengaduan itu sebenarnya karena Luhut mempertahankan sistem pengaduan masyarakat yang dirintis oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan kantornya memang relatif terbuka menerima pengaduan daripada lembaga lainnya di sekitar presiden.
Menurut saya Presiden untuk mengawal setiap kebijakannya membentuk sebuah lembaga baru yang posisinya masih dalam pro dan kontra berupa Kantor Staf Presiden. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 26 Tahun 2015 dengan pembentukan “Unit Kerja Presiden”. Dalam proses selanjutnya legalitas Peraturan Presiden (Perpres) No. 26 Tahun 2015 tersebut digugat dan akhirnya pihak pemerintah kalah. Dengan aturan yang baru nama tersebut berubah menjadi “Kantor Staf Presiden”. Persoalan lain muncul ketika harus bersinggungan dengan tugas dan kewenangan dengan Kementerian Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet dan dengan adanya fungsi dari adanya Wakil Presiden. Deputi-deputi yang dibawahi di Kepala Staf Presiden ini banyak yang overlapping dengan yang lain. Deputi tersebut berjumlah 5 dan telah resmi berdiri sejak 31 Maret 2015 yaitu Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi, Deputi II Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas, Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis, Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi dan Deputi V Bidang Analisis Data dan Informasi Strategis. Pimpinan kantor ini diangkat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres). Kelima deputi tersebut dapat masuk ke semua ranah yang menjadi kewenangan presiden. Tidak cuma itu fungsi dan tugas dari Wakil Presiden menjadi terhambat karena seolah-olah ketika Presiden belum dapat melaksanakan tugasnya Kantor Staf Presiden dapat langsung menggunakan posisinya. Adanya lembaga ini sudah resmi dan masuk sebagai pejabat negara. Presiden tidak wajib dikontrol adanya lembaga ini. Fungsinya dalam hal koordinasi tidak menjadi persoalan. Akan tetapi akan menjadi persoalan baru ketika fungsi “koordinasi” tersebut berubah menjadi fungsi “mengatur”. Dalam pengamatan Penulis pergeseran fungsi yang ada telah menjadikan kerancuan tatanan bernegara. Fungsi kontrol dari lembaga legislatif menjadi berkurang. Bahkan terkadang Presiden tidak mau memenuhi panggilan dari lembaga legislatif dan cenderung lebih senang koordinasi dengan Kantor Staf Presiden. Kebijakan yang seharusnya menjadi hak prerogatif presiden menjadi tereduksi karena adanya lembaga baru ini. Penguatan seorang figur presiden menjadi tidak ada lagi. Hal ini disebabkan adanya deputi-deputi tersebut membantu dalam hal teknis apa yang mejadi tugas dan kewajiban Presiden. Kemandirian seorang presiden tidak dapat diintervensi oleh lembaga lain. Dengan adanya kantor ini intervensi yang berlebihan akan muncul. Dalam konteks politik itu sah dan boleh saja, karena partai politik adalah pendukung kebijkan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Akan tetapi kantor ini bukan bagian dari fungsi politik murni. Presiden bukan lagi seorang politikus. Presiden adalah negarawan dan sudah dalam bingkai hukum. Setiap kebijakannya tidak boleh semata-mata tendensi terhadap intervensi dari luar bahkan dari anasir politik. Kalaupun ada Presiden wajib dapat membedakan anatara urusan politik dan urusan negara.
Derajat overlapping kinerja
Dalam kajian saya bahwa persoalan lain muncul ketika ada perombakan “Kebinet Kerja” untuk pertama kalinya pada tanggal 12 Agustus 2015. Ada 5 menteri baru dan 3 menteri koordinator yang diganti jabatannya. Kepala Staf Presiden diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Hukum (Menkopulhukam). Persoalan dan perdebatan muncul adalah ketika rangkap jabatan dan ketika diangkat menjadi menteri belum dicabut Keputusan Presiden (Keppres) atau belum diganti dengan kebijakan legalitas yang lain. Dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terdapat klausula “sinkronisasi program pemerintah”. Hal ini memberikan makna bahwa sinkronisasi yang ada jika akan bersinggungan dengan yang ada dalam tahapan koordinasi dengan salah satu deputi Kantor Staf Presiden akan menjadikan persoalan baru muncul. Sinkronisasi program jika tidak banyak yang bersinggungan masih memungkinkan untuk diatasi, akan tetapi jika sampai bersinggungan dalam kebijakan akan lebih menjadi persoalan baru lagi. Selanjutnya Pasal 23 huruf a Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam pemaknaan ini secara langsung seolah-olah memang tidak ada aturan yang dilanggar karena aturan normatifnya adalah “sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pada tafsir ini jelas rangkap jabatan tidak ada aturan yang bertentangan. Akan tetapi saya menggunakan tafsir lain bukan hanya penafsiran gramatikal jika dikaitkan dengan klausula “pejabat negara”, maka jelas adanya rangkap jabatan dengan kementerian adalah inkonstitutional. Pendanaan dari Kantor Staf Presiden berasal dari negara dan digaji dari negara. Statusnya pun juga masuk sebagai pejabat negara.
Saya mencoba mengkaji dari tafsir norma yang lain. Dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa “Hubungan fungsional antara Kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian dilaksanakan secara sinergis sebagai satu sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Klausula “lembaga pemerintah nonkementerian” adalah sama artinya dengan “Kantor Staf Presiden”. Dalam pemaknaan ini jelas terjadi tumpang tindih norma terhadap fungsi dan kinerja antara menteri sebagai pembantu presiden dengan para pejabat yang ada di “Kantor Staf Presiden”. Jika terjadi konflik yang melibatkan dikeduanya akan teruji terkait adanya tumpang tindih dalam fungsi dan kinerja dari masing-masing. Apalagi pimpinannya adalah sama. Konflik sangat memungkinkan dan besar akan terjadinya gesekan kepentingan. Berkaitan dengan fungsi ketatanegaraan menurut anggota Komisi III DPR RI dan juga politisi dari PDIP Masinton Pasaribu disebutkan bahwa tugas kantor baru itu tumpang tindih dengan Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Fungsi pengawasannya juga menerobos pekerjaan wakil presiden dan menteri koordinator. Kewenangannya melampaui menteri-menteri, jadi kayak semacam perdana menteri. Pendapat lain dalam hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden disebutkan bahwa terlalu gemuk untuk urusan lembaga pengawas kabinet. Akan tetapi berbeda pendapat yang disampaikan oleh pihak Kantor Staf Presiden dari Deputi II Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas bahwa antara Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet berbeda. Sekretaris Negara lebih mengurusi tugas presiden sebagai lembaga eksekutif, seperti penyusunan undang-undang, pemberian grasi dan amnesti, serta pengangkatan perwira militer dan polisi. Sekretaris Kabinet lebih mengurusi program-program rutin kabinet. Sedangkan Kantor Staf Presiden berfokus pada sekitar 500 program pemerintah yang dianggap sebagai prioritas. Kantor Staf Presiden memilih sendiri program yang mesti diutamakan itu. Kriterianya adalah ada dalam janji kampanye. Dampaknya besar terutama terhadap ekonomi dan bisa diukur kemajuannya. Program yang dipantau kantor itu antara lain proyek infrastruktur dan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Disisi lain juga disebutkan dari oleh Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis bahwa hasil rapat di kantor itu akan dijadikan memo untuk presiden sebagai bahan untuk rapat. Terlepas dengan berbagai perbedaan pendapat tersebut menurut saya menunjukan adanya Kantor Staf Presiden ini perlu dikaji dan dievaluasi agar urusan bernegara menjadi jelas dan tidak ada fase grey area.
Letak idealisme
Presiden sebagai pimpinan tertinggi dalam lembaga eksekutif baik sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintah. Hal ini sesuai dengan substansi dari Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak prerogatif selalu melekat dan tidak boleh dipisahkan dalam kondisi apa pun. Memilih menteri adalah salah satu hak presiden dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Akan tetapi sistem presidential di Indonesia adalah dengan multipartai tentunya pola komunikasi politik yang dijalankan oleh presiden dengan para partai politik menurut saya adalah sah dan wajar. Ukuran prestasi, kinerja kementerian, dan program nyata pada rakyat dapat digunakan untuk mengevaluasi menteri yang akan diganti. Perlu diingat adalah dalam memberikan posisi jabatan menteri wajib diperhatikan ukuran dan parameter seseorang yang pantas dan layak untuk menduduki jabatan sebagai menteri. Prestasi, latar belakang keilmuan, integritas dan moralitas dapat dijadikan ukuran dalam memilih menteri sebagai pembantu presiden. Ketika partai politik memaksakan kehendaknya agar kadernya memiliki jabatan strategis Presiden dengan sikap negarawannya wajib bersikap mandiri dan profesional dengan mementingkan kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongannya. Idealisme dan nasionalisme wajib dijadikan dasar pijakan agar dapat mereduksi kepentingan golongan dan kepentingan di luar urusan negara. Presiden adalah negarawan tentunya dapat membedakan menentukan sikap bijak karena nasib rakyat ada disetiap kebijakan presiden. Apalagi program-program kementerian langsung bersentuhan dengan rakyat. Terlepas pro dan kontra yang ada mari tetap mengawal berlangsungnya bernegara ini sesuai dengan bidang dan kapasitas masing-masing. Kita yakin pemerintah mampu dan bisa menyelesaikan semua masalah bangsa ini.
No comments:
Post a Comment