Breaking News

12 August 2016

TELAAH KETATANEGARAAN PUTUSAN MK NO.36/PUU-X/2012 TENTANG BP MIGAS


Perjalanan panjang tentang kontrak dan migas
Bertolak dari perjalanan kelam dan gelap gulita terkait intervensi asing di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang PMA. Undang-Undang Prp 37 tahun 1960 juga merupakan aturan yang masih kontroversial waktu itu dalam menanggulangi investor asing yang akan ke Indonesia. PT Freeport lah yang langsung mengambil kemanfaatan dan celah hukum atss ketledoran pemerintah Indonesia. Kebijakan ini telah melahirkan juga legal policy dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum. Setahun kemudian keluarlah Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang PMD. Embrio legal opinion dari pemerintah tersebut juga diilhami dengan kebijakan colonial lewat Indiees Mining Law tahun 1899 sistem konsensi pun mulai dikenalkan ke investor asing. Undang-Undang No.44 Prp/1960 lahir lah istilah “perjanjian karya”, Undang-Undang No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara tepatnya di Pasal 12 dikenalkan “kontrak bagi hasil/contract producing sharing”, Istilah dan pemaknaan baru juga muncul dengan “kontrak kerja sama” melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tepatnya di Pasal 1 ayat (19). Dalam kurun 30 tahun lebih istilah dan konsepsi “kontrak bagi hasil/contract producing sharing” , terjadi beberapa perubahan dan pemberian insentif agar investor merasa nyaman dan tertarik untuk menanam modalnya di Indonesia. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara juga merupakan impliklasi terhadap kebijakan pemerintah yang selalu berubah-rubah.

 
Buat saya masalah kebijakan tersebut hanyalah retorika politik dan negara dihadapkan pada dua posisi yaitu sebagai aktor dan sebagai regulator. Dalam konteks regulator aruran yang dibuat masih sangat multi tafsir dan masih dimanfaatkan oleh kalangan elit serta para investor asing. Dalam konteks aktor pemerintah hendak menjadi eksekutor langsung dalam pengelolaan SDA, akan tetapi kesepatan-kesepaktan yang dibuat tidak mencerminkan rasa keadilan dan justru memberikan angin segar bagi investor asing dalam mengekploitasi SDA negeri ini. Pemkanaan kontrak baik perjanjian karya, kontrak bagi hasil, dan kontrak kerja sama dan lalu pemaknaan kontrak karya ada dimana??? makna tersebut hanya akan mengambil segi positif dan negatif dari aturan terdahulu hingga sekarang. Renegoisasi perlu dilakukan agar secara konsep dan taktis dapat berjalan dengan seimbang tanpa merugikan kepentingan nasional dalam negeri. Dengan adanya perkawinan antara negara dengan swastanisasi tersebut telah menimbulkan polemik sebenarnya siapa yang layak dan pantas dalam mengelola SDA di Indonesia pemerintah, swasta, Pertamina atau kah BP Migas???semuanya pada overlapping dan tidak ada kejelasan baik secara struktural dan substansial. Pasal 1338 BW tentang azas kebebasan berkontrak selalu dijadikan dasar bagi pembenaran dalam ruang publik dan pencampuradukan antara ruang privat serta urusan negara.

Polemik Pertamina vs BP Migas
Undang-Undang No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara telah memberikan benang merah bahwa semua pengelolaan dan kuasa pertambangan di seluruh tanah air ada di “Pertamina” tidak diserahkan kepada siapa pun hanya otoritas penuh ada di Deptamben. Secara kelembagaan Deptamben tersebut langsung dibawah komando presiden. Deptamben ini sebagai birokrasi dan rumah dari ketua Dewan Komisaris Pemerintah Pertamina (DKPP) yang mewakili pemerintah. Bagimanaklah korelasi antara Deptamben dan Pertamina??? Deptamben hanya menerima laporan secara administratif dari seluruh kegiatan operasional Pertamina. Lalu status mentrinya???ternyata hanya sebagai ketua Dewan Komisaris Pemerintah Pertamina (DKPP), yang tidak memiliki kewenangan alias “macan ompong” dari pemerintah saja. Ia hanya dijadikan addreas bukan menjadi aktor utama. Pertanggung jawabannya pun juga tidak jelas. Pihak Pertamina secara bottom up bertanggung jawab langsung kepada presiden. Panglima tertimggi ada di presiden. Ibarat dalam analogi presiden sebagai keluarga besar dalam rumah tangga. Deptamben sebagai kepala keluarga yang hanya dijadikan simbol biar seolah-olah “mampu dan bisa”. Pertamina merupakan anak tunggal dalam keluarga tersebut tidak lain hanya dan pasti diberikan kepada anak tunggal tersebut dalam mengurusi SDA yang ada. Mandat dan bahkan delegasi dari presiden telah menjadi rujukan utama bagi semua tindakan Pertamina. Implikasi praktisnya seperti apa? Pertamina telah memberikan kemudahan dalam birokrasi lewat impor barang dan jasa. Pungutan bea masuk impor menjadi beban tersendiri. Pertamina ini merupakan kebijakan “negara dalam negara” karena otoritas yang begitu tinggi yang dimilikinya.
Lalu bagaimana dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi??? Berbeda jauh dengan konsepsi di atas Pertamina menjadi diamputasi baik tugas, wewenang dan kedudukannya. Dibawah komando presiden tidak lagi langsung Pertamina, akan tetapi ada dua lembaga yaitu (KESDM) dan BP Migas kedua lembaga tersebut berhak dan wajib melakukan kontrak kerja sama serta melakukan pengawasan terhadap Pertamina. Jelas dengan keadaan ini Pertamina tidak lagi mempunyai otoritas penuh dalam pengelolaan SDM. Kekangan dan pengawasan kedua lembaga tersebut sangat menentukan dan makin banyak menimbulkan kecurangan dalam birokrasi. Secara vertikal pertanggung jawaban Pertamina bermuara pada dua arah. Dengan struktur kelembagaan tersebut overlapping dan politisasi makin besar.  Kuasa pertambangan menjadi tidak jelas berada di wilayah mana. Investasi tidak banyak muara dan BP migas hanya mengutamakan pengawasan tidak fokus terhadap tugas dan wewnenang yang diberikan dalam mengelola hulu migas. BP Migas tidak ada kewenangan dalam menjual minyak. Pertamina harus bertarung dengan kedua lembaga agar dapat wewenang mengelola SDA dalam negeri. Kedua lembaga tersebut telah dimasuki para investor yang tidak bertanggung jawab. Implikasi praktisnya seperti apa??? BP Migas hanya pengawasan dan bertindak praktis. Penetapan kuota subsidi BBM dapat dinegosiasikan dengan DPR, KESDM, dan Kementrian Keuangan.
            Analogi dengan dogma tersebut diatas yang menjadi sebuah awal pemicu terhadap sengketa dari pihak pemerintah dan DPR. Legilative heavy yang menjadi ciri khas dalam sistem pemerintahan sekarang ternyata masih menjaga gengsi yang luar biasa dengan kebijakan presiden SBY yang seolah-olah bertindak dengan ekesekutive heavy ala SBY. Audit yang dilakukan oleh BPK, kebijakan KESDM, ulah BP Migas makin menjadi polemik dan sengketa antar institusi negara. SBY bertindak dan tidak diterima oleh pihak lain. Polemik tersebut akhirnya berujung di MK agar dapat ditemukan jalan keluarnya.

Konsepsi Putusan MK
Putusan MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat final dan mengikat. Putusan MK dapat menolak, menerima dan bahkan dapat melebihi dari tuntutan para pemohon (ultra petita). Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Polemik memang muncul dari Pasal 45A Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang MK terkait legalitas dari ultra petita ini. MK bukan positif legislatif yang  berhak membuat norma baru dan bersifat umum apakah MK dapat melebihi lembaga legislatif atau kah sama???jika didasarkan pada fakta tersebut memang tidak lah ada kejelasan.
Putusan MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang MK disebutkan 4 hal yang menjadi kewenangan MK salah satunya adalah “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lalu bagaimana posisi KESDM dan BP Migas? Dalam dogma dan konsep tata negara mentri adalah pembantu presiden (Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Pelimpahan wewenang akan tetap melekat pada jabatan yang dimilki. Transformasi fungsi, tugas dan wewenang jug akan mengalami peralihan. Jika secara “delegatie” maka jika dianggap kementrian adalah satu kesatuan dengan birokrasi yang ada di tangan presdien maka tanggung jawab belum beralih pada kementrian tersebut. Kementrian disini adalah wadah dan mentri adalah pelaku dalam birokrasi tersebut. BP Migas dikeluarkan dengan kewenangan presiden. Apakah wajib bertanggung jawab pada presiden atau bisa kepada DPR?Apakah BP Migas termasuk dalam katagori lembaga negara? atau hanya lembaga sampiran semi otonom saja? Azas “geen bevoegheid zondervarautwoordelijkheid” yang artinya “Tiada pertanggung jawaban tanpa ada kewenangan” dapat saya gunakan dalam telaah ini. Azas akan terus melekat dan bahkan dapat menghilangkan aturan positif yang ada di dalamnya. Azas bahkan lebih tinggi dalam terminologi filsafat hukum. Hukum positif menjadi tidak berarti jika telah disimpangi oleh azas. Secara garis komando dan delegatie BP Migas bertanggung penuh pada presiden karena telah melekat kewenangan. Keppres sebagai embrio dalam legalitas BP Migas menjadikan parameter dalam polemik ini. Parameter lembaga negara tidak hanya dalam pemaknaan yang ada di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti secara umum dikenal dan dipahami. Lembaga negara tidak hanya dikeluarkan lewat undang-undang bahkan kekuatan hukum dari Keppres ini dapat dipertanggung jawabkan sebagai derivasi dari Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BP Migas telah menjadi kesatuan dalam wilayah kewenangan eksekutif presdien dengan walaupun tanpa mandat walaupun kekuatan delegatie secara tertlulis lebih kuat dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum telah membawa dampak terhadap tanggung jawab yang melekat dan tidak boleh dipisahkan. Dengan demikian BP Migas mutlak bertanggung jawab pada presiden tidak  pada DPR. Dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang MK telah diatur tentang legal standing dalam permohonan uji materi ke MK. Saya menelaah yang juga tidak kalah patut dicermati adalah point c dan d (badan hukum publik atau privat) dan lembaga negara. Bagi putusan MK yang pro pada intinya BP Migas hanya mengeruk uang rakyat dan merugikan keuangan negara karena hanya tendensi kepada perlindungan investor asing. Jika yang kontra putusan MK telah diluar kewenangannya sampai membubarkan salah satu badan negara serta makin mengacaukan tata hukum di negeri ini.

Peraturan  Presiden (Perpres) sebagai tandingan atas putusan MK
Putusan MK NO.36/PUU-X/2012 telah resmi membubarkan BP Migas. Terlepas dari polemik yang ada telah memberikan terobosan dalam sistem hukum di Indonesia. Putusan MK ini boleh dikakatan “ngawur dan terlalu berani”. Kenapa seperti itu?kewenangan yang terlalu jauh dapat digunakan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan sifat diskresi yang berlebihan. Keputusan yang tidak bertanggung jawab akan menjadi boomerang jika ada kepentingan dan praktek politisasi yang masuk kedalamnya. Bahkan dalam kasus tertentu hanya dengan rapat pleno tanpa panel MK memberikan putusan terhadap gugatan ke KPK terkait perbuatan melawan hukum materiil dari pemaknaan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Profesionalisme hakim sebagai pengawal konstitusi di negeri ini dipertaruhkan dalam setiap keputusan-keputusannya. Terobosan hukum yang kadang bukan ranah MK selalu memberikan warna dalam tata hukum di Indonesia.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Tidak boleh ada lembaga lain yang dapat membatalakannya. Akal-akalan pemerintah pasti akan selalu ada guna memberikan tandingan. Pasca putusan tersebut juga telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.95 Tahun 2012 yang menyangkut aturan yang lebih teknis terhadap unit kerja bagi BP Migas. Ini maksudnya apa?buat apa dan apakah ada kepentingan antara kong kalikong antara pemerintah dengan investor asing?. Ini semua akan terjawab nanti. Tandingan dari pemerintah tidak hanya ini saja pasac putusan MK tentang legalitas Jaksa Agung Hendarman Supanji juga menjadi polemik tersendiri. Perlu dicermati bersama kewenagan presdien melalui aturan dari istana kepresidenan ini akan menjadi sia-sia jika dasar hukumnya tidak kuat apalagi jika hanya menjaga gengsi pemerintah yang selalu kalah dengan infiltrasi hukum dari MK. Perseteruan antara lembaga eksekutif yang diwakili oleh presiden dengan lembaga yudikatif yang diwakili oleh MK tidak akan pernah berhenti selama keduanya masih mementingkan gensi masing-masing.

Dampak superbody kewenangan MK
            Pasca adanya amandemen Undang-Undang Dasar telah memberikan check and balances pada kewenangan lembaga negara. Tidak ada lagi lembaga tertinggi dan tingggi negara. Hal ini ada baik dan buruk nya terhadap penguatan sistem presidential di Indonesia. Pertanggung jawaban presiden pun juga makin tidak jelas. Penghapusan GBHN dari kewenangan MPR yang masih menjadi lembaga tertinggi negara akan memberikan efek domino dari proses penjatuhan presiden.
            Sekarang secara konstitusional tidak ada yang menempati lembaga tertinggi. Akan tetapi ingat atas kewenagan MK sekarang. Secara substansial MK adalah lembaga tertinggi negara. MK adalah panglima negara dan pahlanwan bagi semua???mungkin itulah euforia yang terjadi dalam ketatanegaraan di negeri ini. Superbody MK yang bertanggung jawab terhadap arahan demokratisasi dan konstitualisme akan menjadikan makin baik nya supremasi hukum di negeri ini. Jika timbul pertanyaan apakah mungkin MPR dan DPR juga bisa bubar???Ini adalah pertanyaan ketatanegaraan dan juga bisa hal yang ngawur. Akan tetapi dalam renuangan saya bisa saja MPR atau DPR bubar. Terlepas Indonesia menganut trikameral atau bikameral atau kah soft bicameralism atau kah sof bicameralism buka menjadi substansi utama dalam telaah saya. Para meter yang banyak diperdebatkan adalah tentang organg yang menempati dan penguatan fungsi organ tersebut. Tolak ukur itu yang akan coba saya gunakan dalam pertanyaan tersebut. Di dalam MPR ada DPD dan DPR. Semuanya mempunyai struktur sendiri-sendiri secara kelembagaan. Andaikata Taufik Kemas yang memimpin MPR berseteru dengan Marzuki Ali yang memmpin DPR atau mungkin dengan Irman Gusman yang memimpin DPD berseteru???. Coba lihat kewenangan MK ini “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Andaikata MPR pun masih menjadi lembaga tertinggi MK juga dapat punya kewenangan penuh. Kalimat “memutus sengketa kewenangan lembaga negara” tidak ada istilah dan perbedaan lembaga tinggi dan tertinggi negara. Hal yang patut dicermati adalah tidak ada larangan jika lembaga negara dapat dibubarkan. MK memiliki diskresi terhadap kalimat “yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Diskresi tersebut dapat dimaknai “tidak hanya memutus sengketa saja” tapi memutus dengan pembubaran lembaga negara akan tetapi jika pembubaran adalah konsekuensi agar sengketa dapat selsesai “berarti sah MK membubarkan lembaga negara” Jika analogi pembubaran BP Migas telah menjadi preseden dan dapat termasuk analogi lembaga negara maka siap-siaplah MPR atau DPR dapat dibubarkan.

No comments:

Designed By Mas Say