Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap
penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa dengan tegas menjamin hak setiap Penduduk untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, memperoleh
status kewarganegaraan, menjamin kebebasan memeluk agama, dan memilih tempat
tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan
alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status
Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi tinggal tetap dan Peristiwa Penting,
antara lain kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian,
termasuk pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, serta perubahan status
kewarganegaraan, ganti nama dan Peristiwa Penting lainnya yang dialami oleh seseorang
merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan
data identitas atau surat keterangan kependudukan. Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian
dan pencatatan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang
Pencatatan Sipil, masih ditemukan penggolongan Penduduk yang didasarkan pada
perlakuan diskriminatif yang membedabedakan suku, keturunan, dan agama
sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial Belanda.
Penggolongan Penduduk dan pelayanan diskriminatif yang demikian itu tidak
sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Kondisi tersebut mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami
kendala yang mendasar sebab sumber Data Kependudukan belum terkoordinasi dan
terintegrasi, serta terbatasnya cakupan pelaporan yang belum terwujud dalam
suatu sistem Administrasi Kependudukan yang utuh dan optimal.
Kondisi sosial dan administratif seperti yang
dikemukakan di atas tidak memiliki sistem database kependudukan yang menunjang
pelayanan Administrasi Kependudukan, Kondisi itu harus diakhiri dengan
pembentukan suatu sistem Administrasi Kependudukan yang sejalan dengan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan
kependudukan yang profesional. Seluruh kondisi tersebut di atas menjadi dasar
pertimbangan perlunya membentuk Undang-Undang tentang Administrasi
Kependudukan.
No comments:
Post a Comment