Berbicara tata negara berarti wajib menarik
dasar hukum yang ada dalam konstitusi sebagai kitab tertinggi. Dalam Pasal 24
ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang”. Pada konteks pemaknaan ini adanya pengadilan tindak pidana
korupsi merupakan jenis pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum hal
ini juga telah diatur dalam UU No. 46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Pengadilan khsusus ini juga merupakan atribusi dari UU No.30
Tahun 2002 tentang KPK. KPK ini juga merupakan atribusi dari Pasal 43 UU No.31
Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebelum
saya mencermati kinerja aturan tersebut dan hubungannya dengan lembaga lain
termasuk lembaga kepresidenan perlu saya kupas sedikit tentang perjalanan KPK
Pasca reformasi. Diawali dengan keluarnya TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Diterjemahkan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (19 Mei 1999). Disempurnakan
dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16
Agustus 1999). Ini merupakan aturan yang mengawali semangat adanya
pemberantasan korupsi pasca terjadinya galau konstitusi. Follow up nya adalah
dengan dibentuknya beberapa komisi negara. KPKPN dan TGPTPK (PP No.19 Tahun
2000). Dua komisi ini merupakan komisi yang fokus dalam penanganan
pemberantasan korupsi. Dengan adanya revisi UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat UU No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (21 November 2001) maka PP No.19 Tahun 2000
di Judicial Review dan diterima
akhirnya TGPTPK dibubarkan. Akhirnya lewat UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK (27
Desember 2002) dibentuk KPK. Perlu kita kaji bersama mengapa dahulu TGPTPK
masih dibawah kejaksaan dan KPK dibawah presiden?.
Para pimpinan KPK berawal Antasari Azhar, Tumpak
Panggabaian (Plt Antasari Azhar pasca terlibat kasus pembunuhan). Perppu plt
tersebut ditolak oleh DPR akhirnya terpilih Busro Muqodas sebagai ketuanya. Terlepas
kontoversi atas putusan MK terkait masa jabatan dan jumlah calon dari Panitia
Seleksi serta perspektif DPR sampai voting Abaraham Samad terpilih sebagai
ketua KPK (2 Desember 2011). Dalam kaitannya dengan kelembagaan presiden dapat
dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa pimpinan
KPK dipilih oleh DPR atas usulan presiden. Selanjutnya dalam ayat (8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan
yang akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia.
Dalam ayat (12) Calon
terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling
lambat 7 hari kerja terhitung
sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh
Presiden. Selanjutnya dalam ayat (13) disebutkan bahwa presiden wajib menetapkan calon terpilih
paling lambat 30 hari
kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan
dari DPR.
Dengan demikian legitimasi tertinggi pimpinan KPK
ada di tangan presiden bahkan sampai pengangkatan dan sumpahnya oleh dan
dihadapan presiden. Apa ini dapat diartikan pertanggung jawabannya pada
presiden?jelas berbicara inpendensi dari KPK tidak mungkin, akan tetapi perlu
dicermati bersama bahwa sekedar laporan kinerja KPK pada presiden sah dan
wajib. Laporan yang seperti apa?Mekanismenya seperti apa?dan kapan dapat
dilaksanakan?Apa semaunya para pimpinan KPK datang pada presiden atau seenaknya
presiden memanggil mereka?. Hal ini tidak ada aturan yang jelas. Terkadang
koordinasi para pimpinan KPK dengan presiden dimaknai dan ditafsirkan lain
apalagi ditafsrkan secara politis. Terkait kasus Anas Urbaningrum dan juga
melibatkan dengan SBY sebagai ketua Partai Demokrat selaku presiden apa yang
selayaknya dilakukan?. Dalam berita acara pemeriksaan kasus hambalang sering
disebut keterkaitan Cikeas, dan para pimpinan KPK tentunya lebih paham akan
kode etik tidak dan diperbolehkannya dengan tersangka atau pun keluarga yang
terduga ada sangkut pautnya dengan kasus yang sedang diperiksa. Hal ini harus
dijadikan etika dalam bernegara jangan sampai terkamuflase seolah-olah
melakukan koordinasi, akan tetapi ada pembicaraan lain. Intensitas koordinasi
dengan kondisi seperti itu harus dijaga jarak agar jangan sampai disalah
artikan oleh publik. Hubungan personal jangan sampai terlembagakan ini akan
membahayakan siklus pola hubungan dalam sistem tata negara.
Lembaga lain yang ikut terlibat
dalam kasus Hambalang ini adalah BPK. UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK merupakan
penderivatifan dari Pasal 23E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pasal 6 ayat (3) disebutkan bahwa “pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”.
Pemaknaan “pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” telah
dibuktikan orang-orang yang terlibat dalam kasus Hambalang termasuk spesifikasi
proyek, tujuan dan kinerjanya. Hal ini telah relevan jika dikaitkan dengan
Perpres No.54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/atau jasa pemerintah.
Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan hasil laporan BPK wajib dipublikasikan.
Apa benar hal ini sudah terbukti?dalam kaitan nominal masih dirahasiakan,
Kenapa?. Perlu diketahui nama Edie Baskoro, Angelina Sondahk, Nazzarudin, dan
Anas Urbaningrum tidak ada dalam daftar nama hasil audit BPK, kenapa ini
terjadi dan ada apa?. Nama yang ada hanya Andi Malaranging sebagai Kemenpora
yang menyalahi kewenangannya dalam melakukan tugas dan kewajiban. Hasil ini
akan dapat dijadikan kajian lebih lanjut dari KPK?. Apa mutlak wajib
ditaati?kekuatan hukumya seperti apa?. Dalam praktek hasil audit BPK ini hanya
digunakan dalam penentan kerugian negara dan apa pun hasilnya akan jad
perdebatan dalam persidangan.
Perlu
dicermati juga terkait kasus Hambalang adalah dengan adanya polemik
ketatanegaraan pada saat pergeseran ketua Komisi III DPR. Alat kelengkapan
negara di DPR salah satunya adalah adanya sebuah komisi (Pasal 81 ayat (1)
point a UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3). Dalam komisi tersebut ada beberapa
fraksi dari berbagai partai politik. Hal ini juga diperkuat pada Pasal 11 ayat
(1) UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3. Setiap fraksi memiliki ketuanya. Ketua ini
mempunyai kewenangan dalam melakukan rotasi kader sebagai arah kebijakan dari
instruksi partai. Ketua fraksi Partai Demokrat dipegang oleh Nurhayati Ali Assegaf.
Ketua komisi III DPR pengganti Benny K.Harman adalah Pasek Surdika dan ia
dikenal sebagai loyalis Anas Urbaningrum. Pergeseran pun dilaksanakan dan
diganti oleh Ruhut Sitompul. Apa yang terjadi?Pengunduran pelantikan oleh
pimpinan DPR dan penggagalan dengan kelompok fraksi yang ada. Akhirnya terpilih
Pieter C.Z Simabuea sebagai ketuanya. kontroversi yang mewarnainya merupakan
siklus tata negara yang dijadikan alat poliltik buat mengatur ritme permainan
terkait kasus Hambalalang yang melibatkan Anas Urbaningrum. Tidak kalah menarik
adalah alat kelengkapan negara yang lain berupa Badan Aggaran. Dalam Pasal 107
ayat (1) pada intinya bahwa adanya pembahasan antara pemerintah yang dapat
diwakili oleh para menteri dalam penganggaran kementrian lewat APBN. Siapakah
yang dimaksud sebagai pihak pemerintah?adalah eksekutif presiden dan
jajarannya. Siapakah menteri Pemuda dan Olah Raga waktu kasus Hambalang?.Jelas
Andi Malaranging. Siapa menteri Keuangannya sebagai perwakilan pemerintah? Agus
Martowardoyo. Mereka adalah orang kepercayaan SBY. Siapakah pengganti mentri
keuangan sekarang dan berganti pada posisi apa?. Mari kita tafsirkan bersama
(jika ditarik politik) masuk tidak logika ketatanegaraan ini?. Kubu SBY dan
Anas Urbaningrum pun jelas dengan orang-orang kepercayaannya masing-masing juga
masuk dalam Badan Anggaran ini.
Pada
13 Desember 2013 terdapat judicial review atas Pasal 3 dan 112 UU No.42 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Prof Yusril I.M.
Titik substansi yang perlu saya cermati adalah inti dari Pasal 3 ayat (1)
adalah bahwa pemilu presiden dan wakil presiden setiap 5 tahun sekali.
Selanjutnya pada ayat (5) bahwa pemilu presiden dan wakil presiden akan
dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Pada Pasal 112 jelas disebutkan bahwa
pemilu presiden dan wakil presiden akan dilaksanakan setelah pemilu legislatif
maksimal 3 bulan. Pada point gugatan tersebut hanya akan mempersoalkan jangka
waktu pemilu presiden dan wakil presiden. Batu uji dari pasal-pasal ini dapat
dilihat dari Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan
bahwa “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil
setiap 5 tahun”. Hal tersebut juga dibenturkan dengan Pasal 6A ayat (2) disebutkan
bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu”.
Gugatan tersebut pada intinya menginginkan bahwa pemilu presiden bersamaan,
tidak sepakat adanya presidential threshold karena Indonesia penganut sistem
presidential, tafsir konstitusi dari Pasal 6A ayat (2) atas dasar original
intents dari substansi tersebut bahwa yang dimaksud adalah pemilu legislatif
mengacu pada Pasal 22E.
Berkenaan
dengan pemikiran substansi tersebut saya sendiri berbeda dengan logika tata
negara yang dikonstruksi. Contoh kecil adalah tentang presidential threshold.
Saya sendiri sepakat tetap ada. Justru harus dinaikan dari 20% suara DPR menjadi
30% dan dari 25% menjadi 35% dari jumlah suara nasional. Kenapa demikian?
peluang koalisi antar partai akan menjadi lentur dan mudah. Dengan demikian
akan terbentuk koalisi kenegaraan yang dapat menyatukan pemikiran konsep
kebangsaan bersama dengan bermacam-macam ideologi yang ada akan memberikan
kemanfaatan hasil pemikiran kritis untuk solusi bangsa. Rakyat pun tidak dibuat
bingung karena hanya akan memilih hanya 2 pasangan saja. Jika memang ambang
batasnya sama dengan 3,5% hal buruk akan terjadi. Kenapa? walaupun proses
demokratisasi akan berlangsung dengan baik, justru akan membuat bingung rakyat pilihan banyak dan fragmentasi
perang ideologi akan berlangsung tidak sehat. Pemaknaan konsep presidential dan
parlementer jika dikaitkan dengan pemilu presiden dan wakil presiden juga
berbeda tafsir baik dalam tataran teoretis dan praktis. Tafsir Pasal 6A ayat
(2) saya sendiri lebih mengacu pada Pasal 6A ayat (1) karena lebih pada
koherensi makna gramatikal dan kadar filosofisnya tidak terdikotomi seperti
yang Prof Yusril I.M paparkan dengan mengacu pada Pasal 22E. Perdebatan ini
bukan substansi makna dalam tulisan saya ini, akan tetapi ini adalah perdebatan
akademis dan dapat dikaji dalam tulisan lain. Dengan berbeda pendapat bukan
berarti saya menginginkan MK akan menolak atau juga agar mengabulkan, akan
tetapi bagaimana siklus dari logika tata negara ini akan berdampak pada kasus
Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum.
Putusan
MK bisa mengabulkan sebagian/seluruhnya,menolak dan menerima, bahkan bisa ultra
petita. Jika menerima/menolak wajar logis implikasinya, tapi jika mengabulkan
sebagian?sia-sia lah. Sekitar 90% lebih gugatan Prof Yusril I.M selalu menang.
Jika lebih ekstrim dan berani buat melawan kecerdasan tersebut DPR segera rapat
paripurna revisi UU tersebut dan sahkan jangan biarkan deadlock. Cabut Pasal 3
ayat (5). Pasal 9 (itu perdebatan lain). Jika menang dan dikabulkan seluruhnya,
(ingat ketua MK adalah kader PBB dan pernah jadi staff khsusus beliau ketika
jadi Mensesneg thn 2004-2007, jika ditarik secara politik),maka dampaknya
adalah pemilu legislatif pada 9 April
2014, pemilu presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014, dan pergantian
peralihan kekuasaan pada 20 Oktober 2014 gagal atau rubah jadwal?bagaimana
dengan jadwal KPU,Bawaslu dan DKPP akan menyesuaikan?harus sosialisasi
lagi?rakyat bingung?keuangan dari APBN goncang?Para kandidat
capres&cawapres dapat berubah jika berdasarkan survey-survey menang bisa
sebaliknya?Bursa capres&cawapres ada 12 pasangan sejumlah partai peserta
pemilu?. Kondisi inilah yang akan dimanfaatkan oleh SBY untuk bermanuver dengan
sisa-sisa kekuasaannya lewat gerakan lembaga-lembaga negara yang masih
dibawahinya untuk menghadapi serangan Anas Urbaningrum dengan ormasnya PPI.
Bagaimana dengan Anas Urbaningrum dengan kondisi yang tidak menguntungkan
berada diluar jalur lingkaran kekuasaan?. Intervensi partai lain dan para tokoh
yang masih mengambil momentum pemilu 2014 lewat kasus Hambalang akan terlibat
pada kondisi ini.
No comments:
Post a Comment