Breaking News

19 January 2014

PRAHARA AWAS ANAS SERANG CIKEAS? (PERSPEKTIF TATA NEGARA)


Berbicara tata negara berarti wajib menarik dasar hukum yang ada dalam konstitusi sebagai kitab tertinggi. Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Pada konteks pemaknaan ini adanya pengadilan tindak pidana korupsi merupakan jenis pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum hal ini juga telah diatur dalam UU No. 46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan khsusus ini juga merupakan atribusi dari UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. KPK ini juga merupakan atribusi dari Pasal 43 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebelum saya mencermati kinerja aturan tersebut dan hubungannya dengan lembaga lain termasuk lembaga kepresidenan perlu saya kupas sedikit tentang perjalanan KPK Pasca reformasi. Diawali dengan keluarnya TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Diterjemahkan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (19 Mei 1999). Disempurnakan dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16 Agustus 1999). Ini merupakan aturan yang mengawali semangat adanya pemberantasan korupsi pasca terjadinya galau konstitusi. Follow up nya adalah dengan dibentuknya beberapa komisi negara. KPKPN dan TGPTPK (PP No.19 Tahun 2000). Dua komisi ini merupakan komisi yang fokus dalam penanganan pemberantasan korupsi. Dengan adanya revisi UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (21 November 2001) maka PP No.19 Tahun 2000 di Judicial Review dan diterima akhirnya TGPTPK dibubarkan. Akhirnya lewat UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK (27 Desember 2002) dibentuk KPK. Perlu kita kaji bersama mengapa dahulu TGPTPK masih dibawah kejaksaan dan KPK dibawah presiden?.
Para pimpinan KPK berawal Antasari Azhar, Tumpak Panggabaian (Plt Antasari Azhar pasca terlibat kasus pembunuhan). Perppu plt tersebut ditolak oleh DPR akhirnya terpilih Busro Muqodas sebagai ketuanya. Terlepas kontoversi atas putusan MK terkait masa jabatan dan jumlah calon dari Panitia Seleksi serta perspektif DPR sampai voting Abaraham Samad terpilih sebagai ketua KPK (2 Desember 2011). Dalam kaitannya dengan kelembagaan presiden dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR atas usulan presiden. Selanjutnya dalam ayat (8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam ayat (12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Selanjutnya dalam ayat (13) disebutkan bahwa presiden wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan dari DPR.
Dengan demikian legitimasi tertinggi pimpinan KPK ada di tangan presiden bahkan sampai pengangkatan dan sumpahnya oleh dan dihadapan presiden. Apa ini dapat diartikan pertanggung jawabannya pada presiden?jelas berbicara inpendensi dari KPK tidak mungkin, akan tetapi perlu dicermati bersama bahwa sekedar laporan kinerja KPK pada presiden sah dan wajib. Laporan yang seperti apa?Mekanismenya seperti apa?dan kapan dapat dilaksanakan?Apa semaunya para pimpinan KPK datang pada presiden atau seenaknya presiden memanggil mereka?. Hal ini tidak ada aturan yang jelas. Terkadang koordinasi para pimpinan KPK dengan presiden dimaknai dan ditafsirkan lain apalagi ditafsrkan secara politis. Terkait kasus Anas Urbaningrum dan juga melibatkan dengan SBY sebagai ketua Partai Demokrat selaku presiden apa yang selayaknya dilakukan?. Dalam berita acara pemeriksaan kasus hambalang sering disebut keterkaitan Cikeas, dan para pimpinan KPK tentunya lebih paham akan kode etik tidak dan diperbolehkannya dengan tersangka atau pun keluarga yang terduga ada sangkut pautnya dengan kasus yang sedang diperiksa. Hal ini harus dijadikan etika dalam bernegara jangan sampai terkamuflase seolah-olah melakukan koordinasi, akan tetapi ada pembicaraan lain. Intensitas koordinasi dengan kondisi seperti itu harus dijaga jarak agar jangan sampai disalah artikan oleh publik. Hubungan personal jangan sampai terlembagakan ini akan membahayakan siklus pola hubungan dalam sistem tata negara.
            Lembaga lain yang ikut terlibat dalam kasus Hambalang ini adalah BPK. UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK merupakan penderivatifan dari Pasal 23E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 6 ayat (3) disebutkan bahwa “pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”. Pemaknaan “pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” telah dibuktikan orang-orang yang terlibat dalam kasus Hambalang termasuk spesifikasi proyek, tujuan dan kinerjanya. Hal ini telah relevan jika dikaitkan dengan Perpres No.54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/atau jasa pemerintah. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan hasil laporan BPK wajib dipublikasikan. Apa benar hal ini sudah terbukti?dalam kaitan nominal masih dirahasiakan, Kenapa?. Perlu diketahui nama Edie Baskoro, Angelina Sondahk, Nazzarudin, dan Anas Urbaningrum tidak ada dalam daftar nama hasil audit BPK, kenapa ini terjadi dan ada apa?. Nama yang ada hanya Andi Malaranging sebagai Kemenpora yang menyalahi kewenangannya dalam melakukan tugas dan kewajiban. Hasil ini akan dapat dijadikan kajian lebih lanjut dari KPK?. Apa mutlak wajib ditaati?kekuatan hukumya seperti apa?. Dalam praktek hasil audit BPK ini hanya digunakan dalam penentan kerugian negara dan apa pun hasilnya akan jad perdebatan dalam persidangan.
Perlu dicermati juga terkait kasus Hambalang adalah dengan adanya polemik ketatanegaraan pada saat pergeseran ketua Komisi III DPR. Alat kelengkapan negara di DPR salah satunya adalah adanya sebuah komisi (Pasal 81 ayat (1) point a UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3). Dalam komisi tersebut ada beberapa fraksi dari berbagai partai politik. Hal ini juga diperkuat pada Pasal 11 ayat (1) UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3. Setiap fraksi memiliki ketuanya. Ketua ini mempunyai kewenangan dalam melakukan rotasi kader sebagai arah kebijakan dari instruksi partai. Ketua fraksi Partai Demokrat dipegang oleh Nurhayati Ali Assegaf. Ketua komisi III DPR pengganti Benny K.Harman adalah Pasek Surdika dan ia dikenal sebagai loyalis Anas Urbaningrum. Pergeseran pun dilaksanakan dan diganti oleh Ruhut Sitompul. Apa yang terjadi?Pengunduran pelantikan oleh pimpinan DPR dan penggagalan dengan kelompok fraksi yang ada. Akhirnya terpilih Pieter C.Z Simabuea sebagai ketuanya. kontroversi yang mewarnainya merupakan siklus tata negara yang dijadikan alat poliltik buat mengatur ritme permainan terkait kasus Hambalalang yang melibatkan Anas Urbaningrum. Tidak kalah menarik adalah alat kelengkapan negara yang lain berupa Badan Aggaran. Dalam Pasal 107 ayat (1) pada intinya bahwa adanya pembahasan antara pemerintah yang dapat diwakili oleh para menteri dalam penganggaran kementrian lewat APBN. Siapakah yang dimaksud sebagai pihak pemerintah?adalah eksekutif presiden dan jajarannya. Siapakah menteri Pemuda dan Olah Raga waktu kasus Hambalang?.Jelas Andi Malaranging. Siapa menteri Keuangannya sebagai perwakilan pemerintah? Agus Martowardoyo. Mereka adalah orang kepercayaan SBY. Siapakah pengganti mentri keuangan sekarang dan berganti pada posisi apa?. Mari kita tafsirkan bersama (jika ditarik politik) masuk tidak logika ketatanegaraan ini?. Kubu SBY dan Anas Urbaningrum pun jelas dengan orang-orang kepercayaannya masing-masing juga masuk dalam Badan Anggaran ini.
Pada 13 Desember 2013 terdapat judicial review atas Pasal 3 dan 112 UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Prof Yusril I.M. Titik substansi yang perlu saya cermati adalah inti dari Pasal 3 ayat (1) adalah bahwa pemilu presiden dan wakil presiden setiap 5 tahun sekali. Selanjutnya pada ayat (5) bahwa pemilu presiden dan wakil presiden akan dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Pada Pasal 112 jelas disebutkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden akan dilaksanakan setelah pemilu legislatif maksimal 3 bulan. Pada point gugatan tersebut hanya akan mempersoalkan jangka waktu pemilu presiden dan wakil presiden. Batu uji dari pasal-pasal ini dapat dilihat dari Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil setiap 5 tahun”. Hal tersebut juga dibenturkan dengan Pasal 6A ayat (2) disebutkan bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu”. Gugatan tersebut pada intinya menginginkan bahwa pemilu presiden bersamaan, tidak sepakat adanya presidential threshold karena Indonesia penganut sistem presidential, tafsir konstitusi dari Pasal 6A ayat (2) atas dasar original intents dari substansi tersebut bahwa yang dimaksud adalah pemilu legislatif mengacu pada Pasal 22E.
Berkenaan dengan pemikiran substansi tersebut saya sendiri berbeda dengan logika tata negara yang dikonstruksi. Contoh kecil adalah tentang presidential threshold. Saya sendiri sepakat tetap ada. Justru harus dinaikan dari 20% suara DPR menjadi 30% dan dari 25% menjadi 35% dari jumlah suara nasional. Kenapa demikian? peluang koalisi antar partai akan menjadi lentur dan mudah. Dengan demikian akan terbentuk koalisi kenegaraan yang dapat menyatukan pemikiran konsep kebangsaan bersama dengan bermacam-macam ideologi yang ada akan memberikan kemanfaatan hasil pemikiran kritis untuk solusi bangsa. Rakyat pun tidak dibuat bingung karena hanya akan memilih hanya 2 pasangan saja. Jika memang ambang batasnya sama dengan 3,5% hal buruk akan terjadi. Kenapa? walaupun proses demokratisasi akan berlangsung dengan baik, justru akan membuat  bingung rakyat pilihan banyak dan fragmentasi perang ideologi akan berlangsung tidak sehat. Pemaknaan konsep presidential dan parlementer jika dikaitkan dengan pemilu presiden dan wakil presiden juga berbeda tafsir baik dalam tataran teoretis dan praktis. Tafsir Pasal 6A ayat (2) saya sendiri lebih mengacu pada Pasal 6A ayat (1) karena lebih pada koherensi makna gramatikal dan kadar filosofisnya tidak terdikotomi seperti yang Prof Yusril I.M paparkan dengan mengacu pada Pasal 22E. Perdebatan ini bukan substansi makna dalam tulisan saya ini, akan tetapi ini adalah perdebatan akademis dan dapat dikaji dalam tulisan lain. Dengan berbeda pendapat bukan berarti saya menginginkan MK akan menolak atau juga agar mengabulkan, akan tetapi bagaimana siklus dari logika tata negara ini akan berdampak pada kasus Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum.
Putusan MK bisa mengabulkan sebagian/seluruhnya,menolak dan menerima, bahkan bisa ultra petita. Jika menerima/menolak wajar logis implikasinya, tapi jika mengabulkan sebagian?sia-sia lah. Sekitar 90% lebih gugatan Prof Yusril I.M selalu menang. Jika lebih ekstrim dan berani buat melawan kecerdasan tersebut DPR segera rapat paripurna revisi UU tersebut dan sahkan jangan biarkan deadlock. Cabut Pasal 3 ayat (5). Pasal 9 (itu perdebatan lain). Jika menang dan dikabulkan seluruhnya, (ingat ketua MK adalah kader PBB dan pernah jadi staff khsusus beliau ketika jadi Mensesneg thn 2004-2007, jika ditarik secara politik),maka dampaknya adalah pemilu legislatif  pada 9 April 2014, pemilu presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014, dan pergantian peralihan kekuasaan pada 20 Oktober 2014 gagal atau rubah jadwal?bagaimana dengan jadwal KPU,Bawaslu dan DKPP akan menyesuaikan?harus sosialisasi lagi?rakyat bingung?keuangan dari APBN goncang?Para kandidat capres&cawapres dapat berubah jika berdasarkan survey-survey menang bisa sebaliknya?Bursa capres&cawapres ada 12 pasangan sejumlah partai peserta pemilu?. Kondisi inilah yang akan dimanfaatkan oleh SBY untuk bermanuver dengan sisa-sisa kekuasaannya lewat gerakan lembaga-lembaga negara yang masih dibawahinya untuk menghadapi serangan Anas Urbaningrum dengan ormasnya PPI. Bagaimana dengan Anas Urbaningrum dengan kondisi yang tidak menguntungkan berada diluar jalur lingkaran kekuasaan?. Intervensi partai lain dan para tokoh yang masih mengambil momentum pemilu 2014 lewat kasus Hambalang akan terlibat pada kondisi ini.

No comments:

Designed By Mas Say