Breaking News

06 December 2016

PARADIGMA KEPEMIMPINAN NASIONAL SEBAGAI TESIS SINERGISITAS GERAKAN ORGANISASI


 
Pendahuluan
Idealisme dan nasioalisme sering didengung-dengungkan oleh berbagai kalangan khususnya dari para mahasiswa dan pemuda yang aktif di organisasi. Idealisme bukan hanya sebuah perkataan atau sekedar wacana agar dibilang mahasiswa dan pemuda yang memiliki “taring”. Idealisme ini adalah ruang khusus dalam pemikiran mahasiswa dan pemuda. Ketika ruang tersebut kemasukan zat atau pun pemikiran lain, maka saat itulah idealisme sering dipertanyakan. Salah masuk ruang tersebut, maka idealisme tersebut berpeluang akan “tergadaikan” dan bahkan akan “diperjualbelikan”. “Kejujuran” adalah salah satu langkah awal agar istilah “tergadaikan” dan “diperjualbelikan” tidak akan muncul. Hal ini yang menjadi sebab kegelisahan di hati Penulis selama ini. Bukan berarti Penulis sudah mampu dan merasa bisa untuk merealisasikannya. Akan tetapi Penulis mengajak kepada semua pihak bahwa idealisme ini merupakan tantangan besar dan godaan akan menjadi “mulia” atau justru akan “terhina”.

Politik organisasi atau politik institusi (karena wajib dan mutlak cerdas,bijak, dan rasional) beda dengan politik praktis. Setiap pemimpin yang paham dengan tugas dan wewenangnya pasti akan menggunakan logika berpolitik institusi karena dia paham lawan-lawannya adalah para pemain dan lobying dalam politik praktis. Politik organisasi atau politik institusi ada space nya masing-masing. Salah satu batas dari idealisme yang terkadang gagal dalam memahami adalah ketika dihadapkan dengan posisi antara “politik organisasi atau politik institusi” vs “politik praktis”.
Tempaan mahasiswa dan pemuda akan lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan proses idealisme yang dibawa sebagai “jalan terang”. Diantara samping kanan dan kiri “jalan terang” tersebut ada sisi gelap dan bahkan ada ranjau-ranjau yang setiap saat dapat meledak. Ketika proses jalan pun terkadang pesakitan dan ujian kemiskinan selalu menyelimuti. Dalam diri mahasiswa dan pemuda sejatinya telah tumbuh dan berkembang secara alamiah untuk menjadi seorang pemimpin. Pemimpin tentunya identik dengan tugas dan wewenang yang dimilikinya sebagai pimpinan baik di dalam organisasi di semua jenjang dan jenis,lembaga dan/atau LSM. Pemimpin tentunya tidaklah serta merta menjadi seorang pemimpin tanpa melalui proses dan perjalanan panjang. Regenerasi dalam dalam organisasi di semua jenjang dan jenis,lembaga dan/atau LSM menjadi momentum untuk mengawali setiap peranan mahasiswa dan pemuda untuk tampil menjadi pemimpin. Menjadi mahasiswa adalah sebagian proses menjadi seorang pemuda dan merupakan langkah awal untuk menjadi pemimpin. Proses pencarian jati diri biasanya diawali ketika menjadi mahasiswa. Perbedaan lingkungan sebelum kuliah dan karakter temah kuliah yang berbeda-beda akan menjadikan titik awal proses penyesuain diri. Hal tersebut pasti diikuti dengan eratnya perbedaan ras,agama,suku,bahasa dan lain sebagainya yang menjadikan proses pergaulan akan terpengaruh pada hal-hal yang baru. Pergaulan yang positif dan negatif akan menjadi pertaruhan bagi seorang mahasiswa. Prinsip dan pedoman hidup khsusunya ajaran agamanya masing-masing sangat diperlukan untuk membentangi diri masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang negatif Jiwa kepemimpinan tersebut tentunya akan dijadikan sebagai bekal untuk mempersiapkan kepimpinan nasional yang jauh lebih besar dengan tanggung jawab yang besar juga. Pemimpin nasional tentunya tidak serta merta menjadi seorang pemimpin tanpa melalui proses panjang dari bawah terlepas jalan yang berbeda-beda.
Menurut Prof. Dr. Mustopadidjaja bahwa kepemimpinan nasional diartikan sebagai sistem kepemimpinan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsameliputi berbagai unsur dan srtuktur kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan pemerintahan negara dan masyarakatyang berperan mengemban misi perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa sesuai dengan posisi masing-masing dalam pemerintahan dan masyarakat mernurut niali-nilai kebangsaan dan perjuangan yang diamanatkan konstitusi negara. Secara struktural kepemimpinan nasional terdiri dari pejabat lembaga-lembaga pemerintahan negara dan pemimpin lembaga-lembaga yang berkembang dalam masyarakatyang secara fungsional berperan dan berkewajiban memimpin orang dan lembaga yang dipimpinnya dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Pemimpin nasional adalah sosok yang mampu memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan dan menghayati nilai-nilai yang berlakuagar mempunyai kemampuan memberi inspirasi kepada bangsa Indonesiadan mempunyai visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia [1].
Out put kongkrit dari lulusnya idealisme tersebut adalah memahami demokratisasi. Demokrasi adalah salah satu ruang bebas setelah pengekangan dalam ruang sempit dan penuh kegelapan. Demokrasi memang tercermin dalam keadaan bagaimana dan seperti apa untuk bernegara. Demokrasi dalam makna yang lebih luas tidak hanya dalam bernegara. Akan tetapi juga dapat dipraktekan dalam institusi lain selain yang ada hubungannya dengan semangat idealisme. Praktek berdemokrasi jika dilandasi dengan sifat idealisme kuat akan melahirkan karakter negarawan. Sifat negarawan sangatlah penting guna menopang keberlangsungan bernegara. Para pemimpin negeri ini kebanyakan lahir dari partai politik dan hal itu wajar karena bagian dari infra struktur politik adalah adanya partai politik. Dalam partai politik itu adalah rumah dan tempaan tersendiri agar sifat negarawan lahir, tumbuh dan berkembang. Sifat negarawan pada fase ini juga dipertaruhkan. Sifat negarawan terkadang digadaikan dan lebih mementingkan kepentingan partai atau kelompoknya. Baju boleh dari partai politiknya, akan tetapi jika sudah dibenturkan dengan urusan rakyat dan bernegara, maka baju harus ditanggalkan dan bahkan jangan dipakai lagi. Maka pada fase ini proses bernegara dengan negarawan akan terbukti demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bermartabat dan berdaulat.
Kepemimpinan
            Kepemimpinan adalah bagian dan sesuatu hal yang telah melekat pada diri seorang pemimpin. Dalam konteks ini bahwa pemimpin tentunya sangat berbeda dengan kepemimpinan. Pemimpin adalah pelakunya. Sedangkan kepemimpinan adalah proses dari bagi pelaku tersebut. Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Semuanya saling akan memberikan pengaruh. Dalam telaah lanjut Penulis memberikan makna baik pemimpin atau kepemimpinan dari berbagai sumber. Hal ini Penulis jadikan sebagai rujukan awal dalam kajian akademis. Walaupun demikian tentang kepemimpinan dan pemimpin juga memiliki pandangan yang berbeda dari berbagai sumber yang ada dan bahkan dari berbagai tokoh yang ada.
            Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah melakukannya dalam kerja dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi.Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran atau instruksi[2].Kepemimpnan adalah keterampilan dan kemampuan seseorang mempengaruhi perilaku orang lain, baik yang kedudukannya lebih tinggi maupun lebih lebih rendah daripada nya dalam berfikir dan bertindak agar perilaku yang semula mungkin individualistik dan egosentrik berubah menjadi perilaku organisasional[3].
            Pemimpin adalah orang yang memimpin kelompok dua orang atau lebih, baik organisasi maupun keluarga. Sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengendalikan, memimpin, mempengaruhi fikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya[4].Pemimpin terdiri dari pemimpin formal (formal leader) dan pemimpin informal (informal leader). Pemimpin formal adalah seorang (pria atau wanita) yang oleh organisasi tertentu (swasta atau pemerintah) ditunjuk (berdasarkan surat-surat keputusan pengangkatan dari organisasi yang bersangkutan) untuk memangku sesuatu jabatan dalam struktur organisasi yang ada dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi tersebut yang ditetapkan sejak semula. Sedangkan kepemimpinan adalah merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri seorang yang memimpin yang tergantung dari macam-macam faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern[5].
            Dengan demikian menurut Penulis anasir dalam kepemimpinan wajib dapat memenuhi unsur sebagai berikut:
a.       Adanya seorang pemimpin;
b.      Adanya yang dipimpin
c.       Adanya suatu wadah organisasi dan/atau dengan sebutan lainnya;
d.      Adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak;
e.       Adanya tujuan yang tercermin dalam visi dan misi; dan
f.       Adanya suatu cara atau metode.

Gaya kepemimpinan
Dalam mencapai tujuan dalam kepemimpinan untuk dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi orang lain, maka dalam penerapan Manajemen Sumber
Daya Manusia lazimnya digunakan 4 (empat) macam gaya kepemimpinan yairu sebagai berikut[6]:
a.       Democratic Leadership adalah suatu gaya kepemimpinan yang menitikberatkan kepada kemampuan untuk menciptakan moral dan kemampuan untuk menciptakan kepercayaan;
b.      Dictatorial atau Autocratic Leadership yakni suatu gaya leadership yang menitikberatkan kepada kesanggupan untuk memaksakan keinginannya yang mampu mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk kepentingan pribadinya dan/atau golongannya dengan kesediaan untuk menerima segala resiko apapun;
c.       Paternalistic Leadershipyakni bentuk antara gaya pertama (democratic) dan kedua (dictatorial) diatas. Yang pada dasarnya kehendak pemimpin juga harus berlaku, namun dengan jalan atau melalui unsur-unsur demokratis. Sistem dapat diibaratkan diktator yang berselimutkan demokratis; dan
d.      Free Rein Leadership yakni salah satu gaya kepemimpinan yang 100% menyerahkan sepenuhnya seluruh kebijakan pengoperasian Manajemen Sumber Daya Manusia kepada bawahannya dengan hanya berpegang kepeda ketentuan-ketentuan pokok yang ditetapkan oleh atasan mereka. Pimpinan disini hanya sekedar mengawasi dari atas dan menerima laporan kebijaksanaan pengoperasian yang telah dilaksanakan oleh bawahannya.
Dalam perkembangan dan dinamika yang terjadi menurut Penulis terdapat banyak perubahan baik dari arti atau penerapan tentang gaya kepemimpinan. Perkembangan tersebut juga dikenal dengan kepemimpinan transformasional. Terdapat 4 faktor untuk dalam mempengaruhi atau menuju kepemimpinan tranformasional yaitu idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulationdan individual consideration.Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik.Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu[7].
Seorang pemimpin adalah pada hakikatnya pemimpin bagi dirinya sendiri. Dia bukanlah hasil karya dari orang lain karena secara lahiriah dan kodrat setiap manusia telah ditakdirkan dan diberikan tanggung jawab sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri. Dengan berbekal inilah tentunya seorang pemimpin akan memiliki cara tersendiri dalam memimpin. Berawal dari cara inilah sebenarnya dapat terlihat bagaimana karakteristik atau kepribadian yang dimilikinya. Kepribadian dalam awal-awal kepempinan akan berbanding lurus atau linear dengan kepribadian yang dimiliki. Seriring proses waktu yang berjalan tentunya kepribadian tersebuat akan sulit dibedakan antara kepribadian yang sesungguhnya ketika bersamaan dengan cara kepemimpinan yang dilakukan. Berawal dari “cara” akan berubah dengan “sikap” yang akan menjadi salah satu ukuran bagi seseorang dalam melakukan proses kepemimpinan. Sikap inilah yang akan menjadikan topeng bahkan kemunafikan jika tidak berhati-hati dan bijak dalam bersikap. Tentunya ketika sudah melewati proses “cara” dengan berubah ke “sikap” inilah yang menjadi fase sebenarnya “gaya kepemimpinan” dari seseorang akan terbentuk seperti apa. Pada fase “sikap” inilah seorang pempimpin dituntut untuk selalu tetap menjadi diri sendiri. Perlu diketahui bahwa memang dalam memberikan kebijakan-kebijakan tertentu butuh sikap yang “cerdas dan bijak” serta “benar” caranya agar semua produk kebijakan yang dihasilkan tidak menimbulkan pro dan kontra yang lebih besar. Dalam bersikap inilah tentunya adakalanya ada “hal yang perlu ditutupi” dan tidak semua diberikan penjelasan terbuka pada orang yang dipimpin. Ada yang perlu dibuka dan ada yang memang harus ditutupi. Dengan sikap menutupi bukan berarti bersikap tidak jujur atau memutarbalikan fakta atau bahkan melakukan rekayasa. Sikap menutupi dimaksudakan agar dapat tercipta keadilan dalam hasil kebijakan yang dikeluarkan. Pasa fase inilah yang menurut Penulis akan menimbulkan konflik pribadi dari seorang pemimpin. Dengan demikian proses pendewasaan dari seorang pemimpin akan diuji dan akan diihat kualitasnya dengan kebijakan yang akan dan telah diambil. Pada fase inilah timbul munafik atau bukan?tentunya setiap kebijakan selain dicapai dengan musyarawah mufakat pasti akan melahirkan pro dan kontra. Hal tersebut adalah wajar dan wajib dipahami dan diterima oleh semua pihak khususunya bagi orang yang dipimpin.
Pada proses internalisasi dengan konflik yang demikian tentunya seorang pemimpin wajib terus melakukan instropeksi diri agar baik dan buruk kebijakan yang telah diambil dapat dipertanggung jawabkan tidak hanya dalam waktu jangka pendek, akan tetapi juga dalam masa panjang. Setelah melalui proses internalisasi yang panjang sudah waktunya untuk aktualisasi diri dengan kebijakan-kebijakan yang akan dikelaurkan. Produk kebijakan ini lah yang menurut Penulis menjadi parameter utama tentang “gaya kepemimpinan”. Setiap pemimpin akan melahirkan sejarah tersendiri. Hal ini disebabkan karena keadaan dan karakteristik orang-orang yang dipimpin tidaklah beda dengan pemimpin terdahulu atau di masa yang akan datang sekalipun. Kalaupun gaya kepimpinan seseorang identik atau meniru seseorang apakah boleh?.Tentunya tidak ada aturan manapun yang melarang agar tidak memperbolehkan hal tersebut. Identik atau meniru dengan gaya kepimpinan ada sah-sah saja dengan syarat ada batas-batas tertentu dengan tidak mereduksi sifat asli kepemimpinan yang dilakukan. Pedoman, prinsip dan keyakinan yang telah didapatkannya jangan sampai berubah atau bahkan hilang sama sekali. Jika hal itu terjadi maka dapat dikatakan seseorang “plin-plan” dalam bersikap sebagai pemimpin. Dengan demikian menurut Penulis batu uji dari gaya kepemimpinan seseorang adalah dapat terlihat yaitu sebagai berikut:
a.       Proses internalisasi dari pemimpin;
b.      Pedoman,prinsip dan keyakinan dari pemimpin;
c.       Karakteristik kepribadian yang dipimpin;dan
d.      Waktu peridiosasi dari kepepimpinan.

Kepemimpinan dan organisasi
Dalam menjalani praktek kepemimpinan tentunya tidaklah mudah dan memerlukan wadah untuk merealisasikan hal tersebut. Praktek disini jangan dimaknai hanya sekedar coba-coba atau hanya sekedar memanfaatkan waktu laung daripada tidak ada kegiatan lain. Jika sudah mendapatkan amanah wajib dengan segera menanamkan bahwa kita adalah pemimpin dan memiliki tanggung jawab yang besar karena melibatkan banyak orang yang akan dipimpin. Opportunity never comes twice and better later than never?. Itulah yang menurut Penulis untuk menggambarkan keadaan pemimpin yang  baru menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin. Kesempatan tidak akan pernah datang untuk kedualinya dan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kepemimpinan dapat lahir dari sekedar forum diskusi atau sebuah komunitas tertentu. Forum atau komunitas-konunitas tersebut adalah wadah yang paling kecil untuk merealisasikan tentang kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam sebuah organisasi kampus baik ekstra maupun intra tentunya cara berpikirnya adalah dengan intelektual denagan semangat akademis yang tertanam di dalam jiwa. Hal yang tentunya akan berbeda substansi jika wadah organisasinya dalam ruang lingkup masyarakat. Cara berpikir dan pola pikir dalam ruang lingkup kampus tentunya jauh berbeda dengan keadaan yang ada di dalam masyarakat. Baik di dalam lingkungan kampus atau masyarakat ada yang berbentuk formal dan bukan. Dalam keadaan ini tentunya juga membutuhkan jiwa kepemimpinan yang berbeda baik dengan pola pikir maupun cara menyikapinya.
Proses puncak dari diri seseorang yang telah memiliki jiwa kepemimpinan adalah mampu memberikan konstribusi bukan lagi dalam ruang lingkup kampus atau masyarakat, akan tetapi sudah berbicara nasional atau Indonesia. Berbicara Indonesia tentunya berbicara tentang kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional dapat meliputi di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Siapa pun yang mampu menempati pos-pos dalam jenjang struktural tersebut tentunya sudah melalui tahapan yang dilaluinya baik dahulu dalam ruang lingkup kampus,masyarakat atau lokal. Kuncinya adalah mampu memberikan manfaat bagi masyarakat dengan kapasitas dan kelilmuan masing-masing. Ide-ide dan gagasan serta pencerahan bagi setiap permasalahan bangsa wajib menjadi skala prioritas.
Tantangan mahasiswa dan pemuda dalam mempertahankan idealisme adalah pemenang sebagai pejuang atau penghianat sebagai pecundang adalah pertaruhan yang tentunya tidak lepas ketika dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Sifat oportunis dan skeptis terhadap  persoalan yang dihadapi adalah awal rapuhnya idealisme yang dimiliki mahasiswa dan pemuda. Dalam sebuah analogi Penulis sebutkan yaitu sebagai berikut:
“Waktu ujian,cobaan,dan rintangan datang sebagai badai besar, maka kebanyakan orang akan membangun kincir angin hanya dengan niat dan tujuan demi kemanfaatan pribadinya sendiri. Badai yang datang dianggap akan memberikan keuntungan dan manfaat yang besar jika dengan cepat dibangun kincir angin. Itulah yang disebut sebagai “pecundang”. Berbeda halnya dengan pemikiran orang dengan sekuat tenaga,pemikiran bijak dan rasional dengan rasa optimistis akan membangun tembok besar kokoh dan kuat agar badai yang datang tidak merusak yang ada. Orang tersebut rela jika waktu membangun tembok tersebut akan terkena hempasan badai yang penting orang-orang yang ada disekitarnya aman. Itulah yang disebut sebagai “pejuang”.

Penutup

Dalam diskusi-diskusi ilmiah sebagai penutup fase betapa pahitnya mempertahankan sebuah idealisme bagi kalangangan mahasiswa dan pemuda khususnya dalam menjaga amanah dari seorang pemimpin Penulis mencoba gambarkan dan analogikan yaitu sebagai berikut:
Kalimat ini sering Penulis gunakan sebagai awal dalam mengisi diskusi-diskusi dan seminar-seminar yaitu sebagai berikut:
“Jangan pernah menjadi loyalis-loyalis buta sebagai awal lahirnya sifat penghianat dan penjilat terhadap intelektual muda serta menggadaikan idealisme dengan menutup mata akan makna kebenaran. Jika salah katakan salah dan jika benar maka jangan takut bersuara demi kebenaran dan keadilan dengan cerdas,bijak dan rasional. Idealisme bukan lagi persoalan akan dapat apa, akan tetapi kenapa dan bagaimana kewajiban itu dilaksanakan dengan baik dan benar”.

Daftar Pustaka
Sumber buku
Ermaya Suradinata. 1995. Psikologi Kepegawaian dan Peranan Pimpinan Dalam
               Motivasi Kerja. Bandung:CV Ramadan.
Hendri Tanjung dkk. 2003. Manajemen Motivasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Siagian, S. P. 1982. Administrasi Pembangunan. Jakarta:Gunung Agung.
Winardi. 1990. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta:PT. Rineka Cipta.

Sumber internet
Anonim. 2015. Kepemimpinan, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan/diakses pada tanggal 5 Oktober 2015 pukul 03.00 WIB
Anonim. 2015. Kepemimpinan di Indonesia, dalam https://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/konsep-kepemimpinan-di-indonesia/diakses pada tanggal 5 Oktober 2015 pukul 07.00 WIB




[1]Anonim. 2015. Kepemimpinan di Indonesia, dalam https://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/konsep-kepemimpinan-di-indonesia/diakses pada tanggal 5 Oktober 2015 pukul 07.00 WIB
[2]Anonim. 2015. Kepemimpinan, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan/diakses pada tanggal 5 Oktober 2015 pukul 03.00 WIB
[3]Siagian, S. P. 1982. Administrasi Pembangunan (Jakarta:Gunung Agung, hal.12)
[4]Ermaya Suradinata . 1995. Psikologi Kepegawaian dan Peranan Pimpinan Dalam Motivasi Kerja (Bandung:CV Ramadan, hal.11)
[5]Winardi. 1990. Kepemimpinan Dalam Manajemen (Jakarta:PT. Rineka Cipta, hal. 32)
[6]Hendri Tanjung dkk. 2003. Manajemen Motivasi (Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, hal. 23) 
[7]Anonim. 2015. Kepemimpinan, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan/diakses pada tanggal 5 Oktober 2015 pukul 03.00 WIB

No comments:

Designed By Mas Say