Menurut Simons“strafbaar
feit” adalah “een strafbaar gestelde
on rechmatige met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar”.
Unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya perbuatan manusia baik positif
maupun negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkannya, diancam dengan
pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan orang yang mampu
bertanggung jawab. Menurut Van Hammel
unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dengan
undang-undang, melawan hukum dengan kesalahan, dan patut dipidana. Menurut E.Mezger unsur-unsur tindak pidananya
adalah perbuatan dalam arti yang luas dari manusia baik yang aktif atau
membiarkan, sifat melawan hukum, dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang
dan diancam dengan pidana. Menurut J.Bauman
unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik,
bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. Menurut Karni unsur-unsur tindak pidananya adalah
perbuatan yang mengandung perlawanan hak, dilakukan dengan salah, perbuatan
patut dipertanggung jawabkan. Menurut Wirjono
Prodjodikoro unsur-unsur tindak pidananya adalah tindak-tindak pidana
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Menurut H.B.Vos unsur-unsur tindak pidananya
adalah adanya kelakuan manusia, diancam pidana dalam undang-undang. Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur tindak pidananya
adalah bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan
pidana. Menurut Moeljatno unsur-unsur
tindak pidananya adalah perbuatan manusia, memenuhi rumusan dalan undang-undang yang merupakan
syarat formil dan bersifat melawan hukum yang merupakan syarat materiil [1].
Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda “strafbaar
feit” yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam stratwet boek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana [2].
Tindak pidana adalah melakukan sesuatu perbuatan
dengan maksud atau nyata-nyata memutar balikan, merongrong atau penyelewengan
ideologi negara Pancasila atau haluan negara. Tindak pidana adalah melakukan
perbuatan yang diketahui atau patut dikehendaki dapat memutar balikan,
merongrong atau menyelewengkan Pancasila atau haluan negara [3].
Tindak pidana adalah perbuatan yang suatu oleh peraturan hukum dilarang dan
diancam pidana asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan ditujukan
kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang [4].
Robert Glitgaard merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi matematis
yaitu dengan rumusan sebagai berikut: (C=M+D-A) Corruption = Monopoly Power + Diskretion by Official – Accountability.Pemaknaan dalam “monopoly
power” ditujukan kepada pelaku dalam birokrasi atau pun instansi sebagai
pempimpin dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain pemaknaan “diskretion by official” merupakan
kewenangan yang dapat diambil oleh pemimpin dalam sebuah birokrasi dalam
membuat kebijakan yang akan diambil. Selanjutnya pemaknaan ”accountability” merupakan bentuk tidak
adanya tanggung jawab dari sebuah pemimpin dalam birokrasi terkait kebijakan
yang telah diambil dalam melaksanakan kewajiban sesuai tugas dan wewenangnya.
Variable antara adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dalam keleluasaan
pengambilan kebijakan yang akan diambil dan akan berimplikasi juga terhadap ada
dan tidaknya etikad baik dalam pertanggung jawaban kepada publik atas keputusan
tersebut. Dalam konteks ini birokrasi berupa pemerintah daerah yang merupakan
domain dalam kajian ini. Para pemimpin atau pengambil kebijakan merupakan para
pejabat baik di eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang dimilki oleh para
pejabat tersebut akan digunakan secara leluasa dalam mentetapkan kebijakan.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
disebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar”.
Modus operandi korupsi telah berkembang pesat
mulai dari cara konvensional sampai kepada pemanfaatan hi-tech yang memunculkan kejahatan berdimensi baru, seperti bank crime, crime as business, manipulation
crime, corporation crime, custom fraud, money laundring, illegal logging,
illegal fishing dan berbagai modus cyber
crime lainnya [5].
Gaya dan tipe cara para pejabat untuk melakukan tindak pidana korupsi banyak
modus yang dilakukan guna memperoleh kekayaan pribadi. Modus korupsi dalam
penyalahgunaan jabatan dan memberikan infiltrasi pada birokrasi dengan
mengkamuflasekan dana real menjadi abstrak, sehingga akan sulit untuk
diidentifikasi untuk direalisasikan menjadi dana yang nyata guna membiayai
pembangunan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Dalam hal hendak menganalisis hukum tentang
perbuatan salah administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya dapat
dipedomi sebagai berikut: Adanya kesalahan administrasi murni, maksudnya adalah
si pembuat khilaf (culpoos) tidak
menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai
prosedur suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak
kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan administrasi
semacam ini ini bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat
dilakukan secara administratif pula, misalnya dengan mencabut, membatalkan,
atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya. Si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan
tertentu yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara tertentu. Kasus
semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum perdata dan bukan korupsi. Pada
si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugiaan. Korupsi pada Pasal 2
Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan bentuk tindak pidana culpoos, malainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana yang
tidak secara tegas mencamtumkan unsur culpoo
sadalah tindak pidana dolus. Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur
perbuatannya. Seperti Pasal 2 tersebut kesengajaan si pembuat tersirat di dalam
perbuatannya memperkaya, misalnya mendepositkan uang negara atas nama pribadi
tidak disadari dan tidak dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu
dibuktikan dengan cara menganalisisnya karena tidak dicantumkan dalam rumusan.
Si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, tetapi tidak
dapat membawa dampak kerugiaan kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih
ditoleransi sebagai kesalahan administratif. Sanksi administratif dapat
dijatuhkan pada si pembuat, tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan
tindak pidana korupsi. Si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan
administratif tertentu meyalahi aturan dilakukan juga, sehingga dapat membawa
kerugiaan negara. Dalam hal ini masuk pada persoalan korupsi. Tinggal jaksa
dalam pembuktiaan mempertajam analisis hukum mengenai perbuatan maupun
akibatnya, termasuk sifat melawan hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya.
Jika tidak ditemukan sumber tertulis akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan
dalam melakukan analisis pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis [6].
Dalam hal kaitannya dengan unsur pidana yang melekat pada seorang justice collaborator dapat dilihat dari
peran serta ketika menggunakan jabatan yang menjadi kewenangan dalam
mengeluarkan kebijakan. Pada Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terdapat beberap unsur yang menurut Penulis dapat dijadikan sebagai tolak ukur
dalam menentukan keterlibatan dalam menggunakan wewenang yang dimiliki,
sehingga menyebabkan adanya unsur pidana.
Penulis berpendapat bahwa unsur “dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri”, “menyalahgunakan kewenangan”dan “merugikan keuangan negara” adalah
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seseorang telah memasuki wilayah
pidana dan terlepas dari unsur administrasi dalam menggunakan jabatannya.
Ketiga unsur tersebut adalah bersifat komulatif dan bukan relatif. Jika salah
satu tidak terpenuhi menurut Penulis unsur pidananya belum dapat dikenakan
kepada pelaku tindak pidana dalam hal kaitannya dengan tindak pidana korupsi.
Ketiga unsur tersebut melekat dengan para pihak dalam melakukan tindak pidana
korupsi. Dengan demikian turut serta dalam tindak pidana korupsi juga menjadi
penentu sejauh mana keterlibatan pihak-pihak pelaku tindak pidana korupsi dalam
mempertanggung jawabkan perbuatannya dan sanksi yang akan dijatuhkan.
[2]Wirjono
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia (Bandung:PT Refika
Aditama, 2002), hal. 55
[3]Niniek
Suparni, Tindak Pidana Subversi Suatu
Tinjauan Yuridis (Jakarta:Sinar Grafika, 1991), hal. 40
[4]Moeljatno, Asas-Asas
Hukum Pidana (Jakarta:PT Renika Cipta, 1993), hal. 54
[5]Rohim,Op.Cit, hal. 13
[6]Adami
Chazawi,Op.Cit, hal. 312
No comments:
Post a Comment