Breaking News

19 August 2016

JUSTICE COLLABORATOR SEBAGAI SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA



Menurut Simons“strafbaar feit” adalah “een strafbaar gestelde on rechmatige met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar”. Unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya perbuatan manusia baik positif maupun negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkannya, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan orang yang mampu bertanggung jawab. Menurut Van Hammel unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dengan undang-undang, melawan hukum dengan kesalahan, dan patut dipidana. Menurut E.Mezger unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan dalam arti yang luas dari manusia baik yang aktif atau membiarkan, sifat melawan hukum, dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang dan diancam dengan pidana. Menurut J.Bauman unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. Menurut Karni unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan yang mengandung perlawanan hak, dilakukan dengan salah, perbuatan patut dipertanggung jawabkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro unsur-unsur tindak pidananya adalah tindak-tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Menurut H.B.Vos unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya kelakuan manusia, diancam pidana dalam undang-undang. Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur tindak pidananya adalah bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan manusia, memenuhi  rumusan dalan undang-undang yang merupakan syarat formil dan bersifat melawan hukum yang merupakan syarat materiil [1]. Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda “strafbaar feit” yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam stratwet boek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana [2].

 
Tindak pidana adalah melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata memutar balikan, merongrong atau penyelewengan ideologi negara Pancasila atau haluan negara. Tindak pidana adalah melakukan perbuatan yang diketahui atau patut dikehendaki dapat memutar balikan, merongrong atau menyelewengkan Pancasila atau haluan negara [3]. Tindak pidana adalah perbuatan yang suatu oleh peraturan hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang [4].
Robert Glitgaard merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi matematis yaitu dengan rumusan sebagai berikut: (C=M+D-A) Corruption = Monopoly Power + Diskretion by Official – Accountability.Pemaknaan dalam “monopoly power” ditujukan kepada pelaku dalam birokrasi atau pun instansi sebagai pempimpin dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain pemaknaan “diskretion by official” merupakan kewenangan yang dapat diambil oleh pemimpin dalam sebuah birokrasi dalam membuat kebijakan yang akan diambil. Selanjutnya pemaknaan ”accountability” merupakan bentuk tidak adanya tanggung jawab dari sebuah pemimpin dalam birokrasi terkait kebijakan yang telah diambil dalam melaksanakan kewajiban sesuai tugas dan wewenangnya. Variable antara adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dalam keleluasaan pengambilan kebijakan yang akan diambil dan akan berimplikasi juga terhadap ada dan tidaknya etikad baik dalam pertanggung jawaban kepada publik atas keputusan tersebut. Dalam konteks ini birokrasi berupa pemerintah daerah yang merupakan domain dalam kajian ini. Para pemimpin atau pengambil kebijakan merupakan para pejabat baik di eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang dimilki oleh para pejabat tersebut akan digunakan secara leluasa dalam mentetapkan kebijakan.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar”.

Modus operandi korupsi telah berkembang pesat mulai dari cara konvensional sampai kepada pemanfaatan hi-tech yang memunculkan kejahatan berdimensi baru, seperti bank crime, crime as business, manipulation crime, corporation crime, custom fraud, money laundring, illegal logging, illegal fishing dan berbagai modus cyber crime lainnya [5]. Gaya dan tipe cara para pejabat untuk melakukan tindak pidana korupsi banyak modus yang dilakukan guna memperoleh kekayaan pribadi. Modus korupsi dalam penyalahgunaan jabatan dan memberikan infiltrasi pada birokrasi dengan mengkamuflasekan dana real menjadi abstrak, sehingga akan sulit untuk diidentifikasi untuk direalisasikan menjadi dana yang nyata guna membiayai pembangunan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Dalam hal hendak menganalisis hukum tentang perbuatan salah administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya dapat dipedomi sebagai berikut: Adanya kesalahan administrasi murni, maksudnya adalah si pembuat khilaf (culpoos) tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan administrasi semacam ini ini bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara administratif pula, misalnya dengan mencabut, membatalkan, atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya. Si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum perdata dan bukan korupsi. Pada si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugiaan. Korupsi pada Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan bentuk tindak pidana culpoos, malainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana yang tidak secara tegas mencamtumkan unsur culpoo sadalah tindak pidana dolus. Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Seperti Pasal 2 tersebut kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatannya memperkaya, misalnya mendepositkan uang negara atas nama pribadi tidak disadari dan tidak dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara menganalisisnya karena tidak dicantumkan dalam rumusan. Si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, tetapi tidak dapat membawa dampak kerugiaan kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih ditoleransi sebagai kesalahan administratif. Sanksi administratif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi. Si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan administratif tertentu meyalahi aturan dilakukan juga, sehingga dapat membawa kerugiaan negara. Dalam hal ini masuk pada persoalan korupsi. Tinggal jaksa dalam pembuktiaan mempertajam analisis hukum mengenai perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber tertulis akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan dalam melakukan analisis pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis [6]. Dalam hal kaitannya dengan unsur pidana yang melekat pada seorang justice collaborator dapat dilihat dari peran serta ketika menggunakan jabatan yang menjadi kewenangan dalam mengeluarkan kebijakan. Pada Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat beberap unsur yang menurut Penulis dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan keterlibatan dalam menggunakan wewenang yang dimiliki, sehingga menyebabkan adanya unsur pidana.  Penulis berpendapat bahwa unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri”, “menyalahgunakan kewenangan”dan “merugikan keuangan negara” adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seseorang telah memasuki wilayah pidana dan terlepas dari unsur administrasi dalam menggunakan jabatannya. Ketiga unsur tersebut adalah bersifat komulatif dan bukan relatif. Jika salah satu tidak terpenuhi menurut Penulis unsur pidananya belum dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana dalam hal kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Ketiga unsur tersebut melekat dengan para pihak dalam melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian turut serta dalam tindak pidana korupsi juga menjadi penentu sejauh mana keterlibatan pihak-pihak pelaku tindak pidana korupsi dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya dan sanksi yang akan dijatuhkan.



[1]Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang:Yayasan Sudarto, 1990), hal. 40-43
[2]Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia  (Bandung:PT Refika Aditama, 2002), hal. 55
[3]Niniek Suparni, Tindak Pidana Subversi Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta:Sinar Grafika, 1991), hal. 40
[4]Moeljatno,  Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta:PT Renika Cipta, 1993), hal. 54
[5]Rohim,Op.Cit, hal. 13
[6]Adami Chazawi,Op.Cit, hal. 312

No comments:

Designed By Mas Say