Breaking News

20 August 2016

PRINSIP PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM



Keadilan dalam bahasa Inggris dapat disebut dengan istilah equaty, fairness, dan justice. Keadilan sebagai equaty dapat diartikan sebagai fairness, impartiality, evenhanded deadling. Keadilan sebagai fairness menurut John Rawls yang didasarkan pada teori Kontrak Sosial terdiri dari 2 (dua) interpretasi yaitu situasi awal dan atas persoalan pilihan yang ada serta seperangkat prinsip yang akan disepakati. Keadilan sebagai fairness berkaitan dengan eksistensi negara sebagai suatu institusi yang dibentuk berdasarkan kontrak sosial, sehingga akan menjadi tanggung jawab negara untuk menciptakan keadilan sebagaimana yang diperjanjikan dengan masyarakat yang membentuknya. Keadilan sebagai justice dapat diartikan “the fair and proper administration of laws” [1]. Dalam menentukan pilihan hukum harus berdasarkan pada conditio sine quanon yaitu: Direktif artinya pengarahan dalam pembagunan hukum untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan negara. Integratif artinya akan mengedepankan tentang pembinaan kesatuan. Stabilitatif artinya akan mementingkan pemeliharaan keseimbangan bermasyarakat. Perfektif artinya penyempurnaan terhadap tindakan administrasi negara. Korektif artinya akan lebih menitik beratkan terhadap warga negara atau administrasi negara dalam mendapatkan keadilan [2].

 
Jika berpedoman dari pendapat yang dikemukakan oleh Klug [3] bahwa undang-undang (statute) telah menetapkan kelas dari kasus-kasus yang ditujukannya dalam istilah-istilah yang demikian umum sehingga kasus yang sampai meragukan dari kelas umum sebagai kasus khusus. Kajian dari makna tersebut adalah pengadilan tipikor ditujukan untuk menanangani kasus khusus yaitu korupsi, dengan aturan yang khusus harus mampu memberikan perubahan yang signifikan pada sistem hukum di Indonesia pada khususnya dan pada perekonomian pada umumnya.
Prinsip umum dari pengadilan tindak pidana korupsi adalah tidak memihak dan independen. Hal tersebut akan tergantung dari jaksa dan hakim apakah memihak pada keadilan rakyat atau hanya berpedoman pada aturan positif tapi justru akan menghancurkan keadilan. Dalam menghasilkan produk hukum progrersif yang selalu bersifat responsive dan dan ideology pro rakyat terkadang harus memisahkan untuk sementara waktu dari hukum itu sendiri dengan keadaan sosial yang ada. Hal ini akan senada dengan substansi dari “Conference On Critical Legal Study” (CCLS), berikut ini akan Penulis uraikan lebih rinci dari ciri khas CCLS adalah sebagai berikut: [4] The separation of law from other varieties of social control, The existence of law in the form of rules that both define the proper sphere of their on application, That are presented as the objective and legitimate normative mechanism while other normative types are partial as subjective, dan Yield determinant and predictable results in their application in judicial process.
Jika dikaji lebih lanjut maka Penulis menganalisis bahwa hukum itu sendiri tidak dapat terpisahkan dari fakta dan realita yang ada di masyarakat yang menjadi objek dari hukum itu sendiri, maksudnya adalah adanya undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi yang merupakan aturan hukumnya justru akan memberikan tatanan ke arah yang lebih baik. Baik buruknya penerapan dari pengadilan yang dibentuk tersebut akan menentukan baik buruknya tata sistem ekonomi sosial kemasyarakatan. Dalam perubahan itu diperlukan proses dan keyakinan seperti slogan yang dilontarkan oleh Barack Obama ”chance we can believe it” yaitu perubahan yang dapat kita percaya [5]. Pengadilan tipikor itu juga diharapkan mampu memberikan  warna birokrasi weberian [6]  yang dapat menekankan berjalannya pengadilan tersebut secara professional dan rasional yang berpihak pada kepastian dan keadilan. Hal itu juga disebabkan  badan peradilan yang berupa pengadilan tipikor  sebagai peradilan yang last bastion of legal order  [7] atau sebagai benteng terakhir dari tertib hukum.
Penulis juga berpendapat bahwa sistem pengharmonisasian antara hukum progresif dan pengadilan tindak pidana korupsi akan terlihat ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan terjadi polemik yaitu dalam penangkapan terhadap hukum itu sangat statis dan tidak pernah memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan hukum (legal justice) tapi akan gagal untuk menangkap keadilan masyarakat (social justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara cenderung berpedoman pada formalis-prosedural daripada rasa keadilan sosiologis. Penulis juga berasumsi fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi warasih “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati noleh warga masyarakat itu sendiri’ [8]. Hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan materi hukum progresif yang berorientasi pada dua hal yaitu formal prosedural dan keadilan sosiologis mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak pihak khususnya perekonomian masyarakat hancur tidak karuan. Aturan hukum yang ada berupa undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi nanti akan digunakan sebagai telaah kritis dalam menjerat semua pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
Dengan dibentuknya pengadilan tersebut dan diterapkannya hukum progresif yang berintergritas tinggi diharapkan akan mampu mengatasi segala problema dan polemik yang telah menghambat pembangunan di Indonesia selama ini. Jika bertolak dari pendapat dan teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger the economy the more powerful its smallest players to create the new rule for the expanding global economic order[9].
Penulis beranggapan salah satu inti permasalahan jika dikaitkan dengan maraknya korupsi adalah adanya korupsi telah mengganggu stabilitas perekonomian bangsa. Kondisi ini juga telah menyebabkan sistem hukum yang mangatur masyarakat luas ikut terganggu. Akibat korupsi yang telah merusak tatanan perekonomian bangsa akan menciptakan rusaknya global society [10] yang semula telah tersusun dengan baik. Hukum yang baik dan terkontrol lah yang dapat merubah dan memperbaiki tatanan yang telah rusak tersebut. Hukum progesif yang pro ideologi rakyat lah yang dapat menjamin terjaganya global state yang telah tercamar dan dirusak tatanan ekonominya dengan tindak korupsi oleh para koruptor. Makin cepat disahkannya rancanagn undang-undang pengadilan tipikor akan dapat meminimalisasi dari segala permasalahan yang ada dalam global ekonomi. Untuk mencapai tatanan pembangunan yang berkeadilan memang tidak langsung dapat tercapai, tapi harus melalui tahap demi tahap. Tahapan itu dapat dimulai dari aturan formal yang harus mendapat legalisasi dari pemerintah selaku pemegang kekuasaan hukum tertinggi.

Daftar Pustaka
Basah, Syahran. 1986. Tiga Tulisan Hukum. Bandung: Amico
Huda, Ni’matul dkk. 2007. “Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H
           “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan””. Yogyakarta: UII Press
Hant, Alan. 1993. Exploration In Law And Society. New York: Routeledge
Himawan, Charles. 2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Sidarta, Arif. 2002. Hukum Dan Logika. Bandung: PT Alumni Bandung
Thoha, Miftah 2004. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wignjosoebroto, Sotandyo. 2008. Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
           Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media Publishing
Jawa Pos, Jum’at 13 februari 2009, hal.6




[1] Ni’matul Huda dkk, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan” (Yogyakarta, 2007),  hal. 291-293
[2] Syahran Basah, Tiga Tulisan Hukum (Bandung, 1987), hal. 24-25
[3] Arif Sidarta, Hukum Dan Logika (Bandung, 2002), hal. 34
[4] Alan Hant., Exploration In Law And Society  (New York, 1993), hal. 142
[5] Jawa Pos, Jum’at 13 februari 2009, hal.6
[6] Miftah Thoha, Birokrasi Dan Politik Di Indonesia (Jakarta, 2004), hal. 16
[7] Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima (Jakarta, 2006), hal.5
[8] Qodr Azizy, Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Yogyakarta, 2006), hal. 80
[9] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah Sebuah Pengantar Ke  Arah Kajian Sosiologi Hukum (Malang, 2008), hal. 247
[10] ibid, hal. 89

No comments:

Designed By Mas Say