Keadilan dalam bahasa Inggris dapat disebut dengan
istilah equaty, fairness, dan justice. Keadilan sebagai equaty dapat diartikan sebagai fairness, impartiality, evenhanded deadling.
Keadilan sebagai fairness menurut John Rawls yang didasarkan pada teori
Kontrak Sosial terdiri dari 2 (dua) interpretasi yaitu situasi awal dan atas
persoalan pilihan yang ada serta seperangkat prinsip yang akan disepakati.
Keadilan sebagai fairness berkaitan dengan eksistensi negara sebagai suatu
institusi yang dibentuk berdasarkan kontrak sosial, sehingga akan menjadi
tanggung jawab negara untuk menciptakan keadilan sebagaimana yang diperjanjikan
dengan masyarakat yang membentuknya. Keadilan sebagai justice dapat diartikan “the
fair and proper administration of laws” [1]. Dalam menentukan pilihan hukum harus berdasarkan pada
conditio sine quanon yaitu: Direktif
artinya pengarahan dalam pembagunan hukum untuk membentuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan negara. Integratif artinya akan mengedepankan
tentang pembinaan kesatuan. Stabilitatif artinya akan mementingkan pemeliharaan keseimbangan
bermasyarakat. Perfektif artinya penyempurnaan terhadap tindakan administrasi
negara. Korektif
artinya akan lebih menitik beratkan terhadap warga negara atau administrasi
negara dalam mendapatkan keadilan [2].
Jika berpedoman
dari pendapat yang dikemukakan oleh Klug [3]
bahwa undang-undang (statute) telah
menetapkan kelas dari kasus-kasus yang ditujukannya dalam istilah-istilah yang
demikian umum sehingga kasus yang sampai meragukan dari kelas umum sebagai
kasus khusus. Kajian dari makna tersebut adalah pengadilan tipikor ditujukan
untuk menanangani kasus khusus yaitu korupsi, dengan aturan yang khusus harus
mampu memberikan perubahan yang signifikan pada sistem hukum di Indonesia pada
khususnya dan pada perekonomian pada umumnya.
Prinsip umum dari
pengadilan tindak pidana korupsi adalah tidak memihak dan independen. Hal
tersebut akan tergantung dari jaksa dan hakim apakah memihak pada keadilan
rakyat atau hanya berpedoman pada aturan positif tapi justru akan menghancurkan
keadilan. Dalam menghasilkan produk hukum progrersif yang selalu bersifat
responsive dan dan ideology pro rakyat terkadang harus memisahkan untuk
sementara waktu dari hukum itu sendiri dengan keadaan sosial yang ada. Hal ini
akan senada dengan substansi dari “Conference
On Critical Legal Study” (CCLS), berikut ini akan Penulis uraikan lebih
rinci dari ciri khas CCLS adalah sebagai berikut: [4]
The separation of law
from other varieties of social control, The existence of law in the form of
rules that both define the proper sphere of their on application, That are
presented as the objective and legitimate normative mechanism while other
normative types are partial as subjective, dan Yield determinant and
predictable results in their application in judicial process.
Jika dikaji lebih lanjut maka Penulis menganalisis
bahwa hukum itu sendiri tidak dapat terpisahkan dari fakta dan realita yang ada
di masyarakat yang menjadi objek dari hukum itu sendiri, maksudnya adalah
adanya undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi yang merupakan aturan
hukumnya justru akan memberikan tatanan ke arah yang lebih baik. Baik buruknya
penerapan dari pengadilan yang dibentuk tersebut akan menentukan baik buruknya
tata sistem ekonomi sosial kemasyarakatan. Dalam perubahan itu diperlukan
proses dan keyakinan seperti slogan yang dilontarkan oleh Barack Obama ”chance we can believe it” yaitu
perubahan yang dapat kita percaya [5].
Pengadilan tipikor itu juga diharapkan mampu memberikan warna birokrasi
weberian [6]
yang dapat menekankan berjalannya pengadilan tersebut secara
professional dan rasional yang berpihak pada kepastian dan keadilan. Hal itu
juga disebabkan badan peradilan yang
berupa pengadilan tipikor sebagai
peradilan yang last bastion of legal
order [7]
atau sebagai benteng terakhir dari tertib hukum.
Penulis juga berpendapat bahwa sistem
pengharmonisasian antara hukum progresif dan pengadilan tindak pidana korupsi
akan terlihat ketika kasus korupsi itu hendak divonis oleh hakim maka akan
terjadi polemik yaitu dalam penangkapan terhadap hukum itu sangat statis dan
tidak pernah memandang nilai norma yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi
yang seperti ini hakim akan cenderung untuk menangkap apa yang disebut keadilan
hukum (legal justice) tapi akan gagal
untuk menangkap keadilan masyarakat (social
justice) dengan demikian tiap keputusan yang dikeluarkan tidak akan
mencapai keadilan hakiki. Hal ini disebabkan hakim dalam memvonis perkara
cenderung berpedoman pada formalis-prosedural daripada rasa keadilan sosiologis.
Penulis juga berasumsi fenomena ini senada seperti yang dikatakan oleh Esmi
warasih “Penerapan suatu sistem hukum
yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan mayarakat merupakan masalah,
khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidak cocokan
antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan
nilai-nilai yang dihayati noleh warga masyarakat itu sendiri’ [8]. Hakim dalam memutus perkara korupsi harus dapat menerapkan
materi hukum progresif yang berorientasi pada dua hal yaitu formal prosedural
dan keadilan sosiologis mengingat akibat korupsi itu telah merugikan banyak
pihak khususnya perekonomian masyarakat hancur tidak karuan. Aturan hukum yang
ada berupa undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi nanti akan digunakan
sebagai telaah kritis dalam menjerat semua pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Dengan dibentuknya
pengadilan tersebut dan diterapkannya hukum progresif yang berintergritas
tinggi diharapkan akan mampu mengatasi segala problema dan polemik yang telah
menghambat pembangunan di Indonesia selama ini. Jika bertolak dari pendapat dan
teori yang dikeluarkan oleh Naisbit yang berbunyi” The bigger the economy the more powerful its smallest players to create the new
rule for the expanding global economic order” [9].
Penulis beranggapan salah satu inti permasalahan
jika dikaitkan dengan maraknya korupsi adalah adanya korupsi telah mengganggu
stabilitas perekonomian bangsa. Kondisi ini juga telah menyebabkan sistem hukum
yang mangatur masyarakat luas ikut terganggu. Akibat korupsi yang telah merusak
tatanan perekonomian bangsa akan menciptakan rusaknya global society [10]
yang semula telah tersusun dengan baik. Hukum yang baik dan terkontrol lah yang
dapat merubah dan memperbaiki tatanan yang telah rusak tersebut. Hukum progesif
yang pro ideologi rakyat lah yang dapat menjamin terjaganya global state yang telah tercamar dan
dirusak tatanan ekonominya dengan tindak korupsi oleh para koruptor. Makin
cepat disahkannya rancanagn undang-undang pengadilan tipikor akan dapat
meminimalisasi dari segala permasalahan yang ada dalam global ekonomi. Untuk
mencapai tatanan pembangunan yang berkeadilan memang tidak langsung dapat
tercapai, tapi harus melalui tahap demi tahap. Tahapan itu dapat dimulai dari
aturan formal yang harus mendapat legalisasi dari pemerintah selaku pemegang
kekuasaan hukum tertinggi.
Daftar Pustaka
Basah,
Syahran. 1986. Tiga Tulisan Hukum. Bandung: Amico
Huda,
Ni’matul dkk. 2007. “Kontribusi Pemikiran
Untuk 50 Tahun Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H
“Retropeksi Terhadap Masalah Hukum
dan Kenegaraan””. Yogyakarta: UII Press
Hant,
Alan. 1993. Exploration In Law And
Society. New York: Routeledge
Himawan, Charles. 2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Sidarta, Arif. 2002. Hukum
Dan Logika. Bandung: PT Alumni Bandung
Thoha, Miftah 2004. Birokrasi Dan Politik Di
Indonesia. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Wignjosoebroto,
Sotandyo. 2008. Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan
Dan Masalah
Sebuah
Pengantar Ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Malang: Bayu Media Publishing
Jawa Pos, Jum’at 13 februari 2009, hal.6
[1] Ni’matul Huda
dkk, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun
Prof.Dr.Moh.Mahfud.,S.H “Retropeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan”
(Yogyakarta, 2007), hal. 291-293
[2] Syahran Basah, Tiga Tulisan Hukum (Bandung, 1987), hal. 24-25
[3] Arif Sidarta, Hukum Dan Logika (Bandung, 2002), hal. 34
[4] Alan Hant., Exploration In Law And Society
(New York, 1993), hal. 142
[5] Jawa Pos, Jum’at 13 februari 2009, hal.6
[7] Charles Himawan, Hukum Sebagai
Panglima (Jakarta, 2006), hal.5
[9] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukun Dalam Masyarakat “Perkembangan Dan Masalah
Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian
Sosiologi Hukum (Malang, 2008), hal. 247
[10] ibid,
hal. 89
No comments:
Post a Comment