Breaking News

20 August 2016

TEORI HUKUM DAN PERSPEKTIF ANALOGI PERBUATAN KORUPSI



Dalam teori tentang korupsi disebutkan oleh Robert Glitgaard (C=M+D-A) bahwa “Corruption = Monopoly Power + Diskretion by Official – Accountability”. Penulis mencoba menggunakan konstruksi hukum tersebut diatas sebagai grand theory dalam menelaah ontologi hukumnya berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemaknaan dalam “monopoly power” ditujukan kepada pelaku dalam birokrasi atau pun instansi sebagai pemimpin dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain pemaknaan “diskretion by official” merupakan kewenangan yang dapat diambil oleh pemimpin dalam sebuah birokrasi dalam membuat kebijakan yang akan diambil. Selanjutnya pemkanaan ”accountability” merupakan bentuk tidak adanya tanggung jawab dari sebuah pemimpin dalam birokrasi terkait kebijakan yang telah diambil dalam melaksanakan kewajiban sesuai tugas dan wewenangnya. Variable antara adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dalam keleluasaan pengambilan kebijakan yang akan diambil dan akan berimplikasi juga terhadap ada dan tidaknya etikad baik dalam pertanggung jawaban kepada publik atas keputusan tersebut.

 
Dalam konteks ini birokrasi berupa pemerintah daerah yang merupakan domain dalam kajian ini. Para pemimpin atau pengambil kebijakan merupakan para pejabat di daerah baik eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang dimilki oleh para pejabat tersebut akan digunakan secara leluasa dalam mentetapkan proses besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kerja sama antara eksekutif dan legislatif telah terindikasi tidak adanya transparansi dan pertanggung jawaban kepada publik secara jujur dalam penetepan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Modus operandi tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak orang dalam pemerintah daerah tersebut juga dilakukan secara sistemik. Ada dan tidaknya tindak pidana korupsi tersebut akan ditentukan oleh proses keterbukaan terhadap publik atau masyarakat terkait kebijakan yang diambil oleh para para pejabat di daerah tersebut.
Terkait ontologi yang ditelaah oleh Penulis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan terdapat tarik ulur dalam modus operandi korupsi yang menyertainya. Para pejabat daerah sebagai pejabat eksekutif dari jajaran gubernur sampai bupati dan/atau wali kota merupakan para penguasa dalam pengambilan kebijakan terkait pengeluaran dan pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang akan digunakan dalam pembangunan di daerahnya masing-masing sebagai sumber keuangan daerah. Selain itu lembaga legislatif dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga memiliki peranan penting dalam setiap pengambilan kebijakannya. Lembaga legislatif dan eksekutif berhubung masih terdapat fragmentasi dalam fraksi-fraksi partai politik, sehingga kebijakannya lebih condong terhadap kepentingan pribadi dan golongannya masing-masing. Rapat paripurna sebagai legalitas tertinggi di Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pengesahan Peraturan Daerah (Perda) merupakan celah modus operandi secara sistematik dalam birokrasi pemerintah, karena di dalamnya termasuk pembahasan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Walaupun sudah seolah-olah di publikasikan terhadap masyarakat atas hasil pembahasan besar dan kecilnya dalam penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena sudah tertutupi oleh kebijakan formal lewat pembahasan forum dan tercatat dalam Sekretaris Daerah (Sekda) aparat penegak hukum juga sulit akan mengidentifikasi adanya modus operandi korupsi maupun delik perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang para pemegang kekuasaan di daerah.
Keburukan mental yang cenderung bersifat korup bagi setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya akan berdampak terhadap disfungsi setiap kebijkan yang diambilnya. Modus operandi korupsi yang dilakukan terkait mark up dari manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah adanya kesepakatan bersama kepala daerah dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait pembuatan peratutan daerah dalam menetapkan besar dan kecilnya dana yang akan digunakan dan yang akan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Pola modus operandi tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan manipulasi dana dari kepala daerah dengan melibatkan semua pejabat daerah yang terkait seperti sekretaris daerah, bendahara daerah, dan bidang-bidang yang terdapat di dalam birokrasi daerah tersebut. Kepala daerah mengatasnamakan pengguanaan dana taktis dan atas nama kepentingan organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kebijakan tersebut diakomodir dengan mengeluarkan keputusan kepala daerah. Penggunaan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut telah mendapat legalisasi dari pemegang kekuasaan tertinggi yaitu dari kepala daerah dengan kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu modus lain adalah dengan memanfaatkan administrasi daerah sebagai legalisasinya, sehingga seolah-olah penggunaan dana terebut sah berdasarkan hukum. Pola dan karakteristik modus operandi korupsi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menggunakan cara yang telah tersistematis dan terstruktur. Aturan tertulis adalah payung hukumnya, administrasi daerah adalah tameng hukumnya dan pejabat pemerintah adalah benteng hukumnya. Ketiganya saling bersinergisitas dengan membentuk pola-pola koordinasi organisasi yang akan digunakan sebagai senjata pamungkas dalam manipulasi keuangan daerah. Fenomena dalam birokrasi publik ini merupakan bentuk dan celah untuk terjadinya tindak kejahatan korupsi yang melibatkan para pejabat di daerah.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar”. Teori hukum ini akan saling berelaborasi dengan konsep hukum positif tersebut diatas. Makna “menyalahgunakan wewenang” dari pejabat di daerah dengan teori ini akan dapat memperjelas dan menerangkan subyek pelaku dan posisi ontologi berupa Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan sebagai bahan utama dari para pelaku tindak pidana korupsi di daerah. Hal ini disebabkan pemaknaan “keuangan negara” juga mencakup keuangan daerah berupa Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu sumber keuangan daerah. 
Dengan adanya penjelasan tersebut akan dapat diprediksi secara jelas modus operandi korupsi, pelaku tindak pidana korupsi, penentuan dalam menetapkan delik-delik hukum dan sampai penjatuhan vonis dalam tindak pidana korupsi. Setelah ada kejelasan dan prediksi maka dengan teori ini akan dapat digunakan dalam mengetahui modus atau pun cara praktek dalam mark up Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari pihak eksekutif dan legislatif di daerah. Pengawasan dan preventif dari lembaga penegak hukum baik di bawah Peradilan Umum maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dapat terjaga dengan baik. Modus operandi korupsi tersebut khususnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dapat digunakan sebagai tahap persiapan untuk memberikan jerat hukum yang lebih berat. Jika pasal yang satu tidak dapat diterapkan maka akan dapat digunakan alternatif pasal lain guna memperberat para pelaku tindak pidana korupsi tersebut.Penulis memberikan sebuah hipotesis bahwa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi di daerah tidak dilakukan secara sendirian. Pola korupsi yang dilakukan dilakukan secara bersama-sama oleh para pejabat di daerah. Fakta hukum tersebut akan memberikan kesulitan tersendiri bagi aparat penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menentukan delik hukum yang akan diberikan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Kesulitan yang dialami karena disebabkan legalitas formal dalam pengambilan kebijakan dalam penentuan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sudah ada lewat berkas administrasi lewat Sekretaris Daerah (Sekda)

No comments:

Designed By Mas Say