Dalam teori tentang korupsi disebutkan oleh Robert
Glitgaard (C=M+D-A) bahwa
“Corruption = Monopoly Power + Diskretion
by Official – Accountability”. Penulis mencoba menggunakan konstruksi hukum
tersebut diatas sebagai grand theory
dalam menelaah ontologi hukumnya berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Pemaknaan dalam “monopoly power”
ditujukan kepada pelaku dalam birokrasi atau pun instansi sebagai pemimpin
dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain pemaknaan “diskretion by official” merupakan kewenangan yang dapat diambil
oleh pemimpin dalam sebuah birokrasi dalam membuat kebijakan yang akan diambil.
Selanjutnya pemkanaan ”accountability”
merupakan bentuk tidak adanya tanggung jawab dari sebuah pemimpin dalam
birokrasi terkait kebijakan yang telah diambil dalam melaksanakan kewajiban
sesuai tugas dan wewenangnya. Variable antara adanya kekuasaan yang dimiliki
oleh seseorang dalam keleluasaan pengambilan kebijakan yang akan diambil dan
akan berimplikasi juga terhadap ada dan tidaknya etikad baik dalam pertanggung
jawaban kepada publik atas keputusan tersebut.
Dalam konteks ini
birokrasi berupa pemerintah daerah yang merupakan domain dalam kajian ini. Para
pemimpin atau pengambil kebijakan merupakan para pejabat di daerah baik
eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yang dimilki oleh para pejabat tersebut
akan digunakan secara leluasa dalam mentetapkan proses besar dan kecilnya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kerja sama antara eksekutif dan
legislatif telah terindikasi tidak adanya transparansi dan pertanggung jawaban
kepada publik secara jujur dalam penetepan besar dan kecilnya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Modus operandi tindak pidana korupsi yang
melibatkan banyak orang dalam pemerintah daerah tersebut juga dilakukan secara
sistemik. Ada dan tidaknya tindak pidana korupsi tersebut akan ditentukan oleh
proses keterbukaan terhadap publik atau masyarakat terkait kebijakan yang
diambil oleh para para pejabat di daerah tersebut.
Terkait ontologi yang ditelaah oleh Penulis terkait Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan terdapat tarik ulur dalam modus
operandi korupsi yang menyertainya. Para pejabat daerah sebagai pejabat
eksekutif dari jajaran gubernur sampai bupati dan/atau wali kota merupakan para
penguasa dalam pengambilan kebijakan terkait pengeluaran dan pemasukan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang akan digunakan dalam pembangunan di
daerahnya masing-masing sebagai sumber keuangan daerah. Selain itu lembaga
legislatif dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga memiliki
peranan penting dalam setiap pengambilan kebijakannya. Lembaga legislatif dan
eksekutif berhubung masih terdapat fragmentasi dalam fraksi-fraksi partai politik,
sehingga kebijakannya lebih condong terhadap kepentingan pribadi dan
golongannya masing-masing. Rapat paripurna sebagai legalitas tertinggi di
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pengesahan Peraturan Daerah
(Perda) merupakan celah modus operandi secara sistematik dalam birokrasi
pemerintah, karena di dalamnya termasuk pembahasan terkait Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Walaupun sudah seolah-olah di publikasikan terhadap
masyarakat atas hasil pembahasan besar dan kecilnya dalam penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena sudah tertutupi oleh kebijakan
formal lewat pembahasan forum dan tercatat dalam Sekretaris Daerah (Sekda)
aparat penegak hukum juga sulit akan mengidentifikasi adanya modus operandi korupsi
maupun delik perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang para pemegang
kekuasaan di daerah.
Keburukan mental yang cenderung bersifat korup bagi
setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya akan berdampak terhadap disfungsi setiap kebijkan yang
diambilnya. Modus operandi korupsi yang dilakukan terkait mark up dari manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah adanya kesepakatan bersama kepala daerah dengan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait pembuatan peratutan daerah dalam
menetapkan besar dan kecilnya dana yang akan digunakan dan yang akan ditetapkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Pola modus
operandi tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan manipulasi dana dari
kepala daerah dengan melibatkan semua pejabat daerah yang terkait seperti
sekretaris daerah, bendahara daerah, dan bidang-bidang yang terdapat di dalam
birokrasi daerah tersebut. Kepala daerah mengatasnamakan pengguanaan dana
taktis dan atas nama kepentingan organisasi untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Kebijakan tersebut diakomodir dengan mengeluarkan keputusan kepala
daerah. Penggunaan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tersebut telah mendapat legalisasi dari pemegang kekuasaan
tertinggi yaitu dari kepala daerah dengan kebijakan yang dikeluarkannya. Salah
satu modus lain adalah dengan memanfaatkan administrasi daerah sebagai
legalisasinya, sehingga seolah-olah penggunaan dana terebut sah berdasarkan
hukum. Pola dan karakteristik modus operandi korupsi yang dilakukan oleh para
pelaku tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
menggunakan cara yang telah tersistematis dan terstruktur. Aturan tertulis
adalah payung hukumnya, administrasi daerah adalah tameng hukumnya dan pejabat
pemerintah adalah benteng hukumnya. Ketiganya saling bersinergisitas dengan
membentuk pola-pola koordinasi organisasi yang akan digunakan sebagai senjata
pamungkas dalam manipulasi keuangan daerah. Fenomena dalam birokrasi publik ini
merupakan bentuk dan celah untuk terjadinya tindak kejahatan korupsi yang
melibatkan para pejabat di daerah.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan
paling banyak 1 milyar”. Teori hukum ini akan saling berelaborasi dengan konsep
hukum positif tersebut diatas. Makna “menyalahgunakan
wewenang” dari pejabat di daerah dengan teori ini akan dapat memperjelas
dan menerangkan subyek pelaku dan posisi ontologi berupa Angaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang digunakan sebagai bahan utama dari para pelaku
tindak pidana korupsi di daerah. Hal ini disebabkan pemaknaan “keuangan negara” juga mencakup keuangan
daerah berupa Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu
sumber keuangan daerah.
Dengan adanya penjelasan tersebut akan dapat diprediksi
secara jelas modus operandi korupsi, pelaku tindak pidana korupsi, penentuan
dalam menetapkan delik-delik hukum dan sampai penjatuhan vonis dalam tindak
pidana korupsi. Setelah ada kejelasan dan prediksi maka dengan teori ini akan
dapat digunakan dalam mengetahui modus atau pun cara praktek dalam mark up Angaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dari pihak eksekutif dan legislatif di daerah. Pengawasan dan
preventif dari lembaga penegak hukum baik di bawah Peradilan Umum maupun
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dapat terjaga dengan baik. Modus operandi
korupsi tersebut khususnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dapat
digunakan sebagai tahap persiapan untuk memberikan jerat hukum yang lebih berat.
Jika pasal yang satu tidak dapat diterapkan maka akan dapat digunakan
alternatif pasal lain guna memperberat para pelaku tindak pidana korupsi
tersebut.Penulis memberikan sebuah hipotesis bahwa modus
operandi yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi di daerah tidak
dilakukan secara sendirian. Pola korupsi yang dilakukan dilakukan secara
bersama-sama oleh para pejabat di daerah. Fakta hukum tersebut akan memberikan
kesulitan tersendiri bagi aparat penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk menentukan delik hukum yang akan diberikan oleh para pelaku tindak
pidana korupsi. Kesulitan yang dialami karena disebabkan legalitas formal dalam
pengambilan kebijakan dalam penentuan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) sudah ada lewat berkas administrasi lewat Sekretaris
Daerah (Sekda)
No comments:
Post a Comment