BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dana publik di Indonesia yang hilang akibat korupsi
sangat besar. Pada tahun 1995, menurut laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
telah terjadi 358 kebocoran dana negara sebesar RP.1.062 triliun. Pada tahun
1996 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya kebocoran dana 22
departement dan lembaga pemerintah non departemen dengan total senilai Rp 3.22
milliar. Selain itu sepanjang tahun 1995-1996 ditemukan 18.578 kasus korupsi
dan penyelewengan dana senilai Rp 888,72 milliar. Pada era reformasi tidak akan
berubah menjadi lebih baik dari era sebelumnya dan bahkan lebih buruk. Menurut
laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) penyimpangan uang negara sudah mencapai
Rp.166,53 triliun atau sekitar 50 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) 2003. Sebagaimana dilaporkan oleh Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Budihardjo Joedono sejak pertengahan 2003
telah ditemukan 22 penyimpangan keungan negara. Dalam semester satu tahun 2004
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pemeriksaan terhadap 377 proyek
dan asset senilai Rp.1.312 trlliun. Dari jumlah tersebut menemukan penyimpangan
sekitar Rp 37,4 trilliun atau 2,85 persen dari nilai keseluruhannya. Tidak
mengherankan jika dalam laporan Tranparansi Internasional Indonesia (TII)
sebagaimana diungkapkan dalam siaran persnya dari 146 negara yang disurvey
Indonesia masuk dalam urutan kelima negara terkorup di dunia dengan indeks
prestasi korupsi 2,0 [1].
Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI)
Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun
sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110
dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni
dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand [2].
Dengan makin terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi,
mengindikasikan bahwa tingkat kerugian baik di tingkat pusat dan di daerah
masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik kleptokrat untuk
mencari keuntungan pribadi dengan menggadaikan uang rakyat.
Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas
untuk menyesuaiakan diri dengan kondisi keuangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, pendidikan,
kesehatan, subsidi listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) harus ditekan
semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara dalam membayar hutang
[3]. Jumlah hutang negara sampai bulan juni 2007 mencapai Rp
1.313,3 triliun rupiah yang terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 534,7
triliun rupiah dan surat berharga negara Rp 715,3 triliun rupiah surat-surat
berharga valuta asing Rp 63,4 triliun rupiah. Pendapatan negara dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2009 direncanakan sebesar Rp985,7 triliun
rupiah meningkat Rp 90,7 T
(10,1%) angka itu lebih rendah dari defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) tahun 2008 [4].
Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas
utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan
berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang
belum terjangkit oleh korupsi [5].
Asset Bank Century yang belum disita dari Hongkong
di antaranya berupa uang tunai Rp 86 miliar serta surat berharga senilai 388
juta dollar AS dan 650.000 dollar Singapura. Jika ditotal, nilai aset tersebut
senilai lebih dari Rp 6 triliun[6].Aset
Bank Century yang terlacak di Hongkong ditengarai dilarikan bekas pemilik Bank
Century, Robert Tantular.Penyitaan asset terpidana kasus Bank Century itu
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 Desember 2010.Robert
Tantular pernah mengajukan permohonan kasasi menolak penyitaan asset, tetapi
ditolak Mahkamah Agung (MA).
Sementara pemerintah Indonesia sudah meminta Pemerintah Hongkong untuk melakukan perampasan asset milik terpidana kasus Bank Century lainnya, yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Tujuannya, agar Rafat dan Hesham yang sudah diadili secara in absentia itu tidak bisa lagi mengakses aset bekas Bank Century[7].
Sementara pemerintah Indonesia sudah meminta Pemerintah Hongkong untuk melakukan perampasan asset milik terpidana kasus Bank Century lainnya, yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Tujuannya, agar Rafat dan Hesham yang sudah diadili secara in absentia itu tidak bisa lagi mengakses aset bekas Bank Century[7].
Mengembalikan asset hasil korupsi yang telah dilarikan atau
diinvestasikan ke dalam sistem keuangan ternyata membutuhkan upaya
hukum yang harus melibatkan antar sistem hukum yang berbeda. Dalam
pengembaliannya jugaharus melalui
prosedur dan mekanisme yang rumit. Berbagai pola korupsi yang dilakukan oleh para koruptor
biasanya memakai atau memanfaatkan kelonggaran dan celah hukum serta sistem
keuangan dalam negara tertentu ketika asset tersebut disembunyikan di negara lain.Dapat dilihat bagaimana penyelesaian upaya pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi pada kasus Hendra Rahardja dan atau asset Bank
Harapan Sentosa (BHS). Walaupun pengembalian asset melalui lelang asset, namun
tidak diketahui apakah pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Hendra Rahardja dan atau Bank Harapan Sentosa (BHS) tersebut
kepada negara dilaksanakan secara maksimal [8].
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan
khusus dalam menangani kasus korupsi ternyata memang masih terkendala dalam
mengawasi aktivitas otoritas-otoritas hukum pengembalian asset hasil
tindak pidana korupsi baik prosedural dan substansial. Hal ini menjadi kendala
tersendiri bagi Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), karena secara yuridis Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) jelas tidak tidak mempunyai pijakan hukum yang kuat
dalam upaya mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi baik secara
prosedural dan substansial.Berawal dari permasalahan tersebut, Penulis sangat
tertarik mengangkat wacana pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
dikaitkan dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) sebagai badan khusus
yang menangani kasus tindak pidana korupsi. Untuk itu Penulis mengangkatnya
dalam sebuah makalah
dengan judul :” TELAAH KRITIS HUKUM NASIONAL SEBAGAI
HARMONISASI HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGEMBALIAN ASSET HASIL TINDAK PIDANA
KORUPSI DI LUAR NEGERI DALAM UPAYA PERBAIKAN EKONOMI NEGARA (Tinjauan Perpres
No. 9 Tahun 2012 tentang perintah pengembalian asset Bank Century di Hongkong) ”
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar
belakang di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan permasalahan yang menjadi
fokus
dalam paper ini yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah kajian aspek hukum nasional
terhadap United Nations Convention
Aggaints Corruption (UNCAC) 2003 terkait norma hukum dalam
pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri ?
2.
Bagaimanakah peran Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi sebagai
realisasi dari Peraturan Presiden (Perpres) No.9 Tahun 2012 tentang perintah
pengembalian asset Bank Century di Hongkong?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Aspek hukum nasional terhadap United Nations Convention
Aggaints Corruption
(UNCAC) 2003 terkait norma hukum dalam pengembalian asset hasil tindak pidana
korupsi di luar negeri
1. Konsepsi
instrument hukum internasional sebagai bahan implementasi hukum nasional dalam
pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri
International
Criminal of Court merupakan suatu organ internasional pertama yang secara
khusus mempunyai kewenangan yang independen di bidang yudikatif. Ia dapat
dikatakan merupakan “specialized agency
united nation”. Pasal 25 jo Pasal 2 (6) jo Pasal 49 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa semua negara di dunia terikat secara hukum
internasional untuk mengikuti keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Jika tidak diikuti dapat
menjatuhkan sanksi kepada negara tersebut dan menangguhkan hak-hak istimewa
sebagai anggota, mengeluarkan dari keanggotaan, melakukan sanksi militer dan
bahkan dapat mengusulkan pembentukan pengadilan pidana internasional [9].
Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sejak
pembentukannya telah memainkan peranan penting dibidang hukum internasional
sebagai upaya menciptakan perdamaian dunia dan keadilan bagi seluruh umat
manusia. Selain Mahkamah Internasional (International
Court of Justice) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda yang merupakan
salah satu organ utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini juga
sedang berupaya menyelesaikan Rules of
Prosedure atau Hukum Acara bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) yang
statute pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi internasional di Roma,
Italia pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut baru akan berlaku setelah
disahkan oleh 60 (enam puluh) Negara. Berbeda dengan International Court of Justice. Adapun pengertian dari Yurisdiksi International Criminal Court adalah dibidang hukum pidana internasional
yang akan mengadili para individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan
kejahatan humaniter, genosida (pemusnahan ras), kejahatan perang, serta agresi [10].
Ide pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
yang ditujukan untuk mengadili individu-individu yang telah melanggar hukum
internasional tidak bias dilepaskan dari Pengadilan Tokyo dan Pengadilan
Nuremberg. Bagaimanapun kedua pengadilan ini telah memberikan jalan bagi
terciptanya hukum pidana internasional [11].
Dengan demikian berdasarkan pengamatan Penulis adanya dua instrument pengadilan
tersebut merupakan tekad dan etikad baik dari dunia internasional dalam upaya
penegakan hukum pidana secara internasional. Selain telah ada upaya dalam
penegakan hukum pidana internasional juga terdapat upaya melindungi dan
menjamin Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut
teori transformasi dinyatakan bahwa
hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum konsep, kaidah dan
prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah hukum nasional. Menurut teori ini ada perbedaan antara
traktat-traktat yang memiliki sifat janji-janji (promise) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands), akibatnya diperlukan
transformasi dari satu tipe ke tipe lainnya secara formal maupun substansial [12]. Menurut teori delegasi proses implementasi dari hukum internasional
diserahkan kepada negara-negara atau hukum nasionalnya masing-masing [13].
R.C Hingorani menjelaskan “……rules
international law are left to state and national level for implementation….”,
ketentuan-ketentuan hukum tertinggal oleh praktek negara-negara dalam hubungan
internasional. Menurut teori adopsi cara berfikirnya sangat
sederhana. Hal ini sangat tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan
prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional.
Hal ini juga senada dengan pernyataan bahwa “a
judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring
that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”.
Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih
dahulu diumumkan oleh negara atau pengadilan dari suatu negara [14]. Dengan demikian menurut Penulis dari
beberapa perspektif tersebut setiap aturan hukum internasional yang memiliki
prisnsip hukum umum yang wajib diikuti oleh setiap negara. Akan tetapi dalam
proses infiltrasi atau pun adopsi nilai-nilai hukum internasional akan
tergantung dari politic will dari
masing-masing negara. Parameter dari keadaan politik, ekonomi, sosial dan
budaya juga akan menjadi pertimbangan dari kebijakan masing-masing negara. Hal
tersebut juga menjadi titik tolak ukur dari proses pengadopsian nilai-nilai
hukum internasional terhadap hukum nasional di Indonesia.
Dalam Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 tidak dijelaskan mengenai pengertian pengembalian
aset hasil korupsi. Kata “asset” dan tidak didefinisikan
secara jelas yang didefinisikan
adalah istilah “kekayaan” yang berarti : aset dalam bentuk apapun, baik
korporal maupun nonkorporal, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau
kepentingan dalam aset tersebut (Bab I Pasal 2 (d) KAK 2003). Istilah hasil
kejahatan didefinisikan sebagai setiap kekayaan yang berasal dari atau
diperoleh, secara langsung atau tidak langsung, melalui pelaksanaan suatu
kejahatan (Pasal 2 (f) KAK 2003).
Dalam
perkara korupsi sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diatur
mengenai pengembalian asset hasil tindak
pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan berupa gugatan perdata maupun
jalur kepidanaan. Pengembalian asset pelaku tindak pidana korupsi melalui
gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal
34 dan Pasal 38. Kemudian melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan Pasal
38 ayat (5), Pasal 38 ayat (6) dan Pasal 38B ayat (2), dengan proses penyitaan
dan perampasan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan
kewenangan kepada jaksa pengacara negara atau instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik
ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menugaskan tiga menteri, yakni Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Amir Syamsuddin, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri
Keuangan Agus Martowardoyo, dan Jaksa Agung Basrief Arief untuk mengurus
pengembalian asset terkait tindak pidana kasus Bank Century yang berada di luar
negeri. Mereka juga diminta melakukan koordinasi dan mendapat dukungan dari
instansi terkait, termasuk Bank Indonesia (BI). Perintah ini tertuang dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No. 9 Tahun 2012 yang ditetapkan tanggal 20 Januari 2012[15].
United Nation Convention Againts
Corruption 2003 (UNCAC) telah menjadi kesepakatan bersama bagi negara-negara
di dunia sebagai upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi. Negara
Indonesia merupakan bagian dari implementasi dari hukum internasional. Dengan
demikian sebagai bentuk politic will
dari negara sebagai tanggung jawab dalam penegakan supremasi hukum dalam
pemberantasan korupsi mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No.7 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nation
Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC). Pasca pengesahan tersebut
secara otomatis semua norma hukum dari hukum internasional yang telah menjadi
bagian dari hukum nasional mutlak wajib diterapkan. Dalam praktek masih sulit
diterapkan, karena payung hukum dalam pengembalian asset hasil tindak pidana
korupsi di luar negeri belum ada kejelasan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai lembaga yang paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi juga belum
ada kewenangan dalam pengembalian asset hasil tindak pidana dari luar negeri.
Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 9 Tahun 2012 tersebut merupakan upaya
dari pemerintah agar ada legalitas yang dapat dijadikan pijakan dalam
pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dari luar negeri.
Khusus terhadap jalur hukum
pidanayaitu asset recovery secara tidak langsung proses pengembalian asset
dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yaitu sebagai berikut:
1.
Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi
aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan
dengan delik tindak pidana yang dilakukan;
2.
Pembekuan atau perampasan aset dimana menurut
Bab I Pasal 2 huruf f Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 aspek ini ditentukan
meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau
memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung
jawabmengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan
pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten;
3.
penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf
g Konvensi Anti Korupsi(KAK) tahun 2003 diartikan sebagai pencabutan
kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain
yang berkompeten; dan
4.
pengembalian dan penyerahan asset kepada negara
korban.
Pengembalian asset secara tidak langsung diatur dalam
ketentuan Pasal 54-55 Konvensi Anti Korupsi(KAK) 2003 dimana sistem
pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional
atau kerjasama untuk melakukan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka
dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut :
1. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan
untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah
penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari negara peserta lain ;
2. Mengambil tindakan yang mungkin
diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai
yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar
negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan
lainnya, sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain
berdasarkan hukum nasionalnya; dan
3. Mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta
kekayaan tanpa penuntutan secara pidana dalam kasus dimana pelakunya meninggal
dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.
2. Peran
teori hukum dalam perspektif keadilan restoratif sebagai upaya pembangunan
hukum pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi guna perbaikan
perekonomian negara
Teori keadilan restoratif dikemukakan oleh Howard Zehr sebagai penemu teori ini secara umum mengatakan bahwa
kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia dan
hubungan-hubungannya.Kejahatan menciptakan kewajiban untuk membuat
keadaan-keadaan tersebut menjadi baik.Keadilan melibatkan korban, pelaku dan
komunitas dalam rangka mencari solusi-solusi yang mengedepankan perbaikan,
rekonsiliasi dan meyakinkan kembali. Dilanjutkan oleh Walgrave yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada
penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari hasil
tindak pidana.Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluargannya dapat kembali
pada keadaan yang semula seperti sebelum terjadi tindak pidana. Teori ini
berasal dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang
bersalah untuk dihukum.Menurut teori ini pemidanaan meliputi pelayanan
masyarakat, ganti rugi dan bentuk-bentuk lain selain pidana penjara yang
membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.Keadilan restoratif
mendeskripsikan keadialan restoratif sebagai paradigm yakni lensa untuk
memahami realitas yang terlihat. Selanjutnya Kent Roach Keadilan restoratif sebagai bagian dari teori keadilan
harus direkonsialisasikan dengan teori keadilan retributif dalam aplikasinya [16].
Dalam kaitannya dengan paradigm tersebut maka, makna Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar”. Selanjutnya Dalam Pasal 3
ayat (1) disebutkan“Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan
paling banyak 1 milyar”.
Dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan keuangan negara adalah ”semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut, termasuk di dalamnya kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang
dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan/atau kepentingan umum, serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja pengertian
anggaran negara adalah perkiraan atau perhitungan jumlah pengeluaran atau
belanja yang akan dikeluarkan oleh negara. Pengertian anggaran negara di
Indonesia disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selanjutnya keuangan negara akan dituangkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) tersebut. Inilah hubungan antara keuangan negara dengan
anggaran negara menurutnya mendefinisikan keuangan negara dari segi
pertanggungjawaban pemerintah, bahwa keuangan negara yang harus
dipertanggungjawabkan pemerintah adalah keuangan negara yang hanya berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). [17]
Tidak adanya keseragaman, dan masih adanya
kerancuan, serta kesalahpahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara
telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan
ekonomi [18].
Bertolak
dari aturan tersebut Penulis mencoba akan memberikan relevansi antara implikasi
penggunaan teori restoratif terkait pengembalian asset hasil tindak tindak
pidana korupsi. Tindak pidana korupsi sebagai tindakan dan thesa akan berdampak
terhadap antithesa akibat yang ditimbulkan. Akibat nyata yang ditimbulkan
adalah berupa “dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”. Ketika negara mengalami kerugian maka
rakyat juga akan terkena resesi perekonomiannya. Kesejahteraan yang menjadi
tanggung jawab bagi negara akanmenjadi terganggu karena modal keuangan negara
dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkurang. Negara
dan rakyat merupakan satu kesatuan dalam menciptakan tata kehidupan negara
melaksanakan kewajiban dan rakyat menuntut apa haknya. Tindak pidana korupsi
merupakan salah satu bentuk kejahatan yang telah mendiskriminasikan manusia
dalam arti luas dan rakyat dalam arti khusus baik yang telah dilakukan para
pelaku korupsi.Negara mempunyai alat para penegak hukum dalam pemberantasan
terhadap korupsi.Negara melalui penegak hukum harus mampu menjamin perlindungan
terhadap hak rakyatnya.
Dalam teori restoratif di katakan“kejahatan adalah pelanggaran terhadap
manusia”. Dalam katagori “pelanggaran”
ini lah tanggung jawab negara melalui aparat penegak hukumnya harus mampu
mengembalikan hak rakyatnya.“Kewajiban
mengembalikan ke suatu keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban
baik rakyat maupun negara” juga menjadi substansi pokok dalam teori ini.
Pasca adanya Konvensi Anti Korupsi (KAK) tahun 2003 telah membuat terobosan besar
mengenai pengembalian kekayaan negarayang meliputi sistem pencegahan dan
pengawasan hasil tindak pidana korupsi, sistem pengembalian asset secara
langsung dan sistem pengembalian asset secara tidak langsung dengan kerjasama
internasional untuk dilakukan penyitaan. Negara Indoensia juga telah
mengeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Aggaints
Corruption 2003. Indonesia merupakan bagian dari negara di dunia dan
merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setiap ketentuan hukum
internasional semua negara harus ikut dan tunduk pada ketentuan tersebut.
Dengan demikian dalam kaitannya teori restoratif Negara Indonesia melalui
aparat penegak hukum wajib mengambil alih semua asset kekayaan para koruptor
hasil tindak piada korupsi yang berada di luar negara. Hal ini bertujuan sesuai
dengan tujuan teori restoratif untuk ”keadaan
yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara”.
Asset kekayaan para koruptor khususnya dari Bank Century di Hongkong yang telah
membawa dampak sistemik terhadap perekonomian negara harus segera ditindak
lanjuti demi memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas.Asset hasil tindak
pidana korupsi merupakan milik secara tidak langsung bagi rakyat
Indonesia.Dengan demikian rakyat melalui negara dapat menuntut atas
kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi.
Kerugian tersebut akan mempunyai nilai keadilan jika lewat aparat penegak hukum
negara dapat mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi yang berada di
luar negeri.
Dalam teori ini terdapat klausula
penting dalam mencapai nilai keadilan yang diharapkan masyarakat. Dalam teori
ini dinyatakan “konsep pemidanaan atas
kesalahan, pembalasan dan perlindungan terhadap hak individu”.Dengan
demikian sebagai telaah dan asumsi dari penulis berpendapat adanya tindakan
pidana khsususnya pada Bank Century dengan asset yang terletak di Hongkong
telah memenuhi delik hukum, adanya perbuatan dan adanya kesalahan.Dengan
demikian para pelaku tindak pidana korupsi tersebut wajib dipidana. Konsep
pemidanaan tidak hanya ditekankan kepada subyek pelaku saja, akan tetapi akibat
yang ditimbulkan juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Perlindungan terhadap
korban individu Penulis maknai adalah rakyat Indonesia yang terkena dampak
terhadap kerugian negara yang telah ditimbulkan. Konsep pemidanaan melalui
konsep pengembalian asset yang ada di luar negeri merupakan upaya negara
lewat para penegak hukumnya. Tanpa adanya
maksud untuk memenuhi keadilan akibat kerugian dari tindak pidana korupsi dan
kerugiaan itu akan terjadi pembalasan bagi hak rakyat, maka semua asset yang
ada duluar negeri wajib dikembalikan ke negara. Dalam konteks keadilan sosial
bagi masyarakat dunia dengan adanya hubungan bilateral antara Indonesia, maka
agar saling terjadi hubungan dalam menciptakan tata keadilan sosial negara
pihak lain yang telah ada hubungan bilateral dengan Indonesia memiliki
kewajiban agar asset yang berada di negara tersebut dapat dikembalikan.
Dalam teori ini lebih memberikan
prioritas terhadap “kemanfaatan”dan
menurut Penulis dalam perspektif kemanfaatan disini dapat dimaknai adanya
saling menguntungkan antara hubungan bilateral negara. Sistem hukum yang
berbeda tidak akan menjadi persoalan, karena mekanisme pengemabalian asset
hadil tindak pidana korupsi sudah dilakukan dengan sistem hukum nasional
masing-masing negara. Kemanfaatan yang lain adalah jika proses pengembalian
asset dari negara lain khsususnya dari Hongkong dapat dikembalikan ke
Indonesia, maka akan menjadi pembelajaran bagi para koruptor bahwa tidak ada
lagi tempat untuk menyembunyikan hasil tindak pidana korupsinya di luar negeri.
Dari segi keuangan negara dengan adanya pengembalian asset dari luar negeri
akan menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian
rakyat akan mendapatkan segi kemanfaatan, karena perekonomian akan meningkat.
Kerugian negara akibat korupsi dapat ditutupi dengan proses pengembalian asset
hasil tindak pidana korupsi tersebut
dari luar negeri.
B. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi sebagai realisasi
dari Peraturan Presiden (Perpres) No.9 Tahun 2012 tentang perintah pengembalian
asset Bank Century di Hongkong
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum menjadi tiga yaitu total enforcement, full
enforcement dan actual enforcement.Total enforcement adalah penegakan hukum
sebagaimana yang dirumuskan atau dituliskan oleh
hukum pidana materiil atau hukum pidana substantive
atau substantive of crimes. Full enforcement
adalah penegakan hukum yang dilakukan secara maksimal oleh aparat penegak
hukum.Actual enforcement adalah
melakukan penegakan hukum yang tersisa dan belum dilakukan oleh dua tahap
tersebut diatas [19].
Kebanyakan ketika akan melakukan upaya pemberantasan korupsi, justru akan
dihancurkan oleh oknum yang terdapat dalam sistem birokrasi tersebut. Menurut
Wakil Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Denny Indrayana bahwa 5 (lima)
aspek dalam mendukung anti korupsi dalam sebuah pemerintahan yaitu sebagai
berikut: Pertama, sistem bernegara
yang demokrasi. Kedua, regulasi anti
korupsi yang membaik.Ketiga, instansi
yang baik.Keempat, keberadaan pers. Kelima, adanya partisipasi publik [20].
Dengan demikian Penulis akan mencoba mengabolarisakan dengan konsep diatas
yaitu aparat penegakan hukum yang terkait dalam upaya pemberantasan korupsi
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Makna dari korelasi ini adalah pihak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegakan hukum yang fokus
terhadap pemberantasan korupsi mempunyai kewajiban bersama negara untuk dapat
mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi yang berada diluar negeri.
Berikut ini Penulis[21]
berikan data terkait hasil kerugian negara atas kejahatan korupsi dan
peranan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam penanganan korupsi di Indonesia.
Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
Semester I
|
Semester II
|
Jumlah
kasus: 176
|
Jumlah
kasus: 272
|
Kerugian
negara: Rp 2,1 triliun
|
Kerugian
negara: Rp 1,5 triliun
|
Jumlah
korupsi: 441 orang
|
Jumlah
korupsi: 716
|
Sektor Korupsi
|
Sektor Korupsi
|
Keuangan
daerah: 38 kasus
|
Keuangan
daerah: 44 kasus
|
Infrastruktur:
32 kasus
|
Infrastruktur:
53 kasus
|
Sosial
kemasyarakatan: 20 kasus
|
Pejabat
pelaksana teknis kegiatan
|
Aktor
|
Aktor
|
Komisiaris
atau direktur perusahaan swasta
|
Karyawan
atau staff pemerintah daerah
|
Kepala
kantor atau kabag atau kasubag
|
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
|
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
|
Pejabat
pelaksana teknis kegiatan
|
Penganganan kasus
|
Penanganan kasus
|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14
|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK): 9
|
Kepolisian:
25
|
Kepolisian:
37
|
Kejaksaan:
137
|
Kejaksaan:
226
|
Adapun terkait tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan sebagai
berikut:
Pasal 6
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.
koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.
melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam
melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a.
mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.
menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d.
melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.
meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dasar
yuridis tersebut diatas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat
digunakan sebagai landasan hukumnya dalam pemberantasan dan pengembalian asset
hasil tindak pidana korupsi.Dalam rumusan Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat ketentuan: “….harta benda miliknya yang belum didakwakan…”, maksud dari rumusan
ketentuan tersebut adalah harta benda milik terdakwa yang belum dimuat dalam
surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara a contrario terhadap ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 38 B ayat
(1) dapat diketahui jika dari hasil penyidikan oleh penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata berhasil diungkap tentang harta benda yang
diduga dari hasil tindak pidana korupsi, maka secara pasti harta benda milik
terdakwa harus didakwakan dan dimaksudkan dalam surat dakwaan penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dalam surat dakwaan belum dimasukan
mengenai harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi
disebabkan dari hasil penyidikan belum berhasil mengungkap semua atau baru
terungkap sebagian saja harta benda milik terdakwa yang diduga dari hasil
tindak pidana korupsi dan baru dalam pemeriksaan di sidang pengadilan harta
benda milik terdakwa terungkap sebagai hasil dari tindak pidana korupsi. Dalam
pembuktian harta benda milik terdakwa yang diduga hasil dari tindak pidana
korupsi yang sudah dimasukan dalam surat dakwaan dan sudah dibacakan oleh
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan. Pembuktiaannya tetap menjadi kewajiban penuntut umum Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa: “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian” [22].
Dengan
demikian adanya persyaratan tersebut telah berimplikasi bukan hanya penuntut
umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan akan tetapi
juga mempergunakan persyaratan ysng harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum
hakim mempergunakan wewenangnya untuk memutuskan seluruh atau sebagian harta
milik terdakwa tindak pidana korupsi dirampas untuk negara. Tuntutan perampasan
dari harta benda milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi yang harus
dilakukan pada saat dibacakan tuntutannya pada pokok perkara. Dalam tuntutan
yang dilakukan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak
memerlukan adanya pembuktian yang konkrit terhadap harta benda milik terdakwa
dari hasil tindak pidana korupsi, tetapi yang cukup dengan menyatakan ada
indikasi bahwa harta tersebut berasal dari hasil tindak pidana korupsi dan hal
tersebut dapat diketahui dari pemerikasaan yang telah diketahui di dalam
persidangan. Problematika ini dapat berpijak bahwa hanya terdakwa yang
mempunyai kewajiban untuk membuktikan harta tersebut bukan hasil dari tindak
pidana korupsi. Disisi lain jika penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) juga telah menyatakan bahwa hasil harta benda tersebut merupakan hasil
tindak pidana korupsi dan dirampas untuk negara. Hal itu tetap tidak akan
menyalahi aturan hukum, akan tetapi semua tuntutan itu tergantung dari terdakwa
mampu atau tidak di sidang pengadilan harta tersebu bukan merupakan dari hasil
tindak pidana korupsi. Hal ini telah sesuai dengan isi Pasal 38 B ayat (4)
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yaitu:
“Pembuktian
bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak
pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam
perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi”.
Pembuktian
pemerikasaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1)
huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdakwa tindak pidana
korupsi atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Jika di dalam
pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata terdakwa tindak pidana korupsi
tidak berhasil atau gagal membuktikan bahwa harta benda milik terdakwa tindak
pidana korupsi bukan berasal dari hasil tindak pidana korupsi, maka sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) harta benda milik terdakwa tindak pidana
korupsi dianggap diperoleh juga dari hasil tindak pidana korupsi dan hakim
berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk
negara. Akan tetapi jika di dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut
ternyata terdakwa tindak korupsi bukan berasal ndari hasil tindak pidana
korupsi, maka hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) hakim
tidak berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas
untuk negara. Putusan hakim tentang perampasan seluruh atau sebagian harta
benda milik terdakwa tindak pidana korupsi sebagai putusan pidana tambahan
putusan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok pada saat hakim memutuskan
perkara pokok tindak pidana korupsi.
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah itu yaitu perubahan
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup
serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia
sebagai warga dunia sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang
lebih bersifat Indonesia [23].
Purwaning Yanuar mendefinsikan pengembalian asset adalah sistem penegakkan hukum yang dilakukan oleh
negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak
atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui
rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan atau perdata, aset hasil
korupsi, baik yang ada di dalam atau di luar negeri,dilacak, dibekukan,
dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak
pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang
diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana
korupsi menggunakan aset hasil pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk
melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau
calon pelaku tindak pidana korupsi [24].
Dalam suatu negara
yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial
atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat
untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat
[25]. Kaitannya dengan upaya pengembalian assethasil tindak korupsi, keberadaan hukum positif belum ada untuk mendukung dalam upaya untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi.Dalam Undang-Undang No.30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dapat ditempuh dengan
jalan yaitu sebagai berikut:
1
Meminta
keterangan pada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa (Pasal 12 huruf c);
2
Memerintahkan
kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait
(Pasal 12 huruf d);
3
Meminta
data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi
terkait (Pasal 12 huruf f);.
4
Menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau pencabutan sementara perizinan lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa (Pasal 12 huruf g);
5
Selain
itu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang untuk melakukan penyitaan (Pasal 47);
dan
6
Untuk
kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan
keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui
dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh tersangka.
Upaya
Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi hanya dapat ditempuh
melalui jalur pidana.Ketentuan kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi(KPK) tersebut hanya sebatas pelacakan asset, pembekuan, dan penyitaan saja tidak sampai pada upaya pengembalian asset. Upaya pelacakan asset, pembekuan,dan penyitaan dilakukan hanya sebatas untuk penyelidikan dan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan saja. Sedangkan pada
pelaksanaan tahap pembekuan dan penyitaan tidak untuk pencabutan kekayaan
secara permanen berdasarkan perintah pengadilan Komisi Pemberantasan
Korupsi(KPK) tidak mempunyai tugas dan wewenang.Kelemahan ketentuan di atas,
dalam pengembalian asset hasil korupsi akan tampak ketika dihadapkan terkait proses pengembalian asset hasil korupsi yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia. Pada umumnya, di negara lain
tempat asset hasil korupsi disembunyikan menggunakan ketentuan
untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi harus ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Sebagai objek kajian dalam makalah ini
berupa asset hasil tindak pidana yang ada di luar negeri tidak dengan mudah
dapat dikembalikan ke negara asalnya. Asset hasil tindak pidana korupsi Bank
Century yang ada di Hongkong walaupun lewat aparat penegak hukum Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
negara memiliki kewajiban, akan tetapi terbentur aturan hukum dan sistem hukum
dari negara masing-masing. Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Againts Corruption
2003 (UNCAC) merupakan upaya dari hukum nasional dalam mengadopsi norma
hukum internasional dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi. Hasil
asset pengembalian korupsi tersebut ketika dapat dikembalikan ke negara akan
dapat menambah pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Keuangan negara tersebut akan dapat digunakan dalam perbaikan ekonomi secara
nasional.
2.
Tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara yuridis dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsiyang
ada di luar negeri belum ada. Undang-Undang
No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tugas dan wewenangnya masih terdapat
beberap kelemahan dan sulit dalam penerapan terhadap pengembalian asset hasil
tindak pidana korupsi.
Dalam aturan tersebut hanya
mempunyai tugas dan wewenang untuk pelacakan asset, pembekuan,dan penyitaan dilakukan hanya sebatas
untuk penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan
saja
dan tidak sampai pada pengembalian. Selama ini proses pengelolaan uang hasil korupsi yang disetor ke kas negara
tidak dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara luas
kepada publik, kecuali cukup dengan laporan tahunan lewat
Departemen Keuangan.
B.
Saran
1.
Pemerintah
hendaknya segera
melakukan revisi terhadap Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No.20 tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi terkait bagian penting mengenai pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
disertai penambahan tugas dan
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
melalui revisi Undang-Undang No.30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2.
Jika
penambahan tugas dan wewenanng melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak
memungkinkan, upaya membentuk badan khusus yang menangani pengembalian asset
korupsi juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah agarproses dan mekanisme
penanganannya lebih jelas.
3.
Terkait
dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, undang-undang
Pemberantasan Korupsi diharapkan memberikan beberapa skenario mekanisme jalur
hukum yang dapat ditempuh:Tahap pelacakan asset, tujuan pelacakan aset
ini adalah untuk menidentifikasi aset, lokasi penyimpanan,bukti kepemilikan
aset, dan hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Pada saat pelacakan
aset ini sekaligus mengumpulkan alat-alat bukti.Tahap pembekuan atau perampasan asset.
Pembekuan atau perampasan aset adalah larangan sementara untuk mentransfer,
mengonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara
dianggap sebagai ditaruh dibawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan
atau badan berwenang lainnya. Tahap penyitaan. Penyitaan disini adalah termasuk penyerahan manakala diperlukan, adalah pencabutan kekayaan
secara permanen berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas yang berkompeten
lainnya.Tahap pengembalian dan penyerahan
asset yang disita kepada
negara. Untuk dapat mengembalikan asset yang sudah disita, perlu adanya tindakan
legislatifmenurut prinsip-prinsip hukum nasional, sehingga badan yang berwenang dapat melakukan
pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi.
4.
Hasil asset korupsi yang ada di luar
negeri jika dapat dikembalikan kepada negara harus dimasukan dalam kas negara
berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar dapat digunakan dalam
pembangunan dan ditransfer ke daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Boer Mauna.
2003. Hukum Internasional. Bandung: PT
Alumni
Ermansjah Djaja.
2008. Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Jakarta: SinarGrafika.
J.G Starke.
2001. Pengantar Hukum Internasional.
Bandung: Mandar Maju
I Wayan
Parthiana. 1990. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: Mandar Maju
Ilhami
Bisri. 2004. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT Grasindo
Persada.
Jawahir
Thantowi. 2006. Hukum Humaniter
Kontemporer. Bandung: PT Revika Aditama
Kwik Kian Gie. 2006.
Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika
Mardi Juana
Kaligis, OC. 2008. Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi Jilid 1.Bandung PT Alumni Konstutusi. Yogyakarta: UII Press.
Muladi
dan Arief, Barda Nawawi. 1993. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung
: Alumni.
Muh. Djafar Saidi.2008. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Marwan Batubara Dkk. 2007. Skandal BLBI Rame-Rame Merampok Uang Negara. Jakarta: Haekal Media
Center.
Purwaning M. Yuniar. 2007. Pengembalian Asset Hasil Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Alumni.
Waluyadi. 2009. Kejahatan,
PengadilandanHukumPidana. Bandung: Alumni.
Sumber Karya Ilmiah
Harifin. A. Tumpa. 2006.
Yurisdiksi Peradilan Pidana Indonesia
Terhadap Pelanggaran HAM Berat Dalam Rangka
Penerapan Statuta Roma Di Indonesia, Majalah Hukum Tahun XXII No.
252 April 2006. Jakarta: Ikahi
Erman Rajagukguk. 2006. “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi” dalam makalah yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN) Republik Indonesia pada tanggal 26 Juli 2006 di Jakarta
Sumber Peraturan
Peundangan-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
United Nation Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC)
Undang-Undang No.7 Tahun
2006 tentang Pengesahan UNCAC.
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Sumber Media Massa
Harian
Seputar Indonesia, 14 Hovember 2008:
hal.6)
Media
Indonesia, 27 Oktober 2010, hal.16
Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3
Kompas,
23 Mei 2012, hal.1,6
Sumber Internet
Anonim. SBY
Perintahkan Tiga Menteri Urus Asset Century, dalamhttp://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century
/diaksestanggal 27 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB
Anonim. Perampasan
Asset Century di Hongkong, dalamhttp://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/diaksestanggal
27 Juli 2012 padapukul 00.00 WIB
Anonim. Sita
Asset Century di Hongkong Kejagung Tunggu Fatwa MA, dalam, http://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/diaksestanggal
27 Juli 2012 padapukul 00.00 WIB
Anonim, Hubungan Hukum Internasional dan Hukum
Nasional, dalam, (http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum.html/
diakses pada tanggal 27 Juli 2012 pukul 00.00)
[1] OC
Kaligis, Praktek Tebang Pilih Perkara
Korupsi Jilid 1 (Yogyakarta, 2008), hal.1
[3]Marwan Batubara Dkk, Skandal BLBI
Rame-Rame Merampok UangNegara (Jakarta, 2007), hal. xv-xvi
[5]Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006),
hal.10
[6]Anonim,
Perampasan Asset Century di Hongkong, dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/
diakses tanggal 27 Juli 2012 pada pukul 00.00 WIB
[7] Anonim,
“Sita Asset Century di Hongkong Kejagung
Tunggu Fatwa MA”, dalam http://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/
diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[8]
Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), hal.193
[9]
Harifin. A. Tumpa, Yurisdiksi Peradilan
Pidana Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat Dalam Rangka Penerapan Statuta Roma Di Indonesia,
Majalah Hukum Tahun XXII No. 252 (April 2006), hal.17
[14] Anonim, Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional, dalam (http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/hubungan-hukum-internasional-dan-hukum.html/ diakses pada
tanggal 27 Juli 2012 pukul 00.00)
[15]Anonim. “SBY Perintahkan Tiga Menteri Urus Asset
Century”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century/ diakses
tanggal 27 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[16] Purwaning M.
Yuniar, Op.Cit, hal. 90
[17]
Muh. Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara
(Jakarta, 2008), hal.3
[18] Erman Rajagukguk. 2006. “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi” dalam makalah yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN) Republik Indonesia pada tanggal 26 Juli 2006 di Jakarta
[19]Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana
(Bandung, 2009), hal.2
[22] Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(Jakarta, 2008) hal. 150
[25]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173
No comments:
Post a Comment