BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pengklasifikasian kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime mempunyai empat
sifat dan karakteristik yaitu: pertama, korupsi
merupakan kejahatan terorganisir yang dilakukan secara sistematis Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan
modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya.[1]Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan
kekuasaan.Keempat, korupsi adalah
kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang
dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk menigkatkan kesejahteraan rakyat.
Dana
publik di Indonesia yang hilang akibat korupsi sangat besar. Pada tahun 1995,
menurut laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah terjadi 358 kebocoran
dana negara sebesar RP.1.062 triliun. Pada tahun 1996 Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) melaporkan adanya kebocoran dana 22 departement dan lembaga pemerintah
non departemen dengan total senilai Rp 3.22 milliar. Selain itu sepanjang tahun
1995-1996 ditemukan 18.578 kasus korupsi dan penyelewengan dana senilai Rp
888,72 milliar. Pada era reformasi tidak akan berubah menjadi lebih baik dari
era sebelumnya dan bahkan lebih buruk. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp.166,53 triliun atau sekitar 50
persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2003. Sebagaimana dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio
Budihardjo Joedono sejak pertengahan 2003 telah ditemukan 22 penyimpangan
keungan negara. Dalam semester satu tahun 2004 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
juga melakukan pemeriksaan terhadap 377 proyek dan asset senilai Rp.1.312
trlliun. Dari jumlah tersebut menemukan penyimpangan sekitar Rp 37,4 trilliun
atau 2,85 persen dari nilai keseluruhannya. Tidak mengherankan jika dalam
laporan Tranparansi Internasional Indonesia (TII) sebagaimana diungkapkan dalam
siaran persnya dari 146 negara yang disurvey Indonesia masuk dalam urutan
kelima negara terkorup di dunia dengan indeks prestasi korupsi 2,0 [2].
Transparansi International Indonesia
(TII) mencatat Corruption Perseption
Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama
dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di
posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota
ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand [3].
Dengan makin terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi,
mengindikasikan bahwa tingkat kerugian baik di tingkat pusat dan di daerah
masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik kleptokrat untuk
mencari keuntungan pribadi dengan menggadaikan uang rakyat.
Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas
untuk menyesuaiakan diri dengan kondisi keuangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, pendidikan,
kesehatan, subsidi listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) harus ditekan
semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara dalam membayar hutang
[4]. Jumlah hutang negara sampai bulan juni 2007 mencapai Rp
1.313,3 triliun rupiah yang terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 534,7
triliun rupiah dan surat berharga negara Rp 715,3 triliun rupiah surat-surat
berharga valuta asing Rp 63,4 triliun rupiah. Pendapatan negara dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2009 direncanakan sebesar Rp985,7 triliun
rupiah meningkat Rp 90,7 T
(10,1%) angka itu lebih rendah dari defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) tahun 2008[5].Pemberantasan
korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari
pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan
berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang
belum terjangkit oleh korupsi [6].
Asset Bank Century yang belum disita dari Hongkong
di antaranya berupa uang tunai Rp 86 miliar serta surat berharga senilai 388
juta dollar AS dan 650.000 dollar Singapura. Jika ditotal, nilai aset tersebut
senilai lebih dari Rp 6 triliun[7].Aset
Bank Century yang terlacak di Hongkong ditengarai dilarikan bekas pemilik Bank
Century, Robert Tantular.Penyitaan asset terpidana kasus Bank Century itu
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 Desember 2010.Robert
Tantular pernah mengajukan permohonan kasasi menolak penyitaan asset, tetapi
ditolak Mahkamah Agung (MA).
Sementara pemerintah Indonesia sudah meminta Pemerintah Hongkong untuk melakukan perampasan asset milik terpidana kasus Bank Century lainnya, yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Tujuannya, agar Rafat dan Hesham yang sudah diadili secara in absentia itu tidak bisa lagi mengakses aset bekas Century[8].
Sementara pemerintah Indonesia sudah meminta Pemerintah Hongkong untuk melakukan perampasan asset milik terpidana kasus Bank Century lainnya, yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Tujuannya, agar Rafat dan Hesham yang sudah diadili secara in absentia itu tidak bisa lagi mengakses aset bekas Century[8].
Mengembalikan asset hasil korupsi yang telah dilarikan atau
diinvestasikan ke dalam sistem keuangan ternyata membutuhkan upaya
hukum yang harus melibatkan antar sistem hukum yang berbeda.Dalam pengembaliannya jugaharus melalui prosedur dan mekanisme yang rumit.
Berbagai pola korupsi yang
dilakukan oleh para koruptor biasanya memakai atau memanfaatkan kelonggaran dan
celah hukum serta sistem keuangan dalam negara tertentu ketika asset tersebut disembunyikan di negara lain.Dapat dilihat bagaimana penyelesaian upaya pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi pada kasus Hendra Rahardja dan atau asset Bank
Harapan Sentosa (BHS). Walaupun pengembalian asset melalui lelang asset, namun
tidak diketahui apakah pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Hendra Rahardja dan atau Bank Harapan Sentosa (BHS) tersebut
kepada negara dilaksanakan secara maksimal[9].
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan
khusus dalam menangani kasus korupsi ternyata memang masih terkendala dalam
mengawasi aktivitas otoritas-otoritas hukum pengembalian asset hasil
tindak pidana korupsi baik prosedural dan substansial. Hal ini menjadi kendala
tersendiri bagi Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), karena secara yuridis Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) jelas tidak tidak mempunyai pijakan hukum yang kuat
dalam upaya mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi baik secara
prosedural dan substansial.Berawal dari permasalahan tersebut, Penulis sangat
tertarik mengangkat wacana pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
dikaitkan dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) sebagai badan khusus
yang menangani kasus tindak pidana korupsi. Untuk itu Penulis mengangkatnya
dalam sebuah makalah
dengan judul :” PENGEMBALIAN ASSET HASIL TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI RESTORATIF”
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar
belakang di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan permasalahan yang menjadi
fokus
dalam makalah kami yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pengaturan hukum pengembalian
asset dalam tinjauan tindak pidana korupsi dalam persepktif implikasi
penggunaan teori restoratif?
2.
Bagaimanakah peran Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengaturan hukum pengembalian asset dalam tinjauan tindak pidana korupsi
dalam
persepktif
implikasi penggunaan teori restoratif
A.1 Landasan yuridis dalam
pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
Dalam Konvensi Anti
Korupsi
(KAK) 2003 tidak dijelaskan mengenai
pengertian pengembalian aset hasil korupsi. Kata “asset” dan tidak didefinisikan
secara jelas yang didefinisikan
adalah istilah “kekayaan” yang berarti : aset dalam bentuk apapun, baik
korporal maupun nonkorporal, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau
kepentingan dalam aset tersebut (Bab I Pasal 2 (d) KAK 2003). Istilah hasil
kejahatan didefinisikan sebagai setiap kekayaan yang berasal dari atau
diperoleh, secara langsung atau tidak langsung, melalui pelaksanaan suatu
kejahatan (Pasal 2 (f) KAK 2003).
Dalam perkara korupsi sebagaimana Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi diatur mengenai pengembalian asset
hasil tindak pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil
procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal
procedure). Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana
korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38. Kemudian melalui jalur kepidanaan sebagaimana
ketentuan Pasal 38 ayat (5), Pasal 38 ayat (6) dan Pasal 38B ayat (2), dengan
proses penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di
atas memberikan kewenangan kepada jaksa pengacara negara atau instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli
warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menugaskan tiga
menteri, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, Menteri
Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, dan Jaksa
Agung Basrief Arief untuk mengurus pengembalian asset terkait tindak pidana
kasus Bank Century yang berada di luar negeri. Mereka juga diminta melakukan
koordinasi dan mendapat dukungan dari instansi terkait, termasuk Bank Indonesia
(BI).Perintah ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun
2012 yang ditetapkan tanggal 20 Januari 2012[10].
A.2 Mekanisme dalam pengembalian
asset hasil tindak pidana korupsi
Khusus terhadap jalur hukum pidanayaitu asset recovery secara tidak
langsung maka proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan melalui 4
(empat) tahapan, yaitu :
1.
Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi
aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan
deliktindak pidana yang dilakukan.
2.
Pembekuan atau perampasan aset dimana menurut
Bab I Pasal 2 huruf f Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 aspek ini ditentukan
meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau
memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung
jawabmengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan
pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten.
3.
penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf
g Konvensi Anti Korupsi(KAK) tahun 2003 diartikan sebagai pencabutan
kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain
yang berkompeten.
4.
pengembalian dan penyerahan asset kepada negara
korban.
Pengembalian asset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54-55
Konvensi Anti Korupsi(KAK) 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut
dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melakukan
penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek
sebagai berikut :
1)
Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan
untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah
penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari negara peserta lain ;
2)
Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk
mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk
memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan
putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya,
sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum
nasionalnya, dan
3)
Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin
diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan
secara pidana dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui
keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.
A.3 Pendekatan teori hukum dalam
tinjauan kritis terhadap pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
1. (Grand Theory)
Teori keadilan
restoratif dikemukakan oleh Howard
Zehr sebagai penemu teori ini secara umum mengatakan bahwa kejahatan adalah
pelanggaran terhadap manusia dan hubungan-hubungannya.Kejahatan menciptakan
kewajiban untuk membuat keadaan-keadaan tersebut menjadi baik.Keadilan
melibatkan korban, pelaku dan komunitas dalam rangka mencari solusi-solusi yang
mengedepankan perbaikan, rekonsiliasi dan meyakinkan kembali.Dilanjutkan oleh Walgrave yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap
perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian
yang diakibatkan dari hasil tindak pidana.Teori ini menyatakan bahwa korban
atau keluargannya dapat kembali pada keadaan yang semula seperti sebelum
terjadi tindak pidana.Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law
yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum.Menurut teori ini
pemidanaan meliputi pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk-bentuk lain
selain pidana penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam
masyarakat.Keadilan restoratif mendeskripsikan keadialan restoratif sebagai
paradigm yakni lensa untuk memahami realitas yang terlihat. Selanjutnya Kent Roach Keadilan restoratif sebagai
bagian dari teori keadilan harus direkonsialisasikan dengan teori keadilan
retributif dalam aplikasinya [11].
2. (Additional Theory)
a. Teori Keadilan Retributif
Dalam pandangan Jan
W. De Keijser dikatakan bahwa dalam mengkonsepsikan terkait pemidanaan
hanya yang bersalah yang dapat dipidana dan yang bersalah hanya dapat dipidana
sebatas ganjaran atas kesalahannya.Menurut H.L.A
Hart dikatakan bahwa restribusi dalam distribusi pemidaan adalah balasan
yang setimpal atas tindak pidana.Dalam karakter retributivisme memberikan
perlindungan kepada individu terhadap pemidanaan yang tidak proporsional dan
tidak adil hanya untuk kepentingan kemanfaatan.William Pompeberpendapat retribusi atas kesalahan merupakan
justifikasi umum atas pemidanaan.Konsep retribusi didasarkan pada pemahaman
atas instuisi kolektif yang dilengkapi dengan gangguan objektif tatanan moral
dalam hubungannya dengan kesalahan pribadi pelaku tindak pidana.Tatanan moral
sebagai tatanan atas keinginan bebas dari manusia yang terstruktur oleh hukum
moral. Menurut Muladi teori
retributif teologis dalam tujuan pemidanaan bersifat plural yang menganjurkan
mengartikuasikan beberap fungsi sekaligus[12].Menurut
Howard Zehr[13]keadilan
retributif tindak pidana adalah pelanggaran terhadap negara dan hukum dan
keadilan diterapkan dengan cara mempersalahkan dan memberikan rasa sakit,
keadilan merupakan perseteruan antara pelaku tindak pidana dengan negara.
Menurutnya dalam keadilan ini merupakan paradigma yeng pernah membentuk cara
berpikir dan merespons kejahatan. Dalam
teori retributif [14]adanya
kesalahan merupakan syarat yang paling utama.dan dalam kaitannya terdapat
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan terhadap pelaku.
b. Teori Utilitrianisme
Menurut George
P.Flecther dikatakan bahwa pandangan yang paling sering dikemukakan adalah
tentang alasan-alasan moral dalam tradisi anglo-american
terkait dengan menggunakan analisis biaya atau keuntungan sebagai penyeimbang
persaingan antara keuntungan dan kerugian dalam mengadopsi rencana aksi
tertentu. Menurut Jeremy Bentham dalam pemberian kemanfaatan terkait pemidanaan harus
bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan besarnya pidana tidak boleh melebihi
jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan
tertentu.Pemidanaan hanya dibenarkan jika mencegah terjadinya tindak pidana
yang lebih besar.Pembentuk undang-undang hendaknya membuat undang-undang yang
mencerminkan keadilan bagi semua individu. Peraturan perundang-udangan yang
baik hendaknya memberikan kebahagiaan yang lebih besar bagi sebanyak-banyaknya
masyarakat [15].Jeremy
Bentham adalah tokoh dalam teori
utilities yaitu aliran yang pada dasarnya menggariskan bahwa tujuan hukum
adalah untuk mengabdi kegunaan yang dapat dinikmati oleh setiap warga
masyarakat dalam kadar setinggi mungkin dan sedapat mungkin mendatangkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat [16].
A.4 Asumsi teori hukum dalam
tinjauan kritis terhadap pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
1. (Grand Theory)
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, korupsi adalah “Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200
juta dan paling banyak 1 milyar”. Selanjutnya Dalam Pasal 3 ayat (1)
disebutkan“Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan
paling banyak 1 milyar”.
Bertolak dari aturan tersebut Penulis mencoba akan
memberikan relevansi antara implikasi penggunaan teori restoratif terkait
pengembalian asset hasil tindak tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
sebagai tindakan dan thesa akan berdampak terhadap antithesa akibat yang
ditimbulkan. Akibat nyata yang ditimbulkan adalah berupa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Ketika
negara mengalami kerugian maka rakyat juga akan terkena resesi perekonomiannya.
Kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab bagi negara akanmenjadi terganggu
karena modal keuangan negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) berkurang. Negara dan rakyat merupakan satu kesatuan dalam
menciptakan tata kehidupan negara melaksanakan kewajiban dan rakyat menuntut
apa haknya. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
telah mendiskriminasikan manusia dalam arti luas dan rakyat dalam arti khusus
baik yang telah dilakukan para pelaku korupsi.Negara mempunyai alat para
penegak hukum dalam pemberantasan terhadap korupsi.Negara melalui penegak hukum
harus mampu menjamin perlindungan terhadap hak rakyatnya.
Dalam teori restoratif di katakan“kejahatan adalah pelanggaran terhadap
manusia”.Dalam katagori “pelanggaran”
ini lah tanggung jawab negara melalui aparat penegak hukumnya harus mampu
mengembalikan hak rakyatnya.“Kewajiban
mengembalikan ke suatu keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban
baik rakyat maupun negara” juga menjadi substansi pokok dalam teori ini.
Pasca adanya Konvensi Anti Korupsi (KAK) tahun 2003 telah membuat terobosan besar
mengenai pengembalian kekayaan negarayang meliputi sistem pencegahan dan
pengawasan hasil tindak pidana korupsi, sistem pengembalian asset secara
langsung dan sistem pengembalian asset secara tidak langsung dengan kerjasama
internasional untuk dilakukan penyitaan. Negara Indoensia juga telah
mengeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Aggaints
Corruption 2003. Indonesia merupakan bagian dari negara di dunia dan
merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setiap ketentuan hukum
internasional semua negara harus ikut dan tunduk pada ketentuan tersebut. Dengan
demikian dalam kaitannya teori restoratif Negara Indonesia melalui aparat
penegak hukum wajib mengambil alih semua asset kekayaan para koruptor hasil
tindak piada korupsi yang berada di luar negara. Hal ini bertujuan sesuai
dengan tujuan teori restoratif untuk ”keadaan
yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara”.
Asset kekayaan para koruptor khususnya dari Bank Century di Hongkong yang telah
membawa dampak sistemik terhadap perekonomian negara harus segera ditindak
lanjuti demi memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas.Asset hasil tindak
pidana korupsi merupakan milik secara tidak langsung bagi rakyat
Indonesia.Dengan demikian rakyat melalui negara dapat menuntut atas
kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi.
Kerugian tersebut akan mempunyai nilai keadilan jika lewat aparat penegak hukum
negara dapat mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi yang berada di
luar negeri.
2. (Additional Theory)
a. Teori Keadilan Retributif
Dalam teori ini terdapat klausula penting dalam
mencapai nilai keadilan yang diharapkan masyarakat.Dalam teori retributif
dinyatakan “konsep pemidanaan atas
kesalahan, pembalasan dan perlindungan terhadap hak individu”.Dengan
demikian sebagai telaah dan asumsi dari penulis berpendapat adanya tindakan
pidana khsususnya pada Bank Century dengan asset yang terletak di Hongkong
telah memenuhi delik hukum, adanya perbuatan dan adanya kesalahan.Dengan
demikian para pelaku tindak pidana korupsi tersebut wajib dipidana. Konsep
pemidanaan tidak hanya ditekankan kepada subyek pelaku saja, akan tetapi akibat
yang ditimbulkan juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Perlindungan terhadap
korban individu Penulis maknai adalah rakyat Indonesia yang terkena dampak
terhadap kerugian negara yang telah ditimbulkan. Konsep pemidanaan melalui
konsep pengembalian asset yang ada di luar negeri merupakan upaya negara
lewat para penegak hukumnya. Tanpa
adanya maksud untuk memenuhi keadilan akibat kerugian dari tindak pidana
korupsi dan kerugiaan itu akan terjadi pembalasan bagi hak rakyat, maka semua
asset yang ada duluar negeri wajib dikembalikan ke negara. Dalam konteks
keadilan sosial bagi masyarakat dunia dengan adanya hubungan bilateral antara
Indonesi, maka agar saling terjadi hubungan dalam menciptakan tata keadilan
sosial negara pihak lain yang telah ada hubungan bilateral dengan Indonesia
memiliki kewajiban agar asset yang berada di negara tersebut dapat
dikembalikan.
b. Teori Utilitrianisme
Dalam teori ini lebih memberikan prioritas terhadap “kemanfaatan”dan menurut Penulis dalam
perspektif kemanfaatan disini dapat dimaknai adanya saling menguntungkan antara
hubungan bilateral negara. Sistem hukum yang berbeda tidak akan menjadi
persoalan, karena mekanisme pengemabalian asset hadil tindak pidana korupsi
sudah dilakukan dengan sistem hukum nasional masing-masing negara. Kemanfaatan
yang lain adalah jika proses pengembalian asset dari negara lain khsususnya
dari Hongkong dapat dikembalikan ke Indonesia, maka akan menjadi pembelajaran
bagi para koruptor bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan hasil
tindak pidana korupsinya di luar negeri. Dari segi keuangan negara dengan
adanya pengembalian asset dari luar negeri akan menambah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian rakyat akan mendapatkan segi
kemanfaatan, karena perekonomian akan meningkat. Kerugian negara akibat korupsi
dapat ditutupi dengan proses pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi tersebut dari luar negeri.
B.
Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengembalian asset hasil tindak
pidana korupsi
Joseph
Goldstein membedakan
penegakan hukum menjadi tiga yaitu total
enforcement, full enforcement dan
actual enforcement.Total enforcement adalah penegakan hukum
sebagaimana yang dirumuskan atau dituliskan oleh
hukum pidana materiil atau hukum pidana substantive
atau substantive of crimes. Full
enforcement adalah penegakan hukum yang dilakukan secara maksimal oleh
aparat penegak hukum.Actual enforcement
adalah melakukan penegakan hukum yang tersisa dan belum dilakukan oleh dua
tahap tersebut diatas [17].
Kebanyakan ketika akan melakukan upaya pemberantasan korupsi, justru akan
dihancurkan oleh oknum yang terdapat dalam sistem birokrasi tersebut. Menurut
Wakil Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Denny Indrayana bahwa 5 (lima)
aspek dalam mendukung anti korupsi dalam sebuah pemerintahan yaitu sebagai
berikut: Pertama, sistem bernegara
yang demokrasi. Kedua, regulasi anti
korupsi yang membaik.Ketiga, instansi
yang baik.Keempat, keberadaan pers. Kelima, adanya partisipasi publik [18].Dengan
demikian Penulis akan mencoba mengabolarisakan dengan konsep diatas yaitu
aparat penegakan hukum yang terkait dalam upaya pemberantasan korupsi adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Makna dari korelasi ini adalah pihak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegakan hukum yang fokus terhadap
pemberantasan korupsi mempunyai kewajiban bersama negara untuk dapat
mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi yang berada diluar negeri.
Berikut ini Penulis[19]berikan
data terkait hasil kerugian negara atas kejahatan korupsi dan peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan
korupsi di Indonesia.
Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
Semester I
|
Semester II
|
Jumlah
kasus: 176
|
Jumlah
kasus: 272
|
Kerugian
negara: Rp 2,1 triliun
|
Kerugian
negara: Rp 1,5 triliun
|
Jumlah
korupsi: 441 orang
|
Jumlah
korupsi: 716
|
Sektor Korupsi
|
Sektor Korupsi
|
Keuangan
daerah: 38 kasus
|
Keuangan
daerah: 44 kasus
|
Infrastruktur:
32 kasus
|
Infrastruktur:
53 kasus
|
Sosial
kemasyarakatan: 20 kasus
|
Pejabat
pelaksana teknis kegiatan
|
Aktor
|
Aktor
|
Komisiaris
atau direktur perusahaan swasta
|
Karyawan
atau staff pemerintah daerah
|
Kepala
kantor atau kabag atau kasubag
|
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
|
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
|
Pejabat
pelaksana teknis kegiatan
|
Penganganan kasus
|
Penanganan kasus
|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14
|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK): 9
|
Kepolisian:
25
|
Kepolisian:
37
|
Kejaksaan:
137
|
Kejaksaan:
226
|
Adapun terkait tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan sebagai
berikut:
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.
koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.
melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a.
mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.
menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d.
melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.
meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dasar
yuridis tersebut diatas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat
digunakan sebagai landasan hukumnya dalam pemberantasan dan pengembalian asset
hasil tindak pidana korupsi.Dalam rumusan Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat ketentuan: “….harta benda miliknya yang belum didakwakan…”, maksud dari rumusan
ketentuan tersebut adalah harta benda milik terdakwa yang belum dimuat dalam
surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara a contrario terhadap ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 38 B ayat
(1) dapat diketahui jika dari hasil penyidikan oleh penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata berhasil diungkap tentang harta benda yang
diduga dari hasil tindak pidana korupsi, maka secara pasti harta benda milik
terdakwa harus didakwakan dan dimaksudkan dalam surat dakwaan penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dalam surat dakwaan belum dimasukan
mengenai harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi
disebabkan dari hasil penyidikan belum berhasil mengungkap semua atau baru
terungkap sebagian saja harta benda milik terdakwa yang diduga dari hasil
tindak pidana korupsi dan baru dalam pemeriksaan di sidang pengadilan harta
benda milik terdakwa terungkap sebagai hasil dari tindak pidana korupsi. Dalam
pembuktian harta benda milik terdakwa yang diduga hasil dari tindak pidana
korupsi yang sudah dimasukan dalam surat dakwaan dan sudah dibacakan oleh
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan. Pembuktiaannya tetap menjadi kewajiban penuntut umum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) bahwa: “tersangka
atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”[20].
Dengan demikian berarti pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik
yang dimaksudkan dalam Pasal 38 B ayat (1) tidak diberlakukan pada semua
pembuktian harta milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi
sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Penberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi hanya diberlakukan pada
pembuktian terhadap harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana
korupsi sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Penberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang belum didakwakan
dan belum dimasukan dalam surat dakwaan yang sudah dibacakan oleh penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B ayat (1) dapat dirumuskan kembali dalam Pasal
38 B ayat (2) yang menentukan bahwa dalam hal terdakwa yang belum didakwakan
adalah bukan dari hasil tindak tindak pidana korupsi, maka harta benda milik
terdakwa tersebut dianggap diperoleh dan hakim berwenang memutuskan seluruh aau
sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara, karena hakim oleh Pasal 38
B ayat (2) telah diberi kewenang untuk itu. Akan tetapi sangat perlu
diperhatikan bahwa hakim baru dapat memutuskan untuk merampas seluruh atau
sebagian harta benda tersebut untuk negara, jika ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 B ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sudah
dilaksanakan. Rumusan Pasal 38 B ayat (3) menentukan bahwa tuntutan perampasan
harta benda milik terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi yang
belum didakwakan sebagaimana dimaksud Pasal 38 B ayat (1) diajukan oleh
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat membacakan surat
tuntutan pada pokok perkara di sidang pengadilan. Keterkaitan langsung antara
Pasal 38 B ayat (3) dengan Pasal 38 B ayat (2) mengenai kewenangan hakim
memutuskan tentang perampasan harta benda milik terdakwa, karena hakim tidak
dapat mempergunakan wewenangnya untuk
suluruh atau sebagian harta benda milik terdakwa hasil tindak pidana
korupsi dirampas untuk negara tanpa adanya atau tidak memberikan kesempatan
kepada penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan
tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa tersebut. Hal itu karena telah
diatur sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (4) dan ayat (5) yang harus lebih
dahulu dipenuhi sesudah penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (3). Penuntut
umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat mengajukan tuntutan
sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (3) dan dengan demikian juga hakim tidak
dapat mempergunakan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2)
bilamana persyaratan yang dianut di dalam Pasal 38 B ayat (1) belum dipenuhi. Adapun
persyaratan tersebut adalah:
1.
Pada saat berlangsungnya pemeriksaan di
sidang pengadilan telah terungkap tentang adanya harta benda milik terdakwa
yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi; dan
2.
Harta benda milik terdakwa yang diduga
hasil tindak pidana korupsi tersebut belum dimasukan dalam surat didakwaan yang
belum dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sidang
pengadilan [21].
Dengan demikian adanya
persyaratan tersebut telah berimplikasi bukan hanya penuntut umum Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan akan tetapi juga
mempergunakan persyaratan ysng harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum hakim
mempergunakan wewenangnya untuk memutuskan seluruh atau sebagian harta milik
terdakwa tindak pidana korupsi dirampas untuk negara. Tuntutan perampasan dari
harta benda milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi yang harus
dilakukan pada saat dibacakan tuntutannya pada pokok perkara. Dalam tuntutan
yang dilakukan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak
memerlukan adanya pembuktian yang konkrit terhadap harta benda milik terdakwa
dari hasil tindak pidana korupsi, tetapi yang cukup dengan menyatakan ada
indikasi bahwa harta tersebut berasal dari hasil tindak pidana korupsi dan hal
tersebut dapat diketahui dari pemerikasaan yang telah diketahui di dalam
persidangan. Problematika ini dapat berpijak bahwa hanya terdakwa yang
mempunyai kewajiban untuk membuktikan harta tersebut bukan hasil dari tindak
pidana korupsi. Disisi lain jika penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) juga telah menyatakan bahwa hasil harta benda tersebut merupakan hasil
tindak pidana korupsi dan dirampas untuk negara. Hal itu tetap tidak akan
menyalahi aturan hukum, akan tetapi semua tuntutan itu tergantung dari terdakwa
mampu atau tidak di sidang pengadilan harta tersebu bukan merupakan dari hasil
tindak pidana korupsi. Hal ini telah sesuai dengan isi Pasal 38 B ayat (4)
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yaitu:
“Pembuktian
bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak
pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam
perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi”.
Pembuktian
pemerikasaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1)
huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdakwa tindak pidana
korupsi atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Jika di dalam
pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata terdakwa tindak pidana korupsi
tidak berhasil atau gagal membuktikan bahwa harta benda milik terdakwa tindak
pidana korupsi bukan berasal dari hasil tindak pidana korupsi, maka sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) harta benda milik terdakwa tindak pidana
korupsi dianggap diperoleh juga dari hasil tindak pidana korupsi dan hakim
berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk
negara. Akan tetapi jika di dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut
ternyata terdakwa tindak korupsi bukan berasal ndari hasil tindak pidana
korupsi, maka hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) hakim
tidak berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas
untuk negara. Putusan hakim tentang perampasan seluruh atau sebagian harta
benda milik terdakwa tindak pidana korupsi sebagai putusan pidana tambahan
putusan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok pada saat hakim memutuskan
perkara pokok tindak pidana korupsi.
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah itu yaitu perubahan
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup
serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia
sebagai warga dunia sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang
lebih bersifat Indonesia [22].
Purwaning Yanuar mendefinsikan pengembalian asset adalah sistem penegakkan hukum yang dilakukan oleh
negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak
atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui
rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan atau perdata, aset hasil
korupsi, baik yang ada di dalam atau di luar negeri,dilacak, dibekukan,
dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak
pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang
diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana
korupsi menggunakan aset hasil pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk
melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau
calon pelaku tindak pidana korupsi[23].
Dalam suatu negara
yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial
atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat
untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat[24].Kaitannya dengan upaya pengembalian assethasil tindak korupsi, keberadaan hukum positif belum ada untuk mendukung dalam upaya untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi.Dalam Undang-Undang No.30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dapat ditempuh dengan
jalan yaitu sebagai berikut:
1
Meminta
keterangan pada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa (Pasal 12 huruf c);
2
Memerintahkan
kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait
(Pasal 12 huruf d);
3
Meminta
data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi
terkait (Pasal 12 huruf f);.
4
Menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau pencabutan sementara perizinan lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa (Pasal 12 huruf g);
5
Selain
itu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang untuk melakukan penyitaan (Pasal 47);
dan
6 Untuk
kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan
keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui
dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh tersangka.
Upaya
Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi hanya dapat ditempuh
melalui jalur pidana.Ketentuan kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi(KPK) tersebut hanya sebatas pelacakan asset, pembekuan, dan penyitaan saja tidak sampai pada upaya pengembalian asset. Upaya pelacakan asset, pembekuan,dan penyitaan dilakukan hanya sebatas untuk penyelidikan dan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan saja. Sedangkan pada
pelaksanaan tahap pembekuan dan penyitaan tidak untuk pencabutan kekayaan
secara permanen berdasarkan perintah pengadilan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)
tidak mempunyai tugas dan wewenang.Kelemahan ketentuan di atas, dalam
pengembalian asset
hasil korupsi akan tampak ketika dihadapkan terkait proses pengembalian asset hasil korupsi yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia. Pada umumnya, di negara lain
tempat asset hasil korupsi disembunyikan menggunakan ketentuan
untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi harus ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Sebagai objek kajian dalam makalah ini
berupa asset hasil tindak pidana yang ada di luar negeri tidak dengan mudah
dapat dikembalikan ke negara asalnya. Asset hasil tindak pidana korupsi Bank Century
yang ada di Hongkong walaupun lewat aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
negara memiliki kewajiban, akan tetapi terbentur aturan hukum dan sistem hukum
dari negara masing-masing. Penulis mencoba menggunakan pendekatan dengan teori
restoratif, teori retributif dan utilitarianisme agar asset hasil tindak pidana
korupsi dapat dikembalikan ke negara asal.
2. Tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara yuridis dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi yang
ada di luar negeri belum ada. Undang-Undang
No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tugas dan wewenangnya masih terdapat
beberap kelemahan dan sulit dalam penerapan terhadap pengembalian asset hasil
tindak pidana korupsi.
Dalam aturan tersebut hanya
mempunyai tugas dan wewenang untuk pelacakan asset, pembekuan,dan penyitaan dilakukan hanya sebatas
untuk penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan
saja
dan tidak sampai pada pengembalian.Selama
ini proses pengelolaan uang hasil korupsi yang disetor ke kas negara tidak
dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara luas
kepada publik, kecuali cukup dengan laporan tahunan lewat
Departemen Keuangan.
B.
Saran
1.
Pemerintah
hendaknya segera
melakukan revisi terhadap Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No.20 tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi terkait bagian penting mengenai pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
disertai penambahan tugas dan
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
melalui revisi Undang-Undang No.30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2.
Jika
penambahan tugas dan wewenanng melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak
memungkinkan, upaya membentuk badan khusus yang menangani pengembalian asset
korupsi juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah agarproses dan mekanisme penanganannya
lebih jelas.
3.
Terkait
dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, undang-undang
Pemberantasan Korupsi diharapkan memberikan beberapa skenario mekanisme jalur
hukum yang dapat ditempuh:Tahap pelacakan asset, tujuan pelacakan aset
ini adalah untuk menidentifikasi aset, lokasi penyimpanan,bukti kepemilikan
aset, dan hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Pada saat pelacakan
aset ini sekaligus mengumpulkan alat-alat bukti.Tahap pembekuan atau perampasan asset.
Pembekuan atau perampasan aset adalah larangan sementara untuk mentransfer,
mengonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara
dianggap sebagai ditaruh dibawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan
atau badan berwenang lainnya.Tahap penyitaan. Penyitaan disini adalah
termasuk penyerahan manakala
diperlukan, adalah pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah
pengadilan atau otoritas yang berkompeten lainnya.Tahap pengembalian dan
penyerahan asset yang disita kepada negara. Untuk dapat mengembalikan asset
yang sudah disita, perlu adanya tindakan legislatifmenurut
prinsip-prinsip hukum nasional, sehingga badan yang berwenang dapat melakukan
pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Batubara, Marwan, Dkk. 2007. Skandal
BLBI Rame-Rame Merampok Uang Negara. Jakarta: Haekal Media Center.
Bisri,Ilhami.2004. Sistem
Hukum Indonesia (Jakarta, PT. Grasindo Persada.
Djaja, Ermansjah. 2008. MemberantasKorupsiBersamaKomisiPemberantasanKorupsi
(KPK). Jakarta: SinarGrafika.
Gie, Kwik Kian. 2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika
Mardi Juana
Kaligis, OC. 2008. Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi Jilid 1.Bandung PT Alumni Konstitusi. Yogyakarta: UII Press.
Muladi
dan Arief, Barda Nawawi. 1993. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung : Alumni.
_____________________________. 2005.
Teori-TeoridanKebijakanPidana. Bandung: PT ALUMNI Bandung.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. PengantarIlmuHukum.
Jakarta: PrestasiPustaka.
Waluyadi. 2009. Kejahatan, PengadilandanHukumPidana. Bandung: Alumni.
Yuniar,Purwaning M. 2007.
PengembalianAsetHasilTindakPidanaKorupsi. Bandung: PT Alumni.
Zachrie, Ridwan. 2009. KorupsiMengorupsi Indonesia: Sebab, AkibatdanProspekPemberantasan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Sumber Karya Ilmiah
Edward Omar Sharif
Hiariej. 2012. “Pembuktian Terbalik dalam
Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada pada Tanggal 30 Januari 2012 di Yogyakarta.
Sumber Peraturan
Peundangan-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
United Nation Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC)
Undang-Undang No.7 Tahun
2006 tentangPengesahan UNCAC.
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Sumber Media Massa
Harian
Seputar Indonesia,14
Hovember 2008: hal.6)
Media
Indonesia, 27 Oktober 2010, hal.16
Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3
Kompas, 23 Mei
2012, hal.1,6
Sumber Internet
Anonim.SBY
PerintahkanTigaMenteriUrus Asset Century, dalamhttp://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century
/diakses tanggal 10 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB
Anonim.Perampasan
Asset Century di Hongkong, dalamhttp://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/diakses
tanggal 9 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB
Anonim.Sita
Asset Century di HongkongKejagungTunggu Fatwa MA, dalamhttp://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/diakses
tanggal 9 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB
[1]
Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi
Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Jakarta, 2009),
hal.264)
[2]OC
Kaligis, Praktek Tebang Pilih Perkara
Korupsi Jilid 1 (Yogyakarta, 2008), hal.1
[4]Marwan Batubara Dkk, Skandal BLBI
Rame-Rame Merampok UangNegara (Jakarta, 2007), hal. xv-xvi
[6]Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006),
hal.10
[7]Anonim,
Perampasan Asset Century di Hongkong, dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/
diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[8]Anonim,
“Sita Asset Century di Hongkong Kejagung
Tunggu Fatwa MA”, dalam http://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/
diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[9]
Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), hal.193
[10]Anonim. “SBY
Perintahkan Tiga Menteri Urus Asset Century”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century/ diakses
tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[11]Purwaning M.
Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi (Bandung, 2007), HAL.90
[14] Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan
Kebijakan Pidana (Bandung, 2005), hal.17
[16]Titik Triwulan Tutik, Pengantar
Ilmu Hukum (Jakarta, 2006), hal.32-33
[17]Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana
(Bandung, 2009), hal.2
[20]Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(Jakarta, 2008) hal. 150
[21]ibid
[24]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173
[1]
Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi
Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Jakarta, 2009),
hal.264)
[2]OC
Kaligis, Praktek Tebang Pilih Perkara
Korupsi Jilid 1 (Yogyakarta, 2008), hal.1
[4]Marwan Batubara Dkk, Skandal BLBI
Rame-Rame Merampok UangNegara (Jakarta, 2007), hal. xv-xvi
[6]Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006),
hal.10
[7]Anonim,
Perampasan Asset Century di Hongkong, dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/
diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[8]Anonim,
“Sita Asset Century di Hongkong Kejagung
Tunggu Fatwa MA”, dalam http://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/
diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[9]
Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), hal.193
[10]Anonim. “SBY
Perintahkan Tiga Menteri Urus Asset Century”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century/ diakses
tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[11]Purwaning M.
Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi (Bandung, 2007), HAL.90
[14] Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan
Kebijakan Pidana (Bandung, 2005), hal.17
[16]Titik Triwulan Tutik, Pengantar
Ilmu Hukum (Jakarta, 2006), hal.32-33
[17]Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana
(Bandung, 2009), hal.2
[20]Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(Jakarta, 2008) hal. 150
[21]ibid
[24]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173
No comments:
Post a Comment