Breaking News

19 August 2016

PENGEMBALIAN ASSET HASIL TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF TEORI RESTORATIF



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pengklasifikasian kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime mempunyai empat sifat dan karakteristik yaitu: pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisir yang dilakukan secara sistematis Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya.[1]Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan.Keempat, korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk menigkatkan kesejahteraan rakyat.

 
Dana publik di Indonesia yang hilang akibat korupsi sangat besar. Pada tahun 1995, menurut laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah terjadi 358 kebocoran dana negara sebesar RP.1.062 triliun. Pada tahun 1996 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya kebocoran dana 22 departement dan lembaga pemerintah non departemen dengan total senilai Rp 3.22 milliar. Selain itu sepanjang tahun 1995-1996 ditemukan 18.578 kasus korupsi dan penyelewengan dana senilai Rp 888,72 milliar. Pada era reformasi tidak akan berubah menjadi lebih baik dari era sebelumnya dan bahkan lebih buruk. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp.166,53 triliun atau sekitar 50 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2003. Sebagaimana dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Budihardjo Joedono sejak pertengahan 2003 telah ditemukan 22 penyimpangan keungan negara. Dalam semester satu tahun 2004 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pemeriksaan terhadap 377 proyek dan asset senilai Rp.1.312 trlliun. Dari jumlah tersebut menemukan penyimpangan sekitar Rp 37,4 trilliun atau 2,85 persen dari nilai keseluruhannya. Tidak mengherankan jika dalam laporan Tranparansi Internasional Indonesia (TII) sebagaimana diungkapkan dalam siaran persnya dari 146 negara yang disurvey Indonesia masuk dalam urutan kelima negara terkorup di dunia dengan indeks prestasi korupsi 2,0 [2].
Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5) diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand [3]. Dengan makin terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi, mengindikasikan bahwa tingkat kerugian baik di tingkat pusat dan di daerah masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik kleptokrat untuk mencari keuntungan pribadi dengan menggadaikan uang rakyat.
Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas untuk menyesuaiakan diri dengan kondisi keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, subsidi listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara dalam membayar hutang [4]. Jumlah hutang negara sampai bulan juni 2007 mencapai Rp 1.313,3 triliun rupiah yang terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 534,7 triliun rupiah dan surat berharga negara Rp 715,3 triliun rupiah surat-surat berharga valuta asing Rp 63,4 triliun rupiah. Pendapatan negara dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 direncanakan sebesar Rp985,7 triliun rupiah meningkat Rp 90,7 T (10,1%) angka itu lebih rendah dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2008[5].Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi harus berjalan berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi [6].
Asset Bank Century yang belum disita dari Hongkong di antaranya berupa uang tunai Rp 86 miliar serta surat berharga senilai 388 juta dollar AS dan 650.000 dollar Singapura. Jika ditotal, nilai aset tersebut senilai lebih dari Rp 6 triliun[7].Aset Bank Century yang terlacak di Hongkong ditengarai dilarikan bekas pemilik Bank Century, Robert Tantular.Penyitaan asset terpidana kasus Bank Century itu diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 Desember 2010.Robert Tantular pernah mengajukan permohonan kasasi menolak penyitaan asset, tetapi ditolak Mahkamah Agung (MA).

Sementara pemerintah Indonesia sudah meminta Pemerintah Hongkong untuk melakukan perampasan asset milik terpidana kasus Bank Century lainnya, yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Tujuannya, agar Rafat dan Hesham yang sudah diadili secara in absentia itu tidak bisa lagi mengakses aset bekas Century[8].
Mengembalikan asset hasil korupsi yang telah dilarikan atau diinvestasikan ke dalam sistem keuangan ternyata membutuhkan upaya hukum yang harus melibatkan antar sistem hukum yang berbeda.Dalam pengembaliannya jugaharus melalui prosedur dan mekanisme yang rumit. Berbagai pola korupsi yang dilakukan oleh para koruptor biasanya memakai atau memanfaatkan kelonggaran dan celah hukum serta sistem keuangan dalam negara tertentu ketika asset tersebut disembunyikan di negara lain.Dapat dilihat bagaimana penyelesaian upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi pada kasus Hendra Rahardja dan atau asset Bank Harapan Sentosa (BHS). Walaupun pengembalian asset melalui lelang asset, namun tidak diketahui apakah pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hendra Rahardja dan atau Bank Harapan Sentosa (BHS) tersebut kepada negara dilaksanakan secara maksimal[9].
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan khusus dalam menangani kasus korupsi ternyata memang masih terkendala dalam mengawasi aktivitas otoritas-otoritas hukum pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi baik prosedural dan substansial. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), karena secara yuridis Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) jelas tidak tidak mempunyai pijakan hukum yang kuat dalam upaya mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi baik secara prosedural dan substansial.Berawal dari permasalahan tersebut, Penulis sangat tertarik mengangkat wacana pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dikaitkan dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) sebagai badan khusus yang menangani kasus tindak pidana korupsi. Untuk itu Penulis mengangkatnya dalam sebuah makalah dengan judul : PENGEMBALIAN ASSET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI RESTORATIF

B.     Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan permasalahan yang menjadi fokus dalam makalah kami yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengaturan hukum pengembalian asset dalam tinjauan tindak pidana korupsi dalam persepktif implikasi penggunaan teori restoratif?
2.      Bagaimanakah peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan hukum pengembalian asset dalam tinjauan tindak pidana korupsi dalam 
persepktif implikasi penggunaan teori restoratif

A.1 Landasan yuridis dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
Dalam Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 tidak dijelaskan mengenai pengertian pengembalian aset hasil korupsi. Kata “asset dan tidak didefinisikan secara jelas yang didefinisikan adalah istilah “kekayaan” yang berarti : aset dalam bentuk apapun, baik korporal maupun nonkorporal, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset tersebut (Bab I Pasal 2 (d) KAK 2003). Istilah hasil kejahatan didefinisikan sebagai setiap kekayaan yang berasal dari atau diperoleh, secara langsung atau tidak langsung, melalui pelaksanaan suatu kejahatan (Pasal 2 (f) KAK 2003).
Dalam perkara korupsi sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diatur mengenai  pengembalian  asset  hasil   tindak  pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure). Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38. Kemudian melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (5), Pasal 38 ayat (6) dan Pasal 38B ayat (2), dengan proses penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada jaksa pengacara negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menugaskan tiga menteri, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, dan Jaksa Agung Basrief Arief untuk mengurus pengembalian asset terkait tindak pidana kasus Bank Century yang berada di luar negeri. Mereka juga diminta melakukan koordinasi dan mendapat dukungan dari instansi terkait, termasuk Bank Indonesia (BI).Perintah ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2012 yang ditetapkan tanggal 20 Januari 2012[10].

A.2 Mekanisme dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
Khusus terhadap jalur hukum pidanayaitu asset recovery secara tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu :
1.      Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan deliktindak pidana yang dilakukan.
2.      Pembekuan atau perampasan aset dimana menurut  Bab I Pasal 2 huruf f Konvensi Anti Korupsi (KAK) 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawabmengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten.
3.      penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g  Konvensi Anti Korupsi(KAK) tahun 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten.
4.      pengembalian dan penyerahan asset kepada negara korban.
           
Pengembalian asset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54-55 Konvensi Anti Korupsi(KAK) 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melakukan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut :
1)      Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari negara peserta lain ;
2)      Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya, sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum nasionalnya, dan
3)      Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan secara pidana dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.

A.3 Pendekatan teori hukum dalam tinjauan kritis terhadap pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi

1. (Grand Theory)
Teori keadilan restoratif dikemukakan oleh Howard Zehr sebagai penemu teori ini secara umum mengatakan bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia dan hubungan-hubungannya.Kejahatan menciptakan kewajiban untuk membuat keadaan-keadaan tersebut menjadi baik.Keadilan melibatkan korban, pelaku dan komunitas dalam rangka mencari solusi-solusi yang mengedepankan perbaikan, rekonsiliasi dan meyakinkan kembali.Dilanjutkan oleh Walgrave yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari hasil tindak pidana.Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluargannya dapat kembali pada keadaan yang semula seperti sebelum terjadi tindak pidana.Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum.Menurut teori ini pemidanaan meliputi pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk-bentuk lain selain pidana penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.Keadilan restoratif mendeskripsikan keadialan restoratif sebagai paradigm yakni lensa untuk memahami realitas yang terlihat. Selanjutnya Kent Roach Keadilan restoratif sebagai bagian dari teori keadilan harus direkonsialisasikan dengan teori keadilan retributif dalam aplikasinya [11].
2. (Additional Theory)

a. Teori Keadilan Retributif
Dalam pandangan Jan W. De Keijser dikatakan bahwa dalam mengkonsepsikan terkait pemidanaan hanya yang bersalah yang dapat dipidana dan yang bersalah hanya dapat dipidana sebatas ganjaran atas kesalahannya.Menurut H.L.A Hart dikatakan bahwa restribusi dalam distribusi pemidaan adalah balasan yang setimpal atas tindak pidana.Dalam karakter retributivisme memberikan perlindungan kepada individu terhadap pemidanaan yang tidak proporsional dan tidak adil hanya untuk kepentingan kemanfaatan.William Pompeberpendapat retribusi atas kesalahan merupakan justifikasi umum atas pemidanaan.Konsep retribusi didasarkan pada pemahaman atas instuisi kolektif yang dilengkapi dengan gangguan objektif tatanan moral dalam hubungannya dengan kesalahan pribadi pelaku tindak pidana.Tatanan moral sebagai tatanan atas keinginan bebas dari manusia yang terstruktur oleh hukum moral. Menurut Muladi teori retributif teologis dalam tujuan pemidanaan bersifat plural yang menganjurkan mengartikuasikan beberap fungsi sekaligus[12].Menurut Howard Zehr[13]keadilan retributif tindak pidana adalah pelanggaran terhadap negara dan hukum dan keadilan diterapkan dengan cara mempersalahkan dan memberikan rasa sakit, keadilan merupakan perseteruan antara pelaku tindak pidana dengan negara. Menurutnya dalam keadilan ini merupakan paradigma yeng pernah membentuk cara berpikir dan merespons kejahatan. Dalam teori retributif [14]adanya kesalahan merupakan syarat yang paling utama.dan dalam kaitannya terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan terhadap pelaku.
                                                                                                               
b. Teori Utilitrianisme
Menurut George P.Flecther dikatakan bahwa pandangan yang paling sering dikemukakan adalah tentang alasan-alasan moral dalam tradisi anglo-american terkait dengan menggunakan analisis biaya atau keuntungan sebagai penyeimbang persaingan antara keuntungan dan kerugian dalam mengadopsi rencana aksi tertentu.   Menurut Jeremy Bentham dalam pemberian kemanfaatan terkait pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan besarnya pidana tidak boleh melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.Pemidanaan hanya dibenarkan jika mencegah terjadinya tindak pidana yang lebih besar.Pembentuk undang-undang hendaknya membuat undang-undang yang mencerminkan keadilan bagi semua individu. Peraturan perundang-udangan yang baik hendaknya memberikan kebahagiaan yang lebih besar bagi sebanyak-banyaknya masyarakat [15].Jeremy Bentham adalah tokoh dalam teori utilities yaitu aliran yang pada dasarnya menggariskan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengabdi kegunaan yang dapat dinikmati oleh setiap warga masyarakat dalam kadar setinggi mungkin dan sedapat mungkin mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat [16].

A.4 Asumsi teori hukum dalam tinjauan kritis terhadap pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi

1. (Grand Theory)
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar”. Selanjutnya Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar”.
Bertolak dari aturan tersebut Penulis mencoba akan memberikan relevansi antara implikasi penggunaan teori restoratif terkait pengembalian asset hasil tindak tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi sebagai tindakan dan thesa akan berdampak terhadap antithesa akibat yang ditimbulkan. Akibat nyata yang ditimbulkan adalah berupa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Ketika negara mengalami kerugian maka rakyat juga akan terkena resesi perekonomiannya. Kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab bagi negara akanmenjadi terganggu karena modal keuangan negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkurang. Negara dan rakyat merupakan satu kesatuan dalam menciptakan tata kehidupan negara melaksanakan kewajiban dan rakyat menuntut apa haknya. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang telah mendiskriminasikan manusia dalam arti luas dan rakyat dalam arti khusus baik yang telah dilakukan para pelaku korupsi.Negara mempunyai alat para penegak hukum dalam pemberantasan terhadap korupsi.Negara melalui penegak hukum harus mampu menjamin perlindungan terhadap hak rakyatnya.
Dalam teori restoratif di katakan“kejahatan adalah pelanggaran terhadap manusia”.Dalam katagori “pelanggaran” ini lah tanggung jawab negara melalui aparat penegak hukumnya harus mampu mengembalikan hak rakyatnya.“Kewajiban mengembalikan ke suatu keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara” juga menjadi substansi pokok dalam teori ini. Pasca adanya  Konvensi Anti Korupsi (KAK) tahun 2003 telah membuat terobosan besar mengenai pengembalian kekayaan negarayang meliputi sistem pencegahan dan pengawasan hasil tindak pidana korupsi, sistem pengembalian asset secara langsung dan sistem pengembalian asset secara tidak langsung dengan kerjasama internasional untuk dilakukan penyitaan. Negara Indoensia juga telah mengeluarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Aggaints Corruption 2003. Indonesia merupakan bagian dari negara di dunia dan merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setiap ketentuan hukum internasional semua negara harus ikut dan tunduk pada ketentuan tersebut. Dengan demikian dalam kaitannya teori restoratif Negara Indonesia melalui aparat penegak hukum wajib mengambil alih semua asset kekayaan para koruptor hasil tindak piada korupsi yang berada di luar negara. Hal ini bertujuan sesuai dengan tujuan teori restoratif untuk ”keadaan yang lebih baik melalui keadilan bagi korban baik rakyat maupun negara”. Asset kekayaan para koruptor khususnya dari Bank Century di Hongkong yang telah membawa dampak sistemik terhadap perekonomian negara harus segera ditindak lanjuti demi memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas.Asset hasil tindak pidana korupsi merupakan milik secara tidak langsung bagi rakyat Indonesia.Dengan demikian rakyat melalui negara dapat menuntut atas kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Kerugian tersebut akan mempunyai nilai keadilan jika lewat aparat penegak hukum negara dapat mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri.

2. (Additional Theory)
a. Teori Keadilan Retributif
Dalam teori ini terdapat klausula penting dalam mencapai nilai keadilan yang diharapkan masyarakat.Dalam teori retributif dinyatakan “konsep pemidanaan atas kesalahan, pembalasan dan perlindungan terhadap hak individu”.Dengan demikian sebagai telaah dan asumsi dari penulis berpendapat adanya tindakan pidana khsususnya pada Bank Century dengan asset yang terletak di Hongkong telah memenuhi delik hukum, adanya perbuatan dan adanya kesalahan.Dengan demikian para pelaku tindak pidana korupsi tersebut wajib dipidana. Konsep pemidanaan tidak hanya ditekankan kepada subyek pelaku saja, akan tetapi akibat yang ditimbulkan juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Perlindungan terhadap korban individu Penulis maknai adalah rakyat Indonesia yang terkena dampak terhadap kerugian negara yang telah ditimbulkan. Konsep pemidanaan melalui konsep pengembalian asset yang ada di luar negeri merupakan upaya negara lewat  para penegak hukumnya. Tanpa adanya maksud untuk memenuhi keadilan akibat kerugian dari tindak pidana korupsi dan kerugiaan itu akan terjadi pembalasan bagi hak rakyat, maka semua asset yang ada duluar negeri wajib dikembalikan ke negara. Dalam konteks keadilan sosial bagi masyarakat dunia dengan adanya hubungan bilateral antara Indonesi, maka agar saling terjadi hubungan dalam menciptakan tata keadilan sosial negara pihak lain yang telah ada hubungan bilateral dengan Indonesia memiliki kewajiban agar asset yang berada di negara tersebut dapat dikembalikan.

b. Teori Utilitrianisme
Dalam teori ini lebih memberikan prioritas terhadap “kemanfaatan”dan menurut Penulis dalam perspektif kemanfaatan disini dapat dimaknai adanya saling menguntungkan antara hubungan bilateral negara. Sistem hukum yang berbeda tidak akan menjadi persoalan, karena mekanisme pengemabalian asset hadil tindak pidana korupsi sudah dilakukan dengan sistem hukum nasional masing-masing negara. Kemanfaatan yang lain adalah jika proses pengembalian asset dari negara lain khsususnya dari Hongkong dapat dikembalikan ke Indonesia, maka akan menjadi pembelajaran bagi para koruptor bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan hasil tindak pidana korupsinya di luar negeri. Dari segi keuangan negara dengan adanya pengembalian asset dari luar negeri akan menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian rakyat akan mendapatkan segi kemanfaatan, karena perekonomian akan meningkat. Kerugian negara akibat korupsi dapat ditutupi dengan proses pengembalian asset hasil tindak  pidana korupsi tersebut dari luar negeri.

B. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum menjadi tiga yaitu total enforcement, full enforcement dan actual enforcement.Total enforcement adalah penegakan hukum sebagaimana yang dirumuskan atau dituliskan oleh hukum pidana materiil atau hukum pidana substantive atau substantive of crimes. Full enforcement adalah penegakan hukum yang dilakukan secara maksimal oleh aparat penegak hukum.Actual enforcement adalah melakukan penegakan hukum yang tersisa dan belum dilakukan oleh dua tahap tersebut diatas [17]. Kebanyakan ketika akan melakukan upaya pemberantasan korupsi, justru akan dihancurkan oleh oknum yang terdapat dalam sistem birokrasi tersebut. Menurut Wakil Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Denny Indrayana bahwa 5 (lima) aspek dalam mendukung anti korupsi dalam sebuah pemerintahan yaitu sebagai berikut: Pertama, sistem bernegara yang demokrasi. Kedua, regulasi anti korupsi yang membaik.Ketiga, instansi yang baik.Keempat, keberadaan pers. Kelima, adanya partisipasi publik [18].Dengan demikian Penulis akan mencoba mengabolarisakan dengan konsep diatas yaitu aparat penegakan hukum yang terkait dalam upaya pemberantasan korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Makna dari korelasi ini adalah pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegakan hukum yang fokus terhadap pemberantasan korupsi mempunyai kewajiban bersama negara untuk dapat mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi yang berada diluar negeri. Berikut ini Penulis[19]berikan data terkait hasil kerugian negara atas kejahatan korupsi dan peranan  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan korupsi di Indonesia.

Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah sebagai berikut:
Semester I
Semester II
Jumlah kasus: 176
Jumlah kasus: 272
Kerugian negara: Rp 2,1 triliun
Kerugian negara: Rp 1,5 triliun
Jumlah korupsi: 441 orang
Jumlah korupsi: 716


Sektor Korupsi
Sektor Korupsi
Keuangan daerah: 38 kasus
Keuangan daerah: 44 kasus
Infrastruktur: 32 kasus
Infrastruktur: 53 kasus
Sosial kemasyarakatan: 20 kasus
Pejabat pelaksana teknis kegiatan


Aktor
Aktor
Komisiaris atau direktur perusahaan swasta
Karyawan atau staff pemerintah daerah
Kepala kantor atau kabag atau kasubag
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Pejabat pelaksana teknis kegiatan


Penganganan kasus
Penanganan kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): 9
Kepolisian: 25
Kepolisian: 37
Kejaksaan: 137
Kejaksaan: 226

Adapun terkait tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.       koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.      supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.       melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.      melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.       melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a.       mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.      menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.       meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d.      melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.       meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Dasar yuridis tersebut diatas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat digunakan sebagai landasan hukumnya dalam pemberantasan dan pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi.Dalam rumusan Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  terdapat ketentuan: “….harta benda miliknya yang belum didakwakan…”, maksud dari rumusan ketentuan tersebut adalah harta benda milik terdakwa yang belum dimuat dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara a contrario terhadap ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (1) dapat diketahui jika dari hasil penyidikan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata berhasil diungkap tentang harta benda yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi, maka secara pasti harta benda milik terdakwa harus didakwakan dan dimaksudkan dalam surat dakwaan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dalam surat dakwaan belum dimasukan mengenai harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi disebabkan dari hasil penyidikan belum berhasil mengungkap semua atau baru terungkap sebagian saja harta benda milik terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi dan baru dalam pemeriksaan di sidang pengadilan harta benda milik terdakwa terungkap sebagai hasil dari tindak pidana korupsi. Dalam pembuktian harta benda milik terdakwa yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi yang sudah dimasukan dalam surat dakwaan dan sudah dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Pembuktiaannya tetap menjadi kewajiban penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa: “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”[20]. Dengan demikian berarti pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang dimaksudkan dalam Pasal 38 B ayat (1) tidak diberlakukan pada semua pembuktian harta milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi hanya diberlakukan pada pembuktian terhadap harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang belum didakwakan dan belum dimasukan dalam surat dakwaan yang sudah dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B ayat (1) dapat dirumuskan kembali dalam Pasal 38 B ayat (2) yang menentukan bahwa dalam hal terdakwa yang belum didakwakan adalah bukan dari hasil tindak tindak pidana korupsi, maka harta benda milik terdakwa tersebut dianggap diperoleh dan hakim berwenang memutuskan seluruh aau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara, karena hakim oleh Pasal 38 B ayat (2) telah diberi kewenang untuk itu. Akan tetapi sangat perlu diperhatikan bahwa hakim baru dapat memutuskan untuk merampas seluruh atau sebagian harta benda tersebut untuk negara, jika ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 B ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sudah dilaksanakan. Rumusan Pasal 38 B ayat (3) menentukan bahwa tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi yang belum didakwakan sebagaimana dimaksud Pasal 38 B ayat (1) diajukan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat membacakan surat tuntutan pada pokok perkara di sidang pengadilan. Keterkaitan langsung antara Pasal 38 B ayat (3) dengan Pasal 38 B ayat (2) mengenai kewenangan hakim memutuskan tentang perampasan harta benda milik terdakwa, karena hakim tidak dapat mempergunakan wewenangnya untuk  suluruh atau sebagian harta benda milik terdakwa hasil tindak pidana korupsi dirampas untuk negara tanpa adanya atau tidak memberikan kesempatan kepada penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa tersebut. Hal itu karena telah diatur sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (4) dan ayat (5) yang harus lebih dahulu dipenuhi sesudah penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (3). Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat mengajukan tuntutan sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (3) dan dengan demikian juga hakim tidak dapat mempergunakan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2) bilamana persyaratan yang dianut di dalam Pasal 38 B ayat (1) belum dipenuhi. Adapun persyaratan tersebut adalah:
1.        Pada saat berlangsungnya pemeriksaan di sidang pengadilan telah terungkap tentang adanya harta benda milik terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi; dan
2.        Harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi tersebut belum dimasukan dalam surat didakwaan yang belum dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sidang pengadilan [21].
Dengan demikian adanya persyaratan tersebut telah berimplikasi bukan hanya penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan akan tetapi juga mempergunakan persyaratan ysng harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum hakim mempergunakan wewenangnya untuk memutuskan seluruh atau sebagian harta milik terdakwa tindak pidana korupsi dirampas untuk negara. Tuntutan perampasan dari harta benda milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi yang harus dilakukan pada saat dibacakan tuntutannya pada pokok perkara. Dalam tuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memerlukan adanya pembuktian yang konkrit terhadap harta benda milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi, tetapi yang cukup dengan menyatakan ada indikasi bahwa harta tersebut berasal dari hasil tindak pidana korupsi dan hal tersebut dapat diketahui dari pemerikasaan yang telah diketahui di dalam persidangan. Problematika ini dapat berpijak bahwa hanya terdakwa yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan harta tersebut bukan hasil dari tindak pidana korupsi. Disisi lain jika penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyatakan bahwa hasil harta benda tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi dan dirampas untuk negara. Hal itu tetap tidak akan menyalahi aturan hukum, akan tetapi semua tuntutan itu tergantung dari terdakwa mampu atau tidak di sidang pengadilan harta tersebu bukan merupakan dari hasil tindak pidana korupsi. Hal ini telah sesuai dengan isi Pasal 38 B ayat (4) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
“Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi”.
Pembuktian pemerikasaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdakwa tindak pidana korupsi atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Jika di dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata terdakwa tindak pidana korupsi tidak berhasil atau gagal membuktikan bahwa harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi bukan berasal dari hasil tindak pidana korupsi, maka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi dianggap diperoleh juga dari hasil tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Akan tetapi jika di dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata terdakwa tindak korupsi bukan berasal ndari hasil tindak pidana korupsi, maka hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) hakim tidak berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Putusan hakim tentang perampasan seluruh atau sebagian harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi sebagai putusan pidana tambahan putusan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok pada saat hakim memutuskan perkara pokok tindak pidana korupsi.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja ada orientasi untuk menuju ke arah itu yaitu perubahan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang lebih bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia sehingga ke depan akan terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesia [22]. Purwaning Yanuar mendefinsikan pengembalian asset adalah sistem penegakkan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan atau perdata, aset hasil korupsi, baik yang ada di dalam atau di luar negeri,dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi[23].
Dalam suatu negara yang sedang mem­bangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kon­trol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk mela­kukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat[24].Kaitannya dengan upaya pengembalian assethasil tindak korupsi, keberadaan hukum positif belum ada untuk mendukung dalam upaya untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi.Dalam Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi dapat ditempuh dengan jalan yaitu sebagai berikut:
1        Meminta keterangan pada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa (Pasal 12 huruf c);
2        Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait (Pasal 12 huruf d);
3        Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait (Pasal 12 huruf f);.
4        Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 12 huruf g);
5        Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang untuk melakukan penyitaan (Pasal 47); dan
6    Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.

Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi hanya dapat ditempuh melalui jalur pidana.Ketentuan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) tersebut hanya sebatas pelacakan asset, pembekuan, dan penyitaan saja tidak sampai pada upaya pengembalian asset. Upaya pelacakan asset, pembekuan,dan penyitaan dilakukan hanya sebatas untuk penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan saja. Sedangkan pada pelaksanaan tahap pembekuan dan penyitaan tidak untuk pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah pengadilan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) tidak mempunyai tugas dan wewenang.Kelemahan ketentuan di atas, dalam pengembalian asset hasil korupsi akan tampak ketika dihadapkan terkait proses pengembalian asset hasil korupsi yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia. Pada umumnya, di negara lain tempat asset hasil korupsi disembunyikan menggunakan ketentuan untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi harus ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1.      Sebagai objek kajian dalam makalah ini berupa asset hasil tindak pidana yang ada di luar negeri tidak dengan mudah dapat dikembalikan ke negara asalnya. Asset hasil tindak pidana korupsi Bank Century yang ada di Hongkong walaupun lewat aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) negara memiliki kewajiban, akan tetapi terbentur aturan hukum dan sistem hukum dari negara masing-masing. Penulis mencoba menggunakan pendekatan dengan teori restoratif, teori retributif dan utilitarianisme agar asset hasil tindak pidana korupsi dapat dikembalikan ke negara asal.
2.  Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara yuridis dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi yang ada di luar negeri belum ada. Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tugas dan wewenangnya masih terdapat beberap kelemahan dan sulit dalam penerapan terhadap pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi. Dalam aturan tersebut hanya mempunyai tugas dan wewenang untuk pelacakan asset, pembekuan,dan penyitaan dilakukan hanya sebatas untuk penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan saja dan tidak sampai pada pengembalian.Selama ini proses pengelolaan uang hasil korupsi yang disetor ke kas negara tidak dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara luas kepada publik, kecuali cukup dengan laporan tahunan lewat Departemen Keuangan.


B. Saran

1.      Pemerintah hendaknya segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait bagian penting mengenai pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi disertai penambahan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi melalui revisi Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2.      Jika penambahan tugas dan wewenanng melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memungkinkan, upaya membentuk badan khusus yang menangani pengembalian asset korupsi juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah agarproses dan mekanisme penanganannya lebih jelas.
3.      Terkait dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, undang-undang Pemberantasan Korupsi diharapkan memberikan beberapa skenario mekanisme jalur hukum yang dapat ditempuh:Tahap pelacakan asset, tujuan pelacakan aset ini adalah untuk menidentifikasi aset, lokasi penyimpanan,bukti kepemilikan aset, dan hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Pada saat pelacakan aset ini sekaligus mengumpulkan alat-alat bukti.Tahap pembekuan atau perampasan asset. Pembekuan atau perampasan aset adalah larangan sementara untuk mentransfer, mengonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh dibawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan berwenang lainnya.Tahap penyitaan. Penyitaan disini adalah termasuk penyerahan manakala diperlukan, adalah pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas yang berkompeten lainnya.Tahap pengembalian dan penyerahan asset yang disita kepada negara. Untuk dapat mengembalikan asset yang sudah disita, perlu adanya tindakan legislatifmenurut prinsip-prinsip hukum nasional, sehingga badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi.



DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Batubara, Marwan, Dkk. 2007. Skandal BLBI Rame-Rame Merampok Uang Negara. Jakarta: Haekal Media Center.
Bisri,Ilhami.2004. Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, PT. Grasindo Persada.
Djaja, Ermansjah. 2008. MemberantasKorupsiBersamaKomisiPemberantasanKorupsi (KPK). Jakarta: SinarGrafika.
Gie, Kwik Kian. 2006. Pikiran Yang Korupsi. Bogor: Grafika Mardi Juana
Kaligis, OC. 2008. Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi Jilid 1.Bandung PT Alumni Konstitusi. Yogyakarta: UII Press.
Muladi dan Arief,  Barda Nawawi. 1993. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung    : Alumni.
_____________________________. 2005. Teori-TeoridanKebijakanPidana. Bandung: PT ALUMNI Bandung.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. PengantarIlmuHukum. Jakarta: PrestasiPustaka.
Waluyadi. 2009. Kejahatan, PengadilandanHukumPidana. Bandung: Alumni.
Yuniar,Purwaning M. 2007. PengembalianAsetHasilTindakPidanaKorupsi. Bandung: PT Alumni.
Zachrie, Ridwan. 2009. KorupsiMengorupsi Indonesia: Sebab, AkibatdanProspekPemberantasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum

Sumber Karya Ilmiah
Edward Omar Sharif Hiariej. 2012. “Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada pada Tanggal 30 Januari 2012 di Yogyakarta.

Sumber Peraturan Peundangan-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
United Nation Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC)
Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentangPengesahan UNCAC.
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.


Sumber Media Massa
Harian Seputar Indonesia,14 Hovember 2008: hal.6)
Media Indonesia, 27 Oktober 2010, hal.16
Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3
Kompas, 23 Mei 2012, hal.1,6

Sumber Internet
Anonim.SBY PerintahkanTigaMenteriUrus Asset Century, dalamhttp://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century /diakses tanggal 10 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB

Anonim.Perampasan Asset Century di Hongkong, dalamhttp://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/diakses tanggal 9 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB

Anonim.Sita Asset Century di HongkongKejagungTunggu Fatwa MA, dalamhttp://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/diakses tanggal 9 Juli 2012 padapukul 22.00 WIB




[1] Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Jakarta, 2009), hal.264)
[2]OC Kaligis, Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi Jilid 1 (Yogyakarta, 2008), hal.1

[3]Media Indonesia, 27 Oktober 2010, hal.16
[4]Marwan Batubara Dkk, Skandal BLBI Rame-Rame Merampok UangNegara (Jakarta, 2007), hal. xv-xvi
[5]Harian Seputar Indonesia,14 Hovember 2008, hal.6
[6]Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006), hal.10
[7]Anonim, Perampasan Asset Century di Hongkong, dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/ diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB

[8]Anonim, “Sita Asset Century di Hongkong Kejagung Tunggu Fatwa MA”, dalam http://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/ diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB

[9] Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), hal.193

[10]Anonim. “SBY Perintahkan Tiga Menteri Urus Asset Century”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century/ diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[11]Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), HAL.90
[12]Ibid, hal. 28-29
[13]Ibid, hal.90
[14] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung, 2005), hal.17
[15]Ibid, hal.25-26
[16]Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta, 2006), hal.32-33

[17]Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana (Bandung, 2009), hal.2
[18]Kompas, 23 Mei 2012, hal.1,6
[19]Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3

[20]Ermansjah Djaja,  Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Jakarta, 2008) hal. 150
[21]ibid
[22]Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 2004), hal. 126-127
[23]Purwaning Yanuar, Op.cit, hal. 104
[24]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173








[1] Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Jakarta, 2009), hal.264)
[2]OC Kaligis, Praktek Tebang Pilih Perkara Korupsi Jilid 1 (Yogyakarta, 2008), hal.1

[3]Media Indonesia, 27 Oktober 2010, hal.16
[4]Marwan Batubara Dkk, Skandal BLBI Rame-Rame Merampok UangNegara (Jakarta, 2007), hal. xv-xvi
[5]Harian Seputar Indonesia,14 Hovember 2008, hal.6
[6]Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Korupsi (Bogor, 2006), hal.10
[7]Anonim, Perampasan Asset Century di Hongkong, dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/07/05/23035737/Perampasan.Aset.Century.di.Hongkong.Butuh.Proses/ diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB

[8]Anonim, “Sita Asset Century di Hongkong Kejagung Tunggu Fatwa MA”, dalam http://www.jpnn.com/read/2012/07/04/132755/Sita-Aset-Century-di-Hongkong,-Kejagung-Tunggu-Fatwa-MA-/ diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB

[9] Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), hal.193

[10]Anonim. “SBY Perintahkan Tiga Menteri Urus Asset Century”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/01/26/063379803/SBY-Perintahkan-Tiga-Menteri-Urus-Aset-Century/ diakses tanggal 9 Juli 2012 pada pukul 22.00 WIB
[11]Purwaning M. Yuniar, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Bandung, 2007), HAL.90
[12]Ibid, hal. 28-29
[13]Ibid, hal.90
[14] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung, 2005), hal.17
[15]Ibid, hal.25-26
[16]Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta, 2006), hal.32-33

[17]Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana (Bandung, 2009), hal.2
[18]Kompas, 23 Mei 2012, hal.1,6
[19]Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3

[20]Ermansjah Djaja,  Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Jakarta, 2008) hal. 150
[21]ibid
[22]Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 2004), hal. 126-127
[23]Purwaning Yanuar, Op.cit, hal. 104
[24]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1993), hal. 173

No comments:

Designed By Mas Say