Breaking News

20 August 2016

PENEGAK HUKUM DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI



Korupsi tidak terlepas dari adanya pengadilan sebagai wadah dalam memberikan vonis terkait status hukumnhya. Lembaga pengadilan berguna untuk memberikan sanksi pada para pelaku tindak kejahatan baik itu pada tersangka maupun terdakwa. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan
“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”.

Dengan demikian Penulis mengartikan dari pengadilan khusus berpijak dari Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi
Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”.



Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Hal ini berimplikasi bahwa pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang sudah terbentuk di 5 (lima) kota yaitu di Semarang, Surabaya, Jakarta, Makasar dan Medan maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang akan dibentuk di setiap provinsi di seluruh Indonesia kedudukannya di bawah peradilan umum, sehingga akan timbul dualisme pengambilan kebijakan dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Dualisme itu terjadi karena penyidik dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Peradilan Umum penyidiknya berasal dari kejaksaan. Pola keputusan dan kebijakan sebagai upaya pemberantasan korupsi mark up di daerah  juga akan mengalami perbedaan. Jika sinergisitas dan koordinasi dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan putusan yang adil dan mempunyai kepastian hukum, sehingga kepada para pelaku tindak pidana korupsi di daerah dapat menimbulkan efek jera.
Ada tiga (3) pilar para penegak hukum yang seharusnya mampu menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi. Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan umbrella act bagi pihak kepolisian, Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan umbrella act bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan umbrella act bagi kejaksaan agung. Ketiganya harus mampu dan menjaga koordinasi dengan baik akan tetapi dalam fakta mereka justru pengin menonjolkan lembaganya masing-masing. Persaingan dalam upaya pemberantasan korupsi sah dan wajib akan tetapi jangan sampai mengurangi substansi dalam melenyapkan syetan korupsi dari negeri ini. Hal yang ironi adalah jika dalam praktek yang ada justru masih sering terjadi miss communication dan over lapping terkait tugas dan wewenang yang dimilikinya masing-masing. Ketidakprofesionalisme dan pemaknaan yang kurang terhadap hukum juga mempunyai peran penting terkait sinergisitas antar lembaga tersebut.

No comments:

Designed By Mas Say