Korupsi tidak terlepas dari adanya pengadilan sebagai
wadah dalam memberikan vonis terkait status hukumnhya. Lembaga pengadilan berguna untuk memberikan sanksi
pada para pelaku tindak kejahatan baik itu pada tersangka maupun terdakwa. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan
“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk
dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”.
Dengan demikian Penulis mengartikan dari pengadilan
khusus berpijak dari Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yang berbunyi
”Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang
mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung yang diatur dalam undang-undang”.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada
di lingkungan Peradilan Umum”. Hal ini berimplikasi bahwa pengadilan Tindak
Pidana Korupsi yang sudah terbentuk di 5 (lima) kota yaitu di Semarang,
Surabaya, Jakarta, Makasar dan Medan maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang akan dibentuk di setiap provinsi di seluruh Indonesia kedudukannya di
bawah peradilan umum, sehingga akan timbul dualisme pengambilan kebijakan dalam
upaya pemberantasan korupsi di daerah. Dualisme itu terjadi karena penyidik
dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Peradilan Umum penyidiknya berasal dari kejaksaan. Pola keputusan dan
kebijakan sebagai upaya pemberantasan korupsi mark up di daerah juga akan
mengalami perbedaan. Jika sinergisitas dan koordinasi dilakukan dengan baik
maka akan menghasilkan putusan yang adil dan mempunyai kepastian hukum,
sehingga kepada para pelaku tindak pidana korupsi di daerah dapat menimbulkan
efek jera.
Ada tiga
(3) pilar para penegak hukum yang seharusnya mampu menjadi garda terdepan dalam
upaya pemberantasan korupsi. Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan umbrella
act bagi pihak kepolisian, Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan umbrella
act bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-undang No.16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan umbrella act bagi kejaksaan agung. Ketiganya harus mampu dan
menjaga koordinasi dengan baik akan tetapi dalam fakta mereka justru pengin
menonjolkan lembaganya masing-masing. Persaingan dalam upaya pemberantasan
korupsi sah dan wajib akan tetapi jangan sampai mengurangi substansi dalam
melenyapkan syetan korupsi dari negeri ini. Hal yang ironi adalah jika dalam
praktek yang ada justru masih sering terjadi miss communication dan over
lapping terkait tugas dan wewenang yang dimilikinya masing-masing.
Ketidakprofesionalisme dan pemaknaan yang kurang terhadap hukum juga mempunyai
peran penting terkait sinergisitas antar lembaga tersebut.
No comments:
Post a Comment