Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia
menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan
khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang
memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Kehidupan masyarakat Aceh yang
demikian terartikulasi dalam perspektif modern dalam bernegara dan
berpemerintahan yang demokratis serta bertanggung jawab. Tatanan kehidupan yang
demikian merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketahanan
dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan
syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi
salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi
formal penegakan syari’at Islam. Itulah yang menjadi bagian dari latar belakang
terbentuknya Mahkamah Syar’iyah yang menjadi salah satu bagian dari anatomi
keistimewaan Aceh. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas
ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan
kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas
daerah Provinsi Aceh.
Aspirasi yang dinamis masyarakat Aceh bukan saja
dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh,
melainkan juga memberikan jaminan kepastian hukum dalam segala urusan karena
dasar kehidupan masyarakat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang
yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat. Hal demikian menjadi pertimbangan
utama penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.
Pembentukan Kawasan Sabang dengan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2000 adalah
rangkaian
dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, dan menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh serta modal bagi
percepatan
pembangunan daerah lain. Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan
atau keadilan di dalam kehidupan. Kondisi demikian belum dapat mengakhiri
pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan
dalam berbagai bentuk reaksi.
Respon
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melahirkan salah satu solusi politik bagi
penyelesaian persoalan Aceh berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur
penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut
juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan
ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang
tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi
seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan
daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel,
profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluasluasnya itu,
masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan
maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.
Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi
di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun
kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran yang
kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik
secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal demikian adalah sebuah
kemutlakan.
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah dan Gerakan
Aceh
Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru
sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang
damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota
Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan
sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
Anatomi ideal dalam kerangka di atas memberikan konsiderasi
filosofis, yuridis, dan
sosiologis
dibentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang ini mengatur
dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluasluasnya yang
diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam
sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada
dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional
untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.
Oleh karena itu, pengaturan dalam qanun yang banyak
diamanatkan dalam Undang- Undang ini merupakan wujud konkret bagi
terselenggaranya kewajiban konstitusional tersebut dalam pelaksanaan
pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, dan merupakan acuan yang bermartabat
untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri sebagai bagian dari wilayah
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan kewenangan luas yang
diberikan kepada Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota yang
tertuang dalam Undang-Undang ini merupakan wujud kepercayaan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pemerintah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang
berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di
Aceh.
Adanya
ketentuan di dalam Undang-Undang ini mengenai perlunya norma, standar, prosedur,
dan urusan yang bersifat strategis nasional yang menjadi kewenangan Pemerintah,
bukan dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota, melainkan merupakan bentuk pembinaan, fasilitasi,
penetapan dan pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui
pemberiankewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada. Kerja sama
pengelolaan sumber daya alam di wilayah Aceh diikuti dengan pengelolaan sumber
keuangan secara transparan dan akuntabel dalam rangka perencanaan, pelaksanaan,
serta pengawasan. Selanjutnya, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi
masyarakat Aceh dilakukan pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja,
dan pengentasan kemiskinan, dan kemajuan kualitas pendidikan, pemanfaatan dana otonomi
khusus yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan ekonomi
nasional.
No comments:
Post a Comment