Breaking News

22 December 2016

KONSEP KEKUASAAN KEHAKIMAN REFLEKSI ORDE BARU



Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada  Undang-UndangDasar, kepada jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi  kenyataannya selama ini jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang  Dasar 1945 itu belum dilaksanakan secara murni. Sebagai contoh dapat  diajukan, bahwa pasal 24 dan pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 dalam  Penjelasannya secara tegas telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman  ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan  Pemerintah, akan tetapi ternyata dalam praktek dan pelaksanaannya  telah menyimpang dari Undang-undang Dasar, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964 yang memberikan wewenang kepada  Presiden untuk dalam "beberapa hal dapat turun atau campur tangan  dalam soal-soal Pengadilan".

Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 sesuai dengan ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966 juncto No.  XXXIX/MPRS/1968 maka Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat  Gotong-Royong telah mengadakan peninjauan Undang-undang No. 19 tahun  1964 dengan Undang-undang No. 6 tahun 1969 pasal 2 lampiran III nomor  urut 3 yang menghendaki adanya Undang-undang untuk menggantikannya. Dengan dicabutnya Undang-undang No. 19 tahun 1964 tersebut di atas  terjadilah suatu kekosongan, yang akan menghambat jalannya peradilan  pada umumnya. Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk  Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman  yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang yang baru ini selain  bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut di atas, harus pula  menjaga pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu  perlulah dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan PokokKekuasaan Kehakiman yang baru ini, diusahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai  hubungan peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan Undang-Undang Dasar 1945 supaya pelaksanaannya nanti dapat sesuai  dengan Pancasila. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan  kepada Badan-badan Peradilan dengan ketentuan bahwa Undang-undang  tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini akan  merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta  asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum,  Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara  yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya tidak memberikan  keterangan mengenai arti Kekuasaan Kehakiman secara tuntas. Namun ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 dan pasal 25  Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya antara lain  mencantumkan: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah  Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang" dan "Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim  ditetapkan dengan Undang-undang". Maka yang dituju dengan "Kekuasaan  Kehakiman" dalam pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 ialah kekuasaan  Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara  Hukum Republik Indonesia.
Adapun penyelenggaraannya diserahkan  kepada Badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang,  dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta  menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sesuai  dengan yang tercantum dalam Penjelasan Undang-undang Dasar "Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Dalam Undang-undang ini dicantumkan beberapa ketentuan-ketentuan pokok, yang memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang  peradilan, sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menjamin  terlaksananya maksud tersebut sampai mendapat hasil yang diharapkan  perlu adanya penegak hukum dan keadilan selaku badan pelaksana, yang  melakukan tugasnya seadil-adilnya dan tidak memihak. Untuk menjaga,  supaya keadilan dijalankan seobyektif-obyektifnya dimuat dalam  Undang-undang ini antara lain beberapa peraturan yang menentukan:  a.diwajibkannya supaya pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh sekurang-kurangnya tiga orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain;  b.diwajibkannya kepada Hakim yang masih terikat dalam hubungan kekeluargaan tertentu dengan tertuduh, Ketua, Hakim Anggota lainnya,
Jaksa atau Panitera dalam suatu perkara tertentu untuk mengundurkan
diri
dari pemeriksaan perkara itu;  c.pemberian bantuan hukum kepada tersangka terutama semenjak seseorang  dikenakan penangkapan dan atau penahanan;  d.diadakannya kemungkinan untuk mengganti kerugian serta rehabilitasi  seseorang yang ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang  berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya  atau hukum yang diterapkannya. Pada hakekatnya segala sesuatu yang  berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan  keadilan tersebut baik/buruknya tergantung dari pada manusia-manusia  pelaksanaan, in casu para Hakim, maka untuk itu perlulah dalam  Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
ini dicantumkan syarat-syarat yang
senantiasa harus dipenuhi oleh  seorang Hakim yaitu jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan  bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.
Untuk memperoleh Hakim seperti tersebut di atas perlu ada kerja sama
serta konsultasi antara Mahkamah Agung
dan Pemerintah khususnya dalam bidang pengangkatan, pemberhentian, pemindahan, kenaikan pangkat  ataupun tindakan/hukuman administratif, terhadap Hakim-hakim  Pengadilan Umum, sebelum Pemerintah mengadakan pengangkatan, pemberhentian dan lain-lainnya. Dengan demikian, khususnya dalam soal-soal kepegawaian yang bersangkutan dengan Hakim yang dilakukan oleh Pemerintah, Mahkamah  Agung tidak akan ditinggalkan, bahkan akan didengar dan diikut-sertakan. Kerja sama yang dapat berupa usul-usul, pertimbangan-pertimbangan ataupun saran-saran yang dapat diberikan oleh kedua badan tersebut setidak-tidaknya dapat mengurangi kemungkinan timbulnya subyektivisme, apabila soal-soal yang berhubungan dengan kepegawaian Hakim ditentukan  dan dilakukan secara eksklusip oleh satu badan dalam soal-soal pengangkatan, pemberhentian dan lain-lain.
Jaminan tersebut di atas kurang sempurna apabila tidak disertai dengan adanya peraturan-peraturan yang menjamin kukuhnya kedudukan para  Hakim, untuk mana Undang-undang ini mewajibkan kepada Pemerintah untuk mengatur kedudukan, pangkat dan gaji para Hakim dengan peraturan yang tersendiri yang lebih menjamin bahwa Hakim tidak akan dipengaruhi baik materiil maupun karena jabatan. Sedangkan sebagai syarat bathiniyah
kepada para Hakim dalam menjalankan keadilan oleh Undang-undang ini
diletakkan suatu pertanggungan-jawab,
yang lebih berat dan mendalam dengan menginsyafkan kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia  tidak hanya bertanggung-jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan  kepada rakyat, tetapi juga bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha  Esa, yang dalam Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan, bahwa
peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN B
ERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Penegasan bahwa peradilan adalah Peradilan Negara,  dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan  diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapradja atau Peradilan Adat  yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Ketentuan ini
sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis,
melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penetrapan hukum itu
kepada Peradilan-peradilan Neg
ara.
Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam
masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dari
penetrapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan s
ecara wajar. Ketentuan bahwa "PERADILAN DILAKUKAN DENGAN SEDERHANA, CEPAT DAN  BIAYA RINGAN" tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam  Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang  memuat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana. Peradilan dilaksanakan oleh Majelis yang terdiri dari
sekurang-kurangnya tiga orang Hakim. M
engingat bahwa Negara Republik  Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan sulitnya alat-alat  pengangkutan maka bagi daerah-daerah yang terpencil dimana terdapat  kekurangan Hakim, perlu dibuka kemungkinan untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan tersebut di atas.
Agar pengadilan benar-benar menjalankan keadilan demi memenuhi  hasrat dari para pencari keadilan, maka di samping kemungkinan untuk  memohon pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi, dibuka pula  kemungkinan untuk memohon peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Peninjauan
kembali ini dilakukan apa
bila terdapat fakta-fakta atau  keadaan-keadaan yang pada waktu mengadili dahulu belum diketahui.

No comments:

Designed By Mas Say