Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah
tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut,
Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah
satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat,
seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan
Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama ini pungutan Daerah yang berupa
Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi
kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak
provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota
juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang
memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam aturan.
Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak
maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi,
Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi
yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi
kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan
mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak
tersebut dan menetapkan 27 (dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat
dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh
jenis Pajak provinsi.
Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum
memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian
besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana
alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan
pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan
pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah,
dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan
pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang
hampir tidak ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut
oleh Daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh
Daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan
Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan
pungutan pusat dan merintangi arus barang dan
jasa
antardaerah. Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam
Undang-Undang
tersebut
telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya
kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, provinsi tidak dapat
menyesuaikan penerimaan pajaknya.
Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap
dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong
provinsi untuk mengenakan pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan
kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pada dasarnya kecenderungan
Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat
diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan
Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undang-undang memberikan
kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah yang
bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang
mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja
sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang
mengatur Pajak dan Retribusi.
Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan
Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan
Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap
memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak
efektifnya pengawasan tersebut karena Undang-Undang yang ada tidak mengatur
sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan
yang bersifat represif.
Peraturan Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh
Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Pengaturan
kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung
pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan
dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak
adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah
selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan
Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal
kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong
untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak
ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan
Retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah
Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan
retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan
dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah
dalam penetapan tarif.
Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai
dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi
biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan
jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin
masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke
daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan
sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan
basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada,
mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak
yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas
hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga
mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang
Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan
Pajak baru bagi provinsi.
Selain perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga
dilakukan perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi.
Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian
kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan
ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan
dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis
Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang,
Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi,
dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam
penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat
menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi
kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan
dalam
Undang-Undang dari negara. Selain itu, untuk
menghindari perang tarif pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah
bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga
tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor. Pengaturan tarif demikian
diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan
kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu,
dalam Undang-Undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan
seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan
pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenangan
penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor kepada Daerah. Selain itu, kebijakan
tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat
kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk
menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan
seterusnya. Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok.
Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar Pemerintah
dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri
rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah melalui penetapan tarif cukai
nasional.
Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan,
dalam Undang- Undang ini sebagian hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk
membiayai kegiatan yang berkaitan dengan Pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan
sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan
Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan
serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian
dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan
hukum. Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan
pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut
oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk Retribusi, dengan
peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi
selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang memenuhi
kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk
menambah jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk mengantisipasi
penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada Daerah yang
juga diatur dengan peraturan pemerintah.
Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas
pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi
preventif. Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum
dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain
itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi
daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum
dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
ini, kemampuan Daerah untuk
membiayai
kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah
menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah
dan diskresi dalam penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan
kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru akan
memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
No comments:
Post a Comment