Breaking News

21 September 2011

ARTIKEL TENTANG ANALISIS PERUBAHAN UUD 1945


Demi terciptanya suatu perombakan dan percepatan terjadinya konstitusionalisme di Indonesia, ide dan karya tulis yang Bapak Djatmiko hasilkan terkait “pokok-pokok gagasan perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ” sangat menarik dan akan menjadikan perenungan kita bersama. Paradigma-paradigma baru dan gagasan yang solutif yang Bapak hasilkan saya yakin akan memberikan solusi kongkrit bagi upaya penyelesaian problematika sistem konstitusionalisme yang masih carut marut dan belum tersistematis.dengan baik.
Dalam konteks adanya amandemen pada Undang-Undang Dasar yang telah terjadi sebanyak empat (4) kali, menurut saya masih banyak terdapat kelemahan yang menjadikan makin terjadinya overlappning antara lembaga negara yang ada. Hal ini bisa kita lihat dengan makin banyaknya lembaga-lembaga sampiran yang keberadaannya terakomodir di dalamnya. Lembaga sampiran tersebut misalnya memberikan rekomendasi agar terciptanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) (pasal 22E ayat 5), selain itu ada lagi Bank Indonesia yang telah diamanahkan dalam pasal 23D. Hal ini menurut saya akan berimplikasi menjadikan “kecemburuan dan rasa iri” bagi lembaga-lembaga sampiran yang pembentukannya hanya terakomodir dalam Undang-undang. Kalau Undang-Undang Dasar memang sebuah dasar negara yang diagung-agungkan untuk menjadi tolak ukur agar terciptanya sistem konstitusionalisme yang baik, menurut saya dengan adanya lembaga sampiran tersebut akan menajdikan konflik of interest antara lembaga negara yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Dasar dan Undang-undang saja. Menurut saya semua lembaga sampiran yang ada tidak perlu dicantumkan dalam pembentukannya di Undang-Undang Dasar kita, cukup dalam Undang-undang saja adanya lembaga sampiran yang ada merupakan kebodohan dari anggota dewan kita yang tidak mempertimbangkan berbagai aspek ketatanegraan yang ada. Jika substansi dari Undang-Undang Dasar adalah terciptanya konsistensi ketatanegaraan, maka semua amanah yang menjadikan pembentukan lembaga sampiran “harus dihapus dan ditiadakan”.
Dalam wacana sistem presidensiil yang Bapak Djatmiko paparkan dalam karya tulisnya menjadi sangat menarik jika dikaji lebih lanjut. Saya sepakat jika Bapak Djatmiko mengulas dengan detail dan dengan berbagai teori, ya…memang benar bahwa sistim presidensiil setelah amandemen justru menjadikan sistem ketatanegaraan kita menjadi kabur dan rancu. Kerancuan tersebut berawal dari sistem check and balances antara lembaga yang ada. Selain itu juga terkait kontroversi dengan konsep di Indonesia memakai bikameral atau trikameral. Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) justru menjadikan terklamuflasekan sistem ketatanegaraan kita. Hal ini walau sudah diatur dalam Pasal 22D tetap kurang relevan dan tugas yang diberikan masih terlalu terbatas, sehingga fungsi dan peran yang diberikan kurang memberikan kontribusi banyak bagi perkembangan daerah. Menurut saya sistem distrik yang digunakan dalam penjaringan para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kurang tepat, karena mengingat luas dan jumlah penduduk yang ada tidak sama. Agar prinsip bikameral atau trikameral yang digunakan maka Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih baik dihapus dari aturan Undang-Undang Dasar saja. Keberadaaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut saya sudah sudah dapat representative untuk menampung aspirasi rakyat. Walaupun kredibilitas para anggota dewan sangat diragukan dalam memperjuangakan aspirasi rakyat, tapi disini bukan masalah mampu dan tidaknya para anggota dewan akan tetapi terkait kekonsistenan sistem ketatanegaraan kita. Hal yang membuat saya aneh adalah salah satu cirri presidensiil tidak bloeh saling menjatuhkan antara lembaga yang satu dengan yang lain, tapi jika bertolak dari Pasal 7B presiden dapat dijatuhkan oleh lembaga lain. Konsep yang yang dibangun oleh Undang-Undang Dasar terkait sistem presidesiil menurut saya masih kabur. Menurut saya kita memakai konsep campuaran antara parlementer dan presidensiil.
Dalam mengomentari tentang kekuasaan kehakiman, hal tersebut terakomodir dalam Pasal 24 ayat (2) dengan penambahan adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai dewa penyelamat agar tetap tegaknya konstitusi negara, menurut saya hal tersebut merupakan sebuah kemajuan yang baik lembaga-lembaga penegak keadilan telah diberikan payung hukum dalam konstitusi negara kita. Sebuah pertanyaan besar bagaimanakah jika keputusan Mahkamah Konstitusi tidak dijalankan..??? apakah masih ada upaya banding ketika putusan tersebut sudah divonis oleh Mahkamah Konstitusi (MK)..??? dan telah terbukti dalam Pasal 24C keputusannya bersifat final dam mengikat. Hal ini juga telah berdampak badan legislative pun harus tunduk pada setiap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan tidak boleh membantahnya. Hal ini telah terbukti dengan penolakan dari pemerintah dari putusan terkait legalitas Jaksa Agung Hendarman Supanji. Menurut saya keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah sebagai lembaga peradilan dan super power yang tidak dapat diganggu gugat. Hal inilah menurut saya harus ada payung hukum yang lebih kongkrit terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK).
Adanya Komisi Yudisial (KY) dalam Pasal 24B amandeman Undang-Undang Dasar menurut saya adalah legitimasi yang tepat dalam hukum positif ada lembaga yang bertugas untuk mengawasi kinerja hakim. Hal yang tidak saya sepakati adalah lembaga sampiran tersebut keberadaanya jangan dimasukan dalam Undang-Undang Dasar, tapi dalam aturan tersendiri. Jika dari tulisan Bapak Djatmiko mengindikasikan masih kurang relevan adanya Komisi Yudisial (KY), menurrut saya berbeda konteks. Hal ini saya dasarkan bukan masalah tugas dan wewenangya kurang jelas atau terlalu sempit, tapi hal tersebut sudah tepat dalam menjalankan kinerjanya tidak boleh terlalu luas. Jika terlalu luas justru akan menimbulakn overlapping tugas dan wewenang dengan lembaga lainnya. Keberadaan Komisi Yudisial (KY) tepat untuk tetap diperthankan existensinya agar kinerja hakim dapat dikontrol, karena selama ini belum ada lembaga yang diberi tugas untuk mengontrol kinerja hakim.
Dari berbagai tulisan Bapak Djatmiko tersebut saya menankap bahwa paling tepat dan cerdas adalah untuk menentukan sistem ketatanegaraan yang lebih baik untuk mengarah pada konstitusionalisme harus dan wajib untuk diadakan amandemen kelima Undang-Undang Dasar. Hal ini juga saya dasarkan dari pendapat C.F Strong jika konstitusi belum mencerminkan konstitusionalismenya dalam ketatanegaraan, maka jalan satu-satunya adalah perombakan.

No comments:

Designed By Mas Say