Breaking News

21 September 2011

ARTIKEL TENTANG PROBLEMATIK KONTRAK DIPLOMATIK DAN POLITIK ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN REPUBLIK CEKO TENTANG PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA



SUBSTANSI  SECARA GLOBAL TENTANG PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

        Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda P3B adalah perjanjian pajak antara dua negara yang mengenai hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states). (John Hotagoal.2000:hal.3). Adapun tujuan yang ingin dicapai dari kontrak antara kedua negara tersebut adalah untuk mencegah timbulnya pengelakan pajak, memberikan kepastian hukum, pertukaran informasi, penyelesaian sengketa dalam penerapan perjanjian tersebut, non diskriminasi, bantuan dalam penagihan pajak dan penghematan dalam cash flow. Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
 “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”. Dalam memori penjelasannya antara lain dijelaskan bahwa dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak.
       Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dalam pasal 1 Huruf b “Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval)”. Proses berlakunya akan keefektifan tentang kontrak tersebut melalui beberapa tahapan yaitu perundingan, penandatanganan, ratifikasi, pertukaran ratifikasi, dan berlaku efektif. Sesuai dengan permintaan tersebut direktorat jendral pajak untuk menetapkan tanggal dan tempat perundingan kemidian disampaikan kepada pemerintah dari negeri sahabat melalui departemen luar negeri. Kemudian pihak direktorat jendral pajak melakukan penelitian dan analisa tentang draft tentang yang diusulkan oleh pemerintah dari negara sahabat (John Hotagoal.2000:hal.3-4). Jika kedua negara telah sepakat tentang isi draft tersebut maka sejak terakhir pemberitahuan  diratifikasinya kontrak tersebut akan dilakukan pertukaran nota ratifikasi sebagaimana dalam ketentuan P3B itu, tapi untuk keperluan pemajakan P3B baru berlaku efektif sejak awal bulan tahun berikutnya.
         Kedudukan P3B atas undang-undang juga akan membatasi hak pemajakan negara sumber penghasilan yang timbul dari wilayah jurisdiksinya. Hak pemajakan yang harus dibayar sesuai yang ada dalam ketentuan P3B tersebut. Adanya pajak yang di atur oleh hukum nasional tentang aturan besarnya pajak penghasilan lebih bersifat dominan artinya kedudukan P3B bersifat lex specialis terhadap aturan hukum nasional. Jika dalam P3B yang diatur negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas suatu jenis penghasilan yang timbul dari wilayah jurisdiksinya maka ketentuan domestik yang mengatur pajak penghasilan tidak dapat diterapkan.
        Jika ada penghasilan yang timbul dari transaksi yang dilakukan antara penduduk dari Indonesia dengan penduduk dari negara lain, maka perlakuan akan PPh dari transaksi tersebut harus tunduk pada pada ketentuan yang diatur dalam P3B. Kemudian jika dalam P3B tersebut dinyatakan hak pemajakan yang penuh dan pemajakan yang terbatas kepada Indonesia sebagai negara sumber maka bagaimana perlakuan PPh atas transaksi itu diatur dalam undang-undang PPh. Sebaliknya jika dalam P3B Indonesia harus melepaskan seluruh pemajakannya atas penghasilan yang timbul dari wilayahnya maka penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia. Hal itu mengindikasikan jika dalam P3B  dinyatakan bahwa salah satu negara diberikan untuk membayar pajak pajak yang timbul maka negara it dapat menggunakan hak pemajakannya sesuai dengan undang-undang domestiknya dan sebaliknya jika dalam P3B dinyatakan dalam negara itu tidak berhak membayar pajak penghasilan yang dimaksud maka hak pemajakan yang dimilikinya sebagaimana diatur dalam undang-undang domestiknya tidak berlaku.
       Salah satu bentuk usaha tetap yang terdapat dalam P3B juga termasuk dalam bentuk perbankan. Banyak kontroversi tentang penerapannya antara Indonesia dengan pihak luar negeri jika akan saling bekerjasana tentang bentuk usaha tetap perbankan. Salah satu contoh dari kesulitan untuk menerapkan aturan P3B ini adalah praktik transaksi murabahah adalah transaksi jual beli antara penjual barang kepada bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli antara bank syariah dengan  nasabah, sehingga  merujuk pada UU no. 8 / 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua kali. Pertama saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari penjual kepada bank, kedua saat terjadi peyerahan barang dari bank kepada nasabah.
         Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahunn 2000 antara lain diatur bahwa atas penghasilan dan subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :
a.       sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti;
b.      sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan.
         Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia no.79 tahun 1995 tentang Perjanian Penghindaran Pajak Berganda dengan Republik Ceko terdapat beberapa masalah kontrak dalam perpajakan yaitu sebagai berikut:
Pasal 2 ayat 2 “ Sebagai pajak-pajak atas pengasilan dianggap semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan atau unsur-unsur penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh dari pemindah tanganan harta bergerak atau harta tidak bergerak dan pajak-pajak atas jumlah upah atau gaji yang dibayarkan oleh perusahaan perusahaan, demikian pula pajak-pajak atas pertambahan nilai kekayaan”
Pasal 5 ayat 7 “suatu perusahaan asuransi dari negara pihak dalam persetujuan, kecuali dalam hal reasuransi akan dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di negara pihak pada persetujuan lainnya jika perusahaan tersebut memungut premi di wilayah negara lainnya itu atau menanggung resiko yang terjadi disana melalui seorang pegawai atau melalui wakilnya yang bukan merupakan agen yang berdiri sendiri”

Pasal 7 “ Laba perusahaan dari suatu negara pihak pada persetujuan hanya akan dikenakan pajak di negara itu kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan usaha di negara pihak pada persetujuan lainnya melalui bentuk usaha tetap ”

Pasal 12 “ Royalti dapat dikenakan pajak di negara pihak pada persetujuan dimana royalti itu timbul, dan sesuai dengan perundang-undanagn, tetapi apabila penerimaan royalti memperoleh hasil tersebut dari hak yang dimilikinya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi dari jumlah kotor royalty tersebut.”

Pasal 13 ayat 3“Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan kapal laut atau pesawat udara yang beroperasi dalam jalur lalu lintas internasional atau dari harta tak gerak yang berkenaan dengan pengoperasian kapal laut atau peaswat udara tersebut hanya akan dikenakan pajak di negara pihak pada persetujuan dimana perusahaan yang mengoperasikan kapal laut dan peswat  udara tersebut menjadi penduduk ”

KLAUSULA YANG PROBLEMATIK DARI P3B TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HUKUM DI INDONESIA

1.      Tentang kedudukan ikatan hukum dari P3B dan hukum nasional belum ada aturan yang jelas titik tekan dalam penyelesaian ketika ada persoalan. Dalam hukum internasional berlaku azas “The Exhausted Of Local Remidies” yaitu dalam tiap penyelesaian masalah dalan hubungan antara negara harus diselesaikan dengan instrument hukum nasionalnya terlebih dahulu sebelum dengan aturan yang bersifat internasional. Agar tidak membahayakan hukum di Indonesia seharusnya dalam undang-undang perpajakan harus juga diatur tentang mekanisme penyelesaian tentang pajak berganda, sehingga akan lebih jelas kedudukan P3B dengan hukum perpajakan di Indonesia. Permasalahan yang urgen adalah ketika hukum nasional harus tunduk dengan aturan dalam P3B ternyata justru akan merugikan pihak Indonesia dan akan mengurangi pemasukan kas negara. Dengan demikian adanya P3B tersebut akan menghambat efektivitas dari hukum nasional Indonesia.
2.      Dalam aturannya setelah diumumkan hasil ratifikasi masa berlakunya P3B agar ditaati oleh kedua negara, tapi masih terdapat masalah yaitu baru akan dapat dijalankan awal bulan ditahun berikutnya. Hal ini mengindikasikan jika  perusahaan Republik Ceko yang ada di Indonesia tiba-tiba jatuh bangkrut sebelum awal bulan, padahal perusahaan tersebut pasca diumumkannya P3B sudah ada kewajiban untuk melunasi pajak penghasilan yang dibebankan. Fenomena ini akan menjadi celah hukum dari perusahaaan untuk membayar pajak dengan alasan jatuh bangkrut dan ketika adanya pailit dari suatu perusahaan juga belum di atur dengan jelas bagaimana mekanisme penyelesainnya agar walau pun telah jatuh bangkrut tetap akan membayar kewajibannya, sehingga tidak akan merugikan pihak lain.
3.      Dalam pasal 7 dari Kepres No.79 tahun 1995 telah menimbulkan permasalahan yaitu bagaimana jika bentuknya bukan merupakan bentuk usaha tidak tetap?.. Tidak menutup kemungkinan jika perusahaan yang didirikan dari salah satu negara dalam persetujuan mendirikan bentuk usaha yang tidak tetap dan telah mempunyai laba yang besar tapi ternyata justru tidaka dikenakan hak pemajakan.
4.      Dalam pasal 2 ayat 2 dan pasal 13 ayat 3 dari Kepres No.79 tahun 1995 terjadi permasalahan tentang katagori yang menjadi objek dikenakannya pajak penghasilan dengan proses pemindahtanganan, masalahnya adalah jika adanya pemindahtanganan dari bentuk perusahaan yang tidak tetap pada anak cabangnya apakah dapat dikatagorikan dapat dikenakan pajak? Padahal bentuk usaha yang tidak tetap itu masih menjadi problema apakah dapat dikatagorikan karena adanya unsur makelar yang terlibat didalamya (di pasal 6).
5.      Berkenaan dengan objek penghasilan juga terkait dengan pasal 5 ayat 7 tentang perusahaan asuransi, masalahnya yaitu jika perusahaan tersebut tidak mau menaggung resiko jika di dalam negara pihak dalam persetujuan jika terjadi peristiwa yang mengharuskan perusahaan tersebut membayar, maka baik di Indonesia dan dalam aturan P3B belum diatur bagaimana akibat hukum dan sangsi yang harus dilakukan terhadap perusahaan yang telah melanggar aturan P3B tersebut. 
6.      Masalah  pajak berganda  (double taxation) dalam transaksi murabahah  belum dapat dituntaskan, padahal pajak berganda ini merupakan  salah satu satu masalah yang mendasar terkait dengan operasional perbankan di Indonesia.. Murabahah adalah salah satu produk pembiayaan di perbankan syariah yang menggunakan prinsip jual beli. Upaya menjernihkan masalah  pernah dilakukan Bank Indonesia (BI)  dengan melayangkan surat kepada Ditjen Pajak yang intinya berharap agar transaksi murabahah dapat dikecualikan dari pengenaan PPN. Usaha tersebut tidak menemukan titik temu, karena Ditjen Pajak berpendapat kegiatan transaksi murabahah tidak bisa digolongkan sebagai jasa perbankan. Konsekuensinya, ketentuan Pasal 5 huruf d Peraturan Pemerintah (PP) no 144/2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak Dikenai PPN, yang menyatakan bahwa jasa di bidang perbankan termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN, tidak berlaku untuk transaksi murabahah.
7.      Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 beserta penjelasan, diatur bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti. Penghitungan royalti inilah yang juga menjadi masalah tentang jika tata cara penghitungannya antara kedua negara memiliki aturan yang berbeda, walau pun aturan di Indonesia di pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 jumlahnya tidak melebihi 15%, tapi bagaimana jika aturan di Rebublik Ceko melebihi dari 15%. Jika hal itu terjadi maka pihak Indonesia akan banyak dirugukan dan aturan itu juga belum ada sinkronisasi dalam isi P3B.  

INTERVENSI DARI PEMERINTAH UNTUK MEMPERBAIKI SISTEM KEBIJAKAN PERPAJAKAN DEMI PEMBAHARUAN SISTEM EKONOMI DI INDONESIA

        Dalam mengatasi masalah pajak berganda dapat ditempuh dengan dua pendekatann yaitu unilateral approach dan bilateral approach. Maksud dari unilateral approach adalah pencegahan secara sepihak dari  negara yang bersangkutan untuk menghapuskan adanya pajak berganda dengan merevisi atau pun mengubah total dari hukum nasionalnya. Adapun yang dimaksud dengan bilateral approach adalah dengan menggunakan pendekatan antara dua negara atau lebih tentang kewenangan adanya pajak yang harus dikenakan terhadap negara mana saja. (www.pajak.go.id)
       Indonesia merupakan negara yang berkembang dalam menata kehidupan perekonomian negaranya. Ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait hal tersebut yaitu: turut campur dalam penataan kebijakan fiskal dan moneter, menjamin hak kepemilikan, dan menyiapkan infrastruktur pendidikan dasar (Erani Yustika, Ahmad. 2006:hal.23). Hal ini jelas berimplikasi dalam tataran regulasi pemerintah harus dapat membuat kebijakan baru atau pun merevisi dari aturan yang telah ada agar P3B dengan Republik Ceko tidak membawa kerugian pada perekonomian Indonesia dan harus mampu meningkatkan pemasukan kas negara.
      Berkenaan dengan pajak berganda dari bentuk usaha tetap perbankan pemerintah Indonesia harus segera melakukan penghapusan tentang pajak berganda masalah murahabah seperti yang telah dilakukan oleh Negara Inggris lewat Finansial Service Authority (FSA), sehingga investor asing khususnya Republik Ceko tidak akan ragu untuk bekerjasama dengan pemerintah Indonesia. Selain itu tingkat pencapaian asset dari bank tersebut dapat meningkat tiap tahunnya jika tidak segera dihapus maka peningkatan asset yang akan dilakukan bank tersebut akan terhambat. Makin banyaknya investor yang masuk maka akan menambah jumlah pemasukan kas negara. Mengingat aturan hukum nasional akan tunduk pada P3B maka harus diselaraskan dengan aturan yang ada di P3B, dengan demikian penerapan hukum nasional dan P3B tidak akan saling bertubrukan.
      Demi makin banyaknya investor asing yang akan masuk ke Indonesia maka pemerintah harus meratifikasi aturan penghindaran pajak berganda untuk kredit asing, setiap kredit hanya dikenakan satu kali pajak penghasilan (PPh).
Hal ini terkait jika ada pendirian perusahaan bersama antara pemerintah dan negara lain yang pembagian persentase pihak negara lain itu lebih besar, maka jelas jika terkena pajak berganda investor akan enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu pemerintah agar membebaskan pajak baik pajak perseroan, pajak pendapatan dan pajak kekayaan perusahaan investasi. Investor asing masih ragu-ragu masuk ke Indonesia, karena mereka menginginkan kepastiaan terhadap kepastian hukum.
                    

Daftar Pustaka

Hotagoal, John.2000.Pemahaman Praktis Perjanjian Pajak Berganda Indonesia

Dengan Negara-Negara di Kawasan Eropa. Jakarta:Salemba Empat

Starke, J.G. 1995. Penghantar Hukum Internasional.Jakarta: Sinar Grafika

Suandy,Early.2000.Hukum Pajak.Yogyakarta:Salemba Empat

Arief, Barda Nawawi.2001.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
          Penaggulangan Kejahatan.Bandung:PT Citra Aditya Bakti

Zakaria, Jaja. 2005. Perjanjian Penhindaran Pajak Berganda. Jakarta: Raja 
         Grafindo Persada
Bohari.1999. Penghantar Hukum Pajak.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Erani Yustika, Ahmad. 2006. Ekonomi Kelembagaan Defenisi, Teori dan Strategi. Malang: Anggota IKAPI      

UU No.16 tahun 2000 tentang Perpajakan

Peraturan Pemerintah No. 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa

tentang Pajak Penghasilan

Keputusan Presiden Republik Indonesia no.79 tahun 1995 tentang Perjanian Penghindaran Pajak Berganda dengan Republik Ceko

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
http//www.pajak.go.id

No comments:

Designed By Mas Say