Breaking News

21 September 2011

MAKALAH TENTANG PROBLEMATIK DAN TINJAUAN PENGGUNAAN KARTU KREDIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Dengan makin meningkatnya perkembangan transaksi dan keuangan islam dalam kehidupan sehari-hari, maka justru akan menimbulkan problematik baik dalam tinjauan hukum positif dan hukum islam di Indonesia. Banyak terdapat perbedaan pendapat dan pandangan tentang mekanisme penggunaan kartu kredit di kalangan ulama dan umat islam. Secara umum A.F Elly Erawaty dan J.S.Badudu 1 mengartikan kartu kredit adalah suatu bentuk kartu yang dikelurakan oleh Bank atau lembaga lain yang diterbitkan dengan tujuan untuk mendapatkan, barang dan atau jasa secara kredit. Dalam mengatasi hal ini Al-Buti berpendapat ada lima kriteria dalam menentukan kepentingan umum yaitu: Memprioritaskan tujuan syariat, tidak bertentangan dengan Al-Quran, tidak bertentangan dengan Al-Hadist, tidak bertentangan dengan Qiyas, dan demi kepentingan umum yang lebih besar. (Yusdani.2000:76). Hal ini jelas dengan berpedoman dari Al-Buti tersebut, maka dalam penggunaan kartu kredit harus diperhatikan tolak ukur dan parameter agar setiap orang islam dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tetap dalam jalur syariat islam.
        Adapun macam-macam Kartu Kredit yang sering digunakan dalam transaksi keuangan islam yaitu sebagai berikut: (1) Kartu kredit pinjaman yang tidak dapat diperbaharui (charge card), (2) Kartu kredit pinjaman yang bisa diperbaharui (revolving credit card). (www.amir.kamirudin.com/15 Desember 2009). Hal tersebut diatas makanya adalah jika pemilik kartu kredit terlambat membayar tagihannya dalam waktu yang telah ditentukan, maka ia akan dikenai denda keterlambatan dan bila ia menolak untuk membayar maka keanggotaannya akan dicabut. Selain itu kartunya akan ditarik kembali dan persoalannya dibawa ke pengadilan. Pemilik kartu diberikan pilihan cara [1]melunasi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya.
          Dalam fenomena ini menurut penulis berpendapat telah ada terdapat tarik ulur antara hukum positif di Indonesia dan penggunaan kartu kredit dalam transaksi keuangan islam. Dengan demikian akan berimplikasi membuat umat islam mengalami kesulitan dalam menggukannya. Substansi dari tahap operasional kartu kredit adalah sebagai berikut: Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang digunakan oleh pemegang kartu sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (musdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan, Membership Fee adalah iuran keanggotaan dan termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu, Merchant Fee adalah harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan /(ujrah samsarah), pemasaran (taswiq), dan penagihan (tahsil al-dayn), Fee Penarikan adalah penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud), Denda Keterlambatan adalah denda akibat keterlambatan pembayaran akan diakui sebagai dana social. Overlimit Charge adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan tanpa persetujuan penerbit kartu akan diakui sebagai dana sosial. (www.republika.com/15 Desember 2009). Walaupun banyak terjadi masalah dan perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang penggunaan kartu kredit dalam transaksi keuangan, tapi diharapkan prinsip syariat islam akan tetap terjaga dan akan membawa kepentingan umum ke arah yang lebih baik.
B.     Rumusan Masalah
       Dari uraian tersebut di atas maka dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah landasan hukum penggunaan kartu kredit dalam tinjauan hukum islam?
2.      Bagaimanakah tinjauan secara umum tentang prosedur dan mekanisme penggunaan kartu kredit dalam transaksi keuangan islam?
3.      Apakah sajakah problematik penggunanaan kartu kredit dalam transaksi keuangan islam jika ditinjau dari hukum islam dan hukum positif di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Landasan hukum penggunaan kartu kredit dalam tinjauan hukum islam
      Dipandang dari sudut syariat, maka dalam penggunaan kartu kredit ini telah terjadi tolong-menolong yang diperbolehkan dimana pemegang kartu tertolong dalam hal kebutuhan pembayaran dengan uang tunai pada satu sisi dan di sisi lain pedagang juga tertolong. Hal ini disebabkan karena barangnya terjual yang pembayarannya dilakukan oleh perusahaan penerbit kartu kredit, tapi sedangkan perusahaan penerbit atau perbankan menerima komisi atas jasa yang dilakukan. Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan Al-Quran, Al-Hadist dan Ijma. Dalam Q:S Yusuf ayat 72 Allah S.W.T berfirman “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan Aku menjamin terhadapnya”. Secara umum dengan penggunaan kartu kredit akan ada unsur riba,tapi dengan dari inti Al-Quran tersebut dengan kartu kredit justru akan memberikan manfaat pada umat. Secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan oleh syariat islam, selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga, bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran.
     Dalam hal ini transaksi tersebut dianggap batal. Prosentase yang dipotong oleh pihak Bank yang mengeluarkan kartu dari pengusaha. Peraturan Bank Indonesia No : 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Dalam pasal 36 huruf m menyatakan “bank dapat melakukan kegiatan usaha kartu kredit, charge card berdasarkan prinsip syariah”. Fatwa DSN No : 42/DSN-MUI/V/2004 yang menetapkan “Bahwa penggunaan charge card  secara syariah diperbolehkan”. (Dewi,Gemala.dkk.2005:211). Ahli fiqh kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas pendudukan masalah boleh dan tidaknya penggunaan kartu kredit secara tepat berkaitan dengan prosentase pemotongan oleh pihak bank yaitu; mendudukkan sebagai biaya administrasi, mendudukkan sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pedagang dan mendudukkan sebagai kompensasi perdamaian. Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu yang menjadi perdebatan baik dalam fiqih atau pun dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal dalam fiqih islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya halal atau haram serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan dalam memberikan penafsiran tentang penggunaan kartu kredit dalam transaksi keuangan islam.
       Adapun pendudukan masalah yang dipilih dalm pengkajian fiqh kontemporer berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini diperbolehkan dengan catatan harus dibatasi. Pihak yang mengeluarkan kartu kredit ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial jika terjadi keterlambatan pembayaran. Denda semacam ini termasuk riba nasiah yang keharamannya sudah sangat jelas. Dalam mengatasi problematika keterlambatan pembayaran agar tidak dalam katagori riba yaitu dengan memberi kelonggaran terhadap pihak yang berhutang, mengadukan persoalan ke pengadilan dan penyebarkan nama bersangkutan dalam daftar yang telah ditentukan oleh aturan pemerintah.

B.  Prosedur dan mekanisme penggunaan kartu kredit dalam transaksi keuangan islam
          Dalam penggunaan kartu kredit, pembayaran dilakukan oleh perusahaan penerbit kartu kredit untuk kemudian diadakan penagihan dalam jangka waktu tertentu kepada pemegang kartu kredit yang mempunyai saldo minimal dalam rekeningnya. Adapun ketentuan dan batasan dalam penggunaan Charge Card adalah sebagai berikut:
a.       Tidak boleh menimbulkan riba
b.      Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat
c. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan antara lain dengan cara menetapkan pagu)
d.      Tidak mengakibatkan utang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn), dan
e.   Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.(Dewi,Gemala.dkk.2005:211)

             Tata cara yang harus dilalui oleh para nasabah bank khusunya dalam menggunakan kartu kredit telah diatur baik sesuai dengan hukum islam maupun dalam hukum positif di Indonesia. Akad yang dapat dipergunakan untuk syariah Charge Card adalah :
a.       Untuk transaksi pemegang kartu kredit (hamil al-bithaqah) melalui merchant (Qabil al-bithaqah / penerima kartu), yang akan digunakan adalah kafalah wal ijaroh.
b.      Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.
Dalam sistem manajemen operasional perbankan syariah, maka terkait dengan penggunaan kartu kredit harus melalui beberapa tahapan dan bentuk-bentuk perjanjian yang ada di dalamnya yaitu:
a.       Al-Ariyah (perjanjian kredit), maksudnya adalah perjanjian dengan kartu kredit merupakan suatu pembelian yang dilakukan terhadap suatu barang atau jasa yang pembayaran harga atau jasa tersebut dilakukan berangsur-angsur dalam jangka waktu tertentu yang telah mendapat kesepakatan kedua belah pihak. Dalam penggunaan kartu kredit pembayarannya dilakukan pada waktu terjadinya transaksi jual beli oleh perusahaan penerbit kartu kredit untuk digunakan dalam penagihan dengan jangka waktu tertentu kepada pemegang kartu kredit yang mempunyai saldo minimal di dalam rekening.
b.      Al-Wakalah (perjanjian pemberian kuasa), maksudnya adalah adanya penyerahan, pendelegasian dan atau pemberian mandate. Hal ini juga tercantum dalam Q;S Al-Kahfi: 19 yang berbunyi: “Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah dia lihat manakah makana yang lebih baik dan bawalah sebagian makanan itu untukmu”. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa prinsip-prinsip pemberian kuasa dalam pemberian kuasa dalam mekanisme kartu kredit diperbolehkan oleh syariat islam.
c.       Al-Kafalah (perjanjian penanggungan), maksudnya adalah suatu bentuk jaminan yang diberikan oleh penananggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.Q;S Yusuf :12 yang berbunyi “Biarkanlah ia pergi bersama kami besok pagi agar dia bersenang-senang dan bermain-main dan kami pasti menjaganya”. Dalam ajaran ini tersirat jelas bahwa perjanjian pananggungan diperbolehkan dalam sistem penggunaan kartu kredit, karena menurut penulis tetap ada unsur tolong-menolong diantara sesama manusia.
               Prosedur atau mekanisme penggunaan kartu kredit banyak ditinjau dari beberapa segi baik dari pihak pemegang dan hubungan antara para pihak. Berkaiatan dengan pemegang kartu kredit juga mempunyai atura dan batasan yang harus dijalani oleh pihak pemegang yaitu sebagai berikut:
a.       Pemegang kartu mengadakan perjanjian dengan penerbit kartu kredit, lalu penerbit kartu kredit menerbitkan kartu kredit atas nama pemegang kartu dan selanjutnya pemegang kartu kredit dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
b.      Pemegang kartu kredit mengadakan perjanjian jual beli dengan pedagang (merchant)
c.       Pedagang (merchant) menagih pembayaran kepada penerbit kartu kredit dan penerbit kartu mengadakan pembayaran terlebih dahulu atas utang pemegang kartu kredit.
d.      Pada waktu yang ditentukan perusahaan penerbit kartu kredit dapat melakukan penagihan kepada pemegang kartu kredit.
      Berkaitan dengan hubungan para pihak dalam penggunaan kartu kredit  membentuk beberapa hubungan yang tidak boleh untuk ditinggalkan. Hubungan hukum antara penerbit dengan pemegang kartu tidak dirumuskan dalam suatu perjanjian. Hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya dibuat secara baku oleh pihak penerbit. Hal ini akan memberikan beberapa hubunga antara para pihak baik pemegang atau pun penerbit yaitu adalah sebagai berikut:
a.       Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pemegangnya. Hal yang paling dekat bila hubungan ini didudukkan sebagai hubungan jaminan, peminjaman dan penjaminan.
b.      Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pedagang. Hal ini yang paling jelas adalah kedudukan hubungan atas dasar penjaminan dan jaminan.
c.       Hubungan antara pemegang kartu dengan pedagang dan kedudukannya ditentukan oleh jual beli atau penyewaan sesuai dengan karakter yang disepakati antara mereka berdua serta selain itu juga ada sistem hiwalah (pengalihan pembayaran)
C.  Problematik penggunanaan kartu kredit dalam transaksi keuangan islam dari sudut pandang hukum islam dan hukum positif di Indonesia
  Landasan hukum yang berkaitan dengan boleh dan tidaknya penggunaan kartu kredit  dalam transaksi keuangan islam tetap bersumber dari kaidah hukum islam. Dalam Al-Quran dan Al-Hadist walaupun belum begitu jelas tentang keabsahannya, tapi dalam ijtihad yang dikemukakan ulama mayoritas memperbolehkan demi kemaslahatan umat dan kepentingan umum. Dalam pandangan Ahli Tahqieq ijtihad adalah bentuk ijtihad berupa qiyas dan mengeluarkan hukum syara’yang umum dengan mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’dari Al-Quran dan Al-Hadist 2 . Ada beberapa alternatif yang muncul dalam pengkajian. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dalam mengkaji fatwa kartu kredit Islami (Islamic credit card) 3. Hal ini menunjukan bahwa kekutan hukum mengikat dari ijtihad telah diakui di kalangan umat islam yang digunakan dasar dalam melakukan kegitan sehari-harinya. Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk [2]membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Di sisi lain penggunaan kartu kredit diperbolehkan dengan alasan demi kemaslahatan umat. Adapun beberapa pebedaan dari kalangan ulama tentang haram dan halalnya tentang penggunaan kartu kredit ini adalah sebagai berikut:
1.      Hukumnya boleh dan halal
 Dalam Q:S Al-Baqarah:208 Allah S.W.T berfirman “Dan jika orang berhutang dalam kesulitan, maka berilah tanggang waktu sampai dia memperbolehkan kelapangan”. Menurut penulis maka dalam konteks tolong-menolong penggunaan kartu kredit diperbolehkan. Para ulama menganggap bahwa transaksi itu sah dan diperbolehkan, namun komitmennya batal maksudnya adalah apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat  tersebut, karena syarat tidak sahnya  pada dasarnya menurut kaca mata syariat islam sudah batal dengan sendirinya. Dalam syarat ini justru harus dilakukan demi kepentingan umum dam kebaikan bersama. Dasar mereka yang memperbolehkan adalah sebagai berikut: Sabda Nabi Mukhammad S.A.W kepada Aisyah “Ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala’ budak itu tetap milik mereka”. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi Mukhammad S.A.W bersabda kepada Aisyah, “Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan dan perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya’’. Nabi Mukhammad S.A.W bersabda “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian.”
            Dengan berpedoman dari Al-Hadist tersebut diatas maka jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia tidak mau  untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan. Hal ini disebabkan karena adanya pemaksaan dalam penggunaannya dant tidak boleh difatwakan mengenai tidak bolehnya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Selain itu harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut.Dalam makna “sesuka kalian” menurut ulama dapat diberikan makna boleh menggunakan kartu kredit dalam transaksi perdagangan.

2.      Hukumnya tidak boleh dan haram
           Dalam kajian dari para ulama yang berpedoman bahwa transaksi dengan kartu kredit adalah haram dan tidak boleh berasal dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah. Mereka membantah dalil yang digunakan oleh ulama yang memperbolehkan yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda, karena dalam kasus Barirah syarat terse-but mampu dibatalkan oleh Aisyah dengan alasan dianggap bertentangan dengan ajaran syariat islam. Kejadian itu terjadi ketika syariat islam betul-betul masih menjadi panutan dan pedoman yang paling utama. Tidak akan mungkin dapat dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara. Para ulama ini  membantah qiyas dengan transaksi pemakaian listrik dan telepon yang telah dikaitkan dengan diperbolehkannya panggunaan kartu kredit, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia tergantung padanya. Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu, tapi tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.      Secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran.
2.      Adapun dasar yang melandasi tentang mekanisme dari penggunaan kartu kredit adalah dari Peraturan Bank Indonesia No : 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Dalam pasal 36 huruf m menyatakan “bank dapat melakukan kegiatan usaha kartu kredit, charge card berdasarkan prinsip syariah”. Fatwa DSN No : 42/DSN-MUI/V/2004 yang menetapkan “Bahwa penggunaan charge card  secara syariah diperbolehkan”
3.      Dalam realita berkaitan dengan penggunaan kartu kredit telah menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat ulama serta menimbulkan masalah yuridis baik dalam tinjauan hukum islam dan hukum positif di Indonesia

A.     Saran
1.      Sebaiknya dalam penggunaan kartu kredit lebih mengutamakan prinsip-prinsip syariat islam dan menghindarkan unsur riba serta kaidah tolong-menolong harus lebih diutamakan.
2.      Seharusnya mekanisme dan penggunaan kartu kredir diatur secara jelas dalam hukum positif di Indonesia dan dapat diharmonisasikan dengan hukum islam agar tidak akan membuat multi tafsir dari pihak masyarakat yang akan menggunakannya
3.      Dalam menjalankan prinsip-prinsip mekanisme kartu kredit dalam bank dan lembaga keuangan lainnya harus mengutamakan kemaslahatan umat dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
.

Daftar Pustaka

Sumber Hukum Dari Buku
Afdol.2003.Landasan Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan Implementasi
                           Hukum dan Kewarisan Islam. Surabaya: Unair Press
Ash Shiddieqy, Hasbi.1999.Pengantar Hukum Islam.Jakarta:Bulan Bintang
Al-Mushlis, Abdullah. 2008. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta :.Kencana Prenada Media
                          Group
Dewi,Gemala.dkk.2005.Hukum Perikatan Islam Indonesia.Jakarta:Kencana Prenada Media
                          Group
Gemala Dewi SH, LLM, dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana
                               Prenada Media Group
Husein, A.Machnoen dkk.1990.Hukum Islam.Surabaya: Unair Press
Yusdani.2000.Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum.Yogyakarta:UII Press

Sumber Hukum Dari Internet
http//www.mui.or.id/12 Desember 2009


[1] Dewi,Gemala.dkk.Hukum Perikatan Islam Indonesia (Jakarta, Kencana Prenada Media Group:2005),hal.208
[2] Ash Shiddieqy, Hasbi.Pengantar Hukum Islam (Jakarta,Bulan Bintang:1999),hal.63
(3) http//www.mui.or.id diakses tanggal 12 Desember 2009

No comments:

Designed By Mas Say