Breaking News

21 September 2011

ARTIKEL TENTANG ANALISIS DALAM PERSPEKTIF MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi yaitu sebagai berikut:
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
Hal ini menurut saya mengindikasikan dengan adanya junlah ganjil dari  para hakim akan memberikan kemudahan jika dalam suatu hal terjadi deadlock ketika mengadakan musyawarah untuk mufakat. Jika terjadi hal yang demikian maka para hakim tersebut dapat melakukan voting untuk memutuskan perkara tertentu.

Dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi yaitu sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presidendan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syaratsebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194.”
Hal ini menurut saya menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah lembaga negara yang diamanahkan oleh undang-undang mempunyai wewenang penuh dan menentukan dalam memutuskan tentang ada tidaknya pelanggaran pidana yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah celah dan pintu masuk sebagai awal penentu bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberikan putusan akhir pada presiden dan/atau wakil presiden benar-benar dapat dihentikan atau tidak. Tanpa adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak akan dapat memberikan terhadap kasus pelanggaran pidana yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Dalam Pasal 28 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 24 Tentang Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi yang berbunyi yaitu sebagai berikut:

“(1)Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitus dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan
7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.  (4)Sebelum
sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dapat
membentukpanel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim
konstitusi untukmemeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan. “
Dalam ketentuan pasal ini adalah landasan yuridis terkait adanya Disenting Opinion yang dilakukan oleh para hakim. Dengan demiikian aturan ini telah memberikan jalan kemudahan jika terjadi deadlock dalam memutuskan suatu perkara yang ada. Hasil dari musyawarah ini pasti tidak akan menemukan titik temu dan tidak akan terjadi deadlock lagi. Problematik yang timbul adalah apakah hasil musyawarah tersebut harus dicantumkan dalam risalah sidang?. Dengan melihat berbagai putusan yang ada belum pernah dicantumkan terkait hasilnya tersbut, tapi menurut saya logis dan masuk akal karena sifatnya tidak wajib dan itu hanya kewajiban ruang lingkup internal dari para hakim saja.
Dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi yaitu sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha  Esa. (2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; identitas pihak; ringkasan permohonan; pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; amar putusan; dan hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera”
Menurut saya dalam Pasal 48 yang mempunyai substansi pokok terkait putusan yang memuat beberapa klausula dengan penafsiran gramatikal missalkan pada putusan hakim tidak ada kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan “identitas pihak” apakah akibat hukum yang terjadi pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut?. Hal ini jika saya kaitkan dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang konkrti,final dan mengikat, tapi jika klausula tersebut tidak ada?. Menurut pendapat saya walaupun sudah konkrit,final dan mengikat maka tetap dapat dibatalkan dan masih ada kesempatan bagi pemohon untuk melakukan hak uji materi lagi dengan sidang yang diulangi juga. Jika permohonan hak uji kembali lagi tidak diperkenankan justru putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah “inkonstitutional”.
Terkait putusan hakim yang terdiri atas tiga macam yaitu menerima,menolak dan mengabulkan maka terdapat korelasi dengan sifat putusan yang ada harmonisasinya dengan konsep hukum perdata yaitu konstitutif, condemnatoir dan deklaratoir, maka menurut saya timbul pertanyaan, apakah hal konsep perdata dapat diterapkan dengan ranah kinerja dari Mahkamah Konstitusi (MK)? dan apakah Mahkamah Konstitusi (MK) berhak untuk mengeluarkan Putusan Sela?. Dengan demikian menurut analisis saya konsep hukum perdata tidak dapat mutlak digunakan pada putusan yang akan dijatuhkan. Terkait Putusan Sela selama dibentuk sampai sekarang belum pernah terjadi dan belum pernah ada, hal ini menurut saya sangat logis karena wilayah kerja dari Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bersifat public bukan bersifat privat seperti konsep yang ada dalam hukum perdata. Secara makna filosofis Mahkamah Konstitusi (MK) dapat saja menjatuhkan putusan yang sifatnya seperti putusan sela, sebagai contoh menghukum lembaga negara lain tidak menjalankan fungsinya selama belum ada kesalahan yang konkrit yang terjadi pada salah satu lembaga negara. Jikan hal ini diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) justru kewenangannya terlalu jauh, karena mengingat antara lembaga negara bersifat koordinatif tidak instruktif artinya antara lembaga negara yang saru denga yang lain tidak dapat saling melumpuhkan fungsi dari masing-masing kinerjanya. Jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat konkrit,final dan mengikat maka putusan tersebut tidak boleh di uji materi lagi dan masyarakat harus menggunakan undang-undang yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kita memahami dasar dan pertimbangan dijatuhkan putusan yang dimohonkan, bahkan juga mencantumkan disenting opinion sehingga seakan-akan mengikuti proses “pertarungan” gagasan sebelum dijatuhkan putusan.

Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tentang Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi yang berbunyi yaitu sebagai berikut:
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hal ini menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berhak untuk memutuskan undang-undang yang terbentuk setelah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut terbentuk. Dengan demikian putusan yang dilakukan tidak boleh melebihi apa yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi tersebut.
Mahkamah Konstitusi telah menarik perhatian public, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang “kontroversial”. Putusannya tentang terorisme yang menyatakan bahwa undang-undang terorisme tidak dapat berlaku surut terhadap kejahatan bom bali, namun disatu sisi, mengabulkan permohonan terhadap Undang-Undang yang lahir sebelum Mahkamah Konstitusi tersebut ada. Putusannya yang mengabulkan terhadap permohonan pemohon yang melebih yang diminta (ultra petite) dan putusan yang tidak konsisten sebagaimana didalam perkara terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disatu sisi mencabut Pengadilan Ad Hoc Korupsi namun berlaku selama tiga tahun dan memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk membuat Undang-Undang yang mengatur keberadaan Pengadilan Ad hock Korupsi.
Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk memeriksa dan mengadili Undang-Undang setelah lahirnya Mahkamah Konstitusi,tapi Pasl 50 ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apakah pantas Mahkamh Konstutusi mengadili dirinya sendiri?.Problematik ini akan tergantung dari keadilan dan kearifan para hakim konstitusi dalam tiap perkara yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tentang Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi yang berbunyi yaitu sebagai berikut:
“(1)Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia;  kesatuamasyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;  badan hukum publik atau privat; atau embaga negara. (2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:  pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau  materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Dalam ketentuan Pasal 51 ini adalah materi pokok yang menjadi legal opinion dan legal standing bagi para pemohon untuk mengajukan hak uji materi pada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kerugian yang diderikta oleh para pemohon. Menurut saya dalam ketentuan Pasal 51 ini terdapat hak konstitutional yang diderita langsung oleh para pemohon harus ada dan konkrit, karena ini adalah prasyarat khusus yang harus ada untuk menentukan diterima atau tidak hak uji materi yang diajukan pada Mahkmah Konstitusi (MK).

No comments:

Designed By Mas Say