Breaking News

20 September 2011

MAKALAH TENTANG TINJAUAN YURIDIS DALAM PERSPEKTIF KASUS PT NEWMONT NUSA TENGGARA GUNA PENEGAKAN HUKUM ARBITRASE INTERNASIONAL

                                                             BAB 1
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang

Dalam penyelesaian arbitase internasional terdapat beberapa azas yaitu yang pertama Asaz Nasionalitas yang artinya adanya pernyataan dapat atau tidak dikualifikasikan sebagai putusan asing harus diteliti dengan hukum nasional, kedua Azas Resiporitas yang artinya tidak semua ptusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement). Putusan arbitrase asing yang diakui dapat dieksekusi hanya terbatas pada putusan yang diambil di negara asing yang punya ikatan bilateral dan terikat dalam konvensi internasional (Margono Sayud, 2004:hal.133). Dalam penerapan azas tersebut untuk meyelesaikan tiap kasus-kasus perdata internasionl banyak hambatan dan tantangan yang menyebabkan perjalanan dlam penegakan hukum perdata internasional akan berjalan lumpuh dan tidak akan mencerminkan rasa keadilan yang banyak diharapkan oleh masyarakat internasional. 
           Ada lima prinsip yang terdapat di pasal 16 Konvensi New York tentang existensi dari badan arbitrase internasional yaitu: pertama adalah prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional, kedua adalah keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dikritik dalam keptusannya, ketiga adalah menghindari proses pelaksanaan ganda(double enforcement process), keempat adalah penyederhanaan dokumentasi uang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan konvensi dan dalam hal ini hanya mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu keputusan dan kelima adalah pada perjanjanjian ini maka akan lebih komprehensif daripda hukum nasionalnya (Huala, Adolf, 2002:hal.106-107). Waupun telah ada prinsip yang diakaui secara internasional ternyata prinsip yang ada justru di abaikan dan tidak digunakan sebagai landasan dalam tiap penyelesaian kasus perdata internasional. Prinsip tersebut terkadang digunakan sebagai celah untuk melemahkan rasa keadilan hukum  dan menghancurkan kepastian hukum. Walaupun dalam proses penegakan hukum perdata internasional terdapat hambatan, tapi jika azas dan prinsip hukumya teralisasi dengan baik maka keadilan di dunia yang diharapkan pasti tercapai. Badan arbitrase internasional merupakan alat penegakan hukum perdata internasional yang siftanya non litigasi, dengan demikian jalan arbitrase ini akan makin membuka peluang prosesnya lebih mudah, transparan dan bertanggung jawab.
Ada lima teori yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak, jika di dalam kontrak tersebut para pihak tidak dapat menggunakan dan tidak menentukan sisten hukum mana yang akan digunakan dalam meneyelesaiakn sengketa. Kelima teori itu adalah sebagai berikut; Lex loci contractus, lex fori, lex rae sitae, the most characteristic connection, dan the proper law. (Wiwiek Wayuning, dkk.2006:65).
Dalam implementasi terhadap adanya forum arbitrase baik nasional dan internasional terhadap kasus tertentu akan mengalami problematic dan tarik ulur terhadap kedua negara yang terikat dalam perjanjian tertentu. Kasus hukum PT Newmont Nusa Tenggara  adalah bukti bentuk dan  realisasi dengan adanya hukum arbitrase. Penyelesaian kasus tersebut cenderung digunakan dengan konsep hukum perdata internasional. Hasil akhir dari kasus tersebut dengan kemenangan pihak Indonesia diharapkan akan mampu menjadi jurisprudence secara internasional bahwa hukum arbitrase dapat berjalan sinergi dengan hukum nasional antar negara.


B.Rumusan Masalah

            Dari paparan diatas dapat ditarik dengan rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.  1. Bagaimanakah landasan yuridis dalam penyelesaian kasus PT Newmont Nusa Tenggara dalam perspektif hukum arbitrase?
2.     2.  Bagaimanakah solusi dan upaya akhir dalam kasus PT Newmont Nusa Tenggara?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan hukum dalam penyelesaian kasus PT Newmont Nusa Tenggara dalam perspektif hukum arbitrase dan analisis yuridisnya

1.      Kasus PT Newmont Nusa Tenggara  Sebagai Objek Kajian Dari Badan Arbitrase Internasional
Pemerintah melalui Menteri Pertambangan dan Energi akhirnya mengadukan PT Newmont Nusa Tenggara ke badan arbitrase internasional. Pasalnya, perusahaan tambang tembaga tersebut dinilai gagal (default) dalam menjalankan kewajiban divestasi saham untuk tahun 2006 dan 2007 sesuai perjanjian kontrak karya yang diteken pada 2 Desember 1986. Dalam Kontrak tersebut dengan Pemerintah PT Newmont Nusa Tenggara diberi kewenangan untuk mengeksplorasi tambang Batu Hijau di Sumbawa. Luasnya mencapai 1, 667 juta hektar dan merupakan tambang tembaga tersebesar kesepuluh di dunia. Pada saat yang sama sebagaimana yan tertuang di dalam pasal 24 ayat 3. Kontrak karya tersebut disebutkan bahwa saham-saham perusahaan asing harus ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan pertama kepada pemerintah, kedua jika pemerintah tidak menyetujui penawaarn tersebut ditawarkan kepada warga negara Indonesia atau perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia.
Pada pasal 24 ayat (4) juga dinyatakan bahwa jumlah saham yang wajib ditawarkan dan dibeli oleh peserta Indonesia setelah tidak kurang dari 51 % dari saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Dalam pasal tersebut juga diatur bahwa penawaran tersebut dimulai pada tahun kelima produksi dengan besar sekurang-kurangnya: 15% (tahun ke-5), 23% (tahun ke-6), 30 (tahun ke-7), 37% (tahun ke-8), 44% (tahun ke-9), dan 51%(tahun ke-10). Menurut Pemerintah meski saham NNT telah dimiliki oleh PT Pukuafu Indah, namun NNT yang mulai beroperasi tahun 2000 tersebut dianggap gagal (default) melaksanakan divestasi sahamnya untuk tahun 2006 (tahun ke-6) sebesar 3 persen dan tahun 2007 (tahun ke-7) sebesar 7 persen untuk memenuhi jumlah yang tertuang dalam perjanjian kontrak karya di atas.
Pada pasal 21 kontrak karya tersebut, diatur mekanisme penyelesaian perselisihan diantara kedua belah pihak yakni melalui rekonsialiasi atau arbitrase. Rekonsiliasi dalam perjanjian tersebut mengacu pada peraturan-peraturan UNCITRAL yang telah disetujui oleh PBB melalui resolusi 35/52. Sementara arbitrase didasarkan pada UNCITRAL yang telah disetujui oleh PBB melalui resolusi 35/52 pada tanggal 15 Desember 1976 yang berjudul Arbitration Laws of United Nations Commition on International Trade Law.(www.hukumonline.com/  diakses pada tanggal 23 November 2010).
Adapun tentang hak dan kewajiban atau isi perjanjian yang telah di sepakati oleh pemerintah Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara adalah sebagi berikut:
Pasal 2 berbunyi” perusahaan dengan petunjuk sebegai kontraktor tunggal dari pemerintah yang berkenaan dengan wilayah kontrak karya akan dilaksanakan pekerjaan dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam Persetujuan ini termasuk penanman modal di Indonesia dan pembayaran pajak-pajak kepada pemerintah dan akan memperoleh semua pihak yang diberikan kepadanya dalam persetujuan ini, khususnya hak tunggal untuk mencari maan akan dirumuskan lebih lanjut, mengembangkan, menambang secara baik setiap endapan mineral yang ditemukan di dalam wilayah pertambangan, mengelola, memurnikan, menyimpan dan mengangkut dengan cara apa pun semua mineral yang dihasilkan, memasarkan, menjual atau melepaskan semua produksinya di dalam dan di luar Indonesia serta melakukan semua operasi dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mungkin perlu atau memudahkan serta akan dilaksanakan dengan betul-betul memperhatikan persetujuan ini.”
Pasal 13 berbunyi” Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini perusahaan membayar kepada pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti yang ditetapkan sebagai berikut: Iuran tetap untuk wilayah kontrak karya atau wilayah pertambangan, iuran eksplorasi produksi untuk mineral yang diproduksi perusahaan, iuran eksplorasi produksi tambahan atas mineral yang diekspor, pajak penghasilan atas segala jenis yang keuntungan yang diterima atau yang diperoleh perusahaan, pajak penghasilan perseorangan, pajak atas bunga deviden atau royalty, Pajak pertambahna nilai atas pemebelian barang-barang kena pajak,bea materai atas dokumen-dokumen yang sah,bea masuk atas barang-barang yang diimpor ke Indonesia, pajak bumi dan bangunan untuk wilayah kontrak atau wilayah pertambangan, pungutan-pungutan administrasi umum dan pembebanan dan bea yang dikenakan oleh pemerintah daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh pemerintah pusat, pungutan-pungutan administrasi umum dan pembenan untuk fasilitas atau jasa dan hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah sepanjang pungutan dan pembebanan itu telah disetujui oleh pemerintah pusat dan pajak atas pemindahan hak pemilikan kendaraan bermotor dan kapal di Indonesia” (Wiwiek Wayuning, dkk.2006:122-123)
2.      Analisa Kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT)

Penyelesaiaan sengketa melalui arbitrase diatur Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada praktek hukum di Indonesia penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dapat diselesaikan melalui negosisasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Arbitrase sendiri berdasarkan UU No. 30 tahun 99 pasal 1 ayat 1 adalahcara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Adapun jenis sengketa yang dapat menggunakan mekanisme arbitrase terbatas pada bidang perdagangan yang meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Kasus tersebut di atas termasuk dalam katagori pemasalahan di bidang industri.

a.      Landasan yuridis formal dalam penyelesaian kasus PT Newmont Nusa Tenggara

Dalam proses penyelesaian sengketa dari PT Newmont Nusa Tenggara yang dibuat dengan pihak Indonesia juga telah disebutkan dalam pasal 21 yang berbunyi” Pemerintah dan perusahaan dengan ini bersepakat untuk menyerahkan kepada konsiliasi dimana para pihak berkeinginan untuk meminta suatu penyelesaian secara baik dengan cara konsiliasi atau melalui arbitrase, semua sengketa antara kedua belah pihak yang  timbul sebelum atau sesudah pengakhiran persetujuan ini, termasuk perselisihan-perselisihan dimana satu pihak lalai dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk penyelesaian akhir.”. Dari aturan tersebut maka jelas bahwa untuk menyelesaikan perkara yang timbul dapat ditempuh dengan dua cara yaitu konsiliasi dan arbitrase. Jika dengan cara konsiliasi maka harus berpedoman pada United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL) dalam resolusi 35/52 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tapi jika dengan cara arbitrase maka dapat berpedoman pada resolusi 31/98 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL).
       Berkenaan dengan pilihan hukum yang akan digunakan belum di atur dengan jelas hukum Indonesia atau hukum Amerika Serikat yang digunakan jika terjadi perselisihan, tapi jika bertolak dari pasal 32 yang berbunyi”Kecuali ditetapkan lain dalam persetujuan ini pelaksanaan dan operasi persetujuan ini akan diatur dan tunduk kepada dan diyafsirkan sesuai dengan hukum Indonesia”. Jelas titik awal hukum yang digunakan adalah dari hukum Indonesia, hal ini juga sesuai dengan prinsip hukum perdata internasional lex loci contractus yang berarti tempat dimana kontrak tersebut ditanda tangani.
   
b.      Kronologis dan Mekanisme Dasar Gugatan Dari Pihak Indonesia Pada PT Newmont Nusa Tenggara

Dari fenomena yang telah merugikan pihak masyarakat Indonesia, maka dengan aturan yang terdapat di pasal 21 dari kontrak bersama yang telah disepakati, Negara Indonesia mengambil langkah melalui jalur arbitrase dengan alasan dan mengajukan bukti-bukti sebagai berikut sebagai berikut:

1.      Teluk Buyat kebagian warisan lima juta ton limbah yang ditabur ke dasar teluk. Banyak warga di sana sakit dengan kandungan merkuri (Hg) dan arsenik (As), zat beracun yang cukup tinggi pada darah dan rambutnya.
2.      Sejumlah ikan yang ditangkap memiliki benjolan semacam tumor dan mengandung cairan kental berwarna hitam serta lendir berwarna kuning keemasan. Sejumlah penduduk memiliki benjol-benjol di leher, payudara, betis, pergelangan, pantat dan kepala. Bayi-bayi lahir tak normal dan seorang di antaranya malah meninggal dunia saat berumur lima bulan. Dari laporan-laporan penelitian tersebut, ditemukan kesamaan pola penyebaran arsenik (As), antimony (Sb), dan merkuri (Hg) dan Mangan (Mn) yang konsentrasi tertinggi logam berbahaya itu ditemukan di sekitar lokasi pembuangan tailing NMR. Ini mengindikasikan bahwa Sistem Pembuangan Limbah Tailing ke Dasar Laut atau Submarine Tailings Disposal (STD) PT Newmont di Teluk Buyat adalah sumber pencemaran sejumlah logam berbahaya. Sejumlah sampel ikan, dalam beberapa laporan kajian, ditemukan mengandung arsenik dan merkuri alias air raksa yang cukup tinggi.
3.      Adanya sifat racun sulfida dan logam berat seperti merkuri dan arsenik memang terkandung pada tailing PT Newmont Nusa Tenggara, tapi yang mengejutkan ternyata di sana juga pernah terungkap bahwa detoksifikasi atau penghilangan logam toksik yang dilakukan tak stabil. Kandungan racunnya justru meningkat setelah menjadi tailing. Meskipun detoksifikasi telah dilakukan ternyata tailling yang dibuang ke perairan Teluk Buyat masih mengandung sejumlah logam berat berbahaya arsenik dan merkuri.            (www.liputan6.com/ diakses tanggal 23 November 2010)

4.      PT Newmont Nusa Tenggara melakukan pelanggaran terhadap kontrak karya. Perusahaan ini berdasarkan kontrak karya yang ditandatangninya sejak tahun 1986 yang lalu diharuskan melakukan divestasi saham perusahaan kepada pihak nasional secara bertahap hingga 51 % pada ahir tahun ke 10. Hal ini berdasarkan pasal 24 point 4 Kontrak Karya (KK/ 1986) yang dijelaskan bahwa pada akhir tahun kelima perusahaan tambang  PT Newmont Nusa Tenggara harus mendivestasikan sahamnya sekurang-kurangnya  15 %, pada akhir tahun keenam di tahun 2007 sekurang-kurangnya 23 % dan pada akhir tahun ke tujuh sekurang-kurangnya 30 %.  dan seterusnya pada akhir tahun ke delapan dan kesembilan masing-masing 37 persen dan 44 persen. Pada akhir tahun kesepuluh kepemilikan saham nasional pada PT Newmont Nusa Tenggara telah mencapai mayoritas yaitu 51 persen, tatapi hal tersebut tidak dilakukannya dan bahkan pada proses divestasi telah gagal sejak  pertama kalinya yaitu proses divestasi sebesar 3 saham tahun 2007 (www.tempointeraktif.com/  diakses tanggal 24 November 2010)

      Dari berbagi alasan yang telah diajukan oleh pihak pemerintah tersebut jika Indonesia memenangkan kasusnya, maka 50 persen saham akan dimiliki pemerintah pusat, sementara 50 persen lagi milik pemerintah setempat. Setelah melewati berbagai usaha dari pemerintah dengan pengumpulan bukti-bukti yang telah diajukan ternyata tetap saja kalah oleh argument yang disampaikan pihak PT Newmont Nusa Tenggara.
c.       Kelemahan Pembuktian Pihak Indonesia Pada Jalur Arbitrase  Internasional Dalam Penyelesaian Pelanggaran Dari PT Newmont Nusa Tenggara
PT Newmont Nusa Tenggara menawarkan skema pinjaman kepada pemerintah daerah agar hutangnya dapat dibayar dengan deviden yang akan diberikan setiap tahun. Pemerintah  Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah daerah  Kabupaten Sumbawa Barat menolak tawaran, tetapi pemerintah daerah Sumbawa menerima tawaran yang akibatnya memecah koalisi dari ketiga pemerintah daerah. Menurut Penulis adapun sebab-sebab yang menjadi kekalahan pihak Indonesia dalam upaya penyalesaian lewat jalur arbitrase internasional ini adalah sebagai berikut:    
1.      Adanya perpecahan yang terjadi dijadikan alasan bagi PT Newmont Nusa Tenggara bahwa ia telah melakukan upaya mendorong terjadinya divestasi. Terbukti tawarannya diterima oleh salah satu pemerinta daerah yaitu Pemerintah daerah Sumbawa.
2.      Adanya kurang kontrol dari masyarakat luas terhadap jalannya proses arbitase yang dilakukan dan ini juga kesalah darp pemerintah dengan tidak mempublikasikan secara luas pada masyarakat yang menyebabkan perpecahan dari tiga wilayah di Nusa Tenggara.
3.      Bukti-bukti yang diajukan pihak pemerintah Indonesia baik secara tertulis atau pun secara kongkrit belum begitu kuat, sehingga tiap bukti yang diajukan dapat ditanggulangi oleh pihak PT Newmont Nusa Tenggara
4.      Arbiter yang dimiliki ole pihak Indonesia kurang berprofesioanal dan wawasannya kurang luas dalam menangai kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara.
Dalam sudut Pandang hukum menurut Penulis terdapat kelemahan hukum dalam sistem kontrak karya. Kelemahan lain terletak pada  mekanisme penyelesaian sengketa.  Ketentuan Kontrak Karya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pada dasarnya menekankan pada penyelesaian melalui cara-cara perundingan, konsultasi dan konsiliasi. Jika cara-cara tersebut telah dilakukan melebihi jangka waktu 90 hari dan tetap tidak dapat menyelesaikan sengketa , maka para pihak akan menyelesaikannya melalui arbitrase. Tentang arbitrase tersebut juga sangat umum sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda baik mengenai forum penyelesaian sengketa, rules dan procedures yang diterapkan keanggotaan maupun sifat keputusan arbitrase.
Ketentuan tentang penyelesaian sengketa  Kontrak Karya sendiri sama sekali tidak mengacu kepada forum arbitrase dimana sengketa tersebut harus diselesaikan. Bagaimana sifat keputusan yang diambil, apakah final dan mengikat ataukah hanya bersifat rekomendasi hal tersebut juga tidak jelas. Demikian pula  susunan dan keanggotaan  majelisnya, apakah tunggal atau terdiri dari tiga (3) orang juga tidak dijelaskan. Ketidakjelasan ketentuan kontrak karya tersebut akan menimbulkan persoalan baru dalam penyelesaian sengketa kasus PT Newmont Nusa Tenggara
B.     Upaya akhir dalam kasus PT Newmnot Nusa Tenggara
1.      Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Penyelesaian Arbitrase Interbasional

Ada dua perjanjian internasional berkaiatan dengan arbitrase yaitu Convention on the recognition and enforcement of foreign arbitrase awards (Konvesi New York tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan asbitrase asing) dan Convention on the settlement of investments dispute (konvensi penyelesaian invertasi konvensi ICSD / Washington). Dalam perjanjian ini terdapat syarat-syarat berupa “lex arbitre Jika negara tempat keputusan arbitrase akan dilaksanakan dengan menganggap keptusan arbitrase merupaka keputusan domestic, maka keputusan tesebut tidak akan tunduk kepada konvensi New York, kemudian akan ditinjau berdasarkan lex arbitri  dari negara yang bersangkutan yang mungkin memperbolehkan memeriksa materi pokok (merit) dari keputusa tersebut (Agnes, M.Tahar, dkk.1995: hal.31). Berkenaan hal tersebut maka adanya perjanjian New York hanya akan berlaku dan diterapkan terhadap perjanjian dan keputusan domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan diminta. Dua pedoman tersebut merupakan landasan yuridis formal dalam tiap peneyelesaian lewat jalur arbitrase, tapi juga dapat digunakan dengan jalur konsiliasi. Dalam tiap kontrak yang dijalankan dari kedu belah pihak biasanya aturan tersebut selalu dicantumkan untuk mengatasi dan menanggulangi jika ke depannya timbul masalah dari kesepakatan yang telah disetujui bersama.

Berkenaan dengan prosedur penggunaan arbitase internasional adalah sebagi berikut:
1.      Adanya pengajuan permintaan yang diajukan langsung atau melalui suatu komite nasional kepada secretariat arbitrase. Permintaan itu dapat meliputi nama lengkap,keterangan,alamat para pihak, tuntutan penuntut, persetujuan yang khususnya persetujuan tentang piliha arbitase atau dokumen dan informasi lainnya yang dapat menjelaskan sengketa dan hal-hal yang bersifat khusus seperti masalah kebangsaan arbiter atau pun jumlah arbiter.
2.      Melewati kesekretariatan dengan mengirimkan gugatan kepada tergugat untuk mendapatkan jawaban.
3.      Adanya jawaban tergugat dalam jangka waktu 30 hari sejak penerimaan dokumen gugatan harus membuat komentar tentang jumlah arbiter, prosedur pemilihan dan penunujukkan. Bersamaan dengan itu juga harus membuat sanggahan dan melengkapinya dengan dokumen-dokumen yang relevan. Dalam batas waktu yang sama juga harus sudah dikirimkan pada secretariat.
4.      Adanya cuonterplain jika tergugat ingin sekaligus mengajukan sanggahan dalam waktu yang sama, tergugat juga harus mengirimkan sanggahan kepada secretariat
5.      Adanya penerikasaan perkara oleh hakim arbitrase dan dapat dilakukan dengan segera setekah para pihak memenuhi syarat-syarat dan prosedur pendahuluan.
6.      Adanay pemerikasaan akan diakhiri dengan pengambilan keputusan atas persetujuan para pihak. Batas pengambilan keputusan adalah 6 bulan. Keputusan yang telah ditanda tangani hakim akan diberitahukan kepada para pihak oleh secretariat.

Pasal 3 pada perjanjian New York disebutkan”Setiap negeri perserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang diikat di luar negeri mempunyi kekuatan hukum dan malaksanakannya sesuai dengan hukum di mana keputusan itu akan dilaksanakan dan tidak ada aturan siapa yang berwenng mengadili Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung”. Dengan demikian jika berpedoman dari aturan tersebut maka tiap keputusan yang telah dibuat dan ditentukan oleh badan arbitrase internasional harus dijalankan dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pada kedua belah pihak yang bersengketa. Keduanya harus menjalankan keputusan yang telah ditetapkan dan tidak boleh melanggarnya. Pengadilan yang telah memutusakn aturan tersebut juga mempunyai hak memaksakan agar keputusannya dapat ditaati.

Prinsip-prinsip dan batas-batas pilihan hukum yang dapat digunakan oleh para pihak yang saling bersengketa adalah sebagai berikut:
1.      Partijautonomie, menurut prinsip ini para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi termasuk sebagai dasar penyelesian sengketan dari kontrak transaksi yang dibuat.
2.      Bonafide, merupakan suatu pilihan hukum harus didasarkan etikad baik yang bertujuan kepastian, perlindungan yang adil dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi dari ini perjanjian.
3.      Real Conection, merupakan sistem hukum yang mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukan atau didasarkan pada sistem hukum yang dipilih.
4.      Larangan Penyelundupan Hukum, merupakan pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu dengan tujuan sewenang wenang demi keuntungan diri sendiri.
5.      Ketertiban Umum, merupakan pilihan hukum yang tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum maksudnya adalah tidak akan bertentangan sendi-sendi asasi hukum yang ada di masyarakat dan para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupkan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan piliha hukum (Ida, Bagus, W.P,.1997:70-71)
     
 Adapun syarat-syarat yang menjadi tolak ukur dalam penerapan jalan arbitrase internasional berdasarkan UNCITRAL yaitu sebagai berikut:
1.      Jika pada soal penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa para pihak mempunyai tempat yang di negara yang berbeda.
2.       Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar tempat para pihak.
3.       Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak berada diluar para pihak atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang berada di luar para pihak
4.       Para pihak dengan tegas lebih menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak arbitase berhubungan dengan lebih satu negara (Hasanudin Rahman, 2003:357)

2.      Putusan Arbitrase Internasional Dalam Perspektif Kemenangan Indonesia Dalam Forum Internasional

Pemerintah mengklaim telah memenangi arbitrase kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah menyatakan bahwa panel arbitrase memutus bersalah karena telah lalai dalam melakukan divestasi sebesar 17% dari saham yang ada. Dalam pengumuman resmi pada oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan garis besar putusan arbitrase internasional telah memenangkan Pemerintah Republik Indonesia. Ada lima point putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat (3) kontrak karya, menyatakan bahwa Newmont Nusa Tenggara telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan divestasi 17% saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7%  kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT Newmont Nusa Tenggara. PT Newmont Nusa Tenggara diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari. Pemerintah mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default (www. kompas.com/ diakses tanggal 23 November 2010).

3.      Analisis Yuridis Dalam Mekanisme Putusan Arbitrase Internasional Terkait Kasus PT Newmont Nusa Tenggara

Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Sengketa Pasal 65 disebutkan “Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”

Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Sengketa Pasal 67 disebutkan “(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan : a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan”.
           
Menurut Penulis dari dua (2) pasal tersebut bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengakui adanya putusan internasional dengan kemenangan pihak Indonesia. Dengan adanya pengakuan tersebut sudah menjadi legalisasi bahwa keputusan arbitrase tersebut sudah final dan mengikat antara para pihak. Hal ini berimplikasi sudah tidak ada upaya banding dalam penyelesaian kasus tersebut. Dalam mekanisme yang dijalankan telah melalui prosedur hukum yang berlaku dimana proses penyerahan dilakukan oleh para arbiter sebagai pihak pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.      1. Dalam proses penyelesaian sengketa antara PT Newmont Nusa Tenggara dan Pemerintah yang terjadi agar dapat diselesaikan dengan baik, maka dalam sistem hukum perdata internasional ada beberapa teori yang dapat digunakan yaitu; Lex loci contractus, lex fori, lex rae sitae, the most characteristic connection, dan the proper law. Hal ini akan menjadi dasar guna penerapan dalam penyelesaian bagi kasus PT Newmont Nusa Tenggara.
2.   2. Terdapat dua perjanjian internasional berkaiatan dengan penyelesaian melalui jalur arbitrase internasional yaitu Convention on the recognition and enforcement of foreign arbitrase awards (Konvesi New York tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan asbitrase asing) dan Convention on the settlement of investments dispute (konvensi penyelesaian invertasi konvensi ICSD atau Washington). Penyelesaian kasus PT Newmont Nusa Tenggara dapat merujuk pada pasal-pasal yang terdapat didalamnya.
3.     3. Dalam proses penyelesaian sengketa perdata internasional melalui jalur arbitrase maka jika keputusan telah ditetapkan harus ditaati oleh para pihak karena keputusan tersebut bersifat final dan mengikat.
4.      4. Kemenangan pihak dari Indonesia dalam penyelesaian pada forum internasional merupakan bentuk mekanisme arbitrase internasional yang telah ada berdasarkan harus berpedoman pada United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL) dalam resolusi 35/52 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tapi jika dengan cara arbitrase maka dapat berpedoman pada resolusi 31/98 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada United Nations Commision On International Trade Law (UNCITRAL).

B.     Saran

1.   1. Seharusnya upaya penyelesaian dari kasus PT Newmont Nusa Tenggara, sebelum dilakukan dengan forum internasional dapat dilakukan dengan forum hukum nasional agar tidak merugikan salah satu hukum nasional dari suatu negara tertentu.
2.   2. Seharusnya para pihak dalam penyelesaian sengketa harus berdasarkan mekanisme yang tercantum dalam kontrak karya yang telah disepakati oleh pihak PT Newmont Nusa Tenggara dan pihak Indonesia serta harus melalui mekanisme jalur arbitrase internasional.
3.      Putusan yang telah ditetapkan dengan kemenangan pihak Indonesia, sebaiknya dapat ditaati oleh para pihak karena sudah tidak ada upaya banding lagi.

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Adolf, Huala.2002. Arbitrase Komersial Internasional.Jakarta: PT Raja Grafindo
               Persada
Bagus, W.P,Ida.1997.Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
              Transaksi Bisnis Internasional. Bandung:Refika Aditama
Margono, Sayud. 2004. Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase
              Proses Pelembagaan dan Asper Hukum.Bogor Selatan: Ghalia Indonesia
Rahman, Hasanudin.2003. Contract Drafting Seri Ketrampilan Merancabf   
             Kontrak Bisnis.Bandung: PT Citra Aditya Bakti
M.Tahar,Agnes dkk.1995.Arbitrase di Indonesia.Jakarta: PT Ghalia Indonesia

Wayuning, Wiwiek dkk.2006. Perancangan Kontrak dan Memorandum of
            Understanding (MOU). Jakarta: Sinar Grafika

Sumber Aturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sumber Internet
http//:www. kompas.com/ diakses tanggal 23 November 2010

http//:www.tempointeraktif.com/  diakses tanggal 24 November 2010

http//:www.hukumonline.com/  diakses pada tanggal 23 November 2010

http//:www.liputan6.com/ diakses tanggal 23 November 2010


No comments:

Designed By Mas Say