Breaking News

19 September 2011

MAKALAH TENTANG EXISTENSI DAN KONTROVERSI PENGUASAAN TANAH DARI UPAYA LANDREFORM DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
    Reformasi Agraria di Indonesia UUPA tahun 1960 dipandang sebagai strategi untuk menolong sosialisme, sehingga tidak akan ada hak-hak individu terhadap tanah UUPA yang bersifat populisme dengan mengakui hak-hak individual terhadap tanha itu berfungsi sosial. Selama orde baru reformasi agraria diwarnaai dengan arah ideologis yang developmentalism. Reformasi agraria menjadi bagian dari upaya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan membawa kerugian pada reformasi tanah. Alih-alih mengimplementasikan kerugian pada UUPA 1960, orde baru mengarahkan politik agraria dengan empat progran utama yang akan menghasilkan pendapatan pajak pada negara, pertambangan eksploitasi hutan, revolusi hijau dan agro industri (Anu Lounela dkk, 2002:70). Mengingat untuk melakukan reformasi secara besar-besaran dalam sistem pertanahan di Indonesia dalam upaya merealisasikan dari tiap pemerintah sudah berupaya maksimal untuk perubahan dalam tataran yuridis atau pun dalam tataran praktis, tapi realita yang ada belum juga menghasilkan sebuah produk hukum yang mampu menciptakan keadilan yang berpihak kepada rakyat. Tahap demi tahap untuk melakukan revisi terhadap aturan pertanahan juga telah dilakukan, namun hasilnya juga nihil belaka.  Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dibentuk merupakan permulaan dari realiasi program landreform di Indonesia, hal ini juga dperkuat dengan Keputusan MPRS no.II tahun tahun 1960 khusunya pada pasal 4 ayat 3 yang merupakan bagian mutlak dari revolusi Indonesia. Makna revolusi ini juga diperkuat oleh Ir. Sukarno dalam Pidato Gesuri HUT RI Tahun 1963 yang berbunyi”Dari  Sabang Sampai Merauk empat perkataan ini bukanlah hanya satu rangkaian kata ilmu bumi… Bukanlah sekedar menggambarkan suatu geografis… Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan… National Entity… kenegaraan yang bulat kuat… Satu kesatuan tekad… Kesatuan Ideologi yang amat dinamik… Suatu kesatuan cita-cita… Kesatuan sosial yang hidup laksana api unggun… Jikalau ada kalanya saudara-saudara merasa bingung… Hampir berputus asa… Kurang mengerti jalannya revolusi kita yang kadang-kadang seperti bahtera dilautan badai yang mengamuk ini… Kembalilah kepada sumber amanat penderitaan rakyat kita dan disanalah saudara-saudara akan menemui relnya ”REVOLUSI”.
      Jika ditinjau dari tujuan landreform yang disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Agung yaitu “untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani dapat meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat”, selanjutnya landreform juga bertujuan untuk memperkuat dan mempertegas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani (Budi Harsono, 1994:285). Hal ini merupakan teori saja, karena terkadang dalam realisasi dan manivestasi di lapangan akan menyimpang jauh dari tujuan semula dan aturan-aturan uang ada justru akan diabaikan begitu saja.  Tentang penguasaan tanah yang dimiliki oleh rakyat kecil atau golongan tertentu  juga ada aturan yang memberikan rasa keadilan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Hal ini juga disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang berbunyi”Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Adanya aturan dalam pembatasan penguasaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah merupakan upaya memerangi rasa keadilan yang selama ini dinjak-injak oleh para pemilik tanah yang cenderung memanfaatkan tanah-tanah rakyat kecil untuk kepentingan pribadinya. Pemilik modal yang terjadi sekarang ini yang telah terpengaruh oleh sistem kapitalisme akan bertindak sewenang-wenang terhadap tanah yang mereka miliki dan semaunya sendiri dalam memperluas tanah di sekitar yang mereka miliki.
       Berbagai daya upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya UUPA tahun 1960 merupakan wujud kongkrit dalam pembelaan tanah-tanah kepada rakyat dan merupakan gagasan demi sebuah reformasi agraria di Indonesia dari tujuan landreforrm di Indonesia. Diharapkan usaha tersebut dapat membawa perubahan yang signifikan yang akan berpihak pada rakyat. Keadilan pada rakyat itulah yang terpenting, karena tanah merupakan salah satu sumber penghidupan pada rakyat.

B.Perumusan Masalah
    Dari uraian yang telah dipaparkan di atas maka dapat diambil beberapa perumusan masalah yaitu:
  1. Apakah yang menjadi substansi dari pengusaan tanah dalam mewujudkan landreform di Indonesia?
  2. Apakah usaha pemerintah dalam merealisasikan pengusaan tanah agar berpihak pada rakyat kecil?
  3. Bagaimanakah kontroversi dan existensi tentang pengusaan tanah di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.TINJAUAN UMUM TENTANG  LANDREFORM  SEBAGAI  WUJUD MEREALISASIKAN PENGUASAAN TANAH YANG BERKEADILAN
   
   1.Materi, Hakekat dan Tinjauan Tentang Program Landreform di Indonesia
     
1.1  Pengertian landreform secara umum
           
      Tentang pengertian landreform ini dapat dibedakan dalam dua pengertian yang pertama dalam arti sempit bahwa landreform adalah serangkaian tindakan-tindakan guna merealisasikan Agrarian Indonesia, sedangkan dalam arti sempit mengandung arti suatu perombakan mengenai pertanahan, pemilikan dan penguasaan dan hubungan-hubungannya yang bersangkutan dengan pengusaan tanah tersebut.
1.2  Tujuan Landreform di Indonesia

Adapun tujuan dari landreform secara umum adalah sebagai berikut:

  1. Demi usaha untuk melakukan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian ha-sil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial
  2. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan alat pemerasan,  sehingga tidak akan membuat lagi rakyat menjadi sengsara.
  3. Untuk memperkuat dan memperluas hak mi-lik atas tanah bagi setiap warga-negara Indone­sia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak  yang   terkuat, bersifat   perseorangan, dan akhirnya tidak ada lagi pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam urusan pembagian tanah.
  4. Untuk mengakhiri sistem tuan-tanah dan meng-hapuskan pemilikan dan penguasaan tanah se­cara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepa-la keluarga dapat seorang laki-laki ataupun wa­nita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah
  5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan men-dorong terselenggaranya pertanian yang inten-sif secara gotong-royong dalam bentuk kope-rasi dan bentuk gotong-royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani (Eddy Ruchiyat, 1983:16-17)

1.3  Konsepsi Tentang Landreform dari Berbagai Pandangan dan Pendapat

a.      Dewan Pertimbangan Agung di dalam usulannya tentang "Perombakan hak tanah dan penggunaan tanah dan menyatakan, bahwa landreform bertujuan: "agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat."
b.      Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di dalam Ketetapannya No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Beren-cana Tahapan Pertama 1961 – 1969. Dalam pasal 4 ayat 3 disebutkan bahwa : "Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indo­nesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip, bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dija-dikan alat penghisapan."

c.       Wakil Perdana Menteri Bidang Ekubang, Sri Sultan Hamengku Buwono IX di dalam Statementnya tanggal 12 April 1966 tentang Politik Ekonomi Dalam Negeri menyata­kan antara lain sebagai berikut: "'
"Dalam rangka meningkatkan pertanian rakyat, maka soal land-reform merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mem-nerbesar "rechtszekerheid" mengenai pemilikan tanah buat para petani dan dengan demikian untuk memperbesar kegai-rahan bekerja baginya."
"Dalam waktu yang lampau pelaksanaan landreform sebenar-nya lebih banyak menjadi suatu saluran gerakan politik dari sesuatu golongan politik dan tidak menjadi usaha ke arah ke-adilan dan kemakmuran, seperti yang difahami oleh masya-rakat petani pada umumnya."
"Pelaksanaan landreform itu sebaiknya dilakukan terutama dengan tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu mempertinggi pro­duksi pertanian dan mempertinggi hasil yang jatuh dalam ta-ngan para petani yang berhak menerimanya."
d.      Presiden  dalam  pidatonya  untuk  menyambut Landreform mengatakan, bahwa:
"Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagi-an yang mutlak dari Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong-besar tanpa isi".
1.4 Konsepsi Dan Sejarah Lanreform Sebagai Titik Awal Untuk Menciptakan Keadilan Dalam Sistem hukum pertanahan di Indonesia
      Sejak mulai diselenggarakannya landreform pada permu-laan tahun 1961 dan lebih-lebih setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September PKI sering kali dikemukakan anggapan bahwa landreform yang diselenggarakan itu adalah gagasan PKI, jadi suatu konsepsi komunis. Dengan telah dibubarkannya PKI dan dilarangnya ideologi komunis maka menurut mereka   itu,   pelaksanaan   landreform   tidak   perlu   dilanjutkan lagi. Bahkan tanah-tanah yang telah diredistribusikan kepada rakyat tani penggarap menurut mereka harus dikembalikan ke­pada pemiliknya semula. Tindakan-tindakan ke arah itu sudah tampak  di   beberapa  daerah.   Ini   suatu   pandangan  yang  keliru. Landreform yang diselenggarakan di Indonesia bukan kon­sepsi PKI, melainkan konsepsi revolusi Indonesia yang bertujuan mencapai masyarakat sosialis Pancasila. Demikian Direktur Jenderal Agraria dan Transmigrasi, Laksamana Muda Laut Soejono Soeparto di dalam Pidatonya di dalam sidang Panitia Landreform Propinsi Sumatera Utara di Medan pada tanggal 23 Nopember 1966. Hal itu terbukti pula dari Ketetapan MPRS dalam Sidang Umumnya ke-IV tahun 1966 yang memerintahkan di dalam pasal 31, agar pelaksanaan transmigrasi diperhebat dan penyelesaian landreform dipercepat.
     Negara-negara komunis seperti Sovyet Uni dan Republik Rakyat Cina memang pernah menyelenggarakan landreform, tetapi banyak negara yang lain pun juga menyelenggarakannya seperti:   India,  Pakistan,   RPA,  Irak,  Iran  dan  banyak  lainnya lagi. Penyelenggaraan    landreform   di   daerah-daerah   yang   sedang berkembang  memang dianjurkan  oleh  PBB, Jadi keadaan sosial ekonomi dan kependudukan di nega­ra-negara berkembanglah yang mendorong diadakannya land-reform untuk pembangunan ekonomi negerinya, yang telah menderita akibat kesalahan dalam sistem pemilikan tanah di negara-negara tersebut. Oleh karena itu Majelis Umum PBB telah berketetapan hati untuk mempelajari pengaruh keadaan sistem agraria yang berlaku yang merintangi pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang dan menerapkan petunjuk-petunjuk ter-tentu dari Pemerintah yang bersangkutan. Bukti lainnya, bahwa landreform bukan monopoli komu­nis atau bertujuan untuk memberi landasan bagi pembentuk-an masyarakat komunis, adalah motip atau pertimbangan yang menggerakkan Jenderal Mac-Arthur untuk memerintahkan pe-'nksanaan landreform di Jepang, yang pada prinsipnya hampir sama dengan landreform di Indonesia.
      Program landreform di Jepang pada asas-nya tidaklah berbeda dengan yang diselenggarakan di Indone­sia. Berlainan benar dengan landreform di Sovyet Uni yang di-nyatakan didalam, tapi kalau di Jepang dan Indonesia kepada bekas pemilik ta-nah diberikan ganti kerugian dan kalau di Indonesia dan Jepang tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah diretribusikan kepada para petani penggarap dengan hak milik dengan memungut uang pemasukan, maka di Sovyet Uni berbeda. Landreform Indonesia justru bertujuan memperluas pe-milikan tanah para petani kecil, petani penggarap dan buruh tani. Kalau landreform di Sovyet Uni menghapuskan hak mi­lik perorangan atas tanah, UUPA tetap mengakui hak milik itu. Dengan bertolak dari pelaksanaan landreform secara konsekwen PKI dengan BTI-nya dalam masa proloognya G-30-S melancarkan aksi-aksi sepihaknya yang justru mengakibatkan bentrokan-bentrokan fisik dan sengketa-sengketa di mana-mana yang menghambat pelaksanaan landreform. PKI tidak menghendaki landreform menurut konsepsi nasional yang tercantum di dalam berbagai undang-undang yang ada, akan tetapi berusaha memaksakan konsepsinya, yang sudah barang tentu mendapat tantangan dari golongan-golongan lain, karena yang menjadi dasar bukan lagi pancasila jadi sangat dikhawatirkan akan merugikan rakyat.

2.Substansi Panca Program di Indonesia
       Panca program yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan titik pangkal untuk meralisasikan sistem reformasi agraria di Indonesia yang tercover dalam produk hukum landreform. Panca program ini merupakan kerangka acuan untuk menerapakan nilai-nilai positif yang terkandung dalam landreform tersebut. Mengenai uraian lebih lanjut akan dibahas sebagai berikut:

         2.1 Suatu program revolusi dari hukum agraria dengan di dahuluinya tahapan adanya proses unifikasi yaitu menyatukan bahan-bahan hukum agrarian yang masih bersifat pluralisme menjadi seragam dan satu yang bersifat seperti hukum nasional, hal ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum.
         2.2 Program yang bertujuan untuk menghilangkan sifat-sifat yang berbau produk kolonial dalam sistem hukumnya dihilangkan total agar hukum itu mempunyai ciri khas produk dari Indonesia, selain perombakan dari sistem hukumnya maka unsur-unsur asing berupa hak-hak orang asing yang pernah diterapakan juga harus dihilangkan.
        2.3 Dihapus sekaligus diakhirinya sistem-sistem dan praktek feodalisme yang pernah hidup dan berkembang selama masa kolonial, hal ini bertujuan untuk melindungi tanah yang dimiliki oleh rakyat agar tidak lagi dieksploitasi terlalu berlebihan dari kaum feodal, jika bertolak dari pendapat ahli hukum EL-GHONEMY otoritas pada penguasaan tanah hanya didominasi oleh pihak feodal saja maka dari itu diakhirinya sistem feodal ini akan lebih menekan adanya praktek tanah yang tidak berpihak pada rakyat.
        2.4 Adanya perombakan dan pembaharuan dalam sistem kepemilikan atau penguasaan tanah yang berhubungan dengan payung hukumnya, artinya setelah adanya UUPA tahun 1960 dapat mewujudkan moment opname dari substansi UUPA tersebut dengan demikian jaminan keadilan yang berpihak pada rakyat kecil khususnya dapat terlaksana. Hal yang paling signifikan dapat terwujudnya pemerataan dalam pemilikan tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia
       2.5 Adanya program implementasi dan menivestasi dari pasal 33 UUD 1945 yaitu berupa bumi,air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang ada dalam pengasaan pemerintah, tapi arti penguasaan ini jangan diartikan secara negatif parsial maksudnya adalah penguasaan dari pemerintah ada batasan-batasan (mengelola, merencanakan dan adanya sistem pengawasan tentang pemanfatannya). Hal yang paling signifikan adalah tidak ada pengusaan atau pemilikan mutlak dari pemerintah. Sistem pengelolaan dari negara ini akan tetap ditujukan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini juga di dukung oleh pasal 8 UUPA dan pasal 48 UUPA tentang hak guna usaha. TAP MPR No. IX/MPR/2001 adalah penunjang regulasi demi terwujudnya perencanaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam. Berawal dari inilah pemerintah telah memberikan contoh tentang pengusaan tanah milik rakyat tidak dikelola dengan sewenang-wenang, sehingga pemilikan tanah yang harus dimiliki seseorang juga harus ada batasan-batasan khusus dalam penggunannnya agar tidak mengganggu fungsi social masyarakat.


B. JENIS-JENIS TANAH DAN PROBLEMA  SISTEM PERTANAHAN YANG ADA DI INDONESIA

1.      MONOPOLI  TANAH  PERTANIAN
      Hukum Pertanahan di Negara kita dengan berlakunya Undang-undang   nomor 5 Tahun   1960, sangat mengagungkan asas-asas sosialisme dalam bidang pertanahan, hal ini dapat tercermin dengan adanya larangan untuk memonopoli tanah pertanian. Sedang pada Agrarische Wet, Agrarische Besluit yang rau-lai berlaku tanggal 16 April 1872 dan Domein Verklaring (peng-ulangan Agrarische Besluit di daerah masing-masing), juga da­lam KUH Perdata (BW) khusus mengenai pertanahan, monopoli atas tanah ttfak merupakan larangan, inilah yang menyebab-kan masalah pada waktu UU no. 5 tahun 1960 mulai diberlakukan di Indenesia dan banyak para pemilik tanah yang melebihi batas kepemilikan yang diwenangkan oleh UU no. 5/1960 (± 5 hektar untuk tanah pesawahan) melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bijaksana demi untuk tetap mempertahan-kan luas tanah yang telah dimilikinya, sedangkan di pihak para petani bukan pemilik tanah di bawah anjuran BTI telah me­lakukan okupasi-okupasi liar untuk menduduki dan menguasai tanah milik orang lain, terutama tanah-tanah milik yang mele­bihi batas kewenangan pemilikan tanah.
    Monopoli Tanah artinya menguasai sejumlah luas tanah demi untuk kepentingan pribadi, selanjutnya mendayagunakan atau tidak mendayagunakannya tergantung dari kebijaksanaan. pemilik, memelihara atau tidak memeliharanya terserah kepada kehendak si pemilik. Monopoli ini menimbulkan hasrat untuk lebih meluaskan hak kepemilikan atas tanah, sehingga sejumlah luas tanah berpusat pada pemilikan seseorang. Adanya tuan-tuan tanah adalah sebagai akibat diperkenankannya monopoli ini, sehingga terjadilah perbedaan kehidupan di antara para petani, yaitu:
a. Tuan Tanah atau petani yang memilik sejumlah luas tanah, mereka ini sering melakukan perbuatan sewenang-wenang atas tanah yang dimilikinya serta melakukan pemerasan-pemerasan terhadap petani lainnya terutama petani yang dikerjakan untuk kepentingannya.
b. Petani biasa, mereka yang memilili sejumlah kecil luas ta­nah, yang mendayagunakan tanahnya dengan keringat sendiri beserta keluarganya.
c. Petani yang sama sekali tidak memiliki sebidang tanah, yang lazimnya menjadi buruh atau penggarap tanah milik orang lain yang pada waktu itu selalu memperoleh pem-bagian hasil garapannya yang kurang/tidak sesuai diban-ding dengan hasil yang diperoleh si pemilik tanah itu. Adanya monopoli atas tanah itu, dalam beberapa segi kehidupan memang telah atau selalu menimbulkan dampak negatif seperti yang telah dikemukakan di atas. Sehubung-an dengan ini maka UUPA telah menegaskan bahwa mono­poli tanah dilarang, dan tanah sedapat mungkin didayaguna-kan oleh pemiliknya.
       Memonopoli  tanah atas dasar kepemilikan (hak  milik) jelas  pada  waktu  sekarang  berdasarkan  Hukum  Pertanahan atau UUPA yang berlaku telah dilarang, tetapi karena monopoli tanah itu dapat pula terjadi sehubungan dengan diperolehnya hak opstal (pasal 711 BW dan seterusnya), hak erfpacht (pasal 720 BW dan seterusnya) vruchtgebruik (pasal 756 BWdan se­terusnya), gebruik on bewaning (pasal 818 BW dan seterusnya) yang berdasarkan  Hukum  Pertanahan  sekarang telah diubah menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dimana  seseorang  pengusaha diwenangkan untuk menguasai luas tanah tertentu bagi kepentingan menjalankan usahanya, maka penguasaan atas seluas tanah tersebut sangat dikaitkan dengan   ketentuan-ketentuan   kewajibannya. (G. Kartasapoetra, 1991:65-67)

2.      DIVIASI ATAS TANAH
     Tentang tanah pertanian banyak masalah dan problema yang harus diselesaiakn, artinya
semakin lama semakin kecil sehingga terwujudlah petani-petani yang ekonomis lemah, hal demikian disebabkan karena terjadinya diviasi tatau perpecahan (dalam) hak kepe-milikannya. Menurut MUBYARTO dalam "Pengantar Ekonomi Pertanian" tentang perpecahan tanah milik itu terutama pesawah-an-pesawahan yang dimiliki oleh para petani, ditimbulkan oleh macam-macam sebab, misalnya karena jual beli, pewarisan dan hibah perkawinan serta sistem penyakapan. Walaupun landreform (1960) berusaha untuk membatasi luas minimum sawah garapan, tetapi karena sebagian besar sebab-sebab di atas berhubungan erat dengan adat dan belum ada car a lain yang lebih baik untuk menggantinya, maka proses tersebut masih
berjalan terus.
    Jika ditinjau dari sosiologj hukum, maksud pemerintah mengatur  tentang batas  minimum pemilikan tanah adalah sangat tepat. Keterpaduan antara desakan keperluan hidup dan ke-tidakmampuan untuk memperoleh jalan keluarnya telah membutakan pikiran manusia yang akibatnya akan melahirkan per-buatan-perbuatan anekad tanpa mengindahkan lagi norma-norma kehidupan bermasyarakat. Keadaan deviasi tanah di bagian Jawa sulit untuk ditetapkan batas minimumnya mengingat kenyataan rata-rata pemilikan tanah yang hanya seluas 0,64 hektar tersebut, sejalan dengan usaha-usaha meningkatkan    transmigrasi.
     Deviasi pertanahan dapat dilakukan   pencegahan   agar tidak merugikan rakyat untuk   melakukan diviasi tanah di Jawa dan daerah-daerah lain yang telah termasuk padat. Dalam aturan pemerintah masih diperkenankannya diviasi tanah di daerah padat baik berdasarkan hukum waris maupun hukum untuk memotivasi para petani beserta keluarganya untuk tetap tinggal di daerah-daerah padat, karena mereka masih mem-punyai harapan bahwa pada suatu waktu akan memiliki sebidang tanah, walaupun tanah tersebut sangat kecil luasnya yang sudah pasti tidak akan memberikan hasil yang memungkinkan bagi kesejahteraan hidup mereka. Akibat deviasi tanah milik yang berkelanjutan di daerah padat, dimana tanah-tanah pertanian menjadi relatif semakin kecil maka para pemiliknyapun tentu akan mengusahakan sendiri penggarapannya, dengan demikian para penyakap dan para penggarap akan kehilangan mata pencahariannya sehingga bertambahnya pengangguranpun tidak akan dapat dihindarkan lagi, kesuhtan hidup menjadi semakin bertambah berat. Untuk melaksanakan   larangan  deviasi  tanah  di  daerah-daerah padat mungkin akan dirasakan sangat berat karena akan menimbulkan masalah baru dan akan merugikan petani itu sendiri. Dengan demikian maka batas minimal pemilikan tanah dapat ditentukan luasnya dengan berpedoman pada kemampuan tanah miliknya itu untuk memproduksi hasil-hasil pertanian   yang   minimal  dapat  mencukupi  kebutuhan  pangan.
    Dalam menentukan batas jumlah anggota keluarga yang mempunyai kewenangan untuk mengelola dan mengolah tanah pertanian yang dimilikinya sesuai dengan batas minimum kepemilikan tanah, sejumlah anggota keluarga yang melebihi batas jumlah tersebut dan telah berkeluarga (menikah) diwajibkan untuk melaksanakan penyebaran ke luar daerah padat dengan mendapat jaminan memperoleh lahan pertanian (2 hektar), tentang sarananya dan bekal/pembiayaan hidup sampai lahan pertaniannya berproduksi yang memungkinkan kelangsungan hidupnya dengan baik. Dengan demikian maka akan timbul beberapa permasalahan yang akan menyertai deviasi tanah ini, adapun problema itu adalah sebagai berikut:
           a.Tanah milik di daerah padat dapat dipertahankan terus batas minimum kepemilikannya,
           b.Para petani pemilik tanah akan sangat memperhatikan ketentuan-ketentuan pembatasan 
               kelahiran anak,
           c. Anggota keluarga para pemilik tanah yang telah menikah terpanggil oleh kewajibannya
             untuk melakukan penyebar­an ke lahan-lahan pertanian yang masih luas dan turut serta
             dapat berperan serta melakukan pembangunan di daerahnya yang baru ditemapatinya itu.
             Hal ini disebabkan karena kehidupan di perkotaan sangat minim dapat memberikan atau    
             menyediakan lapangan kerja bagi mereka, sehingga akhirnya mereka akan melakukan
             penyebaran pula ke daerah-daerah yang menyediakan lahan-lahan pertanian bagimereka.

3.      FRAGMENTASI ATAS TANAH
      Tentang fragmentasi tanah pertanian atau terpencarnya tanah-tanah pertanian di negara Indonesia, khususnya di daerah padat (Jawa) baik dipandang dari segi hukum maupun segi ekonomi dapat dikatakan sangat menghambat usaha pendaya-gunaan dan peningkatan produksi tanah-tanah yang bersangkutan. Jelasnya arti fragmentasi tanah ialah terpencarnya tanah pertanian milik seseorang atau badan hukum. Dipandang dari segi hukum terpencarnya tanah pertanian milik seseorang pada tempat-tempat yang berjauhan dapat mengaburkan pendataan, sehingga fragmentasi tidak jarang dijadikan siasat oleh orang-orang tertentu untuk memiliki tanah-tanah pertanian jauh melebihi batas maksimum pemilikan tanah yang telah ditentukan oleh Pemerintah lewat UUPA tahun 1960. Pada hakekatnya orang-orang yang demikian telah melakukan monopoli atas tanah, mereka memiliki sejumlah luas tanah, tetapi dengan siasat fragmentasi maka monopolinya tidak akan jelas dan seakan-akan mereka pemilik tanah yang luasnya tidak melebihi batas maksimum pemilikan yang diwenangkan oleh aturan yang telah ada.     
      Dalam hal tanah milik yang terfragmentasi digarapkan kepada para petani setempat, karena pengawasan yang sulit dilakukan (terutama mengenai segi pemeliharaan dan saat-saat dilaksanakannya panen) sering menimbul-kan perlakukan-perlakuan yang negatif, pemilik merugi-kan penggarap atau sebaliknya penggarap merugikan pe­milik. Dipandang dari segi ekonomi terpencarnya tanah-tanah milik pada tempat-tempat yang tidak berdekatan dapat menyebabkan menurunnya efisiensi produksi dalam pertanian.
     A.T. MOSHER dalam bukunya yang berjudul "Menggerakkan dan Membangun Pertanian" menyatakan bahwa ”Sejauh mana fragmentasi tanah itu menjadi penghalang bagi pembangunan pertanian di suatu daerah, haruslah ditinjau dari segi kondisi setempat. Apabila hal itu memang merupakan suatu masalah yang serius, maka konsolidasi pemilikan tanah akan dapat memperlancar pembangunan pertanian” (G. Kartasapoetra, 1991:75). Dari fakta-fakta tersebut maka kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
     a. Adanya kenyataan usaha-usaha oknum-oknum tertentu untuk melaksanakan pemonopohan tanah dengan cara melakukan fragmentasi yang diatur pada daerah-daerah tertentu atau tempat-tempat tertentu, serta pada setiap pembongkaran kasus-kasus korupsi dan manipulasi ter-nyata bahwa para pelakunya selalu mempunyai tanah-tanah milik yang demikian luas yang dipencarkan di be­berapa tempat atau daerah;
     b. Adanya kenyataan orang-orang berada tertentu sengaja melakukan pembelian tanah-tanah kelas I di beberapa tempat yang jumlah luas keseluruhannya jauh melebihi batas maksimum pemilikan tanah yang telah ditentukan UUPA, fragmentasi ini dimaksudkan agar para ahli waris-nya kelak dapat memperoleh tanah-tanah yang subur;
    c. Adanya kenyataan puia bahwa fragmentasi itu terpaksa dilakukan mengingat para petard kecil dalam melaksana-kan usaha taninya menghadapi lalian yang berbukit-bukit atau lahan yang memiliki kemiringan dengan lereng-lereng yang curam.
     Fragmentasi merupakan masalah yang serius kalau ditinjau dari segi hukum dan karena itu ketentuan-ketentuan hukum itulah yang dapat menanggulanginya, dalam hal ini ketentuan hukum tentang pemilikan tanah dan kewajiban-kewajiban pelestarian tanah serta kewajiban untuk mengolah dan mendayagunakannya yang sedapat mungkin oleh pihak pemilik tanah itu sendiri, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam UUPA. Untuk mencegah terjadinya monopoli tanah secara terselubung dan larangan melakukan monopoli tanah, keburukan-keburukan perlakuan tersebut serta dampaknya yang negatif terhadap masyarakat petani, tapi walaupun larangan tersebut jelas tercantum dalam UUPA, hal yang paling parah adalah oknum-oknum tertentu dorang-orang yang inteleknya tinggi keberadaannya malah justru melakukan pengabaian terhadap larangan tersebut. Mereka melakukan monopoli tanah secara terselubung dengan cara membeli sejumlah luas tanah yang terpencar di beberapa tempat. Dengan demikian terjadilah tuan-tuan tanah yang menyewakan atau menggarapkan tanahnya yang berada di beberapa tempat tersebut, hal ini disebabkan karena melakukan pengolahan sendiri tidak memungkinkannya. Mereka hidup santai diatas penderitaan rakyat, mereka sambil menikmati hasil keringat para petaninya, sedang di lain pihak para petani yang berada di bawah pengelolaannya bekerja keras membanting tulang, memeras keringat sekedar untuk memperoleh penghasilan guna menghidupi diri beserta keluarganya. Upaya penegakan hukum demi keadilan yang berpihak pada rakyat harus diprioritaskan dan dalam usaha pencegahan sepatutnya dilakukan dengan segera artinya pe­milikan tanah sampai batas maksimum pemilikan hanya dibenarkan kalau pemiliknya berdomisili di daerah di mana tanah miliknya berada.
       Hal lain yang berkenaan dengan berbagai masalah Perpencaran Pemilikan Tanah (fragmentasi) dengan maksud untuk dideviasikan kepada ahli warisnya, tapi ini juga berdampak buruk, karena dapat menyebabkan menurunnya efisiensi skala produksi, maka proses ini da­pat dihentikan dengan cara yang dikemukakan oleh MUBYARTO  dalam bukunya Pengantar Ekonomi Pertanian adalah sebagai berikut:
"Bila tahap perkembangan ekonomi sudah sedemikian mpa sehingga industri, perdagangan dan perusahaan jasa-jasa di luar pertanian sudah cukup maju, maka seyogya-nya diatur agar hanya anak-anak petani yang benar-benar ingin bertani meneruskan usaha tani orang tuanya. Se-mentara anak-anak lainnya mendapatkan bagjan berupa warisan berupa uang tunai yang dipinjam dari Bank atas nama anak petani yang tinggal di pertanian dengan jamin-an tanah yang bersangkutan"(G. Kartasapoetra, 1991:78)
       Perpencaran Tanah pertanian milik seseorang yang terpaksa dilakukan mengingat kondisi kemiringan lahan yang men-jadikan tanah berlereng panjang dan curam, cara untuk mengatasi kerugian-kerugian atau dampak negatif akibat pendayagunaannya (erosi yang hebat, banjir dan lain sebagainya) ialah dengan memberikan perlakuan-perlakuan yang bersifat teknis secara aktif, seperti terrasering yang baik, pembuatan parit-parit, dan penanaman secara garis kontur. Apabila kewajiban-kewajiban tersebut ternyata tidak dilaksanakan si pe­milik tanah, maka berdasarkan UUPA pula hak kepemilikannya perlu dicabut, karena kalau dibiarkan akan dapat merusakan lingkungan bahkan malapetaka yang akan diderita oleh masyarakat. Agar pencabutan hak milik atas tanah dirasa-kan oleh yang bersangkutan secara adil dan merupakan suatu kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka menyelamatkan lingkungan yang berarti pula menyelamatkan ke-hidupan pemilik itu beserta keluarganya.
4 KONSOLIDASI TANAH          
   Akibat perbuatan dari petani yang ceroboh dalam memperjualbelikan tanah yang dimilikinya, maka petani yang bersangkutan akan kehilangan pendapatan-pendapatannya dan mulailah berlangsung proses agricultural ladder, yaitu proses dimana petani pemilik tanah berubah keadaan menjadi petani penggarap, dan pada akhirnya menjadi petani buruh. Kejadian seperti ini telah lazim terjadi di daerah-daerah yang padat penduduknya yang kebanyakan dari semua mengalami penderitaan. Deviasi tanah-tanah milik yang luasnya sudah tidak seberapa lagi itu harus dicegah, karena para pewaris yang praktis menerima bagian tanah miliknya itu tentu tidak akan dapat mendayagunakan tanahnya sebagaimana mustinya atau kalau didayagunakan hasilnya akan minim sekali sehingga banyak yang berpikiran lebih baik dijual atau ditukarkan de­ngan sesuatu benda atau ditukarkan pula dengan sejumlah ternak besar dan Iain-lain yang diperlukannya. Bagi sebidang tanah pertanian yang terdeviasi menjadi bidang-bidang kecil dan berada di bawah beberapa kepemilikan, demi untuk menyelamatkan tanah milik rakyat kecil tersebut sebaiknya
      Konsolidasi dalam artian yang umu adalah penggabungan petak-petak atau bidang-bidang tanah pertanian yang kecil-kecil yang dimiliki beberapa orang menjadi satu usaha pertanian yang besar di bawah manajemen KUD dan atau Usaha Wiraswasta. Dengan konsolidasi ini maka tanah-tanah pertanian yang kecil-kecil akan menimbulkan beberapa masalah baru yaitu sebagi berikut:
           a. Hak pemilikannya tetap berada pada masing-masing indi-vidu yang berhak/syah,
           b.Masing-masing pemilik tanah dapat mengelola tanahnya sendiri-sendiri dengan tanaman
              yang ditentukan oleh KUD yang mempunyai nilai pasar yang baik,
           c. Masing-masing pemilikan tanah bergabung menjadi anggota KUD dengan bermodalkan
               tanah yang mereka miliki ma­sing-masing, dimana mereka dapat menjual hasil tanaman
               nya kepada KUD dengan harga yang layak/baik, membeli sarana-sarana pertanian
               dengan harga murah, memperoleh kredit secukupnya untuk keperluan meningkatkan
               hasil tanamannya.
       Konsolidasi tanah sangat membantu dan menguntungkan para petani yang tanah pertaniannya kecil-kecil dimana para petani sekaligus memperoleh fasilitas yang dibutuhkan. Manajemen konsolidasi ini dapat pula dilakukan oleh ketua kelompok petani, akan tetapi lebih kuat dan baik jika dikelola oleh KUD, karena KUD dapat kepercayaan Pemerintah untuk menyalurkan bantuan-bantuan Pemerintah kepada para petani, terutama petard ekonomis lemah, seperti para petani yang mempunyai lahan-lahan pertanian yang kecil. Dengan adanya konsolidasi ini maka para petani yang memiliki tanah-tanah pertanian yang kecil-kecil benar-benar dapat berproduktif untuk   meningkatkan   produksi   dan benar-benar   pendapatannya  dapat   menghidupi   keluarganya dengan baik, dan yang terpenting mereka benar-benar dapat gotong-royong, bekerjasama secara harmonis membangun suatu usaha  agrobisnis,  sehingga  pikiran  untuk   menjual  tanahnya yang kecil itu hilang lenyaplah dari benaknya masing-masing.    
       Dengan konsolidasi ini pun para petani kecil dapat membatasi pengangguran, misalnya beberapa petani yang tanah pertanian­nya ditanami ubi kayu, mereka    dapat mendirikan industri tepung tapioka, dimana cara-cara dan pembelian mesin pembuatnya dapat dikredit dari KUD, jadi anggota keluarganya yang tidak bertani dapat bekerja pada industri yang mereka dirikan sendiri. Hasil industri dapat dibeli oleh KUD dengan harga  yang  baik  dan dengan demikian pendapatan mereka akan meningkat. Dengan cara seperti di atas masa menganggur petani dari sejak tanamannya mulai meningkat dewasa ke saat musim panen akan lenyap, karena para petani akan bekurang. Segi positif inilah yang menjadikan para petani dapat terbantu beban hidupnya
khususnya dalam mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan sehari harinya.


C. ADAKAH KEWENANGAN DARI PEMERINTAH UNTUK MENGAMBIL ALIH TANAH YANG MELEBIHI BATAS UNTUK DIFUNGSIKAN SOSIAL...??? 

    Untuk  mengetahui apakah ada kewengan untuk mengambil alih untuk kepentingan umum atau kepentingan sosial dapat dilihat dari awal pemilikan tanah tersebut. Dari aturan yang terkandung dari pasal 7 dan 17 maka hanya dari pemilikan lewat sewa dan gadai saja yang pemerintah ikut andil untuk mengambil kebijaksanaan tentang tanha tersebut. Hal ini pun pemerintah masih ada batasan untuk pengambilan keputusan, artinya pemerintah tidak berhak untuk mengambil alih tanah tersebut tapi masih harus untuk diserahkan pada masyarakat dalam arti petani yang tidak mempunyai tanah pertanian. Tanah pertanian yang terjadi sekarang ini tidak hanya dimiliki oleh badan hukum atau pun person dari gadai atau sewa saja, terkadang dari hak guna usaha walaupu tidak banyak yang terjadi. Walaupun substansinya sedikit berbeda, maka dalam keadaan tertentu pemerintah ada kewenangan untuk mengambil secara paksa. Hak Guna Usaha ini merupakan hak yanh bersifat indvidualistik belaka dan jika sudah sekitar 30 tahun tidak akan ada yang mengelolanya maka pemerintah berhak untuk mengambilnya. Sebagai contoh adalah sebagai berikut yaitu adanya sebesar 11 juta hektar yang merupakan tanah terlantar tekah dimanfatkan untuk pembangunan ekonomi dan politik peraturan itu telah disetujui bersama oleh menteri Keuangan, Mentri Dalam Negeri dan Mentri Sekretaris Negara. Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto telah ada kerja sama pemetaan regional dengan Badan Statistik.Tanah yang seluas 11 juta hektar itu setara dengan 167 luas Singapura yang berstatus hak guna usaha teridentifikasi 1,93 juta hektar. Dalam aturan itu yang diartikan tanah terlantar  sebagai tanah dengan luasan besar yang di tinggalkan oleh  pemiliknya baik korporasi maupun pribadi, karena itu rumah tinggal pribadi yang menyisakan halaman tanah yang luas tak masuk katagori terlantar. Untuk merealisasikan hal itu maka data yang akan diperoleh dari Badan Pusat Statistik akan dilaporkan pada Badan Tanah Nasional. ( Koran Tempo, Selasa 25 November 2008, hal.18). Berkenaan dengan ini memang pemerintah telahh mengeluarkan aturan perpres no.36 tahun 2005 jo perpres no.65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk umum. Inti dari penguasaan tanah dari pasal 7 dan 17 tersebut adalah pemerintah tidak ada kewenangan sama sekali untuk mengambil alih untuk digunakan dan difungsikan sosial.

D. LANGKAH PROGRESIF DARI PEMERINTAH  UNTUK  MENCIPTAKAN SISTEM PENGUSAAN TANAH YANG BERKEADILAN DAN KONTROVERSINYA

     Berawal dari realita yang ada bahwa mayoritas kepemilikan tanah pertanian di indonesia tidak sesuai dengan prosedur hanya dengan hak gadai dan sewa, maka pemerintah mengambil inisiatif untuk menciptakan rasa keadilan yang merata pada seluruh petani yang ada di Indonesia. Sebagian dari petani di Indonesia hanya merupakan sebagai buruh atau sebagai penggarap saja yang  menggunakan bagi hasil yang merupakn perjanjian dan kesepakatan dari pemilik. Di sisi lain banyak petani yang mempunyai tanah beribu-ribu hektar yang notabenya untuk digunakan kepentingan pribadi. Hal ini sangat mencederai rasa keadilan yang terkesan menindas  pada rakyat. Jika dilihat dari realita tanah-tanah yang dimilki dengan hak milik menurut catatan di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok hanya terdapat 5400 orang yang mempunyai sawah yang luasnya terdiri dari 10 hektar. Mengenai tanah yang luas tanahnya lebih dari 10 hektar adalah 11.000 orang, diantaranya 2.700 orang yang mempunyai lebih dari 20 hektar, tapi kenyatannya jauh lebih banyak jumlah yang menguasai tanah lebih dari 10 hektar yang diperoleh dengan tidak sah dan melanggar ketentuan dari pemerintah. Tanah yang diperoleh dari kepunyaan para petani yang tanahnya tidak cukup artinya yang terpaksa disewakan pada orang yang lebih kaya. Akhirnya tanah yang luas tadi tidak dapat dikerjakan sendiri, sehingga untuk memanfaatkannya petani yang lain untuk bagi hasil dari petani yang tidak bertanah dan tidak cukup tanahnya. Bahkan tidak jarang tanah-tanah tersebut dibiarkan terlantar dan tidak terurus. Dampak yang paling parah adalah kemampun berproduksi jadi berkurang dan dalam hal ini pemerintah juga sangat dirugikan tujuan berswasembada pangan jadi terhambat. Fenomena tersebut menunjukan bagi orang-orang yang mempunyai tanah berlebihan itu telah menghancurkan azas sosialisme yang telah dimiliki oleh masyarakat di Indonesia, karena pemertaan tidak dapat berjalan dengan baik. Untuk tahap pemerataan pemerintah juga mengambil langkah untuk melekukan transmigrasi secara besar-bsaran yang difokuskan pada masyarakat jawa yang terlihat penduduk yang paling padat. Hal ini juga merupakan usaha dari pemerintah untuk menciptakan pemerataan yang adil dan makmur pada selurh masyarakat di Indonesia. Pemerataan yang dilakukan  oleh pemerintah ini juga dimaksudkan untuk menciptakan peningkatan taraf  hidup yang  lebih baik untuk bagi keluarga yang dahulunya tidak mempunyai tanah atau pun yang tanahnya tidak cukup luas untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
    Tahap demi tahap telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan sistem penguasaan tanah agar selalu tidak menimbulkan keuntungan-keuntungan pada golongan-golongan tertentu khusunya pada golongan yang punya modal banyak. Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 telah membawa angin segar bagi pihak-pihak yang selama ini tertindas. Hal yang fundamental dari kebijakan pemerintah ini dalam pasal 7 dan 17 UUPA tahun 1960. Dalam pasal 17 yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 menyatakan dalam ayat 1 dan 2 bahwa”dalam waktu singkat perlu diaturluas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatau hak oleh satu keluarga dan badan hukum”, selanjuntnya ditetapkan dalam ayat 3 bahwa”tanah-tanah ynag merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjunya dibagikan pada rakyat yang membutuhkan. Sepintas jika ditinjau dan di analisis dari substansi yang terkandung didalamnya telah ada etikad baik dari pemerintah untuk mengambil alih dari tanah yang dimiliki oleh badan hukum atau pun person yang tidak sesuai aturan dari pemerintah. Tanah lebihnya itu dapat dimanfaatkan untuk khusus tanaman yang mempunyai nalai jual tinggi di pasaran jangan hanya padi saja, tanaman itu dapat berupa bawang merah atau pun bawang putih agar dapt digunakan untuk komoditi ekspor jika hasilnya melimpah banyak, sehingga pelimpahan dari pemerintah pada rakyat itu tidak akan sia-sia belaka, sehingga produktivitas pertanian di Indonesia akan tetap tinggi. Pemerintah dalam membantu masyarakat harus juga membiayai agar tanah yang diberikan pada yang membutuhkan itu akan benar-benar berfungsi tidak sekedar memberikannya saja dan pemerintah harus lebih proaktif untuk memajukan tanah yang telah diberikannya itu . Persoalan yang muncul adalah jika pengeloalaan dana yang digunakan untuk pembangunan tidak dijalankan sebagaimana mestinya, artinya dana itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Selain masalah dana masalah ganti rugi bagi badan hukum atau pun person yang melanggar ketentuan pemerintah juga akan jadi masalah yang mudah untuk dicarikan jalan keluar. Jika ada pihak yang tidak setuju dari ganti rugi yang ditawarkan oleh pemerintah. Walaupun kebijaksanaannya ada pada pemerintah penuh maka dalam hal ini tidak boleh berlaku sewenang-wenang, karena akan menyangkut nasib rakyat.
     
    Pemerintah telah memberikan batasan-batasan dalam sistem penguasaan tanah yang harus dimiliki oleh badan hukum atau pun person untuk tiap-tiap daerah tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerahnya masing-masing yaitu sebagi berikut:
    1.Tersedianya tanah yang masih dapat dibagi-bagi
    2.Kepadatan penduduknya
    3.Jenis-jenis tanah dan kesuburannya yang akan diadakan perbedaan tanah kering dan sawah
    4.Besarnya usaha tani ynag sebaik-baiknya yang menurut kemampuan satu keluarga dengan memperkerjkan buruh tani.
    5.Tingkat kemajuan tehnik sekarang tentang pertanian yang ada di daerah

     Dari kebijakan yang telah dilakukan pemrintah tersebut juga akan menimbulkan permasalahan yang tidak mudah untuk dipecahkan, hal ini dikarenakan luas tanah dan kepadatan penduduka antara daerah yang satu dengan yang lain tidak sama. Walaupun pemerintah telah membagi daerah dalam tatarn padat, tidak pada, sangat padat, cukup padat dan kurang padat juga akan menimbulkan pro kontra dari berbagi pihak yang dirasa pemerintah tidak adil dalam usaha menciptakan sistem penguasaan tanah yang berkadilan. Khusus dari orang yang mempunyai tanah subur pasti tidak mau untuk menyerahkan tanah begitu saja pada pemerintah, mereka pasti akan menempuh segala cara untuk mempertahankan tanah yang mereka miliki. Tanah subur kebanyakan berada di Jawa dan sebaliknya tanah yang kurang subur seperti yang ada di Kalimantan dan Sumatra orang yang tanahnya terkena aturan tanah tersebut tidak akan dipertahankan sekuat yang ada di Jawa, hal ini juga disebabkan mereka sudah  capek dalam mengelola tanah yang begitu luas dan mereka lebih senang untuk diberikan pada petani lain lewat pemerintah agar dikelolanya.
    Penetapan luas maksimum memaki dasar keluarga, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin orang-seorang. Berapa jumlah luas tanah yang dimiliki oleh anggota-anggota dari suatu keluarga dan itulah yang menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga itu. Jumlah anggota keluarga ditetapkan paling banyak 7 orang. Jika jumlahnya melebihi 7 orang maka bagi keluarga itu luas maksimum untuk setiap keluarga yang selebihnya ditambahi 10%, tapi jumlah tambahan tersebut tidak boleh melebihi 50%, sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikausai seluruhnya tidak boleh lebih dari 29 hektar baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah kering. Misalnya untuk keluarga yang berada di daerah padat(dengan batas maksimum 15 hektar) yang terdiri dari anggota, maka batas maksimumnya dihitung sebagai berikut. Jumlah tambahannya 8x10%x15hektar sawah, tapi tidak boleh lebih dari 7,5 hektar=22,5 hektar. Hal ini disebabkan karena tanah yang dikuasai seluruh tidak boleh lebih dari 20 hektar, maka luas maksimum untuk keluarga itu adalah 20 hektar. Kalau yang dikuasai itu tanah kering maka keluarga tersebut tidak mendapat tambahan lagi, karena batas tanah untuk tanha kering untuk daerah yang tidak padat sudah ditetapkan 20 hektar (Budi Harsono, 1983:703-704)


BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
   
1.      Adanya Landreform di Indonesia sangat berguna sekali untuk melakukan perombakan dalam sistem pertanahan baik dari tataran yuridis maupun dalam tataran praktis, tapi yang menjadi permasalahan dan peraturan yang ada
2.      Dengan adanya pengaturan tentang sistem penguasaan tanah uang telah dikeluarkan akan sangat membantu menciptakan keadilan yang berpihak pada rakyat dan paling penting dapat melindungi hak-hak para petani kecil.
3.      Ternyata adanya monopoli tanah, deviasi tanah, fragmentasi tanah telah menyebabkan terbukanya ruang dari pihak perseorangan dan badan hukum untuk melekukan penguasaan tanah secara sembarangan dan selalu orang yang punya modal banyak akan cenderung memiliki tanah yang luas dengan meyesengsarakan rakyat kecil, karena tenaganya terus menerus dikuras untuk menjalankan tanah yang dimilki oleh orang kaya atau pun badan hukum tersebut. Dari ketiga problema tanah tersebut ternyata konsolidasi tanah dapat membantu para petani dalam mengurangi masa pengangguran yang dialami oleh petani tersebut.


B. Saran
1        Pemerintah dalam mewujudkan dari pasal 17 UUPA tahun 1960, hendaknya bersikap adil
   dan bijak terutama dalam pemberian ganti rugi pada pihak yang melanggar ketentuan
            agar tidak timbul permasalahan baru dan paling penting harus bertindak proaktif untuk            
            mempertinggi produktivitas pertanian di Indonesia.
2        Hendaknya adanya landreform ini dapat membantu dalam perubdahan dan permbakan
   dalam hukum pertanahan di Indonesia dan dapat membawa perubahan dalam 
   pembangunan ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan para petani di seluruh pelosok
   tanah air di Indonesia.                                                                                      
3.Sebaiknya dengan adanya monopoli pertanahan yang kebenyakan dilakukan oleh kaum
   bermodal pihak pemerintah segera mengeluarkan kebijakn yang kongkrit untuk
   mengatasi permasalahn dalam monopoli pertanahan yang sangat merugikan petani kecil
4. Pemerintah harus mencegah dilakukannya diviasi tanah dan usaha pencegahan ini  
    harus disertai  dengan  pemberian fasilitas serta kemudahan-kemudahan kepada
    para petani untuk berpindah ke luar dari daerah padat dengan jaminan memperoleh tanah   
    usaha tani yang batas minimumnya dapat ditentukan demi kesejahterannya.
         5. Pihak pemerintah harus segera melakukan tindakan-tindakan tegas dan adil dengan  
       mencabut hak kepemilikan tanah yang melampaui batas maksimum pemilikan seperti   
       yang telah ditentukan dalam UUPA, agar pihak penderitaan para petani dapat terkurangi.



DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Budi.1994.Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
             Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.:Djambatan
Mustapa, Bachsan.1988. Hukum Agraria Dalam Perspektif.Bandung:Remadja Karya CV
Kartasapoetra, G.1985. Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasila
            Pendayagunaan Tanah.Jakarta: PT Bina Aksara.
Lounela,Anu dkk.2002.Berebut Tanah Beberapa Kajian Berspektif Kampus Dan
           Kampung.Yogyakarta:Insist Press.
Ruchiyat,Eddy.1983.Pelaksanaan Landreform Dan Jual Gadai Tanah Berdasarkan
         Undang-Undang no.56(Prp) Tahun 1960.Bandung:Armico Bandung
Harsono, Budi.1983.Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.:Djambatan
Undang-Undang no.56 Prp tahun 1960
Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 tahun 1960
Koran Tempo, Selasa 25 November 2008, hal.18



No comments:

Designed By Mas Say