Breaking News

21 September 2011

PROBLEMATIKA PERADILAN ANAK DAN IMPLEMENTASINYA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA


BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Anak adalah asset bangsa yang harus dilindungi, karena masa depan bangsa tergantung dari anak-anak yang akan meneruskan cita-cita bangsa. Oleh karena itu anak mempunyai potensi untuk berperan secara aktif menjaga kelestarian kehidupan bangsa yang luhur, yang dasar-dasarnya telah diletakkan generasi sebelumnya, guna mewujudkan tujuan pembentukan suatu pemerintah yang melindungi bangsanya. Sebagai pelaksana penerus cita-cita bangsa, anak mempunyai kewajiban yang mulia dan tanggung jawab yang berat demi terwujudnya tujuan negara Republik Indonesia.Dapatlah dibayangkan betapa besar tanggung jawab yang diharapkan dari anak dikemudian hari, sebagai warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya di dalam kehidupan bermasayarakat dan bernegara. Dengan demikian kedudukannya yang penting tersebut mutlak mendapat perlindungan secara wajar agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan wajar pula. Oleh karena itu demi terwujudnya harapan bagi generasi terdahulu yang juga merupakan harapan luhur bangsa dan negara, maka segala usaha perlindungan terhadap anak harus dilaksanakan untuk menjamin hak dan kewajibannya agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas dan sehat memiliki budi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, dan bertaqwa kepada Tuhan.
Berkaitan dengan pernyataan bahwa anak mempunyai kedudukan yang strategis dalam penentuan bangsa, maka dalam Konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada point (a) menyebutkan bahwa: Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Keberadaan undang-undang pengadilan anak tersebut tidak lain adalah dalam rangka untuk lebih meningkatkan perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak anak dalam proses peradilan pidana. Disamping itu pula keberadaanya adalah sebagai landasan hukum yang kuat untuk membedakan perlakuan terhadap anak yang terlibat suatu kejahatan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan bahwa secara manusiawi memang harus dibedakan perlakuannya, sebab dilihat secara fisik dan pikirannya berbeda dengan orang dewasa. Berkaitan dengan masalah kejahatan anak, maka seiring dengan kompleksitas masyarakat, tampaknya tanpa disadari mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya angka kriminalitas yang juga merembet pada anak-anak yang notabene adalah calon generasi bangsa yang diharapkan sebagai penerus tongkat pembangunan. Meningkatnya tindak kriminalitas yang terjadi akhir-akhir ini, rupanya berbanding lurus dengan kriminalitas yang melibatkan usia yang tergolong masih anak-anak. Keadaan ini dapat terlihat dari banyaknya kasus-kasus tindak pidana, baik yang sedang dalam tahap penyidikan, persidangan, maupun yang telah diputus pengadilan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka melakukan usaha pencegahan kejahatan anak adalah juga suatu usaha perlindungan terhadap keselamatan bangsa dan negara. Oleh karena itu persoalan tentang pencegahan kejahatan anak sebagai usaha perlindungan anak dipandang sebagai isu yang menarik untuk dibahas. (Made Darma Weda.1996:76)
Berdasarkan data lebih dari 4,000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Yang memprihatinkan, mereka seringkali disatukan dengan orang dewasa karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara. (www.republika.com/diakses 22 Mei 2010). Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh bahaya: terjerumus ke dalam penyiksaan oleh narapidana dewasa dan aparat penegak hukum.Hukum itu sendiri tidak banyak membantu. Meskipun Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada tahun 1997. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Pemerintah juga menerbitkan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 5 tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian, Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang paling baru dan merupakan langkah maju, adalah ditetapkannya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Oktober lalu. Semua instrumen hukum nasional ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara lebih kuat ketika mereka berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses peradilan. Berkaitan dengan semangat memberikan kepastian perlindungan kepada anak-anak yang menjalani proses peradilan maupun anak-anak yang berada dalam lembaga penahanan atau pemenjaraan, maka data mengenai situasi anak-anak dalam sistem peradilan sangat diperlukan.
Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11,344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda. (www.okezone.com/diakses tanggal 22 Mei 2010 )

B. Rumusan Masalah
1. Apakah prinsip-prinsip dan substansi pokok dalam peradilan anak di Indonesia?
2. Bagaimanakah implementasi peradilan anak dan penegakan hukum pidana anak di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN


A.   Prinsip-prinsip dan substansi pokok dalam peradilan anak di Indonesia

A.1 Sejarah peradilan anak di Indonesia
Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di bawah Bentuk Penahanan Apa pun atau Pemenjaraan (Body of Principles for the Protection of All Person under Any Form of Detention or Imprisonment) GA Resolusi 43/173 tanggal 9 Desember 1988, dinyatakan sebagai berikut: Semua orang yang berada di bawah setiap bentuk penahanan atau pemenjaraan harus diperlakukan dalam cara yang manusiawi dan dengan menghormati martabat pribadi manusia yang melekat. Orang yang ditahan, apabila mungkin, mereka harus tetap terpisah dari para narapidana.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian, dorongan dan upaya yang kuat agar dapat dilakukan pemantauan secara terus menerus, independen dan obyektif guna meminimalkan kerugian-kerugian yang dapat diderita oleh anak-anak yang terpaksa berhadapan dengan hukum atau sistem peradilan. Setidaknya, upaya ini mengacu kepada standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen lokal maupun internasional yang berlaku, di antaranya adalah Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1989, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Res. PBB No. 39/46 tahun 1984), Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak/The Beijing Rules (Res.No. 40/33 tahun 1985), Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di bawah Bentuk Penahanan Apa pun atau Pemenjaraan (Res. PBB No. 43/173 tahun 1988), Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Res. No. 45/113 tahun 1990), UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23/2002 tentang Perli Juvenile Justice System adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman1. Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:
a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam UU ini (UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Peradilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi (UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum). Peradilan sipil ialah peradilan yang memeriksa perkara sipil atau disebut juga perkara perdata, dengan menggunakan UU Hukum Sipil/Perdata (Surat Edaran Kepala Direktorat Bispa No. DBTU/4/22/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa (sekarang disebut Bapas) mengenai Prosedur Peradilan Anak Sipil, tanggal 29 Juni 1977). (Herlina, Apong, dkk. 2005:77)
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Konvensi Hak-hak Anak). Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Gagasan mengenai hak anak pertama kali muncul pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktivis perempuan melakukan protes dengan menggelar pawai. Dalam pawai tersebut, mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara aktivis tersebut, Eglantyne Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, deklarasi ini juga dikenal dengan sebutan Deklarasi Jenewa.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal mengenai HAM (DUHAM). Peristiwa yang diperingati setiap tahun sebagai Hari HAM Sedunia tersebut menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup pula dalam deklarasi ini.
Pada 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan Pernyataan mengenai Hak Anak sekaligus merupakan deklarasi internasional kedua di bidang hak khusus bagi anak-anak. Selanjutnya, perhatian dunia terhadap eksistensi bidang hak ini semakin berkembang. Tahun 1979, bertepatan dengan saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia  mengajukan usul disusunnya perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan bersifat mengikat secara yuridis. Inilah awal mula dibentuknya Konvensi Hak Anak.
Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga, tanggal 20 November, naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat olehMajelis Umum PBB. Rancangan inilah yang hingga saat ini dikenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). Pada 2 September 1990, KHA mulai diberlakukan sebagai hukum internasional. Indonesia meratifikasi KHA pada 25 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan diberlakukan mulai 5 Oktober 1990.

A.2 Prinsip-prinsip dalam mekanisme yuridis peradilan anak di Indonesia

Tujuan–tujuan peradilan bagi anak
Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.

Ruang lingkup kebebasan membuat keputusan
Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak-anak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturan-pengaturan lanjutannya.Namun demikian, upaya-upaya akan dilakukan untuk memastikan adanya pertanggungjawaban yang cukup pada seluruh tahap dan tingkat dalam pelaksanaan kebebasan untuk membuat keputusan apa pun. Mereka yang melaksanakan kebebasan untuk membuat keputusan akan berkualifikasi atau terlatih secara khusus untuk melaksanakannya secara bijaksana dan sesuai dengan fungsi-fungsi dan tugas-tugas mereka.

Hak-hak anak
Langkah-langkah pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak bersalah, hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak akan pengacara, hak akan kehadiran orang tua wali, hak untuk menghadapi dan memeriksa silang saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan.


Pengusutan dan Penuntutan
Pada saat penangkapan seorang anak, orang tuanya harus segera diberitahu tentang penangkapan itu dan bilamana pemberitahuan segera

 Penasehat hukum, orang tua dan wali
Selama jalannya proses peradilan anak itu akan memiliki hak untuk diwakili oleh seorang penasehat hukum atau untuk memohon bantuan hukum bebas biaya di mana terdapat ketentuan untuk bantuan demikian di negara itu.Orang tua atau wali akan berhak ikut serta dalam proses perad ilan dan dapat diharuskan oleh pihak yang berwenang untuk menghadirinya demi kepentingan anak itu. Namun demikian, mereka dapat ditolak untuk ikut serta oleh pihak yang berwenang jika terdapat alasan-alasan untuk menduga bahwa pengecualian itu diperlukan demi kepentingan anak itu.

Laporan-laporan pemeriksaan sosial
Pada semua perkara kecuali yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang kecil, sebelum pihak berwenang secara hukum memberikan pelulusan akhir sebelum vonis hukuman dijatuhkan, latar belakang di mana anak itu hidup atau keadaan-keadaan di bawah mana pelanggar hukum telah dilakukan akan diselidiki secara benar sehingga mempermudah pengambilan keputusan hukum.

Prinsip-prinsip penuntun dalam pemutusan vonis dan pelulusan
 Kehilangan kebebasan pribadi tidak dapat dikenakan kecuali anak itu diputuskan vonisnya atas suatu tindakan yang serius dan melibatkan kekerasan terhadap orang lain atau atas ketetapan dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran

A.3 Paradigma hukum pidana anak di Indonesia
Keberadaan anak yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangannya ke arah dewasa, kadangkala seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kendali, yaitu melakukan perbuatan yang kurang baik sehingga dapat merugikan orang lain ataupun dirinya sendiri. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Sudah banyak terjadi karena lepas kontrol, kenakalan anak sudah meningkat menjadi kejahatan. Menurut J.E. Sahetapy, kejahatan itu erat hubungannya dan bahkan menjadi sebagian dari hasil budaya itu sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka makin modern kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya.
Paul Separovic mengemukakan adanya tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan, yaitu (1) faktor personal, termasuk didalamnya faktor biologi (umur, jenis kelamin, keadaan mental) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan); (2) faktor sosial, misalnya faktor imigran, minorotas, dan pekerjaan; (3) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu. Adapun pengertian anak menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Rights of The Child) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Tanggal 20 November 1989 dalam Pasal 1 adalah “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat”.
Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (Gatot Suparmono.2000:34)
Adapun yang dimaksud dengan anak nakal menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mempunyai dua pengertian, yaitu:
1.Anak yang melakukan tindak pidana, ini dapat dipahami bahwa perbuatannya tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP antara lain undang-undang Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu anak yang melakukan tindak pidana dapat diperkarakan melalui jalur hukum.
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, hal ini berarti terlarang baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.
Tindakan pencegahan kejahatan dimaksud khususnya kejahatan anak, berkaitan erat dengan memperkecil faktor-faktor pemicu terjadinya kejahatan anak melalui suatu lingkungan sosial yang kondusif bagi kehidupan sosial mereka di masyarakat. Tentang pencegahan kejahatan, M. Kemal Darmawan berpendapat bahwa: Batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan khusus untuk memperkecil luas lingkup suatu kejahatan, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Pendapat Sumaryanti tentang pengertian pencegahan kejahatan anak adalah bahwa: Pencegahan merupakan suatu usaha dengan berbagai cara yang dapat dilakukan agar suatu kejahatan tidak terjadi, dengan sedapat mungkin dapat menyingkirkan sebab-sebab terjadinya kejahatan, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk lahirnya seorang penjahat baru akibat suatu kondisi yang memungkinkan.
Dengan demikian dapat dicegah adanya korban atau pelaku kejahatan.
Penjahat adalah manusia, karenanya pencegahan harus dimulai sedini mungkin yakni mulai dari masa kanak-kanak. Guttmacher berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh G.W. Bawengan bahwa: “Dari sekian banyak penjahat, ternyata hubungan mereka pada masa kanak-kanak merupakan penyebab keterlibatan mereka masuk dunia kejahatan”. Karena itu masalah pencegahan kejahatan harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan anak-anak jauh sebelum mencapai keremajaan mereka. Pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan mengadakan usaha yang positif dengan mengurangi atau kalau bisa menghilangkan faktor-faktor pendukung perbuatan kriminal yang ada dan menambah faktor-faktor penghambat terjadinya kejahatan. Dalam melakukan pencegahan kejahatan anak yang merupakan salah satu bentuk dari usaha perlindungan anak, dan berarti juga perlindungan terhadap kehidupan bangsa di masa yang akan datang, faktor pendukung usaha pencegahan kejahatan anak harus mendapat perhatian yang utama. Lebih jauh lagi, mengingat pencegahan kejahatan anak melibatkan seluruh pihak dalam kehidupan bermasyarakat, maka pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta. (J.E. Sahetapy,1992:32)
Menurut Arif Gosita, yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah:
Suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Adanya perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam konteks pencegahan kejahatan anak sebagai usaha perlindungan anak, yang menjadi pusat perhatian adalah segala kegiatan maupun usaha-usaha melakukan perlindungan anak dalam salah satu aspeknya, yaitu pencegahan kejahatan anak yang meliputi berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan anak dan anggota masyarakat lainnya serta melibatkan partisipasi dari semua pihak. Pencegahan dimaksud adalah usaha-usaha yang dilakukan dengan berbagai cara agar perbuatan kejahatan apapun tidak sempat dilakukan, dengan pengertian bahwa perlindungan tersebut adalah dengan menciptakan kondisi yang baik agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena pada dasarnya suatu pencegahan adalah lebih baik daripada melakukan perbaikan, penyembuhan maupun penindakan.
Berdasarkan petunjuk khusus tentang Operasi Penerangan INPRES Nomor 6 Tahun 1971 mengenai kenakalan remaja, usaha pencegahan (preventif) tersebut meliputi: Pemberian pendidikan pranatal kepada orangtua terutama calon ibu anak, pemberian pendidikan agama, pendidikan mental dan budi pekerti serta pengetahuan kecerdasan dan ketrampilan yang cukup kepada pribadi anak dalam keluarga, pemberian pendidikan pribadi anak dalam sekolah, masyarakat,dan Pemberian pendidikan kepada pribadi anak dalam masyarakat.

B.   Implementasi sistem pidana anak dan peradilan anak di Indonesia
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Selanjutnya, berkaitan dengan pengangkatan anak, Pasal 12 ayat (1) dan (3) undang-undang yang sama menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan,dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang tersebut merupakan suatu ketentuan hukum yang menciptakan perlindungan anak karena kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam aturan tersebut.Selama ini memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik  mengatur mengenai pengangkatan anak, kecuali bagi Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina, yaitu dengan Staatsblad 1917 Nomor 1292 (Irma Setyowati Soemitro,1990:32). Di samping Undang-Undang Kesejahteraan Anak, peraturan lain yang mencantumkan ketentuan berkaitan dengan pengangkatan anak di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal 5 (2) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa anak WNI yang belum berusia lima tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai WNI. Mengingat belum terbentuknya peraturan mengenai pengangkatan anak, maka sebagai pedoman digunakan antara lain Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang kemudian disempurnakan oleh SEMA Nomor 6 Tahun 1983.
Salah satu isi dari SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan bahwa warga negara asing (WNA) yang akan mengadopsi anak WNI harus sudah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia selama minimal tiga tahun. Selain itu, calon orang tua angkat harus mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial. Pengangkatan anak harus dilakukan melalui yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial untuk bergerak di bidang pengangkatan anak. Pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan orang tua kandung WNI dengan calon orang tua WNA tidak diperbolehkan. Seorang WNA yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengangkat anak WNI dan calon anak angkat WNI harus berusia di bawah lima tahun.
Arif Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Arif Gosita menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunya dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat yaitu diutamakan pengangkatan anak yatim piatu, Anak yang cacat mental, fisik, sosial, Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu      mengelola keluarganya. Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa.6 Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak. Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah pelaksanaan pengangkatan anak adalah sebagai berikut. (Gosita Arif, 1984:45)


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan hal-hal yaitu sebagai berikut :
1.  Instrumen hukum nasional yang mengatur mengenai hak-hak anak dan perlindungan anak di antaranya adalah:
a. Konvensi Hak Anak Internasional;
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak;
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak;
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia; dan
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 12 ayat (1) dan menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan.
3. Pada dasarnya pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, proses tersebut dapat dilakukan. Motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan anak.

B. Rekomendasi
1. Seharusnya sistem peradilan anak di Indonesia harus diatur dengan jelas agar tidak terjadi tumpang tindih antara aturan yang satu dengan aturan yang lainnya.
2.Seharusnya aparat penegak hukum harus tegas dalam menerapkan hukuman pidana terhadap para pelaku pidana terhadap anak.
3. Seharusnya pihak pemerintah memberikan jaminan hukum bagi anak yang berada di bawah umur agar mendapatkan perlindungan yang layak demi tidak direndahkannya harkat dan martabatnya sebagai bagian dari warga negara yang harus mendapat perlindungan.


DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Andi Hamzah.1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta:Ghalia Indonesia,
Arif Gosita.1982. Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Perlindungan anak disampaikan dalam
                    Makalah dalam “Seminar Nasional Perlindungan Anak”
Gatot Suparmono.2000. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta:Djambatan
J.E. Sahetapy.1992.Kriminologi Suatu Pengantar.Bandung:Aditya Bakti
Made Darma Weda.1996.Kriminologi.Jakarta:PT  RajaGrafindo Persada
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas.1999.Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam
                    Perspektif Konvensi Hak Anak.Bandung:PT. Citra Aditya Bakti
Mohammad Kemal Darmawan.1994.Strategi Pencegahan Kejahatan.Bandung:Citra Aditya
                   Bakti
G.W. Bawengan.1991.Pengantar Psikologi Kriminil:Jakarta: PT Prdnya Paramita
Anggar Gosita, Arif. 1984.Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo CV
 Herlina, Apong, dkk. 2005.Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang omor 23 Tahun
                  2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: UNICEF
Soemitro, Irma Setyowati. 1990.Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara
Susilowati, Ima, dkk. 1995. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF
--------------------------2005.Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF
Sumber Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak
Sumber Internet

http//:www.okezone.com/diakses tanggal 22 Mei 2010

No comments:

Designed By Mas Say