Breaking News

20 September 2011

MAKALAH TENTANG TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMERINATAHAN DALAM PERSPEKTIF PERJUANGAN KESETARAAN GENDER
BAB I
                                                                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hak Asasi Manusia adalah suatu perangkat azas yang timbul dari nilai-nilai yang menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dan gejalanya tetap merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang kemudian di konkritkan menjadi kaidah hidup bersama (El Muhtaj Mahda. 2008:15). Hak yang merupakan bagian dari nilai-nilai luhur budaya bangsa dan karakteristik masyarakat di Indonesia harus dapat terjaga dan dipertahankan demi terciptanya kehidupan bangsa yang harmonis. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan dasar yang digunakan oleh Bangsa Indonesia dalam berbagai kehidupan untuk menjamin hak-hak asasi warga negaranya. Perbedaan dan keanekaragaman dari masyarakat bukan merupakan bentuk halangan yang besar demi menumbuhkan rasa persatuan diantara perbedaan yang ada. Pandangan dan cita-cita hidup Bangsa Indonesia adalah untuk tetap menjaga hak-hak asasi manusia agar tidak direndahkan oleh siapa pun. Negara Indonesia melindungi setiap hak asasi dari warga negaranya. Hak setiap warga negara yang ada harus dijamin dan dihormati keberadaanya tanpa adanya perbedaan
Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari istilah bahasa inggris. Namun jika dicermati tidak ada pemisahan antara kata gender dan sex. Untuk memahami istilah ini maka perlu untuk dibedakan antara gender dan sex. Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Pria adalah manusia yang mempunyai penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat produksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat tersebur melekat secara permanent. Sedangkan konsep gender yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural (Mansour Fakih, 1996:8).
Pada dasarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah ketika tidak memungkinkan ketidakadilan gender (gender inequalitas). Menurut Masdar Mas’udi konsekuensi dari ketidak adilan gender tersebut berdampak pada empat hal yaitu: Pertama stereotype terhadap perempuan atau pelabelan yang berkonotasi negative. Kedua marginalisasi perempuan dalam rumah tangga. Ketiga perempuan menjadi sasaran tindakan kekarasan yang diakibatkan oleh kelemahannya yang semakin diperlemah. Keempat perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih berat dan lebih lama dibandingkan laki-laki. Pandangan gender dapat menimbulkan subordinasi dalam wilayah sosial politik. Anggapan bahwa perempuan irrasional atau emosional membuat perempuan terbatasi hak-hak politiknya secara cultur. Kategori-kategori tersebut dapat digunakan untuk menilai apakah sebuah kebijakan sudah sensitive gender atau belum. (Mansour Fakih, 1996:8).
Dalam masyarakat yang pluralism dan adanya bermacam-macam kepercayaan dan agama, adat istiadat dan sopan santun, berjenis-jenis corak seni dan kebudayaan daerah dan adanya berbagai peraturan tata tertib dan tata hukum (Hutarak, 1992:20). Hak Asasi Manusia mengacu pada konsep bahwa manusia memiliki hak-hak universal atau status yang tidak bergantung pada hukum formal (legal jurisdiction) di suatu negara dan juga tidak bergantung pada ras, kebangsaan dan jenis kelamin (www.wikipedia.org) / diakses 1 Oktober 2010). Dengan demikian menurut penulis setiap perbedaan yang ada dari masyarakat di Indonesia dari berbagai golongan akan memberikan corak dan karakteristik terhadap pola perkembangan kehidupan. Perbedaan yang terjadi juga melanda pihak kaum wanita yang selalu termarginalkan dengan kekuatan pihak laki-laki. Dalam sistem pemerintahan pihak wanita walaupun sudah diberi quota sebanyak 30% tetap juga belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum wanita untuk berperan serta dalam sistem politik.
Sistem politik menurut Oran R.Yuans dapat didefinisikan sebagai berkut: Pertama, seperangkat unsur-unsur yang berada dalam interaksi. Kedua, seperangkat objek yang berisikan hubungan sasaran objek dan hubungan antara lambang-lambangnya. Ketiga, Suatu keseluruhan dari campuran banyak bagian antara lambang-lambangnya. (Mansyhur Effendy, 2005:54). Dimana dalam Pemilihan Presiden, Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai pihak mewakili Perempuan Indonesia sudah 2 kali merasakan kekalahan dari pria, yaitu dari Gus Dur (1999) dan SBY (2004). Padahal kala itu, partai yang memenangkan pemilu tahun 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang meraup sekitar 30% suara nasional dengan 165 kursi di DPR, yang secara matematis seharusnya Megawati dapat dengan mudah melenggang menjadi Presiden. Namun nyatanya ia tetap kalah dalam Pilpres malawan Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa yang hanya mendapat 50 kursi DPR (www.republika.com/diakses 2 Oktober 2010).
Data perkembangan jumlah wanita dalam parlemen  porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982. Terlepas dari suara-suara yang menyimpulkan bahwa jumlah wanita yang berkecimpung dalam politik masih terlalu sedikit, perlu kita cermati apa sebenarnya peran yang mereka mainkan.  Litbang Republika telah mengadakan penelitian tentang aspirasi wanita anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD (yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap pemberdayaan politik wanita. Hasilnya adalah mereka terdorong akan kenyataan bahwa keterwakilan wanita dalam badan legislatif masih jauh dari memadai tak lebih dari 12% saja. Padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia. Kedudukan mereka dalam badan legislatif tersebut dianggap mempunyai akses politik terhadap pembuat kebijakan dan diharapkan pemberdayaan wanita Indonesia dapat dilakukan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen kurang bisa mengaktualisasikan diri sesuai dengan misi yang harus mereka emban. Bahkan 36,3% dari mereka tidak tahu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang wanita dan 41,3% tidak tahu bahwa pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasinya.(www.hukumonline.com/diakses 2 Oktober 2010). Dengan semua data tersebut menurut penulis peran wanita dalam pemerintah harus tetap diperjuangkan agar pemerataan kesetraan gender dalam pemerintahan dapat terpenuhi.

B.     Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas maka penulis memberikan beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Apakah yang  menjadi sebab peran serta wanita dalam pemerintahan tidak bisa memenuhi quota 30%?
2.      Bagaimanakah tinjauan yuridis terkait keterlibatan wanita dalam sistem politik pemerintahan?
BAB II
                                                                   PEMBAHASAN


A.  Sebab-Sebab Peran Serta Wanita Dalam Pemerintahan Tidak Bisa Memenuhi Quota 30% Dalam Tinjauan Hak Asasi Manusia

Konsepsi Hak Asasi Manusia tidak hanya ditujukan untuk warga bangsa Indonesia, tapi juga bersifat universal. Konsepsi yang demikian merupakan corak konstitusionalisme di Indonesia yang menjadi dasar tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Muladi, 1997: 4). Hak asasi manusia merupakan hak-hak konstitusional, karena statusnya yang lebih tinggi dalam hirarki norma hukum biasa. Kedudukan akan hak asasi tersebut telah diatur dan dijamin dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam UUD Republik Indonesia 1945 dalam pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kerangka yang bersifat normatif dan konsepsi merupakan upaya dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya dari diskriminasi. Indonesia adalah negara hukum dan menjunjung tinggi upaya untuk menjamin tegaknya hukum dalam berbagai bidang bagi warga negaranya. Penegakan hukum untuk melindungi warga negaranya merupakan manivestasi dalam upaya menjamin hak asasi warga negaranya.  Hukum yang dikeluarkan oleh negara merupakan landasan yuridis untuk menjamin martabat dan kehormatannya sebagai manusia. Hak asasi manusia tidak dapat digunakan seluas-luasnya dan harus ada batasannya itu telah dijamin oleh pemerintah.
Konstruksi berpikir Hak Asasi Manusia pada intinya mengajak pada universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Perdebatan dalam cakupan dan tendensinya adalah konsekuensi diri dari dari pikiran cerdas dalam rangka membangun wibawa dan martabat bangsa yang telah sekian lama sunyi dari batas-batas kehidupan Hak Asasi Manusia. HAM dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat kuat. Demokrasi memberikan pengakuan lahirnya keikutsertaan public secara luas dalam pemerintah. Dalam perkembangannya sejarah awal demokrasi terjadi desakan kea rah hadirnya kedaulatan. Aktualisasi peran public dalam ranah pemerintahan memungkinkan untuk terciptanya kepercayaan public (El Muhtaj Mahda, 2008: 44).
Hak Asasi Mausia adalah hak-hak yang dimilki oleh setiap manusia dan berhak dinikmatinya semata-mata karena ia adalah manusia (Martus Julie, 2001: 12).
               Hak Asasi Manusia adalah suatu bentuk bentuk dari cita-cita hukum yang berasal daru debat umum mengenai struktur dan organisasi yang dikehendaki (Foryste,David.1978:1).
               Menurut Frans Magais Susno Hak Asasi Manusia adalah suatu bentuk pengejawantahan seluruh pancasila dan dlam bentuk keterkaitannya dari hakikat dan makna operasionalisasi pancasila(Syamsir, Rozdi Abdullah, 2001: 34).
Menurut Jian Dictet HAM adalah keseluruhan hukum dan semua norma yang ditulis dan diuraikan  yang setidak-tidaknya diarahkan untuk menjamin rasa hormat kepada pribadi insani dan meningkatkan perkembangannya (Adnan Buyung Nasution, 2001:4).
           Menurut Maurice Cranston Hak Asasi Manusia adalah merupakan bentuk hak moral yang universal dan sesuatu yang harus dimiliki semua manusia di mana pun dan dalam apa pun haknya tanpa adanya penghinaan yang berarti terhadap keadilan dan sesuatu yang harus diberikan pada setia manusia (Suryana Ana, 1987: 40). Hal ini mengindikasikan bahwa wanita pada kodratnya memang sejak lahir dituntut agar menjadi wanita rumah tangga. Hal tersebut kebanyakan sudah dialami secara umum di didunia. Dengan demikian hal ini akan menjadikan wanita tidak mau maju dan menjadi wanita karier guna guna pemberdayaan kehidupannya. Wanita dipandang lemah dan tidak mampu menduduki pemerintahan.

B.  Konstelasi Politik Antara Peran Wanita Dalam Komparasinya Ditinjau Dari Sistem Politik di Indonesia

Pada konvensi wanita sebagai instrument ampunan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Penyebarluasan dilakuakn melalui berbagai media masa,seminar dan lokakarya dengan para pengajar untuk memasukan materi dan prinsip gender dan adanya konvensi sebagai bahan pengajaran di Fakultas Hukum di seluruh Indonesia sebagai mata kuliah Hukum dan Gender (Kelompok Kerja Coventiont Watch Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, 2002: xvi).
Berbicara sistem politik pada intinya bicara pilihan sistem politik. Sistem politi dictator dan aturan sisten politik demokratis kerakyatan. Walaupun dalam praktiknya terdapat jaringan antara kedua sistem politik tersebut.  Sistem politik mempunyai timbale balik dengan hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (Mansyhur Effendy, 2005:54).
Pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 10 kali yang hasilnya menunjukan suatu konfigurasi kekuatan politik yang berbeda antara masa Orde Lama dengan Orde Baru maupun sesudah reformasi. Pemilu tahun 1955 memunculkan 4 kekuatan patai politik besar yaitu, Partai Nasionalis Indonesia dengan 57 kursi, Masyumi 57 kursi, Nahdatul Ulama 45 kursi, Partai Komunis Indonesia 39 kursi dan berbagai partai lainnya yang kursinya dibawah 10 dari jumlah kursi di DPR yang diperebutkan sebanyak 257 kursi. Pemilu masa orde baru dimulai tahun 1971 yang dikuti oleh 10 partai politik dengan konfigurasi Partai Golkar 236 kursi, Nahdatul Ulama 58 kursi, Parmusi 24 kursi, Partai Nasioanalis Indonesia 20 kursi, dan lima partai yang lain mendapat di bawah 10 kursi dari 360 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak pemilu 1977 sampai dengan 1999 7 partai politik disederhanakan menjadi 3 % saja yaitu Partai Golkar tahun 1977 mengalami penurunan 0,89 % naik 2,23 % pada pemilu 1982 naik lagi pada pemilu 1987 sebesar 8,82 % dan turun 5,06 % pada pemilu 1992 dan akan tetapi naik lagi 6,41% pada pemilu 1997. (Jurnal Konstitusi, 2009: 38).
Dalam susunan kabinet periode 1992-1997 telah terdapat dua menteri wanita yaitu Ny. Mien Sugandhi sebagai Meneg Urusan Peranan Wanita (UPW) dan Ny. Inten Suweno sebagai Menteri Sosial. Sistem politik yang tidak mempresentasikan populasi wanita dengan baik merupakan sesuatu yang dikeluhkan belakangan ini. Contoh konkrit yang dikeluhkannya adalah ketiadaan gubernur wanita, padahal wanita merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu. Data tahun 1993 mengenai posisi (politik) strategis di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah masih minoritas. Wanita hanya 1,6 % dan dari 15.332 pejabat eselon I dan II departemen. Para wanitanya hanya 5,5 %. Penelitian Republika menunjukkan bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita berkompetisi dengan pria dalam dunia politik. Sedangkan faktor struktural adalah adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala oleh kurangnya dukungan pemerintah. Sejumlah analisa muncul menyangkut masalah ini. Kementrian non departemen tidak memiliki birokrasi yang bekerja efektif di tingkat lokal. Lalu anggaran untuk kementrian inipun tidak teralokasikan secara khusus sebagaimana alokasi anggaran untuk sebuah departemen. Untuk itu ada 44 orang wanita anggota parlemen (42,3%) menurut penelitian Republika yang menginginkan agar terpenuhi. Alasan mereka adalah untuk meluaskan kesempatan bagi wanita yang berpotensi di tiap propinsi atau daerah untuk berkiprah secara langsung dalam agenda wanita. Juga agar persoalan kurangnya anggaran untuk proyek pemberdayaan wanita bisa teratasi. Segala program peningkatan peranan wanita bisa leluasa dirancang. (www.kompas.com/diakses 4 Oktober 2010).
Penelitian untuk mengetahui sampai sejauh mana persepsi wanita tentang politik. Apakah terjun ke dunia politik dipandang  sebagai hal yang tabu, sebagai bagian dari nilai-nilai atau pandangan tradisional.  Padahal, potensi wanita Indonesia secara kuantitas sangat besar  jumlahnya. Dari sensus penduduk tahun 1990 tercatat 89.873.406 wanita atau hampir 0,4 juta lebih banyak dibandingkan dengan pria. Mengutip hasil penelitian Mayling Oei Gardiner mengenai Indikator Wanita Indonesia tahun 1991 disebutkan hanya tercatat sebanyak 927 kepala desa di seluruh Indonesia atau 1,38% dibandingkan kepala desa pria. Bahkan, dalam Lembaga Tinggi Negara seperti DPA, MPR, BPK dan DPA juga  dapat dilihat persentase wanita sangat kecil, sekitar 10,4% di MPR (104 orang wanita), Mahkamah Agung (12,5%), DPA (5,1%), BPK (2%). Di dalam Kabinet Pembangunan yang sedang berjalan pun, hanya ada dua orang menteri wanita, yaitu Menteri Sosial Ny Inten Soeweno serta Menteri Negara Urusan Wanita Mien Sugandi. Tidak ada satu pun gubernur wanita di antara 27 gubernur di Indonesia. (www.hukumonline.com/diakses 2 Oktober 2010). Menurut penulis paradigma yang dikonstruksi oleh pihak legislative dan eksekutif dalam memperjuangkan kersetaraan gender bagi kaum wanita untuk berperan aktif dalam pemerintahan hanya camuflase belaka. Dalam tataran teoretis instrument hukum untuk mewujdkan keterlibatan dalam konstelasi politik negara sudah ada aturan yang jelas, tetapi dalam tataran praktisnya masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan potensi wanita di setiap daerah berbeda dan jika belum mencapai quota yang diharapkan tetap saja partai politik yang seharusnya mengusung wakil perempuan tidak mendapat teguaran dan peringatan dari pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU).

C.     Tinjauan Yuridis Terkait Keterlibatan Wanita Dalam Sistem Politik Pemerintahan

Adanya kewajiban negara dengan problematik antara masyarakat warga (civil society) telah memberikan mandat dan tanggung jawab pada negara agar memberikan jaminan hukum terhadap semua warga negara agar terjadi rasa keadilan. Setisp negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum pelaksanaan kekuasaannya harus berdsarkan hukum. ( Suryadi Radjab dkk, 2002: 36)
Dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM di pasal 1 ayat (1) disebutkan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. HAM pada umumnya mencakup hal-hal yaitu, Hak Kemananan (security rights), Hak Kebebasan (liberty rights), Hak Berpolitik (political rights), Hak Proses Hukum (due process rights), Hak Kesetaraan (equality rights), Hak Ekonomi (economic rights), dan Hak Berkelompok (group rights). Pada dasarnya HAM memiliki konsep dasar kebebasan, yaitu : kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, dan kebebasan kepemilikan. Namun, eksistensi, keberlakuan dan kandungan dari teori HAM ini terus menjadi bahan perdebatan dalam dunia filsafat dan politik. (www.attafkir.multiply.com /  diakses 3 Oktober 2010).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di pasal 1 ayat (5) yang berbunyi”Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah perbuatan yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya”.
Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Partai Politik pasal 65 ayat (1) yang menyebutkan “setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”. Dengan adanya quota tersebut sebagai aturan yuridisnya dalam mengakomodir kaum perempuan untuk ikut serta dalam pemerintahan merupakan hal yanhg harus dijadikan dasar agar keterwakilan perempuan dalam legislative dapat tercapai. Dalam pemilihan sistem distrik dan proporsional harus dapat melibatkan peran serta wanita untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Dengan demikian tidak akan adanya ketimpangan antara calon pemilih wanita dengan kursi yang telah disediakan oleh masing-masing daerah pemilihan.

D. Analisis Keterlibatan Wanita Dalam Sistem Pemerintahan Ditinjau Dari Paradigma Model Analisis Gender

D.1 Faktor-Faktor Utama Penyebab Kegagalan Wanita Meraih Quota 30% di
       Parlemen

Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Partai Politik pasal 65 ayat (1) telah diamanatkan quota 30% memang sudah menjadi syarat yuridis formal yang upaya pemenuhannnya tidak boleh diabaikan. Dalam praktek yang dijalankan oleh setiap partai politik di AD/ART telah dicantumkan juga tentang keterlibatan wanita 30% dalam pemerintahan. Menurut Penulis jika ditelaah lebih lanjut ada dua (2) sebab utama upaya quota 30%  tidak dapat tercapai dalam sistem pemerintahan.

1)      Faktor Internal Partai Politik
Tiap partai politik wajib dan pasti mempunyai sebuah ideologi berupa politik merit sistim yang tertuang dalam AD/ART masing-masing partai politik. Substansi dari ajaran ideologi ini adalah semua anggota partai politik harus berintelektual tinggi dan berkualitas serta komposisi anggotanya jelas” dan “tujuan dari partai itu jelas menyejahterakan rakyat”. Partai politik yang ada  di Indonesia sekarang telah mengkooptasi birokrasi-birokrasi dalam instansi pemerintahan dan hal itu disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan individu dan tersembunyi dari partai politik dan dari para anggotanya. Realita yang ada sekarang banyak mental para anggota partai politik yang buruk. Setelah para anggota partai politik berhasil menduduki birokrasi, maka birokrasi inilah dijadikan sebuah mesin untuk menumpuk harta kekayaan. Dalam keadaan inilah mereka telah merasa memiliki kekuasaan dan wewenang. Partai politik yang ada di Indonesia sekarang bagaikan sebuah perusahaan yang tujuannya hanya untuk mencari keuntungan pribadi belaka, dan politik merupakan sebuah mata pencaharian utama bagi anggota partai politik. Dalam fenomena ini maka menurut Penulis partai politik mayoritas adalah kaum laki-laki dan tujuan yang hendak dicapai partai tidak akan jauh dari hasrat laki-laki yang kebanyakan tamak dan rakus terhadap harta. Partai politik hanya akan dijadikan kendaraan untuk mencari kekayaan belaka. Dengan demikian semua konsep dan aturan yang telah tertuang dalam AD/ART partai politik akan mudah untuk dirubah termasuk mengesampingkan quota 30% walaupun belum terpenuhi partai tersebut mencari celah agar tetap mendapatkan kursi di parlemen. Perubahan mekanisme tersebut biasanya dilakukan dalam musyawarah partai atau pun konggres partai. Makin besar kesempatan dan makin banyak komposisi anggota partai yang masih didominasi oleh laki-laki, maka quota 30% akan tetap dikesampingkan agar peranan wanita dalam pemerintahan tidak dapat tercapai. Hal ini berimplikasi ketika diadakan penjaringan wanita untuk duduk di parlemen akan dihalang-halangi oleh pihak laki-laki, sehingga pihak laki-laki akan tetap dominan untuk mendapatkan jatah kursi di parlemen.

2)      Faktor Ekternal Partai Politik
Berdasarkan konsep Hak Asasi Manusia menurut Penulis sudah memberikan amanah bahwa banyak yang terjadi kelemahan yang menjadi sebab peran serta wanita dalam sistem pemerintahan. Hal ini dapat disebabkan yaitu:
Pertama, bila dicermati saat ini, partisipasi wanita dalam kancah perpolitikan tidak begitu tinggi atau dengan kata lain  partisipasi masih rendah dari perempuan itu sendiri yang dalam kodratnya lebih memilih untuk sibuk dalam mengurusi keluarga serta anak-anaknya yang kelak menjadi generasi penerus. Kaum perempuan tidak bisa menghindarkan diri dari kodratnya sebagai makhluk paling halus sejagat dan lebih condong dalam memenuhi nalurinya sebagai manusia lembut yang lebih mengutamakan keluarganya.
Kedua, tampilnya sosok wanita menjadi pemimpin suatu partai tertentu ataupun wilayah tertentu ternyata tidak menjamin keterwakilan kaum perempuan di dalamnya. Dengan demikian telah menjadikan kunci ketidakpercayaan pada kekuatan wanita untuk menduduki sistem pemerintahan.
Ketiga, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan kadang diartikan keliru. Aktualisasi diri yang dilakukan kaum perempuan tidak jarang hanya menjadi ladang eksploitasi dan menjadi bumerang bagi perempuan yang dilakukan oleh beberapa pihak. Dalam keadaan yang demikian pihak wanita cenderung untuk menuruti kemauan laki-laki dan takut untuk berkarier di dalam bidang politik.
Keempat, kebanyakan pendidikan yang ditempuh oleh kebanyakan wanita masih rendah, sehingga akan mempengaruhi tingkat pemikiran tentang peningkatan kualitas wanita untuk dapat duduk di parlemen.

D.2 Analisis Keterlibatan Wanita Dalam Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif
       Sara H. Longwe dan Teori Equilibrium

Menurut Sara H.Longwe pemberdayaan perempuan mencakup tiga (3) hal yaitu: (1) capacity building bermakna membangun kemampuan perempuan, (2) cultural change yaitu perubahan budaya yang memihak perempuan, (3) structural adjustment adalah penyesuaian struktural yang memihak perempuan dan upaya pemberdayaan diarahkan pada tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui kesetaraan gender.
Menurut Penulis dalam konteks (1) capacity building ini wanita jika sudah duduk dalam pemerintahan dengan sendirinya akan mampu merubah daya pikir dan paradigma yang direkonstruksi selama menjalani aktivitas politiknya. Dalam keadaan ini wanita tidak lagi dipandang sebagai wanita yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mindsite yang dibangun dengan makin banyaknya wanita yang duduk dalam pemerintahan akan memberikan teladan bagi wanita yang lainnya untuk berperan aktiv dalam pemerintahan. (2) Cultural change adalah suatu perubahan budaya dalam memandang kedudukan wanita. Dengan demikian sebuah budaya tidak akan mungkin muncul dalam waktu yang relative singkat. Hal ini membutuhkan waktu yang lama agar budaya tersebut benar-benar diakui oleh khlayak umum sebagai sebuah kebenaran. Hal ini bermakna jika setiap partai politik sadar dan menempatkan quota 30% wanita untuk mengikuti proses pemilu serta semua yang dicalonkan tersebut semua lolos verifikasi maka akan menimbulkan stigma yang positif bahwa keterlibatan wanita dalam pemeerintahan dapat terpenuhi. Jika hal ini dapat terjadi disetiap daerah pemilihan dengan didukung oleh semua partai politik, maka kebiasaan yang memihak pada wanita untuk dapat duduk dalam pemerintahan menjadi besar. Hal ini nanti akan ditandai dengan adanya peran serta dan keaktivan wanita tersebut setiap ada pemilihan umum dapat mencalonkan diri dengan mendapat dukungan massa dari daerahnya masing-masing. (3) Structural adjustment merupakan parameter dari kemampuan wanita untuk membuat perubahan dalam aturan perundang-undangan. Hal ini jelas jika makin banyak wanita yang duduk di kursi parlemen akan dapat memberikan perubahan yang significant terhadap aturan yang nantinya akan dikeluarkan oleh badan legislative. Dari 560 kursi yang ada sekarang mayoritas dimiliki oleh suara laki-laki. Jelas ketika terjadi perubahan atau pun pembuatan peraturan perundang-undangan akan tetap di didominasi oleh naluri laki-laki yang tentunnya keterpihakan pada wanita menjadi berkuarang dan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan tidaka ada perlindungan terhadap hak-hak wanita.

Teori analisis kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Hal ini menurut Penulis keterlibatan wanita dalan pemerintahan bukan lagi sebuah hambatan, akan tetapi merupakan sebuah kewajiban yang harus diakomodir oleh setiap partai politik agar menempatkan wanita dalam komposisi daftar calon ketika terjadi pemilihan umum. Hal ini menunjukan bahwa antara wanita dan laki-laki dapat berkerjasama dalam pemerintahan dan tidak ada lagi stigma negative bahwa wanita tidak mampu berkontribusi bagi berjalannya pemerintahan.

D.3 Program Kongkrit dan Metode Realisasi Guna Meraih Quota 30% di
       Parlemen

Adapun menurut Penulis agar quota 30% dapat tercapai harus melakukan hal-hal yaitu sebagai berkiut:

1.      Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Partai Politik pasal 65 ayat (1) yang menyebutkan “setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”. Dalam aturan yuridis tersebut jelas masih banyak multitafsir jika ditafsirkan secara gramatikal dan ekstensif yaitu ada kata “dapat mengajukan calon”, menurut Penulis harus diganti dengan kata “wajib mengajukan calon”. Selain itu ada kata “sekurang-kurangnya”, menurut Penulis dapat diganti dengan kata “keterwakilan perempuan wajib 30%”. Dengan demikian solusi kongkrit adalah merevisi undang-undang tersebut agar quota 30% tidak ditafsirkan salah dan hanya dijadikan alat politik bagi pihak laki-laki.
2.      Dalam AD/ART setiap partai politik terkait politik merit sistem yang dimilikinya ketika dilakukan perubahan pada musyawarah partai atau pun konggres “harus dan wajib” dicantumkan dalam AD/ART tentang quota 30% wanita agar menjadi syarat mutlak partai tersebut dapat lolos ke parlemen.
3.      Mengingat adanya aturan tentang Elementary Treshold yaitu 2,5 % suara baru dapat memperoleh kursi di parlemen, maka agar quota wanita 30% dapat terakomodir untuk mendapatkan kursi di parlemen. Jika dalam partai politik tertentu tidak ada quota 30% wanita maka partai tersebut tidak boleh mendapatkan satu kursi pun di parlemen. Hal ini akan menjadikan efek jera bagi partai politik yang tidak memperhatikan adanya quota 30% wanita dalam pemerintahan. Mekanisme yang harus dijalakan ketika partai politik tersebut lolos dalam pemilihan umum adalah dengan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang pada intinya bagi partai politik yang tidak memperoleh quota 30% wanita walaupun dapat suara banyak tetap tidak akan dapat kursi di parlemen.
4.      Mengingat sistem pemilihan umum yang digunakan adalah “sistem distrik” dan “sistem proporsional”, maka setiap Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) harus mengeluarkan keputusan atau kebijakan yang menyatakan bahwa setiap dewan pimpinan cabang partai harus dan wajib memberikan daftar wanita yang akan mengikuti pemilihan umum dengan quota 30% terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Dengan demikian keterwakilan wanita dari masing-masing daerah dalam pemilihan umum akan memiliki suara dan peran aktiv untuk duduk dalam pemerintahan.


BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

1.      Bahwa hak-hak perempuan dalam politik walaupun sudah ada aturan yuridis untuk terlibat dalam sistem politik pemerintahan. Penetapan quota 30% dalam badan legislative bagi perempuan tetap belum terealisasi dengan banyak faktor yang menjadi pemicunya dan pihak wanita tetap menjadi posisi yang termarginalkan.
2.      Bahwa kaum perempuan hanya menjadi eksploitasi saja dari kaum laki-laki, sehingga untuk ikut serta dalam pemerintahan menjadi terhambat dan hanya cenderung untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Urusan politik bukan menjadi tujuan utama dan bahkan kurang peka untuk aktiv terlibat dalam pemerintahan.
3.      Bahwa wanita dalam sistem perpolitikan negara masih termarginalkan dan quota 30% yang telah amanahkan oleh aturan perundang-undangan tidak dapat tercapai. Hal tersebut hanya dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen.

B.Rekomendasi


1.      Kesejajaran yang ada saat ini hendaknya juga turut serta didukung pemerintah dengan cara meminimalisir berbagai eksploitasi dan kejahatan terhadap wanita dengan cara meningkatkan dan memperbaiki tata pendidikan serta sistem hukum yang ada. Sehingga wanita bisa berperan optimal dan suatu saat mampu mencetak generasi-generasi tangguh dalam membangun Indonesia kedepan. Penulis berbagai pihak ikut andil dalam memperjuangkan hak wanita untuk berperan serta dalam sistem politik pemerintah
2.      Pembatasan quota 30% harus dapat difungsikan oleh berbagai partai politik dan diwajibkan agar tiap daerah ada keterwakilan wanita dan jika belum terpenuhi harus dilakukan pemilu ulang dengan terus memberikan sosialisasi terhadap keterlibatan kaum perempuan dalam sisitem pemerintahan karena jika tidak aturan tersebut inskonstitutional.
3.      Agar quota 30% dapat tercapai maka aturan yang ada harus segera direvisi, sehingga tidak akan menimbulkan banyak multitafsir. Selain itu aturan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus lebih tegas terkait partai politik yang belum memenuhi quota 30%.


Daftar Pustaka

Sumber Buku

El Muhtaj, Mahda. 2008. Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi,Soaial dan Budaya.Jakarta:Rajawali Press
Fakih, Mansour.1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Foryste, David.1978. Hak Asasi Manusia dan Politik Dunia.Bandung:Angkasa
Hutarak, 1992.Tentang dan Sekitar HAM Warga Negara.Jakata:Erlangga
Nasution, Adnan Buyung. 2001.Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Manusia.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Muladi.  1997. Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit
Martus, Julie.2001.Hak Asasi Kaum Perempuan Langkah Demi Langkah.Jakarta:Pustaka Sinar Harga
Syamsir, Rozdi Abdullah.2001. Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Keberadaan Peradilan Hak Asasi Manusia di Indonesia.Jakarta:Anggota IKAPI
Suryana, Ana.1987. Hak Asasi Manusia Dalam Islam.Jakarta:Pustaka Firdaus
Mansyhur, Effendy.2005. Perkembangan Dimensi HAM dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAK HAM). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kelompok Kerja Coventiont Watch Pusat Kajian Wanita dan Gender UI .2002. Hak Asasi Perempuan Instrument Hukum Mewujudkan Keadilan Gender.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Suryadi, Radjab dkk,2002. Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia.Jakarta :PBHI

Sumber Jurnal
Jurnal Konstitusi. “Konfigurasi Partai Politik Pasca Politik Pasca Pemilu 2009”.P3KHAM LPPM UNS. Volume II Nomor 2,November 2009


Sumber Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Partai Politik
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No.40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Sumber Internet

http//:www.wikipedia.org / diakses 1 Oktober 2010
http//:www.attafkir.multiply.com /  diakses 3 Oktober 2010

No comments:

Designed By Mas Say