Breaking News

20 September 2011

MAKALAH TENTANG EXISTENSI SISTEM ADAT MUKIM DAN GAMBONG DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
        Makin berkembangnya situasi yang dinamis dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia juga akan mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di rezim Orde Baru perwujudan  kekuasaan sentripetal 1 yang berat sebelah memihak justru mementingkan urusan pusat tanpa memikirkan kehidupan adat yang ada di masyarakat.Tanpa disadari existensi akan hukum adat lama-lama akan pudar dan justru lebih menimbulkan problematic serta akan mengancam disintegrasi bangsa. Pemerintah dalam menyikapi fenomena yang ada terkadang juga dibenturkan oleh prolema yuridis dan sosiologis jika akan memberikan kebijakan terkait pemberlakuan hukum adat yang ada di daerah. Meskipun dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim dan gambong, tapi keberadaan Mukim dan Gambong tersebut di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat
        Seiring waktu yang berjalam bertolak dari kebijakan pemerintah dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah maka terbuka ruang pula bagi keberadaan pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah. Berdasarkan isi pasal 5 ayat 2 undang-undang no.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah disebutkan bahwa ”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal senada juga telah diatur dalam UUD Republik Indonesia 1945 pasal 18 yang berbunyi” Pembagian daerah Indonesia atas derah besar dan kecil dengan bentuk susunaan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”..Dengan adanya aturan ini maka secara explisit telah ada landasan yuridis bagi pemberlakuan otonomi khusus bagi daerah Aceh. Hukum positif di Indonesia telah memberikan pijakan bagi existensi hukum adat yag dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh yaitu dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan pada Bab XV telah diatur secara khusus tentang  sistem pemerintahan yang ada yaitu Mukim dan Gampong.[1]
        Aturan sistem tentang Mukim dan Gambong ini merupakan nilai-nilai hukum adat yang unik yang telah diakui sebagai hukuk oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Landasan yang melatarbelakangi nilai hukum adat ini adalah syariat dan ajaran Agama Islam. Ada dua tipe dalam penegakan sistem hukum adat tersebut yaitu pertama adalah lembaga masyarakat sebagai peraturan (legislative institutioan) dengan peran dan fungsi  untuk mengatur dan membatasi perilaku manusia. Kedua adalah lembaga masyarakat sebagai kelakuan (operative institution) dengan peran dan fungsi untuk membantu pola-pola sistem hukum adat yang ada di masyarakat. (Soenaryo, 1991:90). Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya sistem mukim dan gambong tersebut merupakan bagian dari gabungan legislative institutioan dan operative institution karena peran dan fungsi dari sistem adat tersebut adalah aturan dari syariat Agama Islam guna memberikan arahan manusia dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Pemberlakuan hukum positif terhadap keberadaan nilai-nilai hukum adat di Aceh tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan kecemburuan bagi daerah lain dan dapat menghindarkan dari disintegrasi bangsa.
          Pasca pergerakan era reformasi yang menyertai proses demokratisasi juga merupakan awal salah satu terbukanya kembali peluang adanya keragaman adat dan budaya serta keragaman pemerintahan lokal di Indonesia. Dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh  menjadikan peluang untuk menjalankan syariat Agama Islam dalam semua sendi kehidupan dan dengan keterlibatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta pemerintahan gampong di Aceh menjadi terbuka lebar dan mempunyai landasan hukum yang sah dan memadai. Diharapkan dengan adanya sistem mukim dan gambong di Aceh tersebut akan dapat memberikan rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat

B.Rumusan Masalah
             Dari beberapa uraian di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      1. Bagaimanakah bentuk existensi dan deskripsi hukum  adat terkait otonomi khusus Nanggroe Aceh   Darussalam  dalam pengaturan hukum positif  di Indonesia?
2.      2.  Apakah implikasi positif dan negatif pasca diberlakukannya otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam dalam tatanan sistem hukum di Indonesia?
3.      3. Bagaimanakah analisis  terkait otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam  dalam perspektif  yuridis dan sosiologis?

BAB II
KAJIAN TEORITIS

1.  Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh  sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  pasal 1 point 11 yang berbunyi “Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain” dan pasal 1 point 12 yang berbunyi “Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah.”
2.     Peran dan Fungsi dari lembaga adat dari sistem mukim dan gambong adalah sebagai berikut:
a) Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim yang membawahi    
    beberapa gampong.
b) Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan
    peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman.
c) Tuha Lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.
d) Keuchik adalah Kepala gampong yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong.
e) Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama   yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong.
f) Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong.
g) Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.
h) Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laut.
i) Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.
j) Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar.
k) Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
l) Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll) dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat.
               (www.green-aceh.blogspot.com, diakses tanggal 9 November 2009 pukul 23.00 WIB)

3.    Pasal 1 ayat  (4) Qanun Nomor 4 tahun 2003 menyebutkan bahwa “Mukim atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain. Dan selanjutnya Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan : ”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri”. (www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp, diakses tanggal 9 November 2009 pukul 23.00 WIB)


BAB III
PEMBAHASAN

1.     Bentuk existensi dan deskripsi hukum adat terkait otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam  dalam pengaturan hukum positif  di Indonesia

1a. Sistem Mukim dan Gambong sebagai manivestasi bentuk hukum adat di Nanggroe Aceh Darussalam
  
       Berkaitan dengan sejarah timbulnya mukim telah mengalami masa yang sangat panjang. Problema dan tarik ulur tentang existensi adanya mukim tersebut juga telah mengalami perubahan yang significant. Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Agama Islam ke Aceh. Keberadaannya memiliki dasar  yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial kemasyarakatan maupun untuk kehidupan beragama. Dalam tata pemerintahan aturan dalam mukim tersebut juga digunakan untuk menentukan sistem pemerintahan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Terbentuknya mukim tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at. Inti dari pelaksanaan mukim itu adalah penegakan syariat islam. Masa demi masa telah dilalui oleh masyarakat Aceh dalam mempertahankan keberadaan sistem hukum adat tersebut. Adapun pada masa Kerajaan Aceh struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu :
(1)   Seorang Sultan yang memimpin sebuah kerajaan dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee balang atau anak buahnya,
 (2) Seorang Panglima yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang,
 (3) Ulee Balang yang bertugas mengkoordinir beberapa mukim,
 (4) Imem mukim yang membawahi beberapa gampong, dan
 (5) Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah


           Dalam sistem yang dijalankan dalam kehidupan sehari-harinya sistem mukim ini mempunyai cirri khusus yaitu; Dasar yang diterapkan dalam ritual keagamaannya menunjukkan bahwa sistem pemerintahan mukim berazaskan Agama Islam, Adanya perhatian terhadap  syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan atau pemuka agama islam, Adanya mekanisme dan pola pengelolaan tanah yang dijalankan, dan terakhir dalam penyelesaian sengketa yang mengutamakan perdamaian melalui musyawarah. Tentang pemilikan tanah tersebut dikenal sistem Tanoh Potallah 2 yang dapat memberikan manfaat dan keuntungan pada masyarakat. Paham dari Masyarakat Aceh ini disebabkan tanah tersebut merupakan anugrah dari Allah S.W.T yang boleh dimiliki oleh setiap orang.
          Pasca kemerdekaan Republik Indonesia sistem pemerintahan mukim tetap diberlakukan dengan mengacu pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. [2]Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5.3 Pada masa rezim Orde Baru penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik yang diikuti dengan politik hukum unifikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian paradigma tersebut berlangsung secara seragam di seluruh Indonesia. Dengan Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka keberadaan pemerintahan Mukim ini tidak lagi mendapat pengakuan dari pemerintah. Dampak terbesarnya adalah sistem pemerintahan mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Hal ini dalam prakteknya tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaan lembaga adat mukim yang ada di Aceh. Justru disebagian masyarakat, lembaga Mukim beserta lembaga adat lainnya tetap dipertahankan. Hal ini memang telah bertolak belakang dengan aturan yang ada.
            Dengan berjalannya proses reformasi dan rekonstruksi sistem pemerintahan di Indonesia, maka pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh. Khusus bagi Aceh  dalam rangka penyelesaian konflik pemerintah membuat produk hukum juga pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam aturan ini telah diamanatkan tentang penyelenggaraan keistimewaan yang memuat substansi berkaitan dengan penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh.                
           Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh  sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  pasal 1 point 11  Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.  Dalam perkembangan tentang sistem prolegnas di Indonesia maka pemerintah juga telah mengambil kebijakan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang tersebut maka existensi dan keberadaannya makin terjamin sehingga  sistem mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong.

1b. Mekanisme Sistem Mukim dan Gambong sebagai kesatuan lembaga adat dalam tinjauan fungsi dan perannya
Sistem Mukim dan Gambong adalah bagian dari lembaga masyarakat adat yang telah menjadi dasar hukum dalam aktivitas sehari-hari guna menegakan ajaran dan syariat [3]islam. Jika ditelaah lebih lanjut maka adanya lembaga adat adalah penjelmaan dari kelakuan manusia (social behaviour) 4. Adanya lembaga yang bersifat istimewa justru akan mengandung nilai-nilai adat yang akan menciptakan rasa keadilan di dalam masyarakat. Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat haruslah terpenuhi beberapa syarat yaitu adalah sebagai berikut:
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
2. Adanya kelembagaan adat dalam bentuk penetapan oleh penguasa
3. Adanya wilayah hukum adat yang jelas
4. Adanya pranata hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati oleh sebagian 
          besar masyarakat
                   5.Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
               pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
           Berkenaan dengan hal diatas maka ada beberapa yang menjadi objek dan ciri khusus bagi hukum adat yang ada di Aceh. Para warga gampong masih memiliki ikatan kekerabatan yang erat dengan sesamanya, sehingga kepedulian dan kebersamaannya juga dalam suatu permukiman yang sama.  Dalam kehidupam sehari-harinya hubungan yang harmonis bukan disebabkan solidaritas territorial, tetapi memang merasa masih ada ikatan yang kuat antara keluarga. Hidup gotong royong juga selalu diperlihatkan dalam kehidupan. Suka dan duka juga mereka tanggung bersama serta hidup saling tolong-menolong tidak lepas dari tujuan hidup mereka.
            Dalam kehidupan sistem mukim dan gambong di Aceh masih ditemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Adapun beberapa bentuk dari lembaga adat dan fungsinya yaitu adalah sebagai berikut:
1. Lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim,
2. Lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum meseujid,
3. Lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan,
4. Lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh geusyiek,
5. Lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah, dan
6. Lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut.
7. Lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang,
8. Lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet,
9. Lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek,
10. Lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee,
11. Lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, dan
12. Lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan.
       (www.green-aceh.blogspot.com, diakses tanggal 9 November 2009 pukul 23.00 WIB).
                Adanya berbagai macam lembaga adat tersebut menunjukan bahwa hukum adat di Aceh telah menjadi pilar utama bagi penegakan syariat islam dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Lembaga adat tersebut akan semakin memberikan control dan arahan terhadap pelaksanaan syariai islam.

2.     Implikasi positif dan negatif pasca diberlakukannya otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam dalam tatanan sistem hukum di Indonesia

          Pasca pemberlakuan otonomi khusus di Aceh juga menimbulkan  pro dan kontra dari hukum yang dijalankan jika dikomparasikan dengan sistem hukum nasional di Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibentuknya Mahkamah Syar`iyah sebagai salah satu lembaga peradilan yang berada di bawah peradilan umum. Mengenai keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah ini maka secara hukum materil dan formil terdapat  dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab XVIII Mahkamah Syar`iyah tepatnya pasal 128 yang berbunyi “(1) Peradilan Syari`at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun, (2) Mahkamah Syar`iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh, (3) Mahkamah Syar`iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari`at Islam, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh”.
      Implikasi dengan dibentuknya Mahkamah Syar`iyah merupakan badan peradilan untuk semua orang yang beragama Islam yang berada di Aceh dalam bidang hukum perdata kekeluargaan, hukum perdata keharta bendaan, serta hukum pidana. Dengan ketentuan ini pembuat undang-undang kelihatannya menginginkan Mahkamah Syar`iyah menjadi badan pengadilan utama di Aceh yang pada saatnya nanti akan menggantikan peran Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan syariah ini berpuncak pada pengadilan agama dan  pengadilam umum. Pengadilan Agama memang sudah tidak ada lagi di Aceh, karena sudah diubah menjadi Mahkamah Syar`iyah, sedangkan Pengadilan Negeri masih ada dan akan tetap ada tetapi kewenangannya akan berkurang. Hal ini disebabkan karena beralih menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah. Pengadilan Negeri tidak akan ditutup dengan pertimbangan orang yang tidak beragama Islam yang berada di Aceh akan tetap memerlukan dan berurusan dengan badan pengadilan ini. Hukum materil dalam ketiga bidang yang menjadi kewenangan (Mahkamah Syar`iyah) tersebut akan ditulis dalam Qanun Aceh. Dengan  demikian masyarakat Aceh diberi izin untuk mempunyai hukum materil sendiri dalam bidang perdata dan pidana berdasarkan Syari`at Islam. Berkenaan dengan adanya upaya hukum tentang kasasi atas putusan Mahkamah Syar`iyah Aceh akan tetap dilakukan ke Mahkamah Agung, hal ini disebabkan karena mahkamah ini merupakan pengadilan tertinggi dan puncak semua pengadilan di Indonesia.

3.     Analisis  terkait otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam  dalam perspektif  yuridis dan sosiologis

a.      Kajian analisis dalam perspekti yuridis terkait hukum adat di Aceh

      Berkenaan dengan adanya otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam pemerintah tidak serta merta memutuskan tanpa harus ada pertimbangan terlebih dahulu. Langkah pemerintah yang telah diambil juga mengacu pada Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV/ MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Tap MPR No IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan  Otonomi Daerah yang mengamanatkan UU Otonomi Khusus di Aceh harus dapat dikeluarkan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah di seluruh pelosok tanah air. Melalui Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dan qanun nomor 5 tahun 2003 tentang pemerintahan gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
     Keberadaan Pemerintahan Mukim telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam undang-undang dan dalam qanun. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong. Hal ini dipertegas dengan di pasal 98 yang intinya  bahwa “lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat”. Dengan demikian menurut penulis Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampong dan ada yang di tingkat mukim. Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat, pasti  sumber daya alam di gampong tersebut lestari dan terjaga. Dampak terbesarnya adalah kehidupan dari masyarakat Aceh tidak lagi bergantung terlalu besar pada pemerintah pusat. Konsekuensi positif dengan dikeluarkannya aturan tersebut adalah lahirlah penjabaran atau peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Bahkan di dalam Pasal 3 qanun tersebut dnyatakan bahwa Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam. Dengan dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan apalagi dengan cara cukup eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi ke dalam tataran juridis formal, sehingga keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan.   
       Bersamaan perkembangan reformasi hukum yang terjadi di Indonesia dengan adanya tuntutan otonomi yang seluas-luasnya dari masyarakat maka perlindungan terhadap huku adat di Aceh makin diakui keberadaanya. Ada ciri khusus betapa besarnya rasa kekeluargaan yang diterapkan dalam pembuatan sistem adat di Aceh yaitu telah mengikut sertakan partisipasi masyarakat dalam pembuatan aturan hukum adat. Hal ini terbukti dengan diaturnya keikutsertaan publik pada Bab VI Qanun No. 3 tahun 2007 diatur secara tersendiri tentang Partisipasi Masyarakat, tepatnya pada Pasal 23 Qanun No. 3 tahun 2007  yang berbunyi : “(1) Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi public, (2) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun, (3) Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap; (4) Masukan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) membuat pokok-pokok materi yang diusulkan, (5) Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun”. Dalam Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat tegas disebutkan bahwa mukim melaksanakan tugas, melakukan pembinaan masyarakat b. melaksanakan kegiatan adat istiadat, menyelesaikan sengketa, membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam, membantu penyelenggaraan pemerintahan dan membantu pelaksanaan pembangunan.
    Mengenai asas personal atau teritorial dari pemberlakukan Syari`at Islam ini dipertegas dengan Pasal 129 Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu, (1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama Islam, maka pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah, (2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang Undang Hukum Pidana berlaku hukum Jinayah, (3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Dalam Pasal 267 ayat (1) Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh menyebutkan bahwa kelurahan di provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi gampong atau nama lain dalam kabupaten/kota. Pasal ini menurut saya  menunjukkan bahwa di Aceh memang memiliki ciri khas yang tersendiri dalam sisi [4]pemerintahannya.5
    Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003  tentang Mahkamah Syari’ah Mahkamah Syari’ah Provinsi di PNAD menyatakan bahwa, ”Kekuasaan kewenangan Mahkamah Syari’ah adalah kekuasaan  kewenangan Pengadilan Agama ditambah dengan kekuasaan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah.” Dalam  Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2004 tentang Khalwat (Mesum). Aturan dalam qanun tersebut jelas untuk memperkuat akan penegakan syariat islam berdasarkan Al Quran dan Al Hadist.

b.      Kajian analisis dalam perspekti sosiologis terkait hukum adat di Aceh

      Masyarakat Aceh sangat terpengaruh oleh agama Islam bahkan mungkin lebih dari itu bisa dikatakan terbentuk di atas kesadaran dan keinginan untuk melaksanakan syariat Islam secara penuh. Penetapan dari penguasa dalam menegakan syariat islam tersebut sudah menjadi hukum adat yang harus dipatuhi dan bersifat existensial moment  6. Begitu juga sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan di kalangan pemerintahan di Aceh didasari oleh kesadaran dan keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam sebagai bagian integral dari kegiatan pemerintahan tersebut. Adanya keinginan kuat agar nilai-nilai Islam menjadi nilai dasar dalam pembentukan adat dan perilaku masyarakat bahkan institusi-institusi yang diperlukan. Pemerintah diharapkan akan terlibat secara penuh dalam kegiatan yang dilakukan oleh warganya untuk menegakan syariat islam di Aceh. Walaupun terdapat polemic tentang pelaksanaan syariat islam di dalam negara khilafah atau dapat juga dilaksanakan di dalam Negara Demokrasi tidak akan menghalangi upaya mayoritas warga [5]Aceh dalam memperjuangkan ajaran islam. Dengan adanya fenomena sistem mukim dan gambong maka telah terjadi revitalisasi hukum adat 6 . Di Aceh hukum Islam adalah hukum adat yang tertinggi dan tidak boleh yang mengganggu gugat. Ajaran Islam harus ditaati dan jika ada yang melanggar akan mendapat sangsi. Teologi transendasi dapat menyatakan bahwa hukum agama bebas dari politik dan adat istiadat tapi tidak membawa alasan untuk membawa otonomi pada titik ekstern dengan memaklumkan keterpisahan hukum dari agama dan moral serta mendukung pembentukan pengadilan sekuler dan profesi hukum sekuler (Roberto.M.Urger.2008, hal.66). Hal ini juga mempertegas bahwa penegakan syariat Islam dalam sebuah negara yang bukan khilafah tetap dapat ditegakan. Dengan demikian penegakan Islam di Aceh  telah mendapat legalisasi dari hukum positif di Indonesia. Dalam mencari kebenaran jika hukum positif berbenturan dengan nilai-nilai yang ada di warga Aceh maka dapat pula digunakan metode Hipotiko Deduktif Verivikatif 8 yang substansi [6]ajarannya adalah tiap masalah dan kasus pidana yang ada harus dipecahkan dengan baik dengan cara deduktif maupun induktif. Hukum jangan ditelan mentah tapi harus ada proses verifikasi untuk membuktikan kebenarannya. Dengan adanya komparasi dari hukum positif dan hukum adat di Aceh kehidupan warganya dapat terjamin rasa keadilan.
       Legal opinion timbul dari fenomena polemic dilematis dari implikasi hukum itu sendiri serta punya akses yang luas dalam masyarakat dan ada penebaran yang kongkrit, actual, factual untuk mengeleminasi topik  persoalan yang jadi gunjingan masyarakat. (Amos,Araham.2004,hal.89). Hal ini memberikan arahan fenomena dari masyarakat yang plural dan punya karakteristik khusus dengan sistem mukim dan gambong agar dapat sejalan dengan aturan hukum positif di Indonesia. Sistem mukim dan gambong tersebut diharapkan mampu memberikan kepastian hukum terhadap tiap pelanggaran yang ada. Penegakan hukum dan pemberian sangsi harus selaras dengan mekanisme dari legalisasi pemerintah dengan dibandingkan prosedur aturan dalam Qanunnya, sehingga tumpang tindih aturan hukum tidak terjadi.

BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan

1.     Bahwa dengan pemberlakuan aturan dalam hukum positif terkait otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam telah menimbulkan tarik ulur dan pertentangan dalam sistem hukum di Indonesia.
2.  Aturan khusus yang diberlakukan pada sistem mukim dan gambong pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di Bab XV dengan judul “Mukim dan Gampong” akan memberikan arahan pijakan demi terciptanya rasa keadilan di Aceh dengan konsep-konsep nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
3.      Mukim merupakan kesatuan hukum adat yang lebih luas daripada gambong dengan peran dan fungsi yang berbeda pula, tapi punya kesamaan yaitu untuk menjalankan kehidupan yang penuh islami
4.      Adanya Pengadilan Syariah di Aceh dalam upaya penegakan syariat islam lewat sistem mukim gambong justru akan menimbulkan masalah baru terhadap sistem hukum nasional.

B. Rekomendasi
   
1.      Diharapkan dengan berlakunya sistem mukim dan gambong di Aceh pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dapat menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat dan nilai-nilai hukum adat dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Seharusya sistem mukim dan gambong dapat menjalankan tiap kebijakan dari Qanun agar dapat benar-benar menegakan syariat islam
3.      Agar dalam menjalankan penegakan hukum dari sistem mukim dan gambong maka jangan sampai terjadi over lapping dengan hukum positif di Indonesia, sehingga dapat tercipta kapastian hukum
4.      Sebaiknya lembaga-lembaga adat dalam sistem mukim dan gambong dapat berjalan dan mengontrol tiap aktivitas warganya, sehingga jika terjadi pelanggaran akan dapat mengambil tindakan yang cepat.

Daftar Pustaka

SUMBER DARI BUKU

Amos, Araham. 2004.Legal Opinion Aktualisasi Teoritis dan Empirisme.Raja Grasindo
             Persada:Jakarta
Purbacaraka, P. dan M. Chidir Ali, 1990, Disipilin Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
           Bandung.
Sutiyoso, Bambang.2004.Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi.Jakarta:PT Raja Grafindo
           Persada
Soenaryo. 1991. Sosiologi Pengertian dan Masalah, Status dan Peran, Lembaga Masyarakat
         dan  Kebudayaan. Surakarta:Uns Press
Soekanto,Soerjono.2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum.Jakarta: PT Raja Grafindo
         Persada
Michael Malley. 2001. Daerah Sentralisasi dan Perlawanan Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
         Ekonomi, Masyarakat, Transisi .Jakarta: PT Gramedia
Roberto.M.Urger.2008.Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat
        Modern.Nusamedia.Bandung
Marwan, Muchlis dkk.1994.Hukum Adat.Surakarta:UNS Press
Jamin, Mukhammad.2004.Hukum Adat dan Sistem H ukum N asional.Surakarta:UNS Press

ATURAN UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
Undang-undang no.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,
UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan
UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun

SUMBER DARI INTERNET

http//:www.green-aceh.blogspot.com, diakses tanggal 9 November 2009 pukul 23.00 WIB
http://www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp, diakses tanggal 9 November 2009 pukul 23.00 WIB



[1] Michael Malley. Daerah Sentralisasi dan Perlawanan Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: PT Gramedia.2001),hal.65

[2] Tanoh Potalah adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan barang siapa yang menemukan pertama kali dan memanfaakannya maka ia lah yang berhak untuk memilikinya. Sumber: http//:www.green-aceh.blogspot.com, diakses tanggal 9 November 2009 pukul 23.00 WIB. Menurut saya terhadap aturan ini masih terdapat kelemahan yaitu jika yang telah memiliki meninggal apakah masih dapat dialihkan pada ahli warisnya atau tidak. Jika untuk legalisasi kepemilikannya belum ada aturan yang jelas apakah langsung dapat dialihkan atau masih perlu minta persetujuan pimpinan mukim terlebih dahulu.
(3)  ibid, Inti dari aturan tersebut menurut saya justru akan memperkuat keberadaan adanya mukim dan gambong di Aceh.

(4) Soenaryo. Sosiologi Pengertian dan Masalah, Status dan Peran, Lembaga Masyarakat dan  Kebudayaan(Surakarta:Uns Press.2001),hal.78. Hal itu maka akan memperkuat keberadaan lembaga adat di Aceh
(5 ) http//:www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp. Sistem pemerintahan yand ada di Aceh ada 112 kelurahan yang memiliki daerah dengan penegakan syariat islam yang kuat.
(6) Muchlis Marwan, dkk . Hukum Adat (Surakarta:UNS Press.2004),hal.11
(7) Mukhammad Jamin, Hukum Adat dan Sistem H ukum N asional.(Surakarta:UNS Press,2004), hal.7

(8 ) Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum Dalam Era Reformasi, (Jakarta,2004), hal.10. Menurut saya dengan metode ini akan dapat digunakan lebih efektif oleh aparat penegak hukum dalam peran serta untuk menegakan syariat islam di Aceh, karena terkadang aturan hukum positif yang ada bertolak belakang Qanun yang telah dijadikan dasar hukum utama di Aceh.


No comments:

Designed By Mas Say