Pembangunan hukum nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diarahkan pada terwujudnya sistem
hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk
hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional. Produk
hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung
pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan
mendukung hasil pembangunan nasional. Salah satu sarana hukum yang diperlukan
dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang
kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang
semula diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan.
Perkembangan perekonomian dan
perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan
mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan
pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal,
penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan
banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat. Bahwa krisis
moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun
1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan
perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat
terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga
tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi
kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya
masalahmasalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan
berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan
sosial lainnya.
Untuk kepentingan dunia usaha dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif,
sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Pada tanggal 22 April 1998
berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi
Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh
karena Undang-Undang tentang Kepailitan yang merupakan peraturan perundang-undangan
peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang-piutang.
Perubahan terhadap Undang-Undang tentang
Kepailitan tersebut di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan
meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi
materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Putusan
Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan.
Syarat utama untuk dapat dinyatakan
pailit adalah bahwa seorang Debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor
dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam
pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan Debitor sendiri, maupun
kepentingan para Kreditornya. Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut,
diharapkan agar harta pailit Debitor dapat digunakan untuk membayar kembali
seluruh utang Debitor secara adil dan merata serta berimbang. Pernyataan pailit
dapat dimohon oleh salah seorang atau lebih Kreditor, Debitor, atau jaksa
penuntut umum untuk kepentingan umum. Kepailitan tidak membebaskan seorang yang
dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya.
Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari perebutan
harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih
piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor
tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor
lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan
yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya,
Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang
Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan
curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Bertitik tolak dari dasar pemikiran
tersebut di atas, perlu dibentuk Undang-undang baru tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional,
yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Undang-Undang
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada
beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah: 1. Asas Keseimbangan Undang-Undang
ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan,
yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan
oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam
Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang
prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan
mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas
tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor
lainnya. 4. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung
pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.www.hukumonline.com
Undang-Undang baru tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang
lingkup materi, maupun proses
penyelesaian utang-piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut
diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum
untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan
efektif.
Beberapa pokok materi baru dalam
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ini
antara lain: Pertama, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam
Undang-Undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian
juga pengertian jatuh waktu. Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan
pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk
di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan
pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
No comments:
Post a Comment