Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam
kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat
dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup
bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk
mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih
berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena itu
hak atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang
wajib dijunjung tinggi dan dihormati.
Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap
orang tercermin dalam Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap Warga
Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri
menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri.
Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin
meningkat.
Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke
luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu
segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah penggangguran di
dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan
terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Resiko tersebut dapat
dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar
negeri maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan
agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan
di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi.
Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang
dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur
pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian
pelayanan penempatan secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat,
tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip
tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yang tentunya berdampak
kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Sejalan
dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnya
jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar
negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam dan bahkan
berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selama ini, secara yuridis peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan
Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan
Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat
sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang.
Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan
dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam
Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia
Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan
diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam undang-undang
tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan mampu
merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan
perlakuan eksploitatif dari siapapun. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka Undang-undang ini intinya
harus memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk
mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat
memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan
tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun
martabatnya. Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia
masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga
hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun
Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan
Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta institusi swasta. Di lain pihak
karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung
berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia,
maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu baik dari
aspek komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi
warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi.
Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah
negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia
bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada
kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di
tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada
kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga
kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan
tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri. Pembatasan yang
utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja
di luar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat
diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap TKI.
Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh
pekerjaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara
perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan
dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat
memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang mempunyai pendidikan atau
keterampilan yang relatif tinggi. Sementara bagi mereka yang mempunyai
pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah yang dampaknya mereka biasanya dipekerjakan
pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan pengaturan
berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih
tinggi. Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan pelayanan
dan perlindungan yang maksimal.
Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk
mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun
justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam Undang-undang
ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak,
berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi. Telah dikemukakan di
atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan adalah berkaitan
dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam Undang-undang
ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan
salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi
pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan
sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Tidak adanya satu saja
dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau
illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja
yang
bersangkutan rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang
eksploitatif
lainnya di negara tujuan penempatan.
Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta
peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan
Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982
tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969,
dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
Undang-undang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dirumuskan dengan
semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI. Dengan demikian
Undang-undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrument perlindungan
bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri
maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen
peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya.
No comments:
Post a Comment