Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil
dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak
pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan
Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena
itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil
tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil
tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang
berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku
atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan
tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin
kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian
Harta Kekayaan hasil tindak
pidana.
Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh
lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial
intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan
kepada penyidik.
Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu
penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko
operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi
digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci
uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan
akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya
sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.
Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang
semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin
variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action
Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional
yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan
Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised
40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties)
yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan
bermotor.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui
forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang
menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat
diminimalisasi. Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang
dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu,
tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas
dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam
menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi
administratif.
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum
optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata
masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum,
kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban
pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis
laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana
Undang-
Untuk
memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu
disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang
ini, antara lain: 1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak
pidana Pencucian Uang; 2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian
Uang; 3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4.
pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa; 5. perluasan Pihak
Pelapor; 6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang
dan/atau jasa lainnya; 7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan
uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik
dugaan tindak pidana Pencucian Uang; 11. perluasan instansi yang berhak
menerima hasil analisis atau
pemeriksaan
PPATK; 12. penataan kembali kelembagaan PPATK; 13. penambahan kewenangan PPATK,
termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi; 14. penataan
kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan 15.
pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
No comments:
Post a Comment