Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,
sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut,
perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada
khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi
masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin
maningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan
kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada
timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Undang-undang
ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah
dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat
pada umumnya.
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena : (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang
dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan
rakyat.
Agar
dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian
negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam
Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi
perbuatanperbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan
tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat
harus dituntut dan dipidana.
Dalam
Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak
pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara
formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan tetap dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam
Undang-undang ini adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang
dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana
yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana
minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang
merupakan pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana
penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana
tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai
Negeri, yang antara lain adalah
orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas
dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa
yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar,
harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk
atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak
pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka tim gabungan yang dikoordinasikan
oleh Jaksa Agung, sedangkan proses
penyidikan
dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan
tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka
atau terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan tindak pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan
penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara
untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank
Indonesia.
Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi
dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang ini juga memberi kesempatan
yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota
masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan
penghargaan.
Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut,
Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka
waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
No comments:
Post a Comment