Breaking News

03 January 2017

UPAYA PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE NASIONAL



Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutoorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
(executoir) dari pengadilan

Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herzeine Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan Kelebihan tersebut antara lain : a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional. Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Regelement of de Rechtvodering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam reglement Acara Perdata (reglement op de Rechtvodering).
Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglement Acara Perdata (Reglement op de rechtvodering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan. Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Disamping itu ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) Reglement Acara Perdata (Regelement op de Rechtvodering) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya dalam Undang-undang ini tidak disebut lagi bahwa wanita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum.
Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konstitusi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang-undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas Arbitrase nasional maupun internasional.
Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan. Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakuipalsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Selanjutnya pada Bab VII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. Bab IX dari Undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter. Bab X dari Undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

No comments:

Designed By Mas Say