Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan
kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undangundang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman. Hal tersebut
merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan
serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang
tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal
3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutoorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
(executoir)
dari pengadilan
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan
arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Reglement of de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377
reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herzeine Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan
Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Pada umumnya lembaga
arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan Kelebihan
tersebut antara lain : a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil; d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak
dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak
semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih
cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap
pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.
Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati
daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional. Dengan
perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan
baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka
peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Regelement of de
Rechtvodering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi
sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional
sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak
diatur dalam reglement Acara Perdata (reglement op de Rechtvodering).
Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar
terhadap Reglement Acara Perdata (Reglement op de rechtvodering) baik secara
filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan. Arbitrase yang diatur
dalam Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar
peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang
bersengketa. tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase,
melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya
oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Disamping itu
ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
617 ayat (2) Reglement Acara Perdata (Regelement op de Rechtvodering) sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat
dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui
persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya dalam Undang-undang ini tidak
disebut lagi bahwa wanita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua itu
diatur dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum.
Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian
sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konstitusi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Bab III memberikan suatu ikhtisar
khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan
arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa. Sedangkan
dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di hadapan majelis arbitrase dan
dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela
lainnya termasuk menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau
menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi
ahli.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai
penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan
proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat
mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam
rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang-undang ini memuat ketentuan
tentang pelaksanaan tugas Arbitrase nasional maupun internasional.
Bab
VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket,
agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik
yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini
secara sistem hukum dibenarkan. Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan
arbitrase. hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain : a. surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemriksaan, setelah putusan dijatuhkan
diakuipalsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c.
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut
hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir.
Selanjutnya pada Bab VII diatur tentang berakhirnya
tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena
jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk
menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak
mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. Bab IX dari Undang-undang
ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter. Bab X dari
Undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang
sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau
yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
No comments:
Post a Comment