Tujuan Undang-undang Pokok Agraria. Di dalam Negara
Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,
terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum Agraria
yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata
bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada
tercapainya cita-cita diatas
Hal itu disebabkan terutama : karena hukum agraria
yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendir-sendi
dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan pembangunan
semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini; b. karena
sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut
mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari
hukum-adat di- samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum
barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan yang serba
sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa; c. karena bagi
rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin
kepastian
hukum.
Berhubung
dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional, yang akan
mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme,
yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi
bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang di- maksudkan diatas dan harus sesuai
pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria
nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan
cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari
pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari
pada haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal
17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi
dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang yang
akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya.
Sungguhpun
undang-undang itu formil tiada bedanya dengan undangundang lainnya - yaitu
suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat - tetapi mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum
agraria yang baru, maka yang dimuat didalamnya hanyalah azas- azas serta
soal-soal dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang-Undang
Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai
undang-undang, peraturanperaturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya.
Demikianlah, maka pada pokoknya tujuan Undang-undang Pokok Agraria ialah : a.
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur. b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan. c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dasar-dasar dari hukum agraria nasional. (1)
Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat (1) , yang
menyatakan, bahwa : "Seluruh wilayah In- donesia adalah kesatuan tanah-air
dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan
pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa : "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".
Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai
keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak sematamata menjadi
hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan
pulau-pulau tidaklah samata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau
yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam
hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada
tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta
ruang ang- kasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (pasal 1 ayat
3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia
masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada
pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat
me- mutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun sekarang
ini daerah Irian Barat yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini
bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia juga.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta
ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas
(sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa
hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan
milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat
ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik yang
dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4 jo pasal 20). Dalam pada itu
hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh
seseorang.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat
dan ter- penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak
guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang
akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (pasal 4 jo 16). Bagaimana kedudukan
hak-hak tersebut dalam hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan
diuraikan dalam nomor 2 dibawah. (2) "Azas domein.. yang dipergunakan
sebagai dasar dari- pada perundang-undangan agraria yang berasal dari
Pemerintah jajahan tidak
dikenal
dalam hukum agraria yang baru.
Azas domein adalah bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyat Indonesia dan azas dari pada Negara yang merdeka dan modern. Berhubung
dengan ini maka azas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan
domein", yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118),
S.1875-119a, S.1874- 94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan pernyataan
domein itu dicabut kembali. Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada
pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia
ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara,
sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku
Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2
ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan yang tertinggi dikuasai
oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan
"dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki",
akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai
organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu untuk pada ting- katan yang
tertinggi : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaannya. b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai
atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.c. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Segala sesuatunya dengan tujuan : untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3).
Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu
mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh
seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya
sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan
haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi
hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan
pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II. Kekuasaan Negara atas
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya
adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan
diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya
hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam
pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah
Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2
ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau
banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal
mana akan diuraikan lebih lanjut dalam nomor 3 di- bawah ini. (3) Bertalian
dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang
disebut dalam pasal 1 dan 2, maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai
hak ulayat dari kesatuankesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa
ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa : "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih
tinggi".Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat
itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut
kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam
keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi
didalam Undang- Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan
peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering
kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang
Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada
dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut
kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya
di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat
hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi
"recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak
ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi
pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu
sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan
jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak
begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan
proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan
makanan dan pemindahan
penduduk.
Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerahdaerah itu sendiri
seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang
merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut
diatas. Kepentingan sesuatu
masyarakat
hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak
ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas
itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu
masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara
mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-
masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai
kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum
dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya
usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas,
ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak
akan diperhatikan sama sekali. (4) Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6,
yaitu bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Ini
berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat
dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya
dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi
dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan
akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang
Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga
pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan
kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Berhubung
dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu
harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula
dari setiap orang, badanhukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan
kepentingan fihak yang ekonomis lemah. (5) Sesuai dengan azas kebangsaan
tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya
warganegara Indo-nesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak
milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada
orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah
dengan hak pakai yang luasnya terbatas.
Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada
dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena
badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya,
asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan keperluannya yang
khusus (hak guna-usaha, hak gunabangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan
41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari
ketentuanketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik
(pasal 17).
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma- syarakat yang
sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan
perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-clause" yang memungkinkan
badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya
"escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik
bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah,
dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badanbadan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum yang
bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai
badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang
tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam
hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap
sebagai badan hukum biasa. (6) Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas
kebangsaan tersebut diatas ditentukan dalam pasal 9 ayat 2, bahwa :
"Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat
dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya".
Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi
golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat kedudukan
ekonominya. Maka didalam pasal 26 ayat 1 ditentukan, bahwa : "Jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah". Ketentuan inilah yang akan merupakan alat untuk
melindungi golongan-golongan yang lemah yang dimaksudkan itu. Dalam hubungan
itu dapat ditunjuk pula pada ketentuan- ketentuan yang dimuat dalam pasal 11
ayat 1, yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan
pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agrarian
hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.
Segala usaha bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan
bersama dalam rangka kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah
berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan
dalam lapangan
agraria
yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2). Bukan saja usaha swasta, tetapi juga
usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai
merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (pasal 13 ayat 3). (7)
Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang
menjadi dasar daripada perubahan- perubahan dalam struktur pertanahan hampir
diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa
yang disebut "landreform" atau "agrarian reform" yaitu,
bahwa "Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh
pemiliknya sendiri".
Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu
diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang
batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya (pasal 13 yo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas
maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar
dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam
hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang
demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu
dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya
dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa
bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada
orang lain.
Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat
pertanian kita sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu yang akan da- tang
masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh
orangorang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi-hasil, gadai dan
lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk
mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan silemah oleh si-kuat
(pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa,
perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar
"freefight", akan tetapi pe- nguasa akan memberi ketentuanketentuan tentang
cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan
dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de l- 'homme par
l'homme"). Sebagai mitsal dapat dikemukakan ketentuanketentuan didalam
Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N.
1960 - 2).
Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu
azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2).
Dalam keadaan susunan msyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan
itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi.
Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya mempunyai
tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat
mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah
tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk
diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi
setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus
diusahakannya sendiri secara aktip. (ayat 3). (8) Akhirnya untuk mencapai apa
yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria,
perlu adanya suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai
kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum ("National
planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian
diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari
tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah
dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat. III. Dasar-Dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan hukum.
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak
jelas di-dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II. (1) Sebagaimana telah
diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat
"dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut
hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum-barat yang berpokok pada
ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara
sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai
bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus
sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut
akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat
dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum
adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan
masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal. (2)
Didalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang-undang Pokok Agraria tidak
menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keperluan hukum dari golongangolongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan
dalam pasal 11 ayat 2, bahwa : "Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keprluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional diperhatikan". Yang dimaksud dengan perbedaan yang
didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat
kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang
lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa
dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan
yang
ekonomis lemah. (3) Dengan hapusnya perbedaan antara hukum-adat dan hukumbarat dalam
bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan hukum pada
hakekatnya akan terselenggarakan pula.
Sebagai yang telah diterangkan diatas, selain hak
milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal hak-hak atas tanah, menurut
hukum adat sebagai yang disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d sampai dengan g.
Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita
sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian,
perikanan dan peternakan) dan hak gunabangunan (guna mendirikan/mempunyai
bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat 1 huruf b dan c).
Adapun hak-hak yang ada pada mulai berlakunya
Undang-Undang ini semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru
menurut Undang-undang Pokok Agraria. IV. Dasar-dasar untuk mengadakan kepastian
hukum. Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan
dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38,
ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka
memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada
Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan
pendaftaran tanah yang bersifat "rechtskadaster", artinya yang
bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan
mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan
lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil
dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya
dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh
wilayah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum, maka
pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan
maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19
ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah
Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-
kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan
mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan
lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil
dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang
meliputi seluruh wilahah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan
kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan.
Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah yang terang akan
memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama
sekali.
No comments:
Post a Comment