Keanekaragaman
suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230
juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung
ataupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut
dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan
pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta ketidakterkendalian
dinamika kehidupan politik.
Di
samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka
mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing.
Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan
Konflik, terutama Konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti
telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti
dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan
umum.
Sistem
penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada penanganan
yang bersifat militeristik dan represif. Selain itu, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik masih bersifat
parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah seperti dalam bentuk Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan
Peraturan Presiden.
Berbagai upaya Penanganan Konflik
terus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk
membentuk kerangka regulasi baru. Dengan mengacu pada strategi Penanganan
Konflik yang dikembangkan oleh Pemerintah, kerangka regulasi yang ada mencakup
tiga strategi. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya Pencegahan Konflik
seperti regulasi mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif
terhadap Konflik dan upaya Pencegahan Konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi
kegiatan Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik yang meliputi upaya
penghentian kekerasan dan pencegahan jatuhnya korban manusia ataupun harta
benda. Ketiga, kerangka regulasi bagi penanganan pascakonflik, yaitu ketentuan
yang berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta kegiatan
pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Kerangka regulasi yang dimaksud
adalah segala peraturan perundang-undangan, baik yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam peraturan
perundang-undangan yang lain, termasuk di dalamnya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
Berdasarkan pemikiran tersebut,
pada dasarnya terdapat tiga argumentasi pentingnya Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis,
dan argumentasi yuridis.
Argumentasi filosofis berkaitan
dengan pertama, jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa
diganggu akibat perbedaan pendapat atau Konflik yang terjadi di antara kelompok
masyarakat. Kedua, tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa,
agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk
memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga,
tanggung jawab negara memberikan pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, damai, dan
sejahtera baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas
pelindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta
hak atas rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa
takut merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan
sejahtera.
Selanjutnya, argumentasi
sosiologis pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial adalah
sebagai berikut; Pertama, Negara Republik Indonesia dengan
keanekaragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan
pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik,
berpotensi melahirkan Konflik di tengah masyarakat. Kedua, Indonesia
pada satu sisi sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan, membuka
peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain
hidup dalam tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan berpotensi
menimbulkan Konflik. Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya dukung
lingkungan yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah
kepemilikan maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak
memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Keempat, Konflik
menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan dan
pranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma
psikologis (dendam, benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para
pihak yang berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Kelima, Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif,
integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran
melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang
memadai. Keenam, dalam mengatasi
dan menangani berbagai Konflik tersebut, Pemerintah Indonesia belum memiliki
suatu format kebijakan Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif,
efisien, akuntabel dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan
dialogis dan cara damai.
Argumentasi yuridis pembentukan
Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial adalah mengenai permasalahan
peraturan perundang-undangan terkait Penanganan Konflik yang masih bersifat
sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai dengan perkembangan sistem
ketatanegaraan.Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial menentukan
tujuan penanganan Konflik yaitu menciptakan kehidupan masyarakat yang aman,
tenteram, damai, dan sejahtera; memelihara kondisi damai dan harmonis dalam
hubungan sosial kemasyarakatan; meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara; memelihara keberlangsungan fungsi
pemerintahan; melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum;
memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; serta memulihkan kondisi fisik
dan mental masyarakat.
Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial mengatur mengenai Penanganan Konflik Sosial
yang dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu Pencegahan Konflik, Penghentian
Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik. Pencegahan Konflik dilakukan antara lain
melalui upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat; mengembangkan
penyelesaian perselisihan secara damai; meredam potensi Konflik; dan membangun
sistem peringatan dini. Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik dilakukan
melalui upaya penghentian kekerasan fisik; penetapan Status Keadaan Konflik;
tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau pengerahan dan
penggunaan kekuatan TNI. Status Keadaan Konflik berada pada keadaan tertib
sipil sampai dengan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Prp Tahun 1959. Selanjutnya, Penanganan Konflik pada pascakonflik,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya Pemulihan
Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui
upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan rekonstruksi. Undang-Undang ini juga
mengatur mengenai peran serta masyarakat dan pendanaan Penanganan Konflik.
No comments:
Post a Comment